PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam.
"Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.
Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?"
"Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.
Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?"
"Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
Jiya pun menggeleng pelan. "Ck-ck-ck," Ia berdecak remeh. "Mas Hendra … Mas Hendra, kamu tidak lihat aku sedang membuatkan kopi untuk Mas Adam. Dan dia ini calon penyewa rumah ini, jadi di mana yang salah?"
Hendra pun terdiam dan langsung melirik ke arah Adam. "Aku tidak mau tahu, pernikahan kita satu bulan lagi akan tetap terjadi. Jika tidak …"
"Apa?" sahut Jiya dengan berani.
"Lihat saja nanti," ancam Hendra sambil menunjuk wajah Jiya disertai tatapan tajamnya.
Lalu Hendra pun keluar begitu saja dari rumah tersebut.Setelah itu Jiya pun langsung menoleh dan menatap Adam yang masih berdiri sambil memegangi pipinya.
"Sakit Mas?" tanyanya.
"Sa—" Belum selesai Adam menjawab tiba-tiba Jiya berlari begitu saja meninggalkan rumah tersebut.
Adam pun terkejut melihat sikap Jiya tersebut. "Gadis aneh itu kemana lagi," gumamnya.Dan beberapa menit kemudian, Jiya pun kembali dengan sebuah es batu dan handuk kecil di tangannya. "Tunggu sebentar aku kompreskan," ujarnya lalu pergi ke dapur dan menyiapkan kompres tersebut.
"Kamu sepertinya sangat terbiasa dengan hal ini?" tanya Adam saat Jiya kembali ke ruang tamu.
"Ibuk yang dulu suka mengompres aku begini jika aku pulang berantem," sahut Jiya dengan santai sambil duduk di dekat Adam.
"Mas, maaf ya kamu yang tidak tahu apa-apa jadi kena pukul seperti ini," ucap Jiya sambil mengompres sudut bibir Adam yang memerah dengan hati-hati.
"Ya," sahut Adam singkat,
Tiba-tiba Jiya terpaku saat menatap wajah Adam.
'Laki-laki ini memang ganteng,' batinnya sambil menatap bibir tipis Adam dengan hidung mancung dan mata hitam tajam bak elang membuat Jiya lupa berkedip untuk sesaat, di tambah dengan rahang tegas yang dihiasi jambang rapi sungguh membuat darah Jiya tiba-tiba berdesir dan sontak membuat wajahnya memerah."Belum selesai melihatnya," ucap Adam yang langsung membuyarkan lamunan Jiya.
Jiya yang terkejut dan langsung mengalihkan pandangannya, ia pun dengan cepat meletakkan handuk di tangannya ke dalam wadah kompres. "Kamu kompres saja sendiri," ujarnya yang sudah salah tingkah.
"Dasar aneh," celetuk Adam lalu mengambil kompres tersebut.
"Hei jangan mengatakan hal seperti itu, aku tidak aneh," sahut Jiya lalu mengambil kopi miliknya.
Tapi Adam tak menjawab perkataan Jiya tersebut dan memilih mengomentari hal lain. "Oh ya aku hanya ingin kamu tahu, aku ini laki-laki normal," ujarnya santai.
Jiya pun terkejut sekaligus bingung mendengar perkataan tersebut. Ia pun langsung menatap laki-laki di sampingnya itu sambil mengernyitkan dahinya.
Dan Adam pun menanggapi tatapan Jiya tersebut dengan matanya yang turun ke bawah. Ia menatap tepat ke bagian kancing kemeja Jiya yang lepas akibat insiden tadi.
Jiya pun langsung mengarahkan pandangannya ke bawah, matanya terbelalak saat melihat kedua bukit yang ber-cup C miliknya terlihat mengintip di sana.
"Isssh," desisnya lalu dengan cepat menutup pakaiannya dengan rapat."Tenang saja, aku juga tidak tertarik melihatnya," tandas Adam lalu dengan santai menyeruput kopi buatan Jiya.
Jiya pun langsung memberikan ekspresi aneh di wajahnya. 'Dia pasti aslinya nggak normal,' gerutu Jiya di dalam hati.
"Baiklah-baiklah terserah kamu, aku juga nggak tertarik dengan laki-laki model batu marmer seperti kamu."'Batu marmer,' batin Adam yang merasa geli dengan sebutan yang disematkan untuknya itu.
