Di halaman sebuah hotel berbintang yang ada di salah satu kota kecil di Jawa Timur, terlihat seorang gadis berlari-lari kecil menuju hotel.
"Kampret! Kenapa harus hujan sih," gerutu gadis bersweater hitam itu sambil mengangkat tas di atas kepala, berharap gerimis yang membasahi halaman hotel tersebut tak ikut membasahi kepalanya.
Dan ketika ia memasuki hotel …"Brugh! Isshh …" desis gadis itu saat tak sengaja menabrak seseorang.
"Hei, hati-hati dong!" teriak orang yang baru saja tertabrak oleh gadis tersebut.
"Maaf," ujar gadis itu sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
Lalu …
"Ji!" panggil seseorang dari arah lain.
Gadis itu pun langsung menoleh mencari asal suara tersebut.
"Jiya aku di sini," ucap seorang gadis lain sambil melambaikan tangannya.
Ya! Jiya adalah nama gadis cantik bersweater hitam kita, gadis cantik nan gokil yang akan menjadi pemeran utama wanita di cerita 'Skandal Jepit Mr.Presdir' ini.
"Di mana dia?" tanya Jiya sambil mendekat ke arah temannya itu.
"Dia ada di kamar nomor 318," sahut teman Jiya tersebut.
"Ayo," ujar Jiya sambil menarik tangan temannya tersebut.
Mereka pun berjalan dengan cepat meninggalkan tempat tersebut.
"Kamu yakin kalau itu dia?" tanya Jiya sambil terus melangkah bersama temannya tersebut.
"Yakin banget, aku bahkan sudah mengawasi dia dari tadi," sahut temannya tanpa ragu.
Jiya lalu terdiam sesaat. "Lalu kenapa kamu bisa ada di sini," tanyanya yang penasaran pada temannya itu.
"Itu ceritanya panjang, tapi intinya aku ke sini untuk memesankan kamar hotel untuk satu keluarga," jelas teman Jiya tersebut.
"Hemm," gumam Jiya sambil manggut-manggut, percaya dengan temannya itu karena memang itu pekerjaan temannya tersebut.
Dan setelah berjalan lebih dari sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di depan sebuah kamar dengan nomor 318.
"Nin, kamu yakin ini kamarnya?" tanya Jiya sambil menatap ke arah temannya tersebut.
"Sangat yakin," sahut Nindy— teman Jiya
Jiya pun menghela napas panjang lalu kembali menatap Nindy. "Kalau begitu kamu yang ketuk," ujar Jiya dengan tenang.
"Kok aku?" tanya Nindy dengan ekspresi aneh.
"Sudahlah cepat," ucap Jiya sambil menepuk pundak Nindy seolah sedang memberi semangat.
"Dasar kamu tuh, yang calon istrinya itu aku apa kamu," gerutu Nindy lalu mengetuk pintu kamar hotel itu seperti yang Jiya inginkan.
Tok-Tok-Tok! Ketukan di pintu itu cukup keras karena Nindy yang sudah kesal sedari tadi memikirkan sahabatnya yang diselingkuhi.
Lalu …
"Siapa sih gak sopan banget," ucap seorang wanita yang dengan santai membuka pintu kamar tersebut.
Mata wanita itu dan Nindy pun saling beradu, mereka pun sama-sama terkejut.
"Kamu—" ujar Nindy yang tak meneruskan kalimatnya ketika Jiya dengan cepat menendang pintu kamar hotel tersebut.BRAKK! Pintu itu pun terbuka lebar hingga membuat wanita yang ada di dalam kamar tersebut terpental dan terduduk di lantai.
"Kamu!" ucap Jiya yang juga terkejut ketika masuk ke dalam kamar tersebut, karena ia mengenal dengan jelas siapa wanita yang sedang terduduk di lantai sambil memegangi handuk di tubuhnya itu.
"Mbak," sahut wanita itu sambil menatap Jiya tak kalah terkejut.
