"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.
Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.
Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.
Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil.
"Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.
Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi Bumi.
Bumi pun menatap Jiya tajam. "Baik, besok pagi aku datang."
"Oke aku tunggu," sahut Jiya dengan santai sambil membereskan papan catur.
Lalu …
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Adam yang memperhatikan percakapan itu sedari tadi.
Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam. "Kita baru bermain catur," jawabnya ringan.
"Dia curang Pa," tuduh Bumi sambil menunjuk Jiya dengan jari kecilnya.
Jiya pun kembali menatap ke arah Bumi. "Ingat laki-laki dewasa harus apa?" tekannya.
"Menepati janji," sahut Bumi dengan bibir yang mengkerut.
"Bagus," sahut Jiya dengan santai.
Bumi pun makin kesal, ia dengan cepat turun dari teras rumah tersebut. "Pa ayo kita pulang, besok pagi aku harus bangun jam lima," ujarnya sambil berjalan meninggalkan rumah tersebut dengan sesekali menghentak-hentakkan kakinya ke tanah karena kesal.
Adam pun mengerutkan keningnya. 'Kenapa dengan anak itu.' pikirnya sambil menatap ke arah Bumi yang berjalan makin menjauh.
Setelah itu Adam pun berpamitan dan dengan cepat ia menyusul anak laki-lakinya yang berjalan pulang sendirian itu.
**
Keesokan harinya.
Seperti janjinya semalam, pagi itu Bumi bangun lebih awal. Ia pun segera berlari ke kamar Adam.
"Bangun!" teriaknya di dekat Adam, hingga membuat Adam terkejut dan langsung bangun seketika.
Adam pun menatap ke arah Bumi dengan matanya yang masih enggan terbuka. "Bum, apa yang kam—"
Namun belum selesai Adam mengatakan kalimatnya, anak laki-laki itu dengan cepat meninggalkan kamar Adam dan langsung beralih ke ruang tamu tempat di mana Barak beristirahat.
"Bangun!" teriaknya, melakukan hal sama seperti yang ia lakukan pada papanya.
Dan reaksi yang sama pun diberikan oleh Barak.
"Bangun semuanya bangun!" teriak Bumi membuat kehebohan di pagi itu.
"Bumi hentikan," ujar Adam dari ruang lain.
"Pokoknya bangun!" teriak Bumi lalu memukul-mukul meja kayu yang ada di ruang tamu menggunakan pot bunga kecil yang ada di atas meja tersebut.
Hingga akhirnya ...
"Stop!" ucap Adam sambil mengambil pot bunga tersebut dari tangan anak laki-lakinya.
Bumi pun langsung menatap sinis ke arah Adam yang sedang berdiri tegap di dekatnya.
"Apa yang kamu mau?" tanya Adam dengan tatapan tajamnya menyorot Bumi kecil.
Bumi pun menjawab dengan santai, "Aku ingin Papa menemaniku ke rumah tante jelek itu."
"Tante jelek ... Jiya maksud kamu?"
"Iya, siapa lagi," sahut Bumi sambil menunjukkan kekesalan di wajahnya.
Adam pun tersenyum kecil melihat ekspresi Bumi yang jarang bisa dilihatnya itu. 'Sepertinya dia menemukan lawan yang seimbang,' batinnya.
"Ayo Pa temani aku ke sana." Bumi pun menarik lengan Adam sekuat tenaga, hingga membuat Adam benar-benar mengikuti keinginan anaknya.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di halaman rumah Pak Ghofur. Di sana terlihat Jiya yang sedang duduk santai di teras rumahnya.
"Kamu bersama Papamu?" tanya Jiya sambil tersenyum, menahan tawa.
Bumi yang merasa diejek pun langsung menyahut, "Tentu saja aku harus membawa orang lain. Aku tidak yakin pada kamu."
'Ck, anak ini memang super,' batin Jiya sambil tersenyum aneh mendengar perkataan Bumi kecil.