"Oh iya lalu bagaimana, kamu suka dengan rumah ini atau tidak?" tanya Jiya dengan ketus.
"Suka," sahut Adam dengan santai lalu menyesap kopinya lagi.
"Terus barang-barang kamu?"
Adam pun meletakkan gelas kopi tersebut ke tatakannya. "Barangku ada di tas," sahutnya sambil menunjuk ke arah tas punggungnya yang saat ini ada di lantai.
Jiya pun mengernyitkan keningnya saat melihat tas punggung tersebut. 'Bukannya dia orang kaya, kenapa dia tidak membawa koper?' pikirnya.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adam yang juga penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh gadis di depannya itu.
"Tidak, aku hanya penasaran kenapa orang kaya seperti kamu ingin menyewa rumah ini. Kenapa tidak tinggal saja di hotel," jawabnya dengan santai. "Tapi sudahlah itu juga bukan urusanku, yang penting kamu tidak aneh-aneh di sini." imbuh Jiya yang kemudian meninggalkan rumah itu begitu saja sambil terus memegangi kemejanya.
Adam pun kembali mengangkat gelas kopinya dengan santai. "Dasar gadis aneh," gumamnya sebelum menyeruput kopi itu lagi.
Setelah itu Adam pun dengan santai menghabiskan kopi ditangannya, lalu segera memilih salah satu kamar untuk tempatnya istirahat hari itu.
*
Malam harinya.
Tok! Tok! Tok! Pintu rumah tersebut diketuk.
"Ya, tunggu sebentar," sahut Adam lalu dengan cepat memakai kaos dan membuka pintu rumah tersebut.
Dan ketika pintu tersebut dibuka terlihatlah seorang gadis yang sedang berdiri di depan pintu rumah tesebut.
"Tingginya," gumam gadis itu sambil menatap Adam dari bawah hingga atas.
Adam pun mengernyitkan dahinya ketika gadis dengan pakaian ketat di hadapannya itu memandangi dirinya seperti sebuah patung. "Siapa kamu?" tanya Adam dengan dingin.
Gadis itu pun tersentak. "Ah maaf-maaf, perkenalkan aku Sherin keponakannya Pak Ghofur," ujarnya ramah sambil mengulurkan tangan.
Adam pun menatap tangan Sherin dengan acuh. 'Oh pantas sepertinya aku pernah melihat gadis ini, ternyata dia yang ada di ponselnya gadis aneh,' batin Adam.
Karena sadar jabat tangannya tak diterima, Sherin pun menarik kembali tangannya. "Emm, maaf kalau aku lancang. Aku ke sini—"
"Iya kamu memang lancang," sahut gadis lain yang baru saja tiba di tempat itu.
Sherin pun langsung menoleh. "Jiya," gumamnya.
"Kenapa, kaget?" sungut Jiya.
"Tidak, aku hanya—"
Jiya pun langsung menyahut. "Hanya apa? Hanya ingin menggoda atau hanya ingin menawarkan jasa?"
Mendengar ucapan Jiya, Sherin pun langsung terisak dan mulai mengiba. "Aku tahu kita punya salah paham Mbak tapi kamu jangan memfitnah aku di depan orang lain. Dia itu orang baru, apa kamu sengaja membuat namaku buruk di matanya?"
Jiya pun menggeleng perlahan mendengar perkataan sepupunya itu. "Sudahlah kamu diam, aku bosan meladeni tingkahmu. Sana pergi ke rumah ayah, Mas Hendra ada di sana," usirnya.
Lalu Sherin pun kembali menyahut, "Mbak kamu tega, aku tidak ada apa-apa dengan Mas Hendra," kemudian ia menatap ke arah Adam. "Mas kamu jangan percaya pada Mbak Jiya, semua ini—"
"Husssst!" Jiya menyela. "Laki-laki ganteng, tinggi, brewok ini sudah melihat foto kamu. Jadi nggak usah membuat drama di sini, atau kamu ingin mencoba merubah drama menjadi tragedi?" tanya Jiya dengan ancaman yang tersirat di dalamnya.
Sherin pun mundur beberapa langkah ketika melihat senyum menyeringai yang menyertai ancaman Jiya tersebut.
"Kamu mau pergi atau ..." Jiya menggantung kalimatnya sambil memainkan gunting yang ada di tangannya dengan santai.
