"Menikah?"
Seorang wanita cantik dengan rambut kuncir kuda itu melotot saat ibu dan ayahnya menyuruhnya untuk menikah. Wanita itu bahkan tak tahu dengan pria macam apa dia akan dinikahkan. Ia sudah berusaha mempertahankan status lajangnya lebih dari 25 tahun. Hal itu terjadi karena ia ingin menemukan cinta sejatinya. Ia ingin menikah dengan orang yang benar-benar mencintainya.Wanita itu meremas pinggir sofa yang menjadi tempat duduknya. Ia menatap ayah dan ibunya secara bergantian. Ia baru saja pulang bekerja dan tubuhnya sangat lelah. Kini ia harus dibuat pusing dengan satu kata."Eva, ibu melakukan ini untuk kebaikan kamu," ujar Linda, ibunya dengan wajah sedih.Wanita bernama Eva itu menarik sebelah sudut bibirnya. "Kebaikanku?"Hendri–ayahnya yang sedari diam pun mulai berdeham pelan. Ia mengambil map coklat dari bawah meja ruang tamu. Lalu ia mengeluarkan sebuah surat yang berisi perjanjian dari map tersebut.Eva langsung menyambar kertas itu tanpa mendengar apa pun dari ayahnya. Ia membaca isi surat itu dengan teliti tanpa melewati satu kata pun.Setelah selesai membaca surat itu, ia terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus berkata apa."Mengapa Ayah meminjam uang dari mereka? Apa penghasilanku selama ini masih kurang?" tanya Eva.Hendri menunduk lesu. "Ayah bangkrut, Eva," ujarnya lirihEva meremas rambutnya frustasi. Berulang kali ia menarik nafas dan menghembuskannya. Ia merasa kecewa karena ayah dan ibunya menyembunyikan hal sebesar ini. Kini ia tak punya pilihan lain."Jadi seperti apa dia?" tanya Eva."Ayah punya fotonya," ujar Hendri.Eva menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin melihat wajahnya. Cukup jelaskan bagaimana kepribadiannya menurut Ayah."Hendri menganggukkan kepala beberapa kali. "Dia pria yang baik. Walaupun tidak pandai berekspresi, tapi dia berhati hangat.""Bagaimana Ayah bisa tahu dia berhati hangat?" tanya Eva.Sang ayah tersenyum sambil mengusap puncak kepala putrinya tersebut."Dia seorang guru."~~~Eva memijat pelipisnya, ia masih teringat dengan obrolan semalam. Ia bahkan tak pernah berkencan dengan siapapun sampai usia 25 tahun lebih 6 bulan. Ia memandang kursi yang masih tanpa penghuni. Lebih dari 20 menit ia menunggu pria itu di restoran yang cukup terkenal di Jakarta. Lokasinya tak cukup jauh dari tempat bekerjanya. Jika pria itu tak tiba dalam waktu 5 menit ke depan, ia akan segera pergi."Atas nama Eva Indriani?"Akhirnya pria itu datang!Eva mengangkat kepalanya saat mendengar namanya disebut. Ia melihat seorang pria tampan mengenakan kemeja putih tengah menatap dingin ke arahnya. Wajahnya cukup memenuhi standar, tapi ia masih belum tahu kepribadiannya. Ia pun tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya."Saya sendiri," ujar Eva.Pria itu mengulurkan tangannya. "Saya Andra Fajar Pangestu."Eva dengan ragu membalas jabatan tangan tersebut. Setelah itu Andra duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Lalu ia menatap ponselnya dengan saksama."Lebih cantik yang ada di foto," tukas Andra.Eva tersenyum tipis saat mendengar ucapan pria tersebut. "Te-terima kasih.""Itu bukan pujian."Senyum di wajah Eva mendadak luntur. Ayahnya sama sekali tak menyebutkan bahwa pria ini sangat menyebalkan. Apa ayahnya sengaja menyembunyikan itu agar ia mau menemui pria menyebalkan yang ada di hadapannya ini.Mereka sama sekali tak membuka suara selama lebih dari 10 menit. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Andra sangat fokus bermain ponsel, sedangkan Eva sibuk meracau dalam hati."Selamat siang. Hari ini kami sedang ada promo untuk sepasang kekasih, apakah anda ingin menco—""Tidak," tolak Andra dan Eva bersamaan."Kalau begitu saya akan mencatat pesanan Anda," ujar pelayan wanita itu dengan senyum manisnya.