"Baiklah-baiklah santai saja, aku juga tidak ingin dibilang orang baik oleh anak kecil," sahutnya dengan ringan lalu bangun dan berjalan ke arah Adam dan Bumi.
"Apa? Aku bukan anak kecil, aku sudah besar!" teriak Bumi yang tidak terima dengan perkataan Jiya.
Mendengar hal tersebut, Jiya dengan sengaja terus berjalan melewati Bumi dan Adam dengan santai seolah tak mendengarkan suara protes anak laki-laki tengil itu.
"Hei aku sedang bicara, kenapa kamu tidak mendengarkanku!" teriak Bumi sambil berlari mengejar Jiya yang sudah berjalan jauh.
Adam pun tersenyum geli melihat kejadian yang jarang terjadi itu.
"Dasar sama-sama konyol," gumam Adam lalu mengikuti kedua orang yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.
Setelah mengikuti kedua orang itu dan berjalan lebih dari sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di sebuah taman yang ada di pinggiran sungai besar.
"Pa ini di mana?" tanya Bumi pada Adam yang sedang menatap keadaan di sekitarnya.
"Ini taman," jawab Adam sambil menunjuk ke arah anak-anak yang sedang bermain di wahana permainan sederhana yang ada di tempat itu.
Lalu Jiya pun menatap ke arah Bumi. "Bagaimana, apa kamu siap menjalankan misi pertama?" tantang Jiya.
Bumi pun langsung berjalan ke arah Jiya dengan percaya diri. "Oke, aku lakukan."
Jiya pun tersenyum menghina. "Kalau begitu misi pertamamu adalah kamu harus mendapatkan lima teman, aku beri kamu waktu satu jam," ujarnya dengan santai.
"Baik, itu gampang," sahut Bima dan langsung mendekat ke arah anak-anak yang sedang bermain tersebut.
Setelah Bima pergi melakukan tantangan itu, Jiya pun duduk di salah satu bangku taman dengan santai.
'Oh iya, aku sampai lupa pada laki-laki marmer itu. Dimana dia?' batin Jiya sambil menatap sekitar, mencari keberadaan Adam.
"Itu dia," ucapnya setelah melihat Adam yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini. "Dia menelepon siapa?" gumamnya.
Beberapa menit berlalu, Adam pun kini duduk di dekat Jiya.
"Kamu pusing?" tanya Jiya saat melihat Adam memijat keningnya sendiri.
"Sedikit," sahut Adam dengan dingin.
"Apa perlu ke dokter?" tanyanya sambil menatap Adam dengan lebih intens. "Ada tempat praktek dokter di dekat sini," imbuhnya.
Adam pun langsung menyahut, "Bukan, aku tidak pusing seperti itu."
"Lalu?"
"Apa kamu tahu tempat mencari pengasuh anak?" tanya Adam sambil menatap langit.
"Pengasuh anak?" gumam Jiya. "Untuk Bumi?" tanya Jiya lagi.
"Ya," sahut Adam.
"Memang di mana mamanya?" tanya Jiya dengan spontan.
Adam pun hanya diam, ia tak berniat menjawab pertanyaan tersebut.
'Pasti masalahnya pelik. Mungkin istrinya meninggal atau meninggalkan dia demi laki-laki lain,' pikir Jiya yang menebak-nebak tidak jelas.
"Ehem! Maaf aku tidak bermaksud membuat kamu mengingat hal buruk," ucap Jiya dengan nada lembut seolah sedang ikut prihatin.
Adam pun mengernyitkan keningnya saat mendengar ucapan gadis di sampingnya itu.
"Memangnya pengasuh sebelumnya ke mana?"
"Orang itu masuk rumah sakit," sahut Adam kembali memijat keningnya.
Jiya pun mengangguk perlahan. "Jadi kamu mencari pengasuh sementara untuk menggantikan pengasuh yang sedang sakit itu sampai dia sembuh," ujar Jiya meluruskan masalahnya.
"Bukan, aku mencari pengasuh baru. Pengasuh sebelumnya masuk rumah sakit karena Bumi mengerjainya," beber Adam.