Dan seperti yang seharusnya, Sherin pun berbalik dan segera melangkah pergi tapi tiba-tiba ...
BRUGHHH!
"Ahhh! Sialan!" ucap Sherin ketika seseorang menabraknya hingga terjatuh.
"Aduhh!" teriak anak itu bersamaan.
Lalu Sherin pun segera bangun dan memaki, "Hei anak setan! Kenapa malam-malam keluyuran, minggir!" ucapnya sambil menendang kaki anak tersebut dengan kesal.
Anak itu pun meringis menahan sakit akibat tendangan Sherin.
Jiya yang melihat hal itu, ia pun segera mengangkat tubuh anak laki-laki tersebut. "Kamu tuh yang setan! Main nendang anak kecil seenaknya, pergi nggak!"—ia mengambil batu bata di dekatnya—"Kalau nggak pergi aku sambit!" teriaknya sambil benar-benar melempar batu bata tersebut ke arah Sherin.
Lalu ...
"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" tanya seseorang yang muncul setelahnya.
Kemudian anak yang ada di gendongan Jiya pun berteriak, "Dasar bodoh! Aku hampir mati!"
'Whatttt!' batin Jiya sambil menatap aneh ke arah anak yang digendongnya itu.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Kamu ….""Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya."Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"Jiya pun mengernyitkan keningnya."Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, m
Jiya pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh orang-orang yang ada di ruangan tersebut."Kenapa?" tanya Jiya pada Bumi yang kini berdiri tidak jauh dari pintu masuk ruangan tersebut."Itu," ujar Bumi sambil menunjuk ke arah tempat parkir.Jiya dan semua orang pun langsung menatap ke arah parkiran dan melihat beberapa orang berlari menjauh dari tempat itu."Berhenti!" teriak Jiya sambil berlari ke arah orang tersebut.Tapi saat Jiya baru beberapa langkah, orang itu sudah lebih dulu kabur bersama temannya yang telah menunggu tidak jauh dari tempat parkir."Sial!" teriak Jiya kesal."Sudahlah, mereka sudah kabur," ujar teman Jiya yan
"Mas, lepas atau aku teriak?" ancam Jiya yang saat ini berada di dalam pelukan Adam."Teriak saja," tantang Adam yang saat ini masih terus memeluk Jiya dengan erat."Kamu gila," ucap Jiya sembari mendorong tubuh Adam dengan kuat, hingga akhirnya dia terlepas. "Dengar ya Mas, itu tadi benar-benar link yang diberikan oleh Nindy. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan.""Oh," sahut Adam yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu, tetapi sengaja ingin mengerjain istrinya itu.Setelah beberapa saat Jiya mengotak-atik ponselnya, kemudian ia pun langsung menunjukkan chat sahabatnya itu pada Adam. "Tuh, lihat! Link itu benar-benar dari Nindy. Dia itu memang kelihatannya polos, tapi otaknya penuh hal-hal mesum," bebernya."Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Adam sembari beralih menatap wajah Jiya yang sedang serius.Langsung saja Jiya berekspresi aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu saja otakku ini bersih, tidak seperti otak kamu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Oh ya?" sa
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang salah?" tanya Adam karena tentu saja tahu kalau ibu mertuanya itu sedang menangis."Itu bukan Ibuk," bisik Jiya pada Adam yang ingin melangkah ke arah wanita yang sedang mencuci piring.Dan ketika Adam tengah mencoba mencerna maksud pertanyaan Jiya, tiba-tiba terdengar sahutan. "Tidak apa-apa Nak Adam," jawab Bu Mutia sembari berbalik dan menatap Adam dengan tenang.Seketika, Jiya yang tadi bersembunyi di belakang Adam pun langsung keluar dari persembunyiannya. "Ah, Ibuk … nakutin aja," protesnya karena berpikir kalau Ibunya itu makhluk lain."Nakutin apa?" Bu Mutia tak mengerti maksud anak semata wayangnya itu.Lalu …."Apa ada masalah? Tolong Anda ceritakan. Saya akan membantu sebis—""Ndak-ndak, ndak usah. Ibuk ndak apa-apa," potong Bu Mutia sembari mengukir senyum di bibirnya.Tentu saja sebagai anak satu-satunya, Jiya langsung bisa menangkap kalau Ibunya itu sedang berpura-pura. Kemudian dengan cepat ia menoleh ke arah Adam dan langsung berkata