Lalu Jiya pun mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang sedang memakai handuk kecil untuk menutupi bagian bawahnya di dekat ranjang kamar tersebut.
"Jadi kamu selingkuh dengan dia?" tanya Jiya sambil mendekat ke arah laki-laki yang masih sibuk membetulkan handuknya itu."A-aku khilaf, aku—"
"Ck," Jiya berdecak menghina, "bagian mana yang terlihat khilaf?" tanya Jiya sambil menarik handuk yang melilit di pinggang calon suaminya tersebut.
"Kamu ...."
PLAKK! Sebuah tamparan menggema di ruangan tersebut.Mata Jiya dan calon suaminya pun saling beradu sesaat, lalu sebuah senyum tipis muncul dari bibir Jiya.
"Cuhh!" Jiya pun meludah dengan santai ke lantai kamar hotel tersebut sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
"Jadi ini aslinya kamu," ucap Jiya dengan sebuah senyum hambar di wajahnya. "Nin, ambil bukti!" perintah Jiya tanpa menatap ke arah Nindy sedikit pun.Dan Nindy yang mendengar hal itu, ia pun dengan cepat mengambil beberapa foto dengan ponselnya seperti yang diperintahkan oleh Jiya.
"Jangan!" teriak wanita yang tadi terjatuh sambil mencoba merebut ponsel milik Nindy.
"Dasar wanita tak tahu malu!" teriak Nindy sambil mendorong wanita tersebut hingga kembali terjatuh.
Laki-laki yang ada di depan Jiya pun langsung merebut kembali handuk yang ada di tangan Jiya dan memakainya dengan cepat.
"Dasar wanita tak tahu diri," ujar laki-laki tersebut sambil menatap tajam ke arah Jiya.
"Aku tak tahu diri," geram Jiya sambil memicingkan matanya. "Otak kamu di dengkul?," imbuhnya dengan tatapan menghina.
"Mbak jangan nyalahin Mas Hendra, ini semua aku yang salah," ucap wanita itu sambil berjalan mendekat ke arah Jiya dan laki-laki tersebut terlihat mencoba menengahi.
Jiya pun menatap sinis ke arah wanita tersebut. "Sherly … Sherly, kamu itu murahan sekali," ujar Jiya dengan santai.
Sherly pun menatap Jiya dengan tatapan bersalah. "Kak, aku tahu aku salah tapi kamu—" Sherly pun tak meneruskan kalimatnya dan langsung menempel pada Hendra dengan air mata yang mulai menetes di pipinya.
'Dasar rubah,' batin Jiya sambil menatap Sherly dengan sinis.
"Ji kamu jangan keterlaluan, hati Sherly itu tidak seperti kamu yang—"
"Yang apa?" teriak Jiya menyela kalimat Hendra hingga para pengunjung hotel yang ada di dekat kamar itu berkerumun di dekat pintu kamar tersebut. "Apa kamu tahu berapa banyak laki-laki yang menjadi kekasihnya? Apa kamu tahu—"
"Cukup!" Bentak Hendra. "Kamu itu tidak pantas menjadi istriku, hanya gadis seperti Sherly yang pantas."
Jiya pun menggelengkan kepalanya pelan. "Dasar laki-laki goblok, aku ini berusaha nyelametin kamu," sahut Jiya dengan santai. "Lagi pula siapa yang pengen banget jadi istri kamu, ha? Jangan Pede."
"Kamu ..." geram Hendra sambil mengepalkan tangannya.
"Kenapa, kamu ingin menampar aku lagi? Ayo tampar! Mumpung ada banyak orang di sini," tantang Jiya dengan penuh percaya diri karena tahu ada banyak pengunjung hotel yang merekam hal itu.
"Lihat saja kamu nanti," ancam Hendra sambil menunjuk wajah Jiya.
"Apa kamu pikir aku takut, ingat aku bukan dia," tandas Jiya sambil menunjuk Sherly yang kini membenamkan wajahnya di pelukan Hendra seolah sedang bersembunyi ketakutan.
