Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka
POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut
POV Sari.____Ku dekati mas Tejo yang sedang duduk merenung di sofa ruang tamu setelah mengusir wanita tadi. Dirinya terlihat kacau sekali. Dan ini saatnya aku maju sebagai pahlawan untuknya. "Ini kopinya, mas." Ku letakkan segelas kopi hitam kesukaannya di atas meja, dan perlahan aku duduk di sampingnya. "Sudahlah, mas. Jangan terlalu dipikirkan. Wanita seperti dia nggak pantas mas pikirkan. Buang-buang waktu saja," ucapku seraya memberikan pijatan lembut di tangannya. "Kenapa dia bisa berkhianat? Apa kurangnya aku? Aku bahkan memberikan cintaku seutuhnya untuk dia. Tapi dia, dia selingkuh." Racau mas Tejo dengan air mata yang menetes. Deg! Ada yang tergores di dalam dada ini saat mendengar mas Tejo berkata dia mencintai Gina.Dia bahkan sampai meneteskan air matanya hanya karena wanita itu. Padahal sudah jelas-jelas wanita itu berkhianat, dan pantas mendapatkan perlakuan seperti tadi.Aku berusaha menguasai hati yang sudah terlanjur sakit, dan terus menenangkan mas Tejo.Dia
POV Sandra.___Sudah tiga hari lamanya kami menginap di rumah nenek Atun.Dan Alhamdulillah, ayah sudah mulai tersenyum kembali. Kegiatan ayah disini sama seperti di rumah. Yaitu, memberi makan ayam, dan kelinci peliharaan nenek.Dan teman-teman ayah sering datang berkunjung kesini. Itu membuat hatiku sedikit tenang. Ya, hanya sedikit. Sebab, sudah 3 hari kami disini. Tapi, tak juga aku menemukan wanita yang dulu ayah tolak demi ibu. Ah, bukan apa-apa. Aku hanya ingin ayah punya teman curhat.Karena sepertinya dengan teman prianya, ayah kurang terbuka. Atau aku cari saja wanita yang masih lajang, atau wanita janda untuk ayah?"Sudah siap, nak? Kalau sudah, kita berangkat sekarang. Takut kesiangan." Suara nenek terdengar dari depan pintu kamar. "Sebentar, nek!" sahutku lantas segera menyisir rambut dengan cepat, dan langsung meraih jaket yang tergantung di balik pintu. "Sudah, nek. Ayo!" ujarku antusias. Jam masih menunjukkan pukul 5 subuh. Tapi aku, dan nenek sudah rapi.Aku
17."Siska?!" Paman yang baru saja datang, langsung terkejut melihat Tante Siska yang sedang mengobrol dengan ayah. Dirinya seperti terpana melihat Tante Siska, sampai tak berkedip.Aku lekas memanggil nenek yang berada di belakang. Aku takut paman membuat ulah, dan rencanaku gagal. "Tejo?" panggil nenek begitu sudah sampai di ruang tamu."Ah. Bibi apa kabar?" Paman meraih tangan tua nenek, dan menciumnya takzim. "Alhamdulillah, baik. Tumben kamu pulang?" "Tejo kangen sama bibi," sahut paman dengan mata yang menatap liar kearah Tante Siska. "Bisa biarkan aku, dan Siska ngobrol berdua?" imbuhnya lagi. "Nggak! Tante Siska ada keperluan dengan ayah. Paman kan kangen sama nenek. Kenapa nggak ngobrol sama nenek saja?" Aku langsung menolak permintaan paman mentah-mentah. Dirinya melayangkan tatapan tajamnya padaku. Tapi, aku tak merasa takut sama sekali.Selain karena ada ayah, dan nenek yang akan melindungi ku. Aku juga sudah muak dengan paman. Dari gerak-geriknya aku tau bahwa pam
Sudah hampir satu Minggu Tejo menunggu kabar dari Fatima dengan rasa gelisah. Dia takut Fatima menolak pinangan darinya,namun apapun itu. Tejo sudah berjanji akan menghargai keputusan Fatima.“Mari makan siang, Bang!” Ajak seorang pekerja yang mengurus kebun Tejo.“Duluan saja, Ri. Aku nanti saja.” Tejo menjawab sekenanya. Ya, dia sekarang tengah berada di kebun miliknya. Kebun yang selama ini dia abaikan karena sibuk dengan nikmat duniawi. Dia membiarkan pekerjanya yang mengurus semuanya, dan dia hanya tinggal menerima hasilnya saja.Namun, semenjak sembuh dari sakitnya. Dia perlahan sudah mulai berkebun kembali. “Huuuft!” Tejo membuang nafasnya dengan kasar. Matanya tak lepas menatap layar ponsel dalam genggamannya dengan perasaan gelisah. Dia menunggu kabar dari Dayat, abangnya. Saat mereka hendak meninggalkan rumah Fatima saat itu, Fatima berkata bahwa dia akan menghubungi Siska untuk menyampaikan keputusannya. Kring…. Kring…. Kring! Ponsel dalam genggaman Tejo berdering c
