POV Sari. ___Aku pikir setelah meminta mas Tejo mengurus surat perceraian ku, dan mas Dayat, hubungan kami akan kembali baik.Tapi, semua tak berjalan baik. Setelah selesai mengurus surat perceraian itu, hubungan kami memang sudah cukup dekat, dan aku pun sudah mulai berani lagi bermanja padanya.Namun sayangnya, itu tak bertahan lama karena kedatangan Gina, wanita yang sudah berani merebut mas Tejo dariku. Ingin rasanya aku berteriak di hadapannya mengatakan bahwa akulah istri sah mas Tejo, dan dia hanyalah pel4k0r tak tau diri. Tapi, nyaliku tak sebesar itu. Aku hanya bisa gigit jari melihat kemesraan yang mereka suguhkan setiap hari. Sedangkan aku di perlakukan seperti pembantu di rumah ini. "Loh, mas. Kok, pembantunya masih muda banget," protes Gina saat baru pertama kali melihatku. Dia menatapku dengan pandangan tak sukanya.Aku terkekeh senang dalam hati, melihatnya iri dengan kecantikan ku."Sudahlah, sayang. Dia hanya pembantu disini. Dia nggak bisa saingi kamu," sahut
POV Sari.____Ku dekati mas Tejo yang sedang duduk merenung di sofa ruang tamu setelah mengusir wanita tadi. Dirinya terlihat kacau sekali. Dan ini saatnya aku maju sebagai pahlawan untuknya. "Ini kopinya, mas." Ku letakkan segelas kopi hitam kesukaannya di atas meja, dan perlahan aku duduk di sampingnya. "Sudahlah, mas. Jangan terlalu dipikirkan. Wanita seperti dia nggak pantas mas pikirkan. Buang-buang waktu saja," ucapku seraya memberikan pijatan lembut di tangannya. "Kenapa dia bisa berkhianat? Apa kurangnya aku? Aku bahkan memberikan cintaku seutuhnya untuk dia. Tapi dia, dia selingkuh." Racau mas Tejo dengan air mata yang menetes. Deg! Ada yang tergores di dalam dada ini saat mendengar mas Tejo berkata dia mencintai Gina.Dia bahkan sampai meneteskan air matanya hanya karena wanita itu. Padahal sudah jelas-jelas wanita itu berkhianat, dan pantas mendapatkan perlakuan seperti tadi.Aku berusaha menguasai hati yang sudah terlanjur sakit, dan terus menenangkan mas Tejo.Dia
POV Sandra.___Sudah tiga hari lamanya kami menginap di rumah nenek Atun.Dan Alhamdulillah, ayah sudah mulai tersenyum kembali. Kegiatan ayah disini sama seperti di rumah. Yaitu, memberi makan ayam, dan kelinci peliharaan nenek.Dan teman-teman ayah sering datang berkunjung kesini. Itu membuat hatiku sedikit tenang. Ya, hanya sedikit. Sebab, sudah 3 hari kami disini. Tapi, tak juga aku menemukan wanita yang dulu ayah tolak demi ibu. Ah, bukan apa-apa. Aku hanya ingin ayah punya teman curhat.Karena sepertinya dengan teman prianya, ayah kurang terbuka. Atau aku cari saja wanita yang masih lajang, atau wanita janda untuk ayah?"Sudah siap, nak? Kalau sudah, kita berangkat sekarang. Takut kesiangan." Suara nenek terdengar dari depan pintu kamar. "Sebentar, nek!" sahutku lantas segera menyisir rambut dengan cepat, dan langsung meraih jaket yang tergantung di balik pintu. "Sudah, nek. Ayo!" ujarku antusias. Jam masih menunjukkan pukul 5 subuh. Tapi aku, dan nenek sudah rapi.Aku
17."Siska?!" Paman yang baru saja datang, langsung terkejut melihat Tante Siska yang sedang mengobrol dengan ayah. Dirinya seperti terpana melihat Tante Siska, sampai tak berkedip.Aku lekas memanggil nenek yang berada di belakang. Aku takut paman membuat ulah, dan rencanaku gagal. "Tejo?" panggil nenek begitu sudah sampai di ruang tamu."Ah. Bibi apa kabar?" Paman meraih tangan tua nenek, dan menciumnya takzim. "Alhamdulillah, baik. Tumben kamu pulang?" "Tejo kangen sama bibi," sahut paman dengan mata yang menatap liar kearah Tante Siska. "Bisa biarkan aku, dan Siska ngobrol berdua?" imbuhnya lagi. "Nggak! Tante Siska ada keperluan dengan ayah. Paman kan kangen sama nenek. Kenapa nggak ngobrol sama nenek saja?" Aku langsung menolak permintaan paman mentah-mentah. Dirinya melayangkan tatapan tajamnya padaku. Tapi, aku tak merasa takut sama sekali.Selain karena ada ayah, dan nenek yang akan melindungi ku. Aku juga sudah muak dengan paman. Dari gerak-geriknya aku tau bahwa pam
18Sejak kejadian tadi pagi. Ayah tak pernah lagi terlihat. Aku tak tau dia berada dimana. Sampai makan malam selesai pun ayah tak datang.Aku yang tengah membantu nenek membereskan meja makan, seketika mengerutkan kening, bingung. Melihat nenek yang menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk, serta sayur. "Itu untuk siapa?" tanyaku. Sebab aku, dan nenek sudah makan. Kecuali ayah. Tapi, ayah saja tak tau ada dimana. "Ini untuk ayahmu," jawab nenek seraya menuangkan air kedalam gelas, dan meletakkannya di atas nampan bersama dengan makanan tadi. "Loh, ayah ada dimana? Dari tadi Sandra nggak lihat.""Ayahmu ada di kamar belakang. Kamar almarhum pamannya dulu," sahut nenek, dan langsung berlalu pergi. Aku cepat-cepat membereskan meja makan, dan langsung menyusul nenek. Aku takut salah jalan. Karena rumah ini sangat luas, dengan banyak kamar. Entah kamar mana yang nenek maksud tadi.Aku langsung bernafas lega saat mendapati nenek sedang mengetuk sebuah pintu dekat dengan lorong
19.Ternyata apa yang nenek ucapkan, benar adanya. Dua hari setelah nenek berbicara pada ayah tentang menikahi tante Siska, hari ini nenek mengajakku pergi ke bank untuk mengambil uang tabungannya. Bank itu terletak di dekat tempat aku, dan ayah turun dari angkot kemarin. Aku, dan nenek pergi kesana menggunakan sepeda motor milik almarhum kakek. Sebelum kami sampai di bank. Nenek menyuruhku untuk pergi ke rumah Tante Siska terlebih dahulu. Dengan arahan dari nenek, kami pun sampai di rumah orang tua Tante Siska. "Assalamualaikum." Nenek mengucap salam seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dengan cat tembok warna biru muda itu. "Wa'alaikumussalam, sebentar!" Terdengar suara orang menyahut dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu itu pun terbuka, dan terlihatlah seorang wanita tua berdiri dibaliknya.Wanita tua yang mungkin seumuran dengan nenek itu berdiri menatap aku, dan nenek bergantian."Aku Atun. Masa kamu lupa, Sri," ujar nenek dengan nada gurauan.Wanita t
20.Hari ini tetangga sekitar yang nenek undang, datang untuk membantu persiapan pernikahan ayah.Hari pernikahan ayah akan dilakukan besok. Nenek memberi tau Tante Siska, bahwa dia tak perlu menyiapkan apapun. "Sandra, coba lihat ayahmu. Panggil dia kemari!" titah nenek yang tengah menyiapkan pakaian yang akan ayah kenakan esok saat ijab qobul nya. Sedari tadi pagi ayah tak terlihat. Bahkan, teman-temannya datang pun ayah tak keluar menyambut mereka. Ayah terus mengurung diri di kamar almarhum kakek waktu itu. Entah ini adalah bentuk protesnya pada nenek, atau apa. Yang jelas, ayah jarang sekali menanggapi ucapan nenek. Dirinya akan keluar dari kamar itu, saat jam makan saja. Itupun aku atau nenek yang harus memanggilnya keluar. Tok, tok, tok!"Sandra masuk, ya, Yah." Aku langsung membuka pintu saat tak ada sahutan dari dalam. Ceklek!Aku langsung menghela nafas lelah saat masuk kedalam kamar, dan melihat ayah yang tengah duduk melamun di kursi kayu.Dirinya belum menyadari