"Kamu—" Kalimat Hendra terhenti, ketika Jiya berjalan menjauh seolah tak perduli pada apa yang akan dikatakannya.
Namun setelah berjalan beberapa langkah, Jiya pun berbalik dan berkata dengan santai, "Aku hanya berharap setelah ini kamu tidak tertular penyakit kelaminnya." Sebuah senyum tipis pun tercetak di wajahnya mengakhiri kalimat tersebut.
Mendengar ucapan Jiya, Hendra pun langsung menatap ke arah Sherly dengan penuh tanda tanya.
"Tidak Mas, aku tidak memiliki penyakit," ujar Sherly membela dirinya sendiri.
Jiya pun menimpali, "Jangan lupa, satu minggu yang lalu aku yang mengantar kamu ke dokter."
Mata Hendra pun terbelalak mendengar perkataan Jiya. "Jadi kamu itu—" Tapi kalimat Hendra terhenti seketika, saat Sherly dengan cepat berlutut di kakinya.
"Mas aku benar-benar tidak seperti itu, aku bersumpah," ujar Sherly sambil terisak dan memegang kaki Hendra dengan kuat.
"Kamu—" Hendra pun menjadi tak tega saat melihat Sherly yang terlihat menyedihkan dan seolah sedang tak berdaya itu.
Kemudian …
"Dasar anjing," celetuk Jiya dengan santai.
"Apa kamu bilang?" geram Sherly sambil melirik ke arah Jiya dengan tajam.
Jiya pun tak menyahut dan seolah acuh dengan Sherly, ia lalu menarik tangan Nindy yang masih ada di dalam kamar itu. "Ayo Nin kita pergi, ngapain ngelihatin Guk-guk lagi kawin kaya gak ada bokep yang bagus aja." ucapnya dengan santai.
Awalnya Nindy memasang ekspresi aneh ketika mendengar ucapan Jiya yang terdengar cukup fulgar di telinganya, tapi akhirnya ia pun mengikuti langkah sahabat baiknya itu melewati kerumunan orang-orang yang sedang mengarahkan kamera ponsel pada mereka.
Jiya dan Nindy pun terus berjalan dengan cepat hingga keluar dari hotel tersebut. Tapi saat sampai di depan hotel tersebut tiba-tiba ...
DUARRRR!
"Eh copot-copot-copot!" ucap Nindy terkejut mendengar suara guntur yang menyambut mereka di depan pintu hotel itu.
Kemudian Jiya pun melangkah. "Aku ing—"
Tapi Nindy dengan cepat menarik sweater yang dikenakan Jiya, hingga membuat Jiya berhenti seketika. "Jangan macam-macam ini bukan film Dilan, kalau kamu sekarang hujan-hujanan di sana," ujar Nindy sambil menunjuk halaman hotel. "Kamu bukannya ketemu jodoh tapi yang ada ketemu Tuhan."
"Hahahaha ..." Jiya pun tertawa menanggapi kalimat sahabat baiknya itu.
"Malah ketawa lagi," gerutu Nindy sambil memijat keningnya.
"Ayolah Nin, aku kan baru patah hati masa kamu nggak ngebolehin aku main hujan," ucap Jiya menggoda sahabatnya itu.
"Asal pulang jangan sama aku," tukas Nindy lalu berjalan menjauh dan menuju parkiran lewat teras hotel itu.
Jiya pun menghela napas lalu mengikuti langkah Nindy. "Kalau gak sama kamu, terus aku sama siapa dong," ucap Jiya lalu merangkul sahabatnya itu.
"Mangkannya jangan macem-macem. Lagian kamu baru aja ngelihat calon suami selingkuh kenapa nggak ada sedih-sedihnya sih jadi perempuan," omel Nindy.
"Ngapain aku sedih, aku bahagia dong ... jadi paling tidak, aku sudah tahu kebusukan tentara ganteng itu," ujar Jiya dengan santai sambil meregangkan badannya ke kanan dan ke kiri.