Eva tersenyum lalu mengambil buku menu yang ada di meja. "Saya mau pesan—""Dua gelas teh," ujar Andra.Eva langsung melotot mendengar pesanan Andra. "Tapi—"Eva menghentikan ucapannya saat melihat Andra sudah kembali fokus pada ponselnya. Pelayan itu pun langsung pergi setelah selesai mencatat pesanan mereka."Kenapa hanya pesan teh?" tanya Eva.Andra mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam. "Waktu istirahat saya tinggal 20 menit."Eva mendengus sebal mendengarnya. Ia memilih untuk diam dari pada mengajak bicara pria tersebut. Sesekali ia melirik pria yang terus memandangi ponselnya."Jadi, apa alasanmu mau menikah dengan saya?" tanya Andra.Eva terkejut saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia belum menyiapkan jawaban untuk itu. Setahunya, pria lah yang akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tapi mengapa kondisinya saat ini jadi terbalik?Eva menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "Saya—"Pria itu memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Lalu ia menatap lurus ke arah Eva. "Lain kali sebelum datang ke perjodohan seperti ini, tolong siapkan alasan."Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu, bagaimana denganmu? Apa alasanmu ingin menikah dengan saya?""Saya ingin rumah yang selalu rapih."Eva mendecih pelan lalu berkata, "Kalau begitu kamu bisa mempekerjakan asisten rumah tangga.""Saya tak mudah percaya dengan orang lain."Eva menjentikkan jarinya. "Nah! Saya juga orang lain.""Kamu bukan orang lain," ujar Andra.Eva mengernyitkan dahinya. "Lalu?""Kamu anak dari Pak Hendri," jawab Andra.Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke segala arah. Pria di hadapannya ini sangat aneh. Bagaimana bisa pria ini menjadi guru dengan sikap menyebalkannya.Keheningan lagi-lagi menyelimuti mereka. Bahkan sampai pelayan membawakan dua gelas teh, mereka sama sekali tak membuka suara. Tentu saja itu membuat Eva tidak nyaman."Jadi kamu sudah menemukan alasan menikah dengan saya?" tanya Andra."Saya butuh uang," jawab Eva asal.Andra mengangkat sebelah alisnya. "Uangmu itu lebih banyak dari saya.""Saya butuh uang yang lebih banyak."Andra mengangkat sebelah tangannya lagi. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya."Waktumu untuk berpikir tinggal 5 menit lagi," ujar Andra.Eva menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa ia sangat gugup saat ini. Ia meraih gelas dan meminum teh yang ada di meja, berharap pikirannya bisa sedikit terbuka. Lalu tiba-tiba ia teringat dengan sebuah novel yang terakhir kali dibacanya.Eva menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan. "Saya ...,"Andra menaikkan sebelah alisnya. Ia terus menatap Eva dengan penasaran. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya."Saya jatuh cinta saat pertama kali melihatmu."Hening.Andra mengerjapkan matanya dua kali. Ia masih terus menatap Eva dengan bingung. Lalu ia kembali mengangkat sebelah tangannya. Ternyata masih ada waktu 3 menit."Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Andra.Eva mengalihkan tatapannya ke segala arah. Otaknya lagi-lagi dipaksa untuk berpikir keras. Ia menyesali keputusannya karena sudah memilih untuk menemui pria tersebut.Lalu senyumnya mengembang saat berhasil menemukan sesuatu. Ia ingat bahwa ayahnya menyimpan foto pria menyebalkan tersebut. Mungkin itu bisa di jadikan jawaban yang tepat. Eva kembali menatap Andra yang masih menunggu jawabannya.Eva menggelengkan kepalanya. "Tidak, kita tidak pernah bertemu sebelumnya.""Lalu bagaimana bisa kamu jatuh cinta saat pertama kali melihat saya? " tanya Andra."Saya melihat fotomu."Andra mulai tertarik dengan perbincangan ini. Ia pun melipat kedua tangannya di atas meja. Matanya terus menatap lurus ke arah Eva yang terlihat gugup. Sebelah tangannya perlahan meraih ponsel yang ada di sakunya. Lalu ia menggeser layar ponselnya untuk mencari foto yang di maksud oleh gadis di hadapannya. Setelah itu ia memutar ponselnya agar Eva bisa melihat apa yang ada di layar tersebut."Maksudmu foto ini?" tanya Andra dengan senyum miringnya.Bersambung ...