“Tejo, hei!” Dayat menepuk pundak sang adik cukup keras karena kesal. Sedari tadi dia memanggil adiknya itu, namun adiknya sibuk melamun. Tejo menoleh ke arah abangnya dengan wajah kaget. “Ada apa, bang?” Dayat mendengus. “Makan. Dari tadi di panggilin susah banget, Jo. Kalau suka, bilang saja.” “Seandainya dia bukan sahabatnya mbak Siska,” ujar Tejo dengan tatapan menerawang. Dayat berdecak, sedari tadi adiknya sekali berkata begitu. Apa hubungannya dengan Siska?“Ada apa dengan mbak-mu?” “Aku takut mbak Siska ceritain ke dia tentang kelakuanku dulu.” Tejo menjawab sambil tertunduk. Dayat baru tau tentang kegelisahan adiknya. “Kamu sudah berubah. Kalau kamu betul-betul menyukainya, berusahalah. Biar mbak-mu jadi urusan Abang.” Dayat menepuk pundak Tejo pelan, memberi dukungan padanya. ___Acara syukuran di rumah Dayat telah usai. Semua keluarga nenek Atun pun sudah kembali ke kampung. Nasib Tejo semakin tak jelas. Dia sungguh menyukai wanita yang dia temui di rumah Dayat wa
Akhirnya, hari yang dinantikan oleh pasangan Siska, dan Dayat pun tiba. Hari dimana buah cinta mereka lahir kedunia dengan selamat. Dayat mencium pipi merah anak keduanya itu dengan sayang, setelah menyuarakan adzan pada putranya. Ya, Siska telah memberikan seorang putra pada Dayat. Lengkaplah sudah keluarga kecil mereka. “Aku boleh gendong, nggak?” tanya Sandra yang sedari tadi ikut gemas melihat bayi merah dalam gendongan ayahnya. “Nanti kamu jatuhin,” sahut Dayat seraya kembali mencium pipi putranya. “Ma, Sandra boleh gendong adek, ya?” Sandra merengek pada Siska yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien. Siska tersenyum pada Sandra lalu menatap suaminya. “Mas, kasih dulu ke mbak nya!” titahnya yang membuat Sandra berjingkrak kegirangannya. “Ojo pecicilan, nduk. Jatuh adekmu nanti,” ujar Dayat memperingati saat akan menyerahkan bayi itu pada Sandra. “Pake duduk saja, nak.” Siska memberi isyarat pada Dayat agar menyuruh Sandra duduk. Dia merasa ngeri melihat cara
“Assalamualaikum.” ucap Sandra, dan Dayat berbarengan saat sudah sampai di dekat Sari, dan Trisno berdiri. “Wa’alaikumussalam.” Trisno, dan Dayat langsung berjabatan tangan. Sedangkan Sandra langsung mendekati sang ibu, dengan senyum yang merekah. “Silahkan masuk, bang.” Trisno mengajak Dayat untuk masuk kedalam rumahnya, namun Dayat menolak karena Siska sedang sendirian di rumah.Akhirnya, Dayat pun berpamitan pulang setelah berpesan pada Sandra agar tak merepotkan Sari, dan Trisno. “Masuk yuk. Di tungguin sama nenek dari tadi.” Sari merangkul pundak Sandra, dan bersama berjalan masuk kedalam rumah. ___“Cukup, Bu. Aku sudah kenyang.” Sandra menggeser piring makannya kesamping saat Sari hendak menambahkannya nasi kedalam piringnya.“Makan yang banyak, nak,” ujar Sari memaksa. Sandra menggeleng, dan tetap menjauhkan piringnya. Dia sungguh sudah sangat kenyang saat ini. Bagaimana tidak? Sedari tadi Sari terus saja memberikan berbagai makan padanya.Semua lauk, dan sayur yang dia
“Kamu mau ketemu sama ibu, nak?” Siska angkat bicara. Dia berjalan mendekati kursi tempat Sandra duduk, lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap bahu Sandra yang masih bergetar karena isak tangisnya. “Kalau mau ketemu sama ibu, biar mama yang antar,” tawar Siska dengan senang hati. Sandra mengangangkat kepalanya menatap wajah Siska lalu bergantian menatap wajah Dayat. Dayat mengangguk dengan senyum tipisnya. “Boleh, Ma?” “Boleh, dong. Besok pagi Mama antar, ya. Sekalian Mama mau olahraga pagi, soalnya sebentar lagi adikmu datang,” sahut Siska seraya mengelus perutnya yang membesar. Hari persalinannya memang sudah dekat. Itu sebabnya dia harus banyak bergerak agar persalinannya nanti berjalan dengan lancar, itu pesan ibunya setiap kali menghubunginya lewat telpon. ____“Dek, nasinya dimakan. Jangan di liatin aja,” ujar Trisno saat melihat makanan istrinya masih utuh. Sedangkan Sari sedari tadi hanya menatap piringnya dengan wajah murungnya.“Ada yang mengg
