1966
"Ibu surat izinku belum disetujui," gadis itu menaruh sebuah kertas dan pena pada meja dapur dekat ibunya memasak.Keena, saudara perempuan gadis itu tertawa, "Sangat semangat bukan, El?"
"Pastinya, itu hal membanggakan, kau tahu," balas Diana.
"Nah, kalian para anak muda harus terinspirasi seperti wanita itu."
"Dia gadis, bukan wanita. Ku dengar dia belum menikah," gadis bernama Lana menjelaskan.
"Wah benarkah? itu keren sekali." puji Nane pada seorang gadis di Kota Roseburg, yang dikabarkan merupakan pemilik sebuah perusahaan anggur yang bernama Grapvine tengah naik daun.
Gadis sukses itu belum diketahui identitasnya, hingga dua tahun setidaknya sampai lusa ia memperkenalkan dirinya pada publik. Ia mengundang satu orang dari setiap Sekolah Menengah di wilayah Oregon. El, salah satunya.
"El, kenapa kau simpan di sini. Bagaimana jika terkena air?" teriak Aleen – ibu El.
El sedikit berlari mengambil surat yang baru saja diberi tanda tangan oleh Aleen. Ia memasukan suratnya ke dalam saku nya dengan hati-hati.
Gadis itu berjalan kembali ke meja makan, dengan agar-agar dingin yang tampak enak untuk disantap pada musim panas seperti ini.
Makan malam yang sempurna dan tentu saja acara lusa yang harus sempurna. El harus mendapat nilai A plus untuk tugas wawancara ini, dengan begitu dia memiliki cerita baru untuk dibanggakan pada teman-temannya, juga kesempatan untuk bekerja di acara berita.
-
El berlari menuruni anak tangga. Pakaiannya rapih, ia akan pergi ke pusat kota. Jeremy mengajaknya ke pusat kota, awalnya El menolak karena ia harus menulis rangkuman wawancara untuk kunjungan Grapvine besok, tapi apa boleh buat jika ayahnya yang meminta.
"Ibu mana?" El menyusul langkah kaki Jeremy.
Jeremy membukakan pintu mobil untuk El, "Tidak ikut. Maria akan datang." El mengangguk.
El memutar tangannya, melihat jam biru melekat ditangannya menunjukan pukul 10. Belum tengah hari udaranya sudah panas, ditambah perjalanan yang cukup macet.
Jeremy memarkirkan mobilnya tak jauh dari pusat kota. Mereka berhenti di depan toko-toko, masuk ke dalam arus orang-orang yang berjalan. Sesekali El melihat beberapa toko makanan manis yang mereka lewati, aromanya harum sampai ke hidungnya.
Shalbey Shop – toko baju yang keluarga mereka sering kunjungi, untuk membeli beberapa pasang baju formal untuk sebuah acara.
"Ku kira kita akan membeli es krim," canda El.
Ayahnya terkekeh, "Setelah membeli pakaian untukmu.”
"Untukku?"
Jeremy mengangguk, "Untuk calon jurnalistik hebat yang akan memulainya besok.”
El tersenyum, ia bahkan tidak terpikirkan harus membeli baju baru untuk kunjungannya besok. Mewawancarai orang seperti pemilik Grapvine, tidak bisa lebih mudah kecuali dengan penampilan sopan dan menarik.
Jeremy meminta sebuah pakaian yang cocok untuk musim ini pada Tuan Shalbey. El berjalan-jalan melihat sekeliling toko, secara tiba-tiba ia melihat ke arah kaca seperti ada yang memperhatikannya, instingnya bilang begitu. Tapi hanya ada orang-orang yang berlalu lalang.
El kembali pada ayahnya yang memangilnya untuk mencocokan ukuran pakaiannya. Mereka membayar sebuah dress berwarna cream dengan lengan pendek. Cukup mudah mereka untuk membeli sebuah dress, tanpa berpikir panjang jika mereka tertarik, keluarganya sangat royal.
-
Aroma pai apel dari dapur tercium harum, mengundang seluruh anggota keluarga untuk datang ke dapur. Malam ini cukup ramai, keluarga Carson mampir untuk makan malam bersama. Keluarga Adolph memang berhubungan baik dengan banyak orang, termasuk tentangganya keluarga Carson.
Keena menarik kursinya, "Hmm, padahal hari ini aku sedang diet.”
James tertawa, "Diet yang kau lakukan tidak pernah berhasil.” Keena menatap sinis.
"Wah, pai apel. Kesukaan kakak,” semua terdiam menatap El. "Kenapa?" tanyanya.
"Ah, ayo makan pai ini. Kalau dingin tidak enak.” ucap Maria memecahkan kecanggungan.
El menjadi diam sedari tadi. Dia tahu kakaknya, dianggap aib keluarga. Tapi El merasa kakaknya orang yang baik, kejadian tujuh tahun lalu serasa hal mustahil.
Gadis itu menyelesaikan makan malam dengan cepat, lalu kembali ke kamarnya. Orang-orang yang tersisa di meja makan itu, hanya saling menatap dalam keheningan.
Lana mencoba membujuk El yang menutup pintu kamarnya, "El?"
"Ya, jangan khawatir. Aku harus beristirahat untuk besok.” El beralasan. Ia tahu Lana sudah pergi, terdengar dari langkah kakinya yang menjauh.
El merapihkan pakaiannya yang akan ia kenakan besok. Ia mengambil sebuah kotak yang membungkus pakaian tadi yang ia beli.
Ia melihat sebuah bingkai foto di dalam lemarinya, sedikit berdebu saat menarik benda itu. El menyeka sedikit debu disana, menampakan dua anak gadis kecil; dirinya dan kakaknya. El membersihkan foto mereka dan menaruhnya di dekat tempat tidurnya.
-
Silau matahari terasa pada mata El yang masih tertutup, ia membukanya perlahan. Disana ada Darla – saudara iparnya. "Bangun tuan putri,” ejeknya.
Darla duduk disamping kasur milik El, "Aku yakin mengingat hal itu membuatmu sedih, tapi sekarang ada kunjungan yang kau impikan. Cepat bersiap.” Darla mengusap rambut El kemudian beranjak keluar.
Tidak perlu waktu lama untuk El bersiap, kini gadis itu sudah ada di lantai bawah. Ia mengambil beberapa lapis roti dan bekal makan siangnya.
Tak perlu waktu lama untuk El sampai ke tempat yang ia tuju. El berjalan ke arah kumpulan lebih dari seratus orang, disana ada wanita berpakaian rapih yang menarik perhatian El, Nyonya Chris – wali kelasnya.
"Cuaca yang bagus bukan?" sapa Nyonya Chris.
"Mereka akan memberikan satu paket anggur pada peserta yang datang." bisiknya pada El.El berbisik, "Sempurna.”
Semua peserta berbaris sesuai arahan beberapa pria yang bertugas. Mereka tertegun dengan bangunan di dalamnya yang tampak klasik dan mewah.
Wanita dengan pakaian serba putih dengan dua orang laki-laki besar di belakangnya datang menyapa.
"Ekhm.. terima kasih kepada kalian yang menyempatkan waktu datang dengan kesempatan yang kalian dapatkan,” wanita itu tersenyum.
El membulatkan mata disaat yang lain bertepuk tangan. "Paula?" ucapnya dikeheningan. Ia menjadi pusat perhatian sekarang.
Wanita itu menatap El sekilas, "Tampaknya kalian sudah mendengar namaku, bukan?" Wanita itu tersenyum lagi, Paula namanya.
-
6 malam. Acara itu belum selesai, mereka – para pengunjung Grapvine menunggu untuk waktu makan malam. Beberapa dari mereka menghabiskan waktu.
