Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini.
"Ayo turun," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuatnya kesulitan untuk bernafas. Gajinya selama menjadi guru saja hanya 7 digit."Apa ini tidak terlalu mahal?" tanya Andra.Eva langsung menoleh ke arah Andra, lalu menggeleng sambil tersenyum. Ia sudah mempersiapkan uang untuk membeli gaun impiannya, jadi tentu saja tidak mahal. Ia melambaikan tangannya pada seorang wanita yang menjaga ruangan tersebut. Wanita itu langsung menghampirinya."Apakah gaun yang saya pesan sudah selesai?" tanya Eva.Wanita itu menganggukkan kepalanya. Ia membuka sebelah tangannya dan mempersilakan Eva menuju pintu cokelat yang ada disudut ruangan."Terima kasih," ujar Eva.Eva menarik lengan Andra menuju pintu tersebut. Tapi dengan kuat pria itu menepis lengannya. Tentu saja itu membuatnya merasa bingung."Ada apa?" tanya Eva dengan bingung.Andra menarik napasnya. "Saya merasa kamu yang berkuasa di sini."Eva mengernyitkan dahinya. "Apa itu salah? Ini pernikahan saya.""Jangan lupa, saya juga terlibat dalam pernikahan ini—""Lalu apa mau kamu?" tanya Eva dengan tangan terlipat di dadanya. Ia menatap Andra dengan sorot tajam."Kamu sudah melibatkan saya dari awal, maka kamu harus terus melibatkan saya sampai akhir," jelas Andra.Eva terkekeh pelan lalu berkata, "Saya melibatkan kamu? Bukankah kamu yang melibatkan saya?"Andra mengusap wajahnya dengan frustasi. "Saya sama sekali tidak meminta kamu menerima perjodohan ini. Bahkan saya sudah memberikan kamu kesempatan untuk menolak—""Berhenti bicara!" potong Eva."Hei ... Saya calon suami kamu," kata Andra lirih.Eva tak lagi berniat menjawab ucapan Andra. Ia segera masuk ke balik pintu cokelat dan menutupnya dengan keras. Ia menghela napas pelan lalu mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia terdiam memandangi pintu tersebut. Padahal besok adalah hari pernikahannya, tapi mengapa ia sama sekali tak merasa bahagia? Ia pun berbalik menuju pintu yang menjadi tempat asalnya datang. Ia bisa melihat wanita yang menjaga ruangan itu menatapnya dengan senyum tipis. Ia menarik kedua sudut bibirnya lalu keluar dari ruangan tersebut.Untuk pertama kalinya Andra merasa bau asap kendaraan lebih nikmat daripada harum bunga. Ia merasa lebih baik saat berada di luar gedung tersebut. Ia menghentikan sebuah taxi yang hampir tiba di dekatnya. Ia memutuskan untuk kembali bekerja daripada mencari gaun pengantin yang hanya berujung pada pertengkaran.Ponselnya bergetar, ia bisa melihat nama Eva di layarnya. Ia sama sekali tak menjawab panggilan tersebut. Ia memasukkan ponsel ke saku kemejanya, pasti wanita itu akan lelah sendiri.Namun sudah setengah perjalanan, ponselnya masih terus bergetar. Cukup lelah juga merasakan getaran tersebut. Ia pun memutuskan untuk mengambil ponsel dan menjawabnya."Apa lagi?!" tanya Andra dengan suara meninggi."Ga sopan kamu!"Andra langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia sangat terkejut saat melihat nama ayahnya."Maaf, Andra kira Erfan. Soalnya—""Kenapa kamu tidak ikut Eva mencari gaun pengantin?!" bentak ayahnya.Andra tak menjawab ucapan ayahnya tersebut, ia memilih untuk diam menunggu apa yang akan diucapkan ayahnya setelah ini."Cepat temui calon istrimu!"~~~Andra sama sekali tak kembali, hal itu membuat Eva menjadi merasa bersalah. Ia melirik jam yang menempel di dinding, sudah lebih dari 30 menit sejak pria itu pergi. Terlebih lagi, panggilannya tak dijawab. Pasti pria itu sangat marah saat ini.Eva memejamkan matanya frustasi. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang ganti. Mungkin harusnya ia sedikit mengalah pada pria itu. Semua yang diucapkan oleh Andra tak sepenuhnya salah. Ia merasa sangat