“Hei?! Kamu kenapa, nak? Dari tadi mama panggil kok nggak nyahut? Lagi lamunin apa?” Siksa datang, dan menepuk pundak Sandra. “Eh?!” Wajah Sandra langsung terkejut melihat Siska sudah duduk di sampingnya dengan perut yang sudah membuncit. “Kamu kenapa? Ada masalah sama pendaftaran kuliah?” tanya Siska dengan lembut. Tangannya mengusap surai panjang milik Sandra.Sandra langsung menampilkan senyumnya, dan menutup raut wajahnya yang sedih. “Nggak ada, ma. Semuanya lancar, kok.” “Terus, kenapa?” Siska berusaha menilik wajah dari putri sambungnya itu.Namun, Sandra lebih dulu memalingkan wajahnya. “Sandra ke kamar dulu, ya, ma. Ada tugas kuliah,” kilahnya lalu buru-buru berdiri, dan masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Siska kebingungan. Dia menatap punggung putrinya dengan kening mengernyit. Dia baru menyadari bahwa beberapa hari ini Sandra memang terlihat sedikit pendiam. Jarang sekali Sandra bercanda padanya. Senyum yang Sandra tampilkan pun sangat di paksakan. Sis
Trisno mengumpulkan keberaniannya untuk menemui Sari, dan membawanya pulang bagaimana pun caranya. Ucapan Tejo tadi benar-benar sangat mengganggu ketenangannya. Trisno memarkirkan motornya di halaman rumah Wati, lalu perlahan melangkah menuju teras rumah. Tok, tok, tok. Trisno mengetuk pintu tanpa bersuara, dia takut kalau Wati tidak mau membukakannya pintu jika tau dia yang datang. “Iya, sebentar!” Terdengar sahutan dari dalam, tak lama kemudian pintu itupun terbuka dengan Sari yang berdiri di hadapannya. “Mas Trisno?” Nampak jelas wajah Sari yang terkejut bercampur bahagia. Dia meraih tangan Trisno, dan menciuminya dengan takzim. “Masuk, mas.” Sari menggeser tempatnya berdiri, memberi jalan untuk Trisno masuk. Dengan langkah ragu, dan juga takut Trisno masuk kedalam rumah, dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya sedari tadi sibuk mencari keberadaan Wati, dan juga suaminya. “Kenapa mas baru datang sekarang?” Sari ikut duduk di samping suaminya dengan bibir mengerucut. Trisno t
Sudah dua hari Sari di bawa pergi oleh Wati, dan suaminya. Dan dua hari juga Trisno seperti orang linglung. Dia sangat frustasi karena merasa seorang diri. Tak ada yang ada di sampingnya untuk membantu. Sikap ibunya pun bertambah dingin padanya, walaupun mereka tinggal di bawah atap yang sama. Trisno yang merasa suntuk memilih untuk keluar rumah, menghirup udara segar sekaligus memperbanyak keberaniannya untuk bertemu dengan kedua kakak iparnya. Trisno melajukan motornya ke arah warung kopi yang berada dipinggir jalan, tempatnya biasa bertemu dengan Nisa, dulu.Tentu saja Trisno kesana bukan untuk mengenang kebersamaannya dengan Nisa. “Bu, kopi pahit satu gelas,”pinta Trisno begitu sudah memarkirkan motornya. Dia lalu berjalan mendekati kursi panjang, tempat para pembeli biasa duduk menikmati pesanannya. “Tumben sendiri? Biasanya sama pasangannya,” celetuk ibu pemilik warung itu. Namun, Trisno hanya menanggapi dengan senyum tipisnya saja. Dia mengabaikan ucapan ibu tersebut, dia
Tok, tok, tok! “Permisi, Trisno! Keluar kamu! Sari!” Wati mengetuk pintu rumah Trisno dengan tak sabaran. Suaranya pun sangat nyaring. Sampai-sampai suaminya menegurnya. “Dek, jangan kaya gitu, malu di liatin tetangga.” Indra menarik tangan Wati yang hendak mengetuk pintu lagi. “Biarin! Biar semua orang tau kalau Trisno laki-laki bejat!” Wati menghempaskan tangannya dengan kuat.“Sari! Keluar, dek! Ini mbak mau jemput kamu!” Sedangkan di dalam rumah nampak Sari yang sudah mulai pulih tengah sarapan bersama Trisno. Bu Darni sedang sakit, jadi dia hanya sarapan bubur lalu kembali beristirahat di kamarnya. “Suara siapa itu, dek?” tanya Trisno urung memasukan sesendok nasi pada mulutnya. “Nggak tau, Mas. Tapi, dari suaranya sepertinya itu Mbak Wati. Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu?” Batin Sari mulai gelisah. Dia yakin pasti ada yang tidak beres sehingga kakaknya sampai berteriak seperti itu. “Bentar, mas cek dulu. Kamu habiskan dulu sarapannya, ya.” Trisno mengusap kepala