Nindy pun menatap Jiya dengan aneh. "Positif sekali ya otak kamu itu,"
"Tentu saja, lagi pula aku juga tidak begitu menyukainya. Jadi biarin aja di ambil adik sialan itu," sahut Jiya dengan santai.
"Aku pikir kamu suka Hendra, sia-sia dong aku marah-marah kalau gitu," komentar Nindy.
"Hahahha."
Mereka pun terus mengobrol sambil berjalan ke parkiran, hingga meninggalkan hotel itu dengan motor matic Nindy dengan kecepatan sedang.
**
Dan di tengah perjalanan ...
"Nin, nanti di depan kita mampir ke warung dulu ya aku lap ... awass!" teriak Jiya.
BRAKKKK!
Akhhh! teriak Jiya dan Nindy bersamaan.
Dan beberapa saat kemudian, Jiya dan Nindy pun segera bangun dari tempat mereka terjatuh saat ini.
"Untung selamet," ucap Nindy sambil mengelus dada.
Sedangkan Jiya langsung berjalan ke arah pengendara motor gedhe yang tadi menabrak mereka.
"Hey Mas, kamu pikir kamu itu Boy yang ada di sinetron, naik motor seenak jidatmu," omel Jiya sambil menarik kerah pakaian orang yang menabrak tadi.
Dan sesaat kemudian terlihat beberapa mobil yang berhenti di sekitar tempat itu.
"Pak, apa yang terjadi?" tanya orang-orang yang baru keluar dari dalam mobil tersebut.
Lalu orang itu pun melepaskan helmnya dengan santai.
'Cih dipikir film FTV kali, sok ganteng banget,' batin Jiya sambil menatap aneh ke arah laki-laki itu.
"Lepaskan tangan kamu," ucap laki-laki itu.
"Kalau tidak mau?" tantang Jiya dengan matanya yang membulat.
Lalu laki-laki itu pun memberi tanda pada orang-orang yang naik mobil tadi.
Dan ...
"Hei, apa yang kalian lakukan?" teriak Jiya ketika orang-orang itu menarik tangannya.
"Ji!" jerit Nindy yang juga di tangkap oleh orang-orang tersebut
"Hei Brengsek lep ... em, em...
Dua jam kemudian akhirnya Jiya pun sadar, ia mulai membuka matanya perlahan."Ini di mana," gumam Jiya sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. "Hacihhh!" Ia pun bersin seketika."Sudah bangun?" tanya seorang wanita yang kini berjalan ke arahnya."Sudah, kamu siapa? Dan di mana ini?" tanya Jiya yang sangat asing melihat wanita itu.Wanita itu pun tersenyum hangat. "Ini ada di hotel dan saya adalah dokter yang dipanggil oleh Pak Adam untuk merawat kamu?" jawabnya dengan tenang sambil memberikan segelas teh hangat pada Jiya."Terima kasih," ucap Jiya lalu menerima teh tersebut dan segera menyeruputnya.Tapi tiba-tiba Jiya menghentikan aktifitasnya. "Tunggu, hotel? Pak Adam itu orang yang menab
"Bumi tenang. Papa sedang ada di luar kota, sedang mengurus proyek baru," jawab Adam sambil memijat kepalanya."Papa, masih lama di sana?" tanya Bumi—anak yang ada di dalam panggilan tersebut."Masih, mungkin—"Tut … tut … tut! Panggilan tersebut terputus begitu saja."Dasar anak nakal," ujar Adam sambil menatap layar ponselnya.*Di tempat lain. Saat ini Jiya dan Nindi pun bergegas meninggalkan hotel tersebut. Dan ketika mereka sampai di luar hotel …"Gendeng awakmu Ji, wani-wanine awakmu nompo duwike wong kae maeng (gila kamu Ji, berani-beraninya k
Mendengar teriakan terebut Pak Ghofur dan Adam pun langsung saja berlari ke dalam rumah. Di sana terlihat Bu Mutia—Ibu Jiya sedang tergeletak di lantai dengan Jiya yang sedang memangku kepalanya."Bu, kamu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang juga langsung duduk di lantai kebingungan menatap istrinya tersebut."Mari Pak kita bawa ke rumah sakit, saya akan siapkan mobilnya dulu," ucap Adam.Pak Ghofur pun langsung menyahut, "Iya Nak, tolong ya."Lalu Adam pun bergegas menyiapkan mobil seperti yang ia katakan, dan tak lama kemudian kembali masuk ke dalam rumah tersebut."Sudah Pak, ayo kita bawa ke mobil," ujar Adam sambil bersiap menggendong Bu Mutia."Kuat apa tidak?" tanya Jiya sambi
"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan."Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega."Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam."Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat."Apa kalian hanya berdua?""Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat."Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya."Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja
PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam. "Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?""Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?""Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"Mas, lepas atau aku teriak?" ancam Jiya yang saat ini berada di dalam pelukan Adam."Teriak saja," tantang Adam yang saat ini masih terus memeluk Jiya dengan erat."Kamu gila," ucap Jiya sembari mendorong tubuh Adam dengan kuat, hingga akhirnya dia terlepas. "Dengar ya Mas, itu tadi benar-benar link yang diberikan oleh Nindy. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan.""Oh," sahut Adam yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu, tetapi sengaja ingin mengerjain istrinya itu.Setelah beberapa saat Jiya mengotak-atik ponselnya, kemudian ia pun langsung menunjukkan chat sahabatnya itu pada Adam. "Tuh, lihat! Link itu benar-benar dari Nindy. Dia itu memang kelihatannya polos, tapi otaknya penuh hal-hal mesum," bebernya."Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Adam sembari beralih menatap wajah Jiya yang sedang serius.Langsung saja Jiya berekspresi aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu saja otakku ini bersih, tidak seperti otak kamu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Oh ya?" sa
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang salah?" tanya Adam karena tentu saja tahu kalau ibu mertuanya itu sedang menangis."Itu bukan Ibuk," bisik Jiya pada Adam yang ingin melangkah ke arah wanita yang sedang mencuci piring.Dan ketika Adam tengah mencoba mencerna maksud pertanyaan Jiya, tiba-tiba terdengar sahutan. "Tidak apa-apa Nak Adam," jawab Bu Mutia sembari berbalik dan menatap Adam dengan tenang.Seketika, Jiya yang tadi bersembunyi di belakang Adam pun langsung keluar dari persembunyiannya. "Ah, Ibuk … nakutin aja," protesnya karena berpikir kalau Ibunya itu makhluk lain."Nakutin apa?" Bu Mutia tak mengerti maksud anak semata wayangnya itu.Lalu …."Apa ada masalah? Tolong Anda ceritakan. Saya akan membantu sebis—""Ndak-ndak, ndak usah. Ibuk ndak apa-apa," potong Bu Mutia sembari mengukir senyum di bibirnya.Tentu saja sebagai anak satu-satunya, Jiya langsung bisa menangkap kalau Ibunya itu sedang berpura-pura. Kemudian dengan cepat ia menoleh ke arah Adam dan langsung berkata