Jiya terbelalak. 'Kalau sampai masuk rumah sakit itu namanya bukan mengerjai tapi mencelakai,' batin Jiya lalu menatap ke arah Bumi yang sedang bermain bersama anak-anak yang ada di taman itu.
"Pengasuh yang masuk rumah sakit ini adalah pengasuh ke sepuluh. Para penyedia jasa sudah tidak mau merekomendasikan orang lagi, padahal kami sudah menawarkan gaji tinggi untuk mereka," lanjut Adam menceritakan masalahnya.
"Berapa gajinya?" tanya Shassy dengan cepat.
"Sepuluh juta," jawab Adam singkat.
"Sepuluh juta?" tanya Jiya, memastikan apa yang didengarnya.
"Ya,"
Jiya pun langsung tersenyum lebar. "Bagaimana kalau saya carikan?" tanyanya dengan antusias.
Adam pun langsung menatap ke arah Jiya. "Kamu yakin?" tanyanya singkat.
"Tentu. Tapi kalau berhasil, ada komisinya kan?" tanyanya terus terang.
"Tentu," jawab Adam dengan santai.
Lalu ...
"Aku selesai," ucap Bumi sambil membawa beberapa anak di belakangnya.
"Cepat sekali," gumam Jiya. "Mereka siapa?" tanyanya pada Bumi yang sedang tersenyum bangga.
"Ya temanku lah," sahut Bumi dengan percaya diri.
Lalu Jiya pun bertanya pada anak-anak yang ada di belakang Bumi.
"Kalian tahu dia siapa?" tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Bumi.
Anak-anak itu pun saling menatap dan terlihat bingung.
"Kenapa kalian ke sini?" tanya Jiya sekali lagi.
Salah seorang anak kecil pun menyahut, "Katanya Om itu mau membelikan kami es krim." Anak tersebut menunjuk ke arah Adam.
Jiya pun terkejut mendengar hal itu. 'Anak sekecil ini sudah berani berbohong,' pikirnya sambil mengulum bibir.
Tapi tiba-tiba sebuah senyum muncul di wajahnya. Ia pun dengan cepat mengambil uang 50 ribuan dan memberikannya pada Bumi.
"Apa ini?" tanya Bumi yang bingung.
"Sekarang kamu cari toko es krim dan belikan es krim untuk meraka," perintah Jiya dengan santai.
"Tidak," tolak Bumi dengan tegas.
"Ingat, rahasia kamu masih di tanganku," ancam Jiya dengan senyum kemenangan di wajahnya.
"TIDAKKKKKK!"
"Hahahah!"
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Kamu ….""Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya."Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"Jiya pun mengernyitkan keningnya."Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, m
Jiya pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh orang-orang yang ada di ruangan tersebut."Kenapa?" tanya Jiya pada Bumi yang kini berdiri tidak jauh dari pintu masuk ruangan tersebut."Itu," ujar Bumi sambil menunjuk ke arah tempat parkir.Jiya dan semua orang pun langsung menatap ke arah parkiran dan melihat beberapa orang berlari menjauh dari tempat itu."Berhenti!" teriak Jiya sambil berlari ke arah orang tersebut.Tapi saat Jiya baru beberapa langkah, orang itu sudah lebih dulu kabur bersama temannya yang telah menunggu tidak jauh dari tempat parkir."Sial!" teriak Jiya kesal."Sudahlah, mereka sudah kabur," ujar teman Jiya yan
"Ibunya sudah tidak ada, dia meninggal," sahut Adam lalu menatap ke arah lain.Jiya pun terdiam. 'Jadi benar istrinya sudah meninggal. Pantas saja,' batin Jiya."Ehem! Maaf Mas aku tidak bermaksud membuat kamu mengingat kepergian almarhum istri kamu," ucap Jiya dengan lembut karena merasa sedikit bersalah.Adam menatap Jiya sambil mengernyitkan keningnya.Jiya pun melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak tahu ini benar atau salah. Tapi jika memang istri Mas sudah meninggal emmm … menurutku Bumi itu membutuhkan sosok ibu. Ini mungkin hanya pendapatku saja, soalnya aku juga tidak tahu bagaimana keluarga kamu dan lingkungannya tumbuh itu seperti apa," bebernya."Sosok ibu," gumam Adam sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.Jiya yang t