Adam dengan cepat menangkap tubuh Jiya yang sempat oleng karena tersenggol motor yang terlihat sangat sengaja ingin menabrak istri Adam itu."Ada yang terluka?" tanya Adam sembari menatap Jiya yang kini ada di dalam pelukannya."Tidak, hanya sedikit ngilu di punggung. Mungkin kesenggol tadi," jawab Jiya yang kini meringis sembari memijat-mijat punggungnya.Langsung saja Adam membalik tubuh Jiya. "Biar aku lihat," ucap Adam."Eh, ndak. Jangan-jangan!" tolak Jiya sembari kembali berbalik."Kalau begitu kita pulang. Nanti biar diobati oleh Mama atau Ibumu," sahut Adam."Jangan juga. Jangan membuat mereka khawatir karena hal ini. Ini sungguh ndak apa-apa.""kalau begitu biar aku lihat," pinta Adam dengan ekspresi serius di wajahnya."Jangan," tolak Jiya lagi.Adam lalu memijat-mijat keningnya karena melihat tingkah istrinya yang terkadang seperti anak kecil itu. "Kalau tidak dilihat, bagaimana kalau itu terluka dan infeksi?" Adam kembali membalik tubuh Jiya dengan sedikit pak
"Kalian juga. Kenapa kalian tidak mengundangku? Apa kalian masih marah padaku atas kejadian waktu itu?" tanya wanita yang baru saja sampai di tempat itu.'Apa aku harus menjawab jujur toh, biar dia sadar,' pikir Jiya sembari menghela napas panjang."Ada apa, apa kamu tidak suka dengan kedatanganku? Bukankah kita ini masih saudara?" Tentu saja gadis itu menargetkan Jiya saat ini."Tentu saja tidak, kenapa kamu harus berpikir begitu," sahut Jiya dengan tenang."Milea, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Nyonya Titi dengan hangat."Kenapa Tante, apa Tante tidak senang aku datang ke sini? Aku ke sini untuk memberikan selamat sekaligus minta maaf atas kekonyolanku waktu itu." Milea melangkah ke arah Jiya dan dengan cepat meraih telapak tangannya.'Apa lagi yang ingin dia lakukan? Apa mukanya itu pakai campuran semen tiga roda, kokoh banget,' batin Jiya yang merasa takjub pada sikap 'muka tembok' wanita di depannya itu. Sebab, andaikah dia yang berada di posisi Milea, dia pasti tidak akan
Beberapa jam berlalu, Adam dan Jiya yang sudah selesai berdandan pun segera digiring oleh sang perias pengantin untuk pergi ke tempat resepsi. Mereka berdua pun menaiki tangga dekorasi dan berdiri di depan banyak orang layaknya seorang pengantin."Mas Adam Wiratamaja jangan tegang-tegang Mas, malam pertamanya sudah kemarin malam kan Mas?" canda si MC untuk mencairkan suasana.Seketika Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam."Nah, seperti itu benar. Kalau Masnya kenapa-napa langsung ditengok ya Mbak Jiya," seloroh si MC sembari tertawa lepas yang disusul dengan tawa para tamu undangan.Sontak saja wajah Jiya memerah karena malu."Apa ini memang seperti ini?" tanya Adam dengan suara yang sangat pelan.Jiya pun terkejut mendengar pertanyaan tersebut. 'Ah, aku hampir lupa kalau dia belum mengerti hal ini,' batinnya."Iya Mas, kalau di sini memang seperti ini. Pokoknya kamu ndak boleh tersinggung atau menjawab apa pun, itu semua hanya lelucon untuk menghibur tamu undangan. Senyu
Jiya pun membalik bungkus tersebut dan membaca petunjuk penggunaannya. Dan seketika matanya membulat."Katakan, siapa yang mengirim ini?" tanya Adam sembari membuang benda tersebut ke dalam tempat sampah yang ada di kamar itu.Lalu tiba-tiba saja tawa Jiya pun meledak. "Ini pasti mereka," ujarnya sambil menyeka bulir air mata yang sempat menetes di matanya.'Mereka siapa, apa dia pernah mempunyai hubungan dengan banyak orang sekaligus,' pikir Adam ketika mendengar kata 'mereka' dari mulut Jiya."Hei, apa yang kamu pikirkan?" tanya Jiya sembari mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi aneh di wajah Adam."Kamu memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Adam sembari menatap Istrinya itu dengan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.Jiya pun terdiam sejenak memikirkan maksud pertanyaan Adam yang terdengar aneh itu, hingga ...."Hei, apa kamu pikir aku ini yang seperti itu toh Mas?""Yang seperti itu?" tanya Adam balik."Mas, aku itu ndak seperti itu. Kan sudah aku bilang aku
Adam dan Jiya pun langsung menoleh ke arah pintu kamar tersebut. "Siapa," gerutu Jiya sembari melangkah ke arah pintu yang berada tak jauh darinya.Klak!"Ji, ayo cepat ndak ada waktu," ujar orang yang tadi mengetuk pintu kamar sembari menarik tangan Jiya ketika Jiya baru saja membuka pintu tersebut."Kenapa toh Nin? Aku mau ngelurusin punggung sebentar," keluh Jiya yang enggan untuk melangkah.Nindy pun menghela napas panjang. "Nanti agak malaman saja malam pertamanya, sekarang kamu harus ikut aku milih baju untuk besok, itu yang ngerias sudah datang," jawabnya.Sesaat kemudian, Adam pun ikut keluar mendengar pertanyaan Nindy dan istrinya itu. "Ada apa ini?" tanyanya yang pura-pura belum mendengar apa pun."Eh, ternyata Pak Adam di sini," ucap Nindy sembari cengengesan. "Itu Pak ... eh iya Mas Adam, itu jiyanya saya bawa dulu untuk milih baju resepsi besok apa boleh?""Boleh, kami juga belum mulai kok," jawab Adam sembari melirik ke arah Jiya.Seketika wajah Nindy memera
Brak! Suara mengejutkan itu muncul dari luar rumah.Semua orang yang ada di dalam rumah pun bergegas keluar, termasuk Jiya dan Adam. Dan ketika mereka sampai di luar, terlihat seseorang yang baru saja Jiya dan Sherly bicarakan sedang berada di tanah dengan motornya yang tergeletak tak jauh darinya."Mas!" teriak Sherly yang langsung saja berlari ke arah calon suaminya itu.Namun tak lama kemudian terlihat Hendra yang bangun begitu saja dan justru mendorong Sherly yang mencoba membantunya bangun tadi. "Kalian, pasangan terkutuk!" teriaknya.Sontak saja mata Jiya terbelalak mendengar hal itu. 'Apa dia memakiku dan Mas Adam?' batinnya.Sesaat kemudian ia pun menoleh ke arah Adam yang berdiri tepat di sampingnya. "Mas, apa—"Brak! Kembali lagi terdengar keributan yang ternyata disebabkan oleh Hendra yang menendang tangga yang ada di dekatnya.Sontak saja para laki-laki yang sedang memasang dekorasi pun berkumpul dan mulai memperhatikan setiap gerakan Hendra yang terlihat seperti orang lin
Keesokan harinya. Seperti yang di rencanakan, setelah dari pagi memulai perjalanan, akhirnya sore harinya Jiya dan Adam pun sampai di Tulungagung. "Kenapa ini?" Jiya benar-benar terkejut karena saat ini di depan rumahnya terlihat sebuah tenda besar terpasang memenuhi halaman rumahnya.Dan ketika sopir sudah memarkirkan mobilnya, Jiya pun dengan cepat turun dari mobil tersebut dan berlari kecil melewati jalan samping rumahnya. "Mbak, ini ada apa?" tanya Jiya ketika melihat salah satu tetangganya sedang membawa ember di tangannya."Loh, alhamdulillah Ji, kapan kamu sampai?" tanya tetangganya balik tanpa mejawab pertanyaannya terlebih dahulu."Baru saja Mbak, ini juga belum sampai masuk rumah. Lha tapi itu loh Mbak ada apa?" tanya Jiya sembari menunjuk ke arah para laki-laki yang seperti sedang menata panggung.Wanita yang ada di depan Jiya itu pun menoleh ke arah apa yang saat ini di tunjuk oleh Jiya. "Itu panggung. Lha katanya kamu sudah menikah di Jakarta?" tanyanya balik.