Eva menatap ke layar ponsel yang ada di tangannya. Sedari tadi ia terus menandangi wajah pria yang baru saja ditemuinya beberapa jam lalu lewat ponselnya. Ia masih tak percaya pria itu bisa berfoto dengan wajah datar.Eva beralih pada kamera, lalu ia mulai mengikuti pose Andra. Ia membuat wajahnya sedatar mungkin, lalu memotretnya. Ia pun tercengang dengan hasil potretannya tersebut."Adik gue bahkan bisa bergaya lebih bagus dari itu," celetuk seorang wanita dari belakangnya.Eva langsung mematikan ponselnya dan menoleh ke sumber suara. Ia tersenyum kikuk menyadari ada orang yang melihat fotonya tersebut."Itu ... gue," gumam Eva pelan.Wanita berambut pendek sebahu itu terkekeh. "Santai saja, Va. Yuk lanjutkan pekerjaan kita."Eva tersenyum lebar lalu mengangguk. "Maaf ya, Ina. Gara-gara gue izin terlalu lama, pekerjaan kita jadi banyak."Wanita itu membentuk jarinya membentuk huruf O s
Eva menatap datar pria yang duduk di hadapannya. Hari masih terlalu pagi, tapi nampaknya pria itu memang berniat untuk merusaknya. Ia melirik ke arah ibunya yang nampak sangat senang dengan kunjungan Andra. Sedangkan ayahnya hanya diam dengan mata yang terpaku pada koran.Eva hendak mengambil piring dari meja, tapi tangan Andra lebih cepat meraihnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan tak suka. Ia langsung merampas piring dari tangan pria tersebut. setelah itu ia memilih untuk diam dan fokus pada sarapannya. Hari minggu sudah di depan mata, ia harus menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Untuk sementara ia akan membiarkan pria itu mengikuti naskah yang dibuat oleh ayahnya.“Makan yang banyak,” ujar ibu Eva pada Andra yang sedang mengambil makanan.Andra tersenyum dan mengangguk. Tangannya mulai bergerak mengambil makanan yang sesuai dengan seleranya. Lalu ia melihat sebuah telur mata sapi di atas piring bermotif bunga. Ia pun langsung mengambilnya. T
"Ayah, dia ga baik untuk aku."Ayah dan ibunya yang sedang sarapan pun terdiam. Mereka menunggu putrinya melanjutkan apa yang ingin di utarakannya. Eva mendesah pelan, ia terpaksa mengatakan hal ini. Ia ingin kedua orang tuanya tahu seperti apa pria yang ingin dijodohkan dengannya."Dia," Eva mengusap wajahnya dengan gemas. "dia ga waras, Ayah.""Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?" tanya Ibunya.Eva terdiam, ia masih tak yakin harus jujur atau tidak. Ayahnya pasti akan marah jika mendengarnya. Ia memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat."Dia punya pacar," ujar Eva lirih.Ayahnya mengernyit bingung. "Tapi Bambang bilang dia tidak pernah punya pacar."Eva mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bambang?"Ayahnya mengangguk lalu berkata, "Ayahnya Andra."Eva membulatkan mulutnya. "Mungkin Andra tipe orang yang tertutup.""Kalau begitu, Ayah akan tanya
Eva menatap sinis Andra yang sedang makan dengan tenang. Padahal pria itu bilang tak akan berlama-lama di rumah ini, tapi mengapa malah sampai makan bersama. Ia merasa tak nyaman berada di sana, apalagi saat calon ayah mertua terus menatapnya dengan dingin. Ayah dan anak itu memiliki tatapan yang sangat mirip."Jadi kamu anaknya Hendri?" tanya Bambang dengan nada ketus.Eva mengangguk kaku lalu menjawab, "I-iya, saya anak Hen- maksud saya pak Hendri."Bambang mengernyitkan dahinya. "Sangat berbeda dengan yang di foto. Saya jadi kecewa."Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum walau tipis. Andra yang duduk di hadapannya melirik sekilas, lalu kembali sibuk pada makanannya."Lebih cantik aslinya kok," ujar Ibu Andra.Eva menoleh pada ibu Andra, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu."Ibu Andra tersenyum lalu mengelus puncak kepala Eva dengan lembut. "Ayo dimakan dulu makanannya."
Eva mendelikkan matanya ke arah Andra yang sedang meminum kopinya. Sejak mereka pulang dari taman bermain, pria itu sama sekali tak menjelaskan tentang panggilan dari kontak bernama 'Kekasihku' tersebut."Saya akan beritahukan hal itu kepada ayah dan ibu," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Baiklah."Eva semakin jengkel mendengar jawaban dari pria tersebut. Ia meletakkan gelas di atas meja makan dengan kekuatan penuh. Suara gelas itu bahkan sampai terdengar ke ruang tengah.Ibu Eva datang dengan membawa sepiring buah. Mereka tiba di rumahnya sejak sore hari. Tetapi ia sama sekali tak mengizinkan Andra pulang sebelum menjelaskan siapa wanita yang menghubunginya."Kalian kenapa, sih? Kok bertengkar?" tanya Ibu Eva.Eva menatap sinis Andra yang terlihat tak peduli. "Dia punya pacar, Bu."Ibu Eva menarik kursi yang ada di samping Andra, lalu menempatinya. "Benar begitu, Andra?"
Eva menghela napasnya kasar. Ia mangacak rambutnya hingga berantakan. Otaknya secara otomatis terus mengulang kejadian semalam. Ia bahkan tak menyangka akan jadi seperti itu. Padahal sebenarnya ia ingin menyingkirkan sesuatu dari bibir pria itu. Tapi sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman.Eva beranjak ke meja yang di tempati oleh Vira. Nampak wanita itu sedang memoles wajahnya. Ia menepuk bahu wanita itu pelan, hingga membuatnya menoleh."Kenapa, Va?" tanya Vira.Eva menarik kursi milik Ina yang masih kosong karena pemiliknya belum datang, lalu duduk di samping Vira. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal."Gue mau nanya," gumam Eva pelan.Vira menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Hm, nanya apa tuh?""Wajar ga sih kalau ciuman sama orang yang kita ga suka?" tanya Eva.Vira terdiam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih memproses ucapan Eva yang begitu mengejutkan
Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini."Ayo turun," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuat
Eva memandangi dirinya di cermin. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat sampai tak beraturan. Ia bisa mendengar suara pembawa acara yang sudah heboh. Suasana di luar rumah juga sudah sangat heboh. Ia sengaja mengadakan pernikahan di rumah Andra agar tak terlalu banyak membuang uang.Tak lama, pintu ruangan tempatnya dirias itu terbuka. Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Eva langsung menghambur dan memeluk ibunya tersebut. Ia yang semula biasa saja seperti terbawa suasana. Entah mengapa air mata lolos begitu saja mengalir di pipinya."Loh ... anak ibu ga boleh nangis," ujar ibunya sambil menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Eva.Eva menarik kedua sudut bibirnya walau air maya terus mengalir. Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu kembali memeluk ibunya tersebut."Sebentar lagi kamu keluar ya. Andra sudah di luar," kata ibunya.Eva menganggukkan kepalanya, lalu ibunya pun pamit untuk kembali
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan