Mendengar teriakan terebut Pak Ghofur dan Adam pun langsung saja berlari ke dalam rumah. Di sana terlihat Bu Mutia—Ibu Jiya sedang tergeletak di lantai dengan Jiya yang sedang memangku kepalanya.
"Bu, kamu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang juga langsung duduk di lantai kebingungan menatap istrinya tersebut.
"Mari Pak kita bawa ke rumah sakit, saya akan siapkan mobilnya dulu," ucap Adam.
Pak Ghofur pun langsung menyahut, "Iya Nak, tolong ya."
Lalu Adam pun bergegas menyiapkan mobil seperti yang ia katakan, dan tak lama kemudian kembali masuk ke dalam rumah tersebut.
"Sudah Pak, ayo kita bawa ke mobil," ujar Adam sambil bersiap menggendong Bu Mutia.
"Kuat apa tidak?" tanya Jiya sambil menatap tubuh ibunya yang memang terbilang berat badannya berlebih.
"Kuat," sahut Adam lalu dengan cepat mengangkat tubuh bu Mutia bersama Pak Ghofur.
Sepuluh menit berlalu, mereka pun sudah sampai di salah satu rumah sakit kecil yang ada di dekat desa tempat tinggal Jiya.
Setelah sampai, Pak Ghofur pun segera mengurus biaya administrasi sedangkan Jiya kini menunggui ibunya di depan ruang UGD bersama dengan Adam.'Gadis ini sebenarnya tidak buruk juga,' batin Adam sambil menatap wajah sendu Jiya yang sedikit tertutup oleh rambut panjang kecoklatannya.
"Tenanglah ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Adam menenangkan."Ini salahku," gumam Jiya dengan suara lirih.
"Apa?" tanya Adam yang tak jelas mendengar perkataan gadis di sampingnya itu.
Jiya pun mengulang kembali kalimatnya. "Ini salahku, aku yang membuat ibu jadi sakit," ucapnya sambil mengusap-usap wajahnya. "Harusnya aku nggak ngasih tahu ibu tentang foto itu," imbuhnya.
"Foto di ponsel kamu itu?" tanya Adam dengan santai.
Jiya pun langsung menatap Adam. "Kamu tahu?" tanyanya.
"Tentu saja," sahut Adam dengan ringan.
"Oh iya kamu pasti memeriksanya," ucap Jiya sambil tersenyum hambar lalu menatap ke arah lain.
Adam pun kembali berkata, "Kalau menurutku kamu sudah benar memberi tahukan masalah itu, hanya saja caranya kurang tepat."
"Kamu benar Mas, aku memang salah tadi," sahut Jiya dengan suara serak dan sedikit terisak.
"Sudahlah, semuanya pasti akan baik-baik saja," sahut Adam dengan suara yang lebih menenangkan.
"Iya," sahut Jiya sambil mengangguk pelan.
Setelah menunggu selama 15 menit, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD tersebut.
"Bagaimana Dok?" tanya Jiya dengan cepat sambil berjalan ke arah dokter, disusul oleh Pak Ghofur yang juga segera mendekat ke arah dokter tersebut.
Dokter tersebut pun menjelaskan kondisi bu Mutia dengan tenang.
"Syukurlah jika istri saya tidak apa-apa Dok," ucap Pak Ghofur sambil mengelus dada lega.
"Iya Pak, tapi tolong dijaga kadar gula ibunya ya," ujar Dokter tersebut dengan ramah.
"Baik Dok saya mengerti," sahut Pak Ghofur dengan sigap.
Setelah itu Dokter pun meninggalkan tempat tersebut.
"Maafkan aku Yah, ini semua gara-gara aku," ujar Jiya dengan perasaan bersalah.
"Ndak apa-apa tapi lain kali jangan diulangi, kamu tahu sendiri ibumu gampang seperti itu," sahut Pak Ghofur sambil mengusap lembut kepala anak gadisnya tersebut.
Sesaat kemudian Adam pun berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Jiya dan Pak Ghofur. "Baiklah karena ibu Mutia sudah stabil, saya permisi dulu," pamit Adam dengan sopan.
"Iya Nak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya," ujar Pak Ghofur sambil menepuk lembut pundak Adam.
"Iya, sama-sama," sahutnya ringan.
"Besok kita bicarakan lagi masalah tanah dan sebagainya tadi. Dan jika memang kamu mau pindah sekarang, biar Jiya yang menunjukkan tempatnya," ujar Pak Ghofur dengan tenang.
"Tak apa, besok saja saya pindahnya," sahut Adam.
"Baiklah kalau begitu," sahut Pak Ghofur. Lalu Pak Ghofur pun menatap ke arah Jiya. "Nduk, kamu hantarkan Nak Adam."
"Baik Yah," sahut Jiya lalu menatap ke arah Adam dan memberi tanda pada laki-laki di hadapannya itu dengan isyarat matanya.
Setelah itu mereka pun berjalan dengan santai melewati lorong rumah sakit tersebut.
"Terima kasih ya Mas," ujar Jiya lalu refleks menutup mulutnya.
"Kamu kenapa?" tanya Adam yang terkejut melihat sikap Jiya tersebut.
"Maaf ya Pak, aku ndak sadar kalau sejak tadi manggil kamu mas," ucap Jiya sambil tersenyum canggung.
"Oh itu. Kamu bukan bawahanku, jadi tidak masalah memanggilku dengan sebutan apa pun," sahut Adam dengan santai.
'Ternyata orangnya nggak sebatu kelihatannya,' batin Jiya sambil mengingat kejadian tadi pagi dan mulai tersenyum-senyum sendiri.
"Kamu kenapa lagi?" tanya Adam dengan tatapan anehnya menyoroti kelakuan Jiya.
Jiya pun langsung menyahut, "Ndak apa-apa aku hanya membandingkan kejadian tadi pagi dan sekarang."
"Kamu menertawai aku?"
"Eh tidak-tidak mana mungkin," jawab Jiya dengan cepat.
Adam kemudian menghela napasnya. "Aku menilai orang dari pribadinya. Dan Pak Ghofur itu orang yang bijak, aku sangat menghargai beliau," terangnya.
"Benarkah?" tanya Jiya yang terkejut mendengar pujian untuk ayahnya. "Apa benar ayah seperti itu?"
"Sebenarnya kamu itu anaknya atau bukan?" tanya Adam sambil menggeleng perlahan menanggapi pekataan Jiya.
Jiya pun langsung menyahut, "Ya anaknya lah."
Setelah itu Jiya dan Adam pun terus mengobrol dan berdebat sambil menyusuri lorong rumah sakit itu hingga sampai di parkiran. Bahkan sampai di sana pun mereka belum selesai berdebat, hingga akhirnya ...
"Diam!" bentak Adam yang sudah tidak tahan lagi berdebat dengan gadis di hadapannya itu.
Jiya pun tersentak dan langsung menutup mulut Adam dengan telapak tangannya.
"Jangan berisik," ucap seseorang yang sedang ada di dekat parkiran tersebut.
Lalu Jiya pun tersenyum canggung. "Maaf," ucapnya sambil sedikit menundukkan kepalanya sebagai bentuk sopan.
'Gadis ini sungguh berani,' geram Adam di dalam hati, lalu menepis tangan Jiya dengan kasar.
"Ishh," desis Jiya kerena merasakan sakit akibat tepisan tersebut.
Dan setelah bertatapan sejenak ala sinetron, kemudian Adam pun masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apa-apa lagi.
'Aku cabut kata-kataku, dia itu memang batu,' batin Jiya sambil menatap mobil Adam yang sudah pergi meninggalkan parkiran tersebut.
*
Setengah jam kemudian.
Setelah meninggalkan rumah sakit, Adam pun langsung kembali ke hotel tempatnya menginap selama beberapa hari itu. Tapi ketika baru saja sampai di kamarnya tiba-tiba ponsel yang ada di dalam sakunya pun berdering.
"Halo," ujar Adam saat mengangkat panggilan tersebut.
"Dam, apa Bumi datang ke sana?" Terdengar suara seorang wanita yang sedang gelisah di seberang panggilan tersebut.
"Apa maksud Mama?" tanya Adam yang terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Bumi menghilang entah sejak kapan dia kabur, ponselnya juga tak bisa dihubungi."
"Lalu?" tanya Adam memburu.
"Lalu setelah menggeledah kamarnya, kami menemukan surat yang isinya dia akan menyusul kamu," terang orang yang ada di dalam panggilan tersebut sambil terisak.
Adam pun langsung memijat keningnya sambil melangkah dan duduk di sofa yang ada di kamar itu. "Baiklah Ma kamu tenang dul—" Kalimat Adam terhenti ketika ada panggilan lain masuk ke dalam ponselnya.
"Nomor baru," gumam Adam ketika melihat nomor yang tertera di layar ponselnya, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut.
Kemudian ...
"Halo Pa," ucap seorang anak kecil yang ada di dalam panggilan tersebut.
"Bumi, kamu di mana?" tanya Adam yang langsung mengenali suara anak tersebut.
"Aku sedang naik mobil Pa," jawab Bumi dengan santai.
Kepala Adam pun terasa makin berdenyut. "Kamu bersama siapa?" tanyanya dengan cepat.
"Aku sama Om Barak," sahut anak itu ringan.
"Berikan ponsel ini padanya!" bentak Adam.
Beberapa saat kemudian.
"Halo Tuan."
"Kalian di mana dan kenapa kamu tidak memberitahuku lebih dulu!" teriak Adam yang sudah sangat kesal.
"Maafkan saya Tuan, ponsel saya disita oleh Tuan kecil dan dia mengancam akan membakar tempat saya jika ...
"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan."Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega."Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam."Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat."Apa kalian hanya berdua?""Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat."Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya."Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja
PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam. "Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?""Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?""Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Mas, lepas atau aku teriak?" ancam Jiya yang saat ini berada di dalam pelukan Adam."Teriak saja," tantang Adam yang saat ini masih terus memeluk Jiya dengan erat."Kamu gila," ucap Jiya sembari mendorong tubuh Adam dengan kuat, hingga akhirnya dia terlepas. "Dengar ya Mas, itu tadi benar-benar link yang diberikan oleh Nindy. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan.""Oh," sahut Adam yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu, tetapi sengaja ingin mengerjain istrinya itu.Setelah beberapa saat Jiya mengotak-atik ponselnya, kemudian ia pun langsung menunjukkan chat sahabatnya itu pada Adam. "Tuh, lihat! Link itu benar-benar dari Nindy. Dia itu memang kelihatannya polos, tapi otaknya penuh hal-hal mesum," bebernya."Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Adam sembari beralih menatap wajah Jiya yang sedang serius.Langsung saja Jiya berekspresi aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu saja otakku ini bersih, tidak seperti otak kamu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Oh ya?" sa
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang salah?" tanya Adam karena tentu saja tahu kalau ibu mertuanya itu sedang menangis."Itu bukan Ibuk," bisik Jiya pada Adam yang ingin melangkah ke arah wanita yang sedang mencuci piring.Dan ketika Adam tengah mencoba mencerna maksud pertanyaan Jiya, tiba-tiba terdengar sahutan. "Tidak apa-apa Nak Adam," jawab Bu Mutia sembari berbalik dan menatap Adam dengan tenang.Seketika, Jiya yang tadi bersembunyi di belakang Adam pun langsung keluar dari persembunyiannya. "Ah, Ibuk … nakutin aja," protesnya karena berpikir kalau Ibunya itu makhluk lain."Nakutin apa?" Bu Mutia tak mengerti maksud anak semata wayangnya itu.Lalu …."Apa ada masalah? Tolong Anda ceritakan. Saya akan membantu sebis—""Ndak-ndak, ndak usah. Ibuk ndak apa-apa," potong Bu Mutia sembari mengukir senyum di bibirnya.Tentu saja sebagai anak satu-satunya, Jiya langsung bisa menangkap kalau Ibunya itu sedang berpura-pura. Kemudian dengan cepat ia menoleh ke arah Adam dan langsung berkata
Adam dengan cepat menangkap tubuh Jiya yang sempat oleng karena tersenggol motor yang terlihat sangat sengaja ingin menabrak istri Adam itu."Ada yang terluka?" tanya Adam sembari menatap Jiya yang kini ada di dalam pelukannya."Tidak, hanya sedikit ngilu di punggung. Mungkin kesenggol tadi," jawab Jiya yang kini meringis sembari memijat-mijat punggungnya.Langsung saja Adam membalik tubuh Jiya. "Biar aku lihat," ucap Adam."Eh, ndak. Jangan-jangan!" tolak Jiya sembari kembali berbalik."Kalau begitu kita pulang. Nanti biar diobati oleh Mama atau Ibumu," sahut Adam."Jangan juga. Jangan membuat mereka khawatir karena hal ini. Ini sungguh ndak apa-apa.""kalau begitu biar aku lihat," pinta Adam dengan ekspresi serius di wajahnya."Jangan," tolak Jiya lagi.Adam lalu memijat-mijat keningnya karena melihat tingkah istrinya yang terkadang seperti anak kecil itu. "Kalau tidak dilihat, bagaimana kalau itu terluka dan infeksi?" Adam kembali membalik tubuh Jiya dengan sedikit pak
"Kalian juga. Kenapa kalian tidak mengundangku? Apa kalian masih marah padaku atas kejadian waktu itu?" tanya wanita yang baru saja sampai di tempat itu.'Apa aku harus menjawab jujur toh, biar dia sadar,' pikir Jiya sembari menghela napas panjang."Ada apa, apa kamu tidak suka dengan kedatanganku? Bukankah kita ini masih saudara?" Tentu saja gadis itu menargetkan Jiya saat ini."Tentu saja tidak, kenapa kamu harus berpikir begitu," sahut Jiya dengan tenang."Milea, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Nyonya Titi dengan hangat."Kenapa Tante, apa Tante tidak senang aku datang ke sini? Aku ke sini untuk memberikan selamat sekaligus minta maaf atas kekonyolanku waktu itu." Milea melangkah ke arah Jiya dan dengan cepat meraih telapak tangannya.'Apa lagi yang ingin dia lakukan? Apa mukanya itu pakai campuran semen tiga roda, kokoh banget,' batin Jiya yang merasa takjub pada sikap 'muka tembok' wanita di depannya itu. Sebab, andaikah dia yang berada di posisi Milea, dia pasti tidak akan
Beberapa jam berlalu, Adam dan Jiya yang sudah selesai berdandan pun segera digiring oleh sang perias pengantin untuk pergi ke tempat resepsi. Mereka berdua pun menaiki tangga dekorasi dan berdiri di depan banyak orang layaknya seorang pengantin."Mas Adam Wiratamaja jangan tegang-tegang Mas, malam pertamanya sudah kemarin malam kan Mas?" canda si MC untuk mencairkan suasana.Seketika Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam."Nah, seperti itu benar. Kalau Masnya kenapa-napa langsung ditengok ya Mbak Jiya," seloroh si MC sembari tertawa lepas yang disusul dengan tawa para tamu undangan.Sontak saja wajah Jiya memerah karena malu."Apa ini memang seperti ini?" tanya Adam dengan suara yang sangat pelan.Jiya pun terkejut mendengar pertanyaan tersebut. 'Ah, aku hampir lupa kalau dia belum mengerti hal ini,' batinnya."Iya Mas, kalau di sini memang seperti ini. Pokoknya kamu ndak boleh tersinggung atau menjawab apa pun, itu semua hanya lelucon untuk menghibur tamu undangan. Senyu
Jiya pun membalik bungkus tersebut dan membaca petunjuk penggunaannya. Dan seketika matanya membulat."Katakan, siapa yang mengirim ini?" tanya Adam sembari membuang benda tersebut ke dalam tempat sampah yang ada di kamar itu.Lalu tiba-tiba saja tawa Jiya pun meledak. "Ini pasti mereka," ujarnya sambil menyeka bulir air mata yang sempat menetes di matanya.'Mereka siapa, apa dia pernah mempunyai hubungan dengan banyak orang sekaligus,' pikir Adam ketika mendengar kata 'mereka' dari mulut Jiya."Hei, apa yang kamu pikirkan?" tanya Jiya sembari mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi aneh di wajah Adam."Kamu memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Adam sembari menatap Istrinya itu dengan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.Jiya pun terdiam sejenak memikirkan maksud pertanyaan Adam yang terdengar aneh itu, hingga ...."Hei, apa kamu pikir aku ini yang seperti itu toh Mas?""Yang seperti itu?" tanya Adam balik."Mas, aku itu ndak seperti itu. Kan sudah aku bilang aku
Adam dan Jiya pun langsung menoleh ke arah pintu kamar tersebut. "Siapa," gerutu Jiya sembari melangkah ke arah pintu yang berada tak jauh darinya.Klak!"Ji, ayo cepat ndak ada waktu," ujar orang yang tadi mengetuk pintu kamar sembari menarik tangan Jiya ketika Jiya baru saja membuka pintu tersebut."Kenapa toh Nin? Aku mau ngelurusin punggung sebentar," keluh Jiya yang enggan untuk melangkah.Nindy pun menghela napas panjang. "Nanti agak malaman saja malam pertamanya, sekarang kamu harus ikut aku milih baju untuk besok, itu yang ngerias sudah datang," jawabnya.Sesaat kemudian, Adam pun ikut keluar mendengar pertanyaan Nindy dan istrinya itu. "Ada apa ini?" tanyanya yang pura-pura belum mendengar apa pun."Eh, ternyata Pak Adam di sini," ucap Nindy sembari cengengesan. "Itu Pak ... eh iya Mas Adam, itu jiyanya saya bawa dulu untuk milih baju resepsi besok apa boleh?""Boleh, kami juga belum mulai kok," jawab Adam sembari melirik ke arah Jiya.Seketika wajah Nindy memera
Brak! Suara mengejutkan itu muncul dari luar rumah.Semua orang yang ada di dalam rumah pun bergegas keluar, termasuk Jiya dan Adam. Dan ketika mereka sampai di luar, terlihat seseorang yang baru saja Jiya dan Sherly bicarakan sedang berada di tanah dengan motornya yang tergeletak tak jauh darinya."Mas!" teriak Sherly yang langsung saja berlari ke arah calon suaminya itu.Namun tak lama kemudian terlihat Hendra yang bangun begitu saja dan justru mendorong Sherly yang mencoba membantunya bangun tadi. "Kalian, pasangan terkutuk!" teriaknya.Sontak saja mata Jiya terbelalak mendengar hal itu. 'Apa dia memakiku dan Mas Adam?' batinnya.Sesaat kemudian ia pun menoleh ke arah Adam yang berdiri tepat di sampingnya. "Mas, apa—"Brak! Kembali lagi terdengar keributan yang ternyata disebabkan oleh Hendra yang menendang tangga yang ada di dekatnya.Sontak saja para laki-laki yang sedang memasang dekorasi pun berkumpul dan mulai memperhatikan setiap gerakan Hendra yang terlihat seperti orang lin
Keesokan harinya. Seperti yang di rencanakan, setelah dari pagi memulai perjalanan, akhirnya sore harinya Jiya dan Adam pun sampai di Tulungagung. "Kenapa ini?" Jiya benar-benar terkejut karena saat ini di depan rumahnya terlihat sebuah tenda besar terpasang memenuhi halaman rumahnya.Dan ketika sopir sudah memarkirkan mobilnya, Jiya pun dengan cepat turun dari mobil tersebut dan berlari kecil melewati jalan samping rumahnya. "Mbak, ini ada apa?" tanya Jiya ketika melihat salah satu tetangganya sedang membawa ember di tangannya."Loh, alhamdulillah Ji, kapan kamu sampai?" tanya tetangganya balik tanpa mejawab pertanyaannya terlebih dahulu."Baru saja Mbak, ini juga belum sampai masuk rumah. Lha tapi itu loh Mbak ada apa?" tanya Jiya sembari menunjuk ke arah para laki-laki yang seperti sedang menata panggung.Wanita yang ada di depan Jiya itu pun menoleh ke arah apa yang saat ini di tunjuk oleh Jiya. "Itu panggung. Lha katanya kamu sudah menikah di Jakarta?" tanyanya balik.