Jiya dan Adam pun mengawasi Bumi dan Nindy dari kejauhan sambil mengobrol santai. Semuanya berjalan lancar awalnya hingga tiba-tiba Bumi dan Nindy menghilang dari pandangan mereka."Loh Mas, bukannya tadi mereka main di sana," ujar Jiya sambil menunjuk ke arah komedi putar.Adam yang baru sebentar menatap ponselnya pun langsung terkejut dan menatap ke arah wahana komedi putar tersebut. "Benar," sahutnya sambil berdiri dari bangku yang ia duduki dan dengan cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.Jiya pun ikut berdiri, dan akhirnya mereka berdua berkeliling mencari kedua orang tersebut. Mereka terus berkeliling sambil menatap sekitar mencari keberadaan Bumi dan Nindy di tengah keramaian pasar malam itu.
"Mas, lepas atau aku teriak?" ancam Jiya yang saat ini berada di dalam pelukan Adam."Teriak saja," tantang Adam yang saat ini masih terus memeluk Jiya dengan erat."Kamu gila," ucap Jiya sembari mendorong tubuh Adam dengan kuat, hingga akhirnya dia terlepas. "Dengar ya Mas, itu tadi benar-benar link yang diberikan oleh Nindy. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan.""Oh," sahut Adam yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu, tetapi sengaja ingin mengerjain istrinya itu.Setelah beberapa saat Jiya mengotak-atik ponselnya, kemudian ia pun langsung menunjukkan chat sahabatnya itu pada Adam. "Tuh, lihat! Link itu benar-benar dari Nindy. Dia itu memang kelihatannya polos, tapi otaknya penuh hal-hal mesum," bebernya."Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Adam sembari beralih menatap wajah Jiya yang sedang serius.Langsung saja Jiya berekspresi aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu saja otakku ini bersih, tidak seperti otak kamu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Oh ya?" sa
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang salah?" tanya Adam karena tentu saja tahu kalau ibu mertuanya itu sedang menangis."Itu bukan Ibuk," bisik Jiya pada Adam yang ingin melangkah ke arah wanita yang sedang mencuci piring.Dan ketika Adam tengah mencoba mencerna maksud pertanyaan Jiya, tiba-tiba terdengar sahutan. "Tidak apa-apa Nak Adam," jawab Bu Mutia sembari berbalik dan menatap Adam dengan tenang.Seketika, Jiya yang tadi bersembunyi di belakang Adam pun langsung keluar dari persembunyiannya. "Ah, Ibuk … nakutin aja," protesnya karena berpikir kalau Ibunya itu makhluk lain."Nakutin apa?" Bu Mutia tak mengerti maksud anak semata wayangnya itu.Lalu …."Apa ada masalah? Tolong Anda ceritakan. Saya akan membantu sebis—""Ndak-ndak, ndak usah. Ibuk ndak apa-apa," potong Bu Mutia sembari mengukir senyum di bibirnya.Tentu saja sebagai anak satu-satunya, Jiya langsung bisa menangkap kalau Ibunya itu sedang berpura-pura. Kemudian dengan cepat ia menoleh ke arah Adam dan langsung berkata