Nyonya Crish menghampiri El, yang duduk pada salah satu kursi tamu dengan beberapa santapan.
"Hey, tebak siapa yang mencarimu?"
"Tim redaksi sekolah?" tebak El.
Nyonya Crish menggeleng, "Paulaaa!"
Keduanya sedikit berteriak dan bersemangat. Mereka berjalan menuju ruangan yang diantarkan oleh seorang wanita muda.
Wanita itu berdeham, "Hanya Nona Rinehart.”
Mereka bertatap – mengangguk, membiarkan El masuk sendiri ke dalam ruangan itu.
Remang dan lembab. Ruangannya sangat luas namun sedikit barang; hanya ada dua lemari sedang, satu meja kerja, dua kursi tamu, dan satu kursi yang menghadap jendela.
"Aku tahu ini gelap,” itu suara perempuan. Sepertinya orang dibalik kursi itu, pikir El.
El mencoba tidak gugup, "Ini tidak bagus untuk kesehatan."
Suara gemetar El membuat suara tawa dari perempuan itu, "Hahaha. Ya, tapi sangat bagus untuk mabuk.”
Gadis itu memutar kursinya. Menghadap ke arah gadis yang beberapa tahun lebih muda. Ia menangkup dagunya dengan tangan.
"Jadi, bagaimana? kau terlihat terkejut" tanya Paula.
El mencoba untuk tidak terlihat kaku, "Aku tidak tahu kau suka mabuk.”
"Dua tahun disini, mana mungkin aku tidak mabuk? Yang benar saja." Paula tertawa lagi, "Oh maaf, silahkan duduk.”
El yang sedari tadi berdiri, menarik kursinya, "Terima kasih.”
Paula menghela napas, "Terkejut bukan?"
El menelan ludah, "Setelah selama ini? Ya. Dan tentu saja aku merindukanmu.”
Paula mendengus, "Ya, aku tersanjung. Ku kira tak ada yang peduli, atau memang tidak.”
"Aku sangat peduli padamu! aku selalu mencoba menemuimu, tapi itu tidak pernah berhasil,” El menunduk.
"Oh tentu, sekarang kau berhasil. Tapi itu tidak berguna kurasa. Obrolan ini maksudku, sangat biasa, kau tahu.”
"Ayolah aku serius. Kenapa bersembunyi?"
Paula mendengus, "Lalu? aku harus mengumumkan kalau aku bukanlah pembunuh seperti tujuh tahun lalu?" Paula mendecih, "Seperti anjing yang menggongong di tengah lautan.”
"Kenapa tidak mencoba lagi? kau bisa melakukannya sekarang, banyak yang akan membela-mu, termasuk aku.”
"Jangan berlagak seperti aku adalah korban, Nona. Semua orang tau aku adalah penjahat.”
Gadis itu terkejut mendengar pernyataan Paula. Seakan-akan Paula sudah tidak peduli pada El dan keluarganya. Banyak perubahan dari Paula yang El kenal.
"Aku minta maaf,” El sedikit menangis dan suaranya gemetar.
"Jangan menangis. Aku benci tangisan. Keluarlah, acara malam akan dimulai.” Paula memutar kursinya kembali.
"Jika ingin pulang. Pulanglah, ayah selalu menangis di ruang musik. Dia selalu memikirkanmu.” El berdiri kembali, menghapus air matanya. Ia keluar dari ruangan Paula.
Paula menyeringai, "Benarkah?"