Adam dengan cepat menangkap tubuh Jiya yang sempat oleng karena tersenggol motor yang terlihat sangat sengaja ingin menabrak istri Adam itu."Ada yang terluka?" tanya Adam sembari menatap Jiya yang kini ada di dalam pelukannya."Tidak, hanya sedikit ngilu di punggung. Mungkin kesenggol tadi," jawab Jiya yang kini meringis sembari memijat-mijat punggungnya.Langsung saja Adam membalik tubuh Jiya. "Biar aku lihat," ucap Adam."Eh, ndak. Jangan-jangan!" tolak Jiya sembari kembali berbalik."Kalau begitu kita pulang. Nanti biar diobati oleh Mama atau Ibumu," sahut Adam."Jangan juga. Jangan membuat mereka khawatir karena hal ini. Ini sungguh ndak apa-apa.""kalau begitu biar aku lihat," pinta Adam dengan ekspresi serius di wajahnya."Jangan," tolak Jiya lagi.Adam lalu memijat-mijat keningnya karena melihat tingkah istrinya yang terkadang seperti anak kecil itu. "Kalau tidak dilihat, bagaimana kalau itu terluka dan infeksi?" Adam kembali membalik tubuh Jiya dengan sedikit pak
"Kalian juga. Kenapa kalian tidak mengundangku? Apa kalian masih marah padaku atas kejadian waktu itu?" tanya wanita yang baru saja sampai di tempat itu.'Apa aku harus menjawab jujur toh, biar dia sadar,' pikir Jiya sembari menghela napas panjang."Ada apa, apa kamu tidak suka dengan kedatanganku? Bukankah kita ini masih saudara?" Tentu saja gadis itu menargetkan Jiya saat ini."Tentu saja tidak, kenapa kamu harus berpikir begitu," sahut Jiya dengan tenang."Milea, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Nyonya Titi dengan hangat."Kenapa Tante, apa Tante tidak senang aku datang ke sini? Aku ke sini untuk memberikan selamat sekaligus minta maaf atas kekonyolanku waktu itu." Milea melangkah ke arah Jiya dan dengan cepat meraih telapak tangannya.'Apa lagi yang ingin dia lakukan? Apa mukanya itu pakai campuran semen tiga roda, kokoh banget,' batin Jiya yang merasa takjub pada sikap 'muka tembok' wanita di depannya itu. Sebab, andaikah dia yang berada di posisi Milea, dia pasti tidak akan
Beberapa jam berlalu, Adam dan Jiya yang sudah selesai berdandan pun segera digiring oleh sang perias pengantin untuk pergi ke tempat resepsi. Mereka berdua pun menaiki tangga dekorasi dan berdiri di depan banyak orang layaknya seorang pengantin."Mas Adam Wiratamaja jangan tegang-tegang Mas, malam pertamanya sudah kemarin malam kan Mas?" canda si MC untuk mencairkan suasana.Seketika Jiya pun langsung menoleh ke arah Adam."Nah, seperti itu benar. Kalau Masnya kenapa-napa langsung ditengok ya Mbak Jiya," seloroh si MC sembari tertawa lepas yang disusul dengan tawa para tamu undangan.Sontak saja wajah Jiya memerah karena malu."Apa ini memang seperti ini?" tanya Adam dengan suara yang sangat pelan.Jiya pun terkejut mendengar pertanyaan tersebut. 'Ah, aku hampir lupa kalau dia belum mengerti hal ini,' batinnya."Iya Mas, kalau di sini memang seperti ini. Pokoknya kamu ndak boleh tersinggung atau menjawab apa pun, itu semua hanya lelucon untuk menghibur tamu undangan. Senyu
Jiya pun membalik bungkus tersebut dan membaca petunjuk penggunaannya. Dan seketika matanya membulat."Katakan, siapa yang mengirim ini?" tanya Adam sembari membuang benda tersebut ke dalam tempat sampah yang ada di kamar itu.Lalu tiba-tiba saja tawa Jiya pun meledak. "Ini pasti mereka," ujarnya sambil menyeka bulir air mata yang sempat menetes di matanya.'Mereka siapa, apa dia pernah mempunyai hubungan dengan banyak orang sekaligus,' pikir Adam ketika mendengar kata 'mereka' dari mulut Jiya."Hei, apa yang kamu pikirkan?" tanya Jiya sembari mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi aneh di wajah Adam."Kamu memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Adam sembari menatap Istrinya itu dengan rasa penasaran yang memenuhi kepalanya.Jiya pun terdiam sejenak memikirkan maksud pertanyaan Adam yang terdengar aneh itu, hingga ...."Hei, apa kamu pikir aku ini yang seperti itu toh Mas?""Yang seperti itu?" tanya Adam balik."Mas, aku itu ndak seperti itu. Kan sudah aku bilang aku
Adam dan Jiya pun langsung menoleh ke arah pintu kamar tersebut. "Siapa," gerutu Jiya sembari melangkah ke arah pintu yang berada tak jauh darinya.Klak!"Ji, ayo cepat ndak ada waktu," ujar orang yang tadi mengetuk pintu kamar sembari menarik tangan Jiya ketika Jiya baru saja membuka pintu tersebut."Kenapa toh Nin? Aku mau ngelurusin punggung sebentar," keluh Jiya yang enggan untuk melangkah.Nindy pun menghela napas panjang. "Nanti agak malaman saja malam pertamanya, sekarang kamu harus ikut aku milih baju untuk besok, itu yang ngerias sudah datang," jawabnya.Sesaat kemudian, Adam pun ikut keluar mendengar pertanyaan Nindy dan istrinya itu. "Ada apa ini?" tanyanya yang pura-pura belum mendengar apa pun."Eh, ternyata Pak Adam di sini," ucap Nindy sembari cengengesan. "Itu Pak ... eh iya Mas Adam, itu jiyanya saya bawa dulu untuk milih baju resepsi besok apa boleh?""Boleh, kami juga belum mulai kok," jawab Adam sembari melirik ke arah Jiya.Seketika wajah Nindy memera
Brak! Suara mengejutkan itu muncul dari luar rumah.Semua orang yang ada di dalam rumah pun bergegas keluar, termasuk Jiya dan Adam. Dan ketika mereka sampai di luar, terlihat seseorang yang baru saja Jiya dan Sherly bicarakan sedang berada di tanah dengan motornya yang tergeletak tak jauh darinya."Mas!" teriak Sherly yang langsung saja berlari ke arah calon suaminya itu.Namun tak lama kemudian terlihat Hendra yang bangun begitu saja dan justru mendorong Sherly yang mencoba membantunya bangun tadi. "Kalian, pasangan terkutuk!" teriaknya.Sontak saja mata Jiya terbelalak mendengar hal itu. 'Apa dia memakiku dan Mas Adam?' batinnya.Sesaat kemudian ia pun menoleh ke arah Adam yang berdiri tepat di sampingnya. "Mas, apa—"Brak! Kembali lagi terdengar keributan yang ternyata disebabkan oleh Hendra yang menendang tangga yang ada di dekatnya.Sontak saja para laki-laki yang sedang memasang dekorasi pun berkumpul dan mulai memperhatikan setiap gerakan Hendra yang terlihat seperti orang lin
Keesokan harinya. Seperti yang di rencanakan, setelah dari pagi memulai perjalanan, akhirnya sore harinya Jiya dan Adam pun sampai di Tulungagung. "Kenapa ini?" Jiya benar-benar terkejut karena saat ini di depan rumahnya terlihat sebuah tenda besar terpasang memenuhi halaman rumahnya.Dan ketika sopir sudah memarkirkan mobilnya, Jiya pun dengan cepat turun dari mobil tersebut dan berlari kecil melewati jalan samping rumahnya. "Mbak, ini ada apa?" tanya Jiya ketika melihat salah satu tetangganya sedang membawa ember di tangannya."Loh, alhamdulillah Ji, kapan kamu sampai?" tanya tetangganya balik tanpa mejawab pertanyaannya terlebih dahulu."Baru saja Mbak, ini juga belum sampai masuk rumah. Lha tapi itu loh Mbak ada apa?" tanya Jiya sembari menunjuk ke arah para laki-laki yang seperti sedang menata panggung.Wanita yang ada di depan Jiya itu pun menoleh ke arah apa yang saat ini di tunjuk oleh Jiya. "Itu panggung. Lha katanya kamu sudah menikah di Jakarta?" tanyanya balik.