Adam dengan cepat menangkap tubuh Jiya yang sempat oleng karena tersenggol motor yang terlihat sangat sengaja ingin menabrak istri Adam itu."Ada yang terluka?" tanya Adam sembari menatap Jiya yang kini ada di dalam pelukannya."Tidak, hanya sedikit ngilu di punggung. Mungkin kesenggol tadi," jawab Jiya yang kini meringis sembari memijat-mijat punggungnya.Langsung saja Adam membalik tubuh Jiya. "Biar aku lihat," ucap Adam."Eh, ndak. Jangan-jangan!" tolak Jiya sembari kembali berbalik."Kalau begitu kita pulang. Nanti biar diobati oleh Mama atau Ibumu," sahut Adam."Jangan juga. Jangan membuat mereka khawatir karena hal ini. Ini sungguh ndak apa-apa.""kalau begitu biar aku lihat," pinta Adam dengan ekspresi serius di wajahnya."Jangan," tolak Jiya lagi.Adam lalu memijat-mijat keningnya karena melihat tingkah istrinya yang terkadang seperti anak kecil itu. "Kalau tidak dilihat, bagaimana kalau itu terluka dan infeksi?" Adam kembali membalik tubuh Jiya dengan sedikit pak
"Kalian juga. Kenapa kalian tidak mengundangku? Apa kalian masih marah padaku atas kejadian waktu itu?" tanya wanita yang baru saja sampai di tempat itu.'Apa aku harus menjawab jujur toh, biar dia sadar,' pikir Jiya sembari menghela napas panjang."Ada apa, apa kamu tidak suka dengan kedatanganku? Bukankah kita ini masih saudara?" Tentu saja gadis itu menargetkan Jiya saat ini."Tentu saja tidak, kenapa kamu harus berpikir begitu," sahut Jiya dengan tenang."Milea, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Nyonya Titi dengan hangat."Kenapa Tante, apa Tante tidak senang aku datang ke sini? Aku ke sini untuk memberikan selamat sekaligus minta maaf atas kekonyolanku waktu itu." Milea melangkah ke arah Jiya dan dengan cepat meraih telapak tangannya.'Apa lagi yang ingin dia lakukan? Apa mukanya itu pakai campuran semen tiga roda, kokoh banget,' batin Jiya yang merasa takjub pada sikap 'muka tembok' wanita di depannya itu. Sebab, andaikah dia yang berada di posisi Milea, dia pasti tidak akan
Beberapa jam berlalu, Adam dan Jiya yang sudah selesai berdandan pun segera digiring oleh sang perias pengantin untuk pergi ke tempat resepsi. Mereka berdua pun menaiki tangga dekorasi dan berdiri di depan banyak orang layaknya seorang pengantin."Mas Adam Wiratamaja jangan tegang-tegang Mas, malam pertamanya sudah kemarin malam kan Mas?" canda si MC untuk mencairkan suasana.Seketika Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam."Nah, seperti itu benar. Kalau Masnya kenapa-napa langsung ditengok ya Mbak Jiya," seloroh si MC sembari tertawa lepas yang disusul dengan tawa para tamu undangan.Sontak saja wajah Jiya memerah karena malu."Apa ini memang seperti ini?" tanya Adam dengan suara yang sangat pelan.Jiya pun terkejut mendengar pertanyaan tersebut. 'Ah, aku hampir lupa kalau dia belum mengerti hal ini,' batinnya."Iya Mas, kalau di sini memang seperti ini. Pokoknya kamu ndak boleh tersinggung atau menjawab apa pun, itu semua hanya lelucon untuk menghibur tamu undangan. Senyu
Jiya pun membalik bungkus tersebut dan membaca petunjuk penggunaannya. Dan seketika matanya membulat."Katakan, siapa yang mengirim ini?" tanya Adam sembari membuang benda tersebut ke dalam tempat sampah yang ada di kamar itu.Lalu tiba-tiba saja tawa Jiya pun meledak. "Ini pasti mereka," ujarnya sambil menyeka bulir air mata yang sempat menetes di matanya.'Mereka siapa, apa dia pernah mempunyai hubungan dengan banyak orang sekaligus,' pikir Adam ketika mendengar kata 'mereka' dari mulut Jiya."Hei, apa yang kamu pikirkan?" tanya Jiya sembari mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi aneh di wajah Adam."Kamu memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Adam sembari menatap Istrinya itu dengan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.Jiya pun terdiam sejenak memikirkan maksud pertanyaan Adam yang terdengar aneh itu, hingga ...."Hei, apa kamu pikir aku ini yang seperti itu toh Mas?""Yang seperti itu?" tanya Adam balik."Mas, aku itu ndak seperti itu. Kan sudah aku bilang aku
Adam dan Jiya pun langsung menoleh ke arah pintu kamar tersebut. "Siapa," gerutu Jiya sembari melangkah ke arah pintu yang berada tak jauh darinya.Klak!"Ji, ayo cepat ndak ada waktu," ujar orang yang tadi mengetuk pintu kamar sembari menarik tangan Jiya ketika Jiya baru saja membuka pintu tersebut."Kenapa toh Nin? Aku mau ngelurusin punggung sebentar," keluh Jiya yang enggan untuk melangkah.Nindy pun menghela napas panjang. "Nanti agak malaman saja malam pertamanya, sekarang kamu harus ikut aku milih baju untuk besok, itu yang ngerias sudah datang," jawabnya.Sesaat kemudian, Adam pun ikut keluar mendengar pertanyaan Nindy dan istrinya itu. "Ada apa ini?" tanyanya yang pura-pura belum mendengar apa pun."Eh, ternyata Pak Adam di sini," ucap Nindy sembari cengengesan. "Itu Pak ... eh iya Mas Adam, itu jiyanya saya bawa dulu untuk milih baju resepsi besok apa boleh?""Boleh, kami juga belum mulai kok," jawab Adam sembari melirik ke arah Jiya.Seketika wajah Nindy memera
Brak! Suara mengejutkan itu muncul dari luar rumah.Semua orang yang ada di dalam rumah pun bergegas keluar, termasuk Jiya dan Adam. Dan ketika mereka sampai di luar, terlihat seseorang yang baru saja Jiya dan Sherly bicarakan sedang berada di tanah dengan motornya yang tergeletak tak jauh darinya."Mas!" teriak Sherly yang langsung saja berlari ke arah calon suaminya itu.Namun tak lama kemudian terlihat Hendra yang bangun begitu saja dan justru mendorong Sherly yang mencoba membantunya bangun tadi. "Kalian, pasangan terkutuk!" teriaknya.Sontak saja mata Jiya terbelalak mendengar hal itu. 'Apa dia memakiku dan Mas Adam?' batinnya.Sesaat kemudian ia pun menoleh ke arah Adam yang berdiri tepat di sampingnya. "Mas, apa—"Brak! Kembali lagi terdengar keributan yang ternyata disebabkan oleh Hendra yang menendang tangga yang ada di dekatnya.Sontak saja para laki-laki yang sedang memasang dekorasi pun berkumpul dan mulai memperhatikan setiap gerakan Hendra yang terlihat seperti orang lin
Keesokan harinya. Seperti yang di rencanakan, setelah dari pagi memulai perjalanan, akhirnya sore harinya Jiya dan Adam pun sampai di Tulungagung. "Kenapa ini?" Jiya benar-benar terkejut karena saat ini di depan rumahnya terlihat sebuah tenda besar terpasang memenuhi halaman rumahnya.Dan ketika sopir sudah memarkirkan mobilnya, Jiya pun dengan cepat turun dari mobil tersebut dan berlari kecil melewati jalan samping rumahnya. "Mbak, ini ada apa?" tanya Jiya ketika melihat salah satu tetangganya sedang membawa ember di tangannya."Loh, alhamdulillah Ji, kapan kamu sampai?" tanya tetangganya balik tanpa mejawab pertanyaannya terlebih dahulu."Baru saja Mbak, ini juga belum sampai masuk rumah. Lha tapi itu loh Mbak ada apa?" tanya Jiya sembari menunjuk ke arah para laki-laki yang seperti sedang menata panggung.Wanita yang ada di depan Jiya itu pun menoleh ke arah apa yang saat ini di tunjuk oleh Jiya. "Itu panggung. Lha katanya kamu sudah menikah di Jakarta?" tanyanya balik.