21."Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu saat ayah sudah berhasil mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan nafas. "Sah!" seru para saksi, dan tamu undangan dengan riang. "Alhamdulillah." Aku memanjatkan doa, dan rasa syukur atas pernikahan ayah yang berjalan lancar. Air mata haru seketika langsung menetes, saat melihat ayah memberikan tangannya pada tante Siska. Tante Siska lantas mencium tangan ayah dengan takzim.Binar bahagia di wajah Tante Siska, begitu kentara. Senyum manisnya tak pernah luntur dari wajah cantiknya yang terpoles make up tipis. Aku maju mendekati mereka, dan meraih tangan ayah.Ku cium dengan takzim tangannya, dengan mata berkaca-kaca. Perasaanku campur aduk saat ini. Rasa bahagia, haru, dan takut.Aku takut tak bisa mendekatkan mereka. "Selamat menempuh hidup barumu, ayah," ucapku setelah mencium tangannya. Ayah mengangguk, dan langsung memeluk ku. "Apa kamu bahagia, nak?" tanyanya. "Sangat. Sandra sangat bahagia. Berjanjilah untuk selalu m
Sudah hampir satu Minggu Tejo menunggu kabar dari Fatima dengan rasa gelisah. Dia takut Fatima menolak pinangan darinya,namun apapun itu. Tejo sudah berjanji akan menghargai keputusan Fatima.“Mari makan siang, Bang!” Ajak seorang pekerja yang mengurus kebun Tejo.“Duluan saja, Ri. Aku nanti saja.” Tejo menjawab sekenanya. Ya, dia sekarang tengah berada di kebun miliknya. Kebun yang selama ini dia abaikan karena sibuk dengan nikmat duniawi. Dia membiarkan pekerjanya yang mengurus semuanya, dan dia hanya tinggal menerima hasilnya saja.Namun, semenjak sembuh dari sakitnya. Dia perlahan sudah mulai berkebun kembali. “Huuuft!” Tejo membuang nafasnya dengan kasar. Matanya tak lepas menatap layar ponsel dalam genggamannya dengan perasaan gelisah. Dia menunggu kabar dari Dayat, abangnya. Saat mereka hendak meninggalkan rumah Fatima saat itu, Fatima berkata bahwa dia akan menghubungi Siska untuk menyampaikan keputusannya. Kring…. Kring…. Kring! Ponsel dalam genggaman Tejo berdering c
“Tejo, hei!” Dayat menepuk pundak sang adik cukup keras karena kesal. Sedari tadi dia memanggil adiknya itu, namun adiknya sibuk melamun. Tejo menoleh ke arah abangnya dengan wajah kaget. “Ada apa, bang?” Dayat mendengus. “Makan. Dari tadi di panggilin susah banget, Jo. Kalau suka, bilang saja.” “Seandainya dia bukan sahabatnya mbak Siska,” ujar Tejo dengan tatapan menerawang. Dayat berdecak, sedari tadi adiknya sekali berkata begitu. Apa hubungannya dengan Siska?“Ada apa dengan mbak-mu?” “Aku takut mbak Siska ceritain ke dia tentang kelakuanku dulu.” Tejo menjawab sambil tertunduk. Dayat baru tau tentang kegelisahan adiknya. “Kamu sudah berubah. Kalau kamu betul-betul menyukainya, berusahalah. Biar mbak-mu jadi urusan Abang.” Dayat menepuk pundak Tejo pelan, memberi dukungan padanya. ___Acara syukuran di rumah Dayat telah usai. Semua keluarga nenek Atun pun sudah kembali ke kampung. Nasib Tejo semakin tak jelas. Dia sungguh menyukai wanita yang dia temui di rumah Dayat wa
Akhirnya, hari yang dinantikan oleh pasangan Siska, dan Dayat pun tiba. Hari dimana buah cinta mereka lahir kedunia dengan selamat. Dayat mencium pipi merah anak keduanya itu dengan sayang, setelah menyuarakan adzan pada putranya. Ya, Siska telah memberikan seorang putra pada Dayat. Lengkaplah sudah keluarga kecil mereka. “Aku boleh gendong, nggak?” tanya Sandra yang sedari tadi ikut gemas melihat bayi merah dalam gendongan ayahnya. “Nanti kamu jatuhin,” sahut Dayat seraya kembali mencium pipi putranya. “Ma, Sandra boleh gendong adek, ya?” Sandra merengek pada Siska yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien. Siska tersenyum pada Sandra lalu menatap suaminya. “Mas, kasih dulu ke mbak nya!” titahnya yang membuat Sandra berjingkrak kegirangannya. “Ojo pecicilan, nduk. Jatuh adekmu nanti,” ujar Dayat memperingati saat akan menyerahkan bayi itu pada Sandra. “Pake duduk saja, nak.” Siska memberi isyarat pada Dayat agar menyuruh Sandra duduk. Dia merasa ngeri melihat cara
“Assalamualaikum.” ucap Sandra, dan Dayat berbarengan saat sudah sampai di dekat Sari, dan Trisno berdiri. “Wa’alaikumussalam.” Trisno, dan Dayat langsung berjabatan tangan. Sedangkan Sandra langsung mendekati sang ibu, dengan senyum yang merekah. “Silahkan masuk, bang.” Trisno mengajak Dayat untuk masuk kedalam rumahnya, namun Dayat menolak karena Siska sedang sendirian di rumah.Akhirnya, Dayat pun berpamitan pulang setelah berpesan pada Sandra agar tak merepotkan Sari, dan Trisno. “Masuk yuk. Di tungguin sama nenek dari tadi.” Sari merangkul pundak Sandra, dan bersama berjalan masuk kedalam rumah. ___“Cukup, Bu. Aku sudah kenyang.” Sandra menggeser piring makannya kesamping saat Sari hendak menambahkannya nasi kedalam piringnya.“Makan yang banyak, nak,” ujar Sari memaksa. Sandra menggeleng, dan tetap menjauhkan piringnya. Dia sungguh sudah sangat kenyang saat ini. Bagaimana tidak? Sedari tadi Sari terus saja memberikan berbagai makan padanya.Semua lauk, dan sayur yang dia
“Kamu mau ketemu sama ibu, nak?” Siska angkat bicara. Dia berjalan mendekati kursi tempat Sandra duduk, lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap bahu Sandra yang masih bergetar karena isak tangisnya. “Kalau mau ketemu sama ibu, biar mama yang antar,” tawar Siska dengan senang hati. Sandra mengangangkat kepalanya menatap wajah Siska lalu bergantian menatap wajah Dayat. Dayat mengangguk dengan senyum tipisnya. “Boleh, Ma?” “Boleh, dong. Besok pagi Mama antar, ya. Sekalian Mama mau olahraga pagi, soalnya sebentar lagi adikmu datang,” sahut Siska seraya mengelus perutnya yang membesar. Hari persalinannya memang sudah dekat. Itu sebabnya dia harus banyak bergerak agar persalinannya nanti berjalan dengan lancar, itu pesan ibunya setiap kali menghubunginya lewat telpon. ____“Dek, nasinya dimakan. Jangan di liatin aja,” ujar Trisno saat melihat makanan istrinya masih utuh. Sedangkan Sari sedari tadi hanya menatap piringnya dengan wajah murungnya.“Ada yang mengg
“Hei?! Kamu kenapa, nak? Dari tadi mama panggil kok nggak nyahut? Lagi lamunin apa?” Siksa datang, dan menepuk pundak Sandra. “Eh?!” Wajah Sandra langsung terkejut melihat Siska sudah duduk di sampingnya dengan perut yang sudah membuncit. “Kamu kenapa? Ada masalah sama pendaftaran kuliah?” tanya Siska dengan lembut. Tangannya mengusap surai panjang milik Sandra.Sandra langsung menampilkan senyumnya, dan menutup raut wajahnya yang sedih. “Nggak ada, ma. Semuanya lancar, kok.” “Terus, kenapa?” Siska berusaha menilik wajah dari putri sambungnya itu.Namun, Sandra lebih dulu memalingkan wajahnya. “Sandra ke kamar dulu, ya, ma. Ada tugas kuliah,” kilahnya lalu buru-buru berdiri, dan masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Siska kebingungan. Dia menatap punggung putrinya dengan kening mengernyit. Dia baru menyadari bahwa beberapa hari ini Sandra memang terlihat sedikit pendiam. Jarang sekali Sandra bercanda padanya. Senyum yang Sandra tampilkan pun sangat di paksakan. Sis
Trisno mengumpulkan keberaniannya untuk menemui Sari, dan membawanya pulang bagaimana pun caranya. Ucapan Tejo tadi benar-benar sangat mengganggu ketenangannya. Trisno memarkirkan motornya di halaman rumah Wati, lalu perlahan melangkah menuju teras rumah. Tok, tok, tok. Trisno mengetuk pintu tanpa bersuara, dia takut kalau Wati tidak mau membukakannya pintu jika tau dia yang datang. “Iya, sebentar!” Terdengar sahutan dari dalam, tak lama kemudian pintu itupun terbuka dengan Sari yang berdiri di hadapannya. “Mas Trisno?” Nampak jelas wajah Sari yang terkejut bercampur bahagia. Dia meraih tangan Trisno, dan menciuminya dengan takzim. “Masuk, mas.” Sari menggeser tempatnya berdiri, memberi jalan untuk Trisno masuk. Dengan langkah ragu, dan juga takut Trisno masuk kedalam rumah, dan duduk di kursi ruang tamu. Matanya sedari tadi sibuk mencari keberadaan Wati, dan juga suaminya. “Kenapa mas baru datang sekarang?” Sari ikut duduk di samping suaminya dengan bibir mengerucut. Trisno t
Sudah dua hari Sari di bawa pergi oleh Wati, dan suaminya. Dan dua hari juga Trisno seperti orang linglung. Dia sangat frustasi karena merasa seorang diri. Tak ada yang ada di sampingnya untuk membantu. Sikap ibunya pun bertambah dingin padanya, walaupun mereka tinggal di bawah atap yang sama. Trisno yang merasa suntuk memilih untuk keluar rumah, menghirup udara segar sekaligus memperbanyak keberaniannya untuk bertemu dengan kedua kakak iparnya. Trisno melajukan motornya ke arah warung kopi yang berada dipinggir jalan, tempatnya biasa bertemu dengan Nisa, dulu.Tentu saja Trisno kesana bukan untuk mengenang kebersamaannya dengan Nisa. “Bu, kopi pahit satu gelas,”pinta Trisno begitu sudah memarkirkan motornya. Dia lalu berjalan mendekati kursi panjang, tempat para pembeli biasa duduk menikmati pesanannya. “Tumben sendiri? Biasanya sama pasangannya,” celetuk ibu pemilik warung itu. Namun, Trisno hanya menanggapi dengan senyum tipisnya saja. Dia mengabaikan ucapan ibu tersebut, dia
Tok, tok, tok! “Permisi, Trisno! Keluar kamu! Sari!” Wati mengetuk pintu rumah Trisno dengan tak sabaran. Suaranya pun sangat nyaring. Sampai-sampai suaminya menegurnya. “Dek, jangan kaya gitu, malu di liatin tetangga.” Indra menarik tangan Wati yang hendak mengetuk pintu lagi. “Biarin! Biar semua orang tau kalau Trisno laki-laki bejat!” Wati menghempaskan tangannya dengan kuat.“Sari! Keluar, dek! Ini mbak mau jemput kamu!” Sedangkan di dalam rumah nampak Sari yang sudah mulai pulih tengah sarapan bersama Trisno. Bu Darni sedang sakit, jadi dia hanya sarapan bubur lalu kembali beristirahat di kamarnya. “Suara siapa itu, dek?” tanya Trisno urung memasukan sesendok nasi pada mulutnya. “Nggak tau, Mas. Tapi, dari suaranya sepertinya itu Mbak Wati. Kenapa dia berteriak-teriak seperti itu?” Batin Sari mulai gelisah. Dia yakin pasti ada yang tidak beres sehingga kakaknya sampai berteriak seperti itu. “Bentar, mas cek dulu. Kamu habiskan dulu sarapannya, ya.” Trisno mengusap kepala