Suasana dingin menyelimuti sekitar. Ruangan itu berisikan tiga belas orang; Ramsey Adolph, Paula Rinehart, Jeremy Rinehart, Aleen Rinehart, Nane Adolph, Roger Rinehart, Ronald Adolph, Diana Adolph, James Taylor, Darla Taylor, Lapa Brown, Elane Barnez, dan Simon Barnez.Meja yang melingkar tak berujung membuat mereka saling berhadapan. Sinar matahari yang tertutup tirai dan hanya menyisakan sedikit cahaya masuk, membuat pencahayaan ruangan itu remang.Ramsey berdeham, “Aku harap kau bisa bijak dalam persidangan besok.”“Aku tidak bersalah.” gumam Paula.Aleen angkat bicara, “Aku mohon, permudah urusan besok, Paula. Jangan terus mengelak.”Dada Paula terasa sesak, “Aku mohon, percaya padaku.”“Seharusnya kami memusnahkanmu, itu lebih baik daripada membesarkan monster sepertimu.”“Dan seharusnya kalian membela-ku tadi!”
Aroma daging asap yang menyebar membuat nafsu makan El bertambah. “Kapan aku bisa mencicipinya?”Nyonya Chris tekekeh, “Tunggu sebentar, El.”Wanita itu datang dengan hidangan makan malam yang sedari tadi ia olah.“Apa kata mereka?”El mengangguk, “Tentu mengizinkan. Aku bilang kau akan mengadakan pesta dengan tim redaksi lainnya.”Gadis itu berbohong mengenai pesta, Nyonya Chris mengerti. “Ah gadis nakal. Kalau begitu kita harus buat pesta sungguhan.”Sudah tidak terhitung dalam pikirannya, berapa botol minuman yang mereka teguk. Stephanie Chris, kini merasa jiwanya kembali lebih muda.Enam jam El terlelap karena lelah bersenang-senang semalaman. Ia membuka perlahan matanya – kemudian duduk dan terdiam.El tertidur dekat jendela, ia menatap ke arah luar. Lebih dari setengah nyawanya sudah terkumpul, ia berdiri dan berjalan mencari kamar kecil
“Baik, ibu tutup teleponnya. Selamat malam sayang.” Aleen berjalan dan melemparkan diri pada kasurnya, melemaskan badannya setelah seharian ia menjadi kaku karena berkerja. Jeremy mendekati Aleen. “Dia tidak pulang?” tanyanya. Aleen mengangguk. “Dia sudah remaja ternyata.” Aleen tertawa, “Tapi dia bahkan tidak pernah berkencan.” “Bukankah anak kita semua begitu?” “Hahaha ya. Roger juga seperti itu.” “Dan Paula.” ucap Jeremy ragu. Aleen menoleh. “Ya.” Seketika mereka hening, seakan-akan menyebut nama perempuan itu adalah hal tabu dan tidak diinginkan. “Aku merasa tidak enak badan.” Aleen memiringkan badannya dan menarik selimut hingga pundaknya. “Dan mungkin, merasa tidak enak perasaan.” _ “Sudah siap kan?” Dua anak laki-laki berpakaian corak kotak-kotak mengangguk. Ibunya menekan bel. Seseorang membuka pintu. “Oh, ayo cepat masuk.” Dua wanita dengan dua anak laki-l
Suara musik terdengar samar-samar sampai gerbang, perempuan itu menutup telinga dengan kedua tangannya. Berjalan memasuki rumahnya yang hari ini sangat ramai.Ada lebih dari dua puluh mobil terparkir. Mulai dari depan rumah hingga kini ia berada di ruang tengah, tamu-tamu itu bergerombol.“Ah aku lupa hari ini ibu mengadakan acara.” gumamnya.“Hai?” seseorang menepuk pundak gadis itu, ia berbalik.“Oh, hai. Ada yang bisa ku bantu?”Orang di depannya menggaruk kepalanya. “Ya. Aku um.. sedikit tersesat disini. Kau tahu dimana toiletnya?”Gadis itu mengangguk. “Di ujung sana” ia menunjuk ke arah belakang tangga besar. “Mau ku antar?” tawarnya.Laki-laki itu sedikit terkejut dan menggeleng. “Aku bisa sendiri.”“Hahaha baiklah, jangan tersesat ya.” ia berjalan menjauh.Belum ia menginjakan kakinya pada satu anak tangga, seseorang m
1959Tuan Adolph, Ramsey Adolph sedikit terburu-buru setelah turun dan sedikit membanting pintu mobilnya. Ramsey tersontak mendapati cucu-cucunya yang berlarian ke arah pekarangan depan rumah; Micaela , Hannah, dan Joe. Ia mengambil kembali sebuah amplop surat yang sempat terjatuh.Ia berteriak, "Nane..dimana kau?", memanggil istrinya beberapa kali. Nihil, tak ada jawaban.Tidak seperti biasanya, Ramsey yang selalu kesal saat hal seperti itu terjadi malah memasuki ruangan minum teh dengan senyuman. Pria tua itu terlalu fokus menatap suratnya, hingga tak memperhatikan dua wanita sedang berada di ruangan yang sama."Ada surat untukku?", tanya wanita itu.Ramsey melihat dua wanita yang sedang duduk di kursi dekat perapian yang padam, ia tersenyum kikuk. "Loh, loh salah masuk rupanya. Ini suratku, jangan khawatir. Maaf mengganggu waktu kalian"Pria itu segera keluar dan menutup pintu ruangan itu. Sedikit mendengar Aleen mengata
Suara musik terdengar samar-samar sampai gerbang, perempuan itu menutup telinga dengan kedua tangannya. Berjalan memasuki rumahnya yang hari ini sangat ramai.Ada lebih dari dua puluh mobil terparkir. Mulai dari depan rumah hingga kini ia berada di ruang tengah, tamu-tamu itu bergerombol.“Ah aku lupa hari ini ibu mengadakan acara.” gumamnya.“Hai?” seseorang menepuk pundak gadis itu, ia berbalik.“Oh, hai. Ada yang bisa ku bantu?”Orang di depannya menggaruk kepalanya. “Ya. Aku um.. sedikit tersesat disini. Kau tahu dimana toiletnya?”Gadis itu mengangguk. “Di ujung sana” ia menunjuk ke arah belakang tangga besar. “Mau ku antar?” tawarnya.Laki-laki itu sedikit terkejut dan menggeleng. “Aku bisa sendiri.”“Hahaha baiklah, jangan tersesat ya.” ia berjalan menjauh.Belum ia menginjakan kakinya pada satu anak tangga, seseorang m
“Baik, ibu tutup teleponnya. Selamat malam sayang.” Aleen berjalan dan melemparkan diri pada kasurnya, melemaskan badannya setelah seharian ia menjadi kaku karena berkerja. Jeremy mendekati Aleen. “Dia tidak pulang?” tanyanya. Aleen mengangguk. “Dia sudah remaja ternyata.” Aleen tertawa, “Tapi dia bahkan tidak pernah berkencan.” “Bukankah anak kita semua begitu?” “Hahaha ya. Roger juga seperti itu.” “Dan Paula.” ucap Jeremy ragu. Aleen menoleh. “Ya.” Seketika mereka hening, seakan-akan menyebut nama perempuan itu adalah hal tabu dan tidak diinginkan. “Aku merasa tidak enak badan.” Aleen memiringkan badannya dan menarik selimut hingga pundaknya. “Dan mungkin, merasa tidak enak perasaan.” _ “Sudah siap kan?” Dua anak laki-laki berpakaian corak kotak-kotak mengangguk. Ibunya menekan bel. Seseorang membuka pintu. “Oh, ayo cepat masuk.” Dua wanita dengan dua anak laki-l
Aroma daging asap yang menyebar membuat nafsu makan El bertambah. “Kapan aku bisa mencicipinya?”Nyonya Chris tekekeh, “Tunggu sebentar, El.”Wanita itu datang dengan hidangan makan malam yang sedari tadi ia olah.“Apa kata mereka?”El mengangguk, “Tentu mengizinkan. Aku bilang kau akan mengadakan pesta dengan tim redaksi lainnya.”Gadis itu berbohong mengenai pesta, Nyonya Chris mengerti. “Ah gadis nakal. Kalau begitu kita harus buat pesta sungguhan.”Sudah tidak terhitung dalam pikirannya, berapa botol minuman yang mereka teguk. Stephanie Chris, kini merasa jiwanya kembali lebih muda.Enam jam El terlelap karena lelah bersenang-senang semalaman. Ia membuka perlahan matanya – kemudian duduk dan terdiam.El tertidur dekat jendela, ia menatap ke arah luar. Lebih dari setengah nyawanya sudah terkumpul, ia berdiri dan berjalan mencari kamar kecil
Suasana dingin menyelimuti sekitar. Ruangan itu berisikan tiga belas orang; Ramsey Adolph, Paula Rinehart, Jeremy Rinehart, Aleen Rinehart, Nane Adolph, Roger Rinehart, Ronald Adolph, Diana Adolph, James Taylor, Darla Taylor, Lapa Brown, Elane Barnez, dan Simon Barnez.Meja yang melingkar tak berujung membuat mereka saling berhadapan. Sinar matahari yang tertutup tirai dan hanya menyisakan sedikit cahaya masuk, membuat pencahayaan ruangan itu remang.Ramsey berdeham, “Aku harap kau bisa bijak dalam persidangan besok.”“Aku tidak bersalah.” gumam Paula.Aleen angkat bicara, “Aku mohon, permudah urusan besok, Paula. Jangan terus mengelak.”Dada Paula terasa sesak, “Aku mohon, percaya padaku.”“Seharusnya kami memusnahkanmu, itu lebih baik daripada membesarkan monster sepertimu.”“Dan seharusnya kalian membela-ku tadi!”
1966"Ibu surat izinku belum disetujui," gadis itu menaruh sebuah kertas dan pena pada meja dapur dekat ibunya memasak.Keena, saudara perempuan gadis itu tertawa, "Sangat semangat bukan, El?""Pastinya, itu hal membanggakan, kau tahu," balas Diana."Nah, kalian para anak muda harus terinspirasi seperti wanita itu.""Dia gadis, bukan wanita. Ku dengar dia belum menikah," gadis bernama Lana menjelaskan."Wah benarkah? itu keren sekali." puji Nane pada seorang gadis di Kota Roseburg, yang dikabarkan merupakan pemilik sebuah perusahaan anggur yang bernama Grapvine tengah naik daun.Gadis sukses itu belum diketahui identitasnya, hingga dua tahun setidaknya sampai lusa ia memperkenalkan dirinya pada publik. Ia mengundang satu orang dari setiap Sekolah Menengah di wilayah Oregon. El, salah satunya."El, kenapa kau simpan di sini. Bagaimana jika terkena air?" teriak Aleen – ibu El.El sedikit berlari mengambil surat
1959Tuan Adolph, Ramsey Adolph sedikit terburu-buru setelah turun dan sedikit membanting pintu mobilnya. Ramsey tersontak mendapati cucu-cucunya yang berlarian ke arah pekarangan depan rumah; Micaela , Hannah, dan Joe. Ia mengambil kembali sebuah amplop surat yang sempat terjatuh.Ia berteriak, "Nane..dimana kau?", memanggil istrinya beberapa kali. Nihil, tak ada jawaban.Tidak seperti biasanya, Ramsey yang selalu kesal saat hal seperti itu terjadi malah memasuki ruangan minum teh dengan senyuman. Pria tua itu terlalu fokus menatap suratnya, hingga tak memperhatikan dua wanita sedang berada di ruangan yang sama."Ada surat untukku?", tanya wanita itu.Ramsey melihat dua wanita yang sedang duduk di kursi dekat perapian yang padam, ia tersenyum kikuk. "Loh, loh salah masuk rupanya. Ini suratku, jangan khawatir. Maaf mengganggu waktu kalian"Pria itu segera keluar dan menutup pintu ruangan itu. Sedikit mendengar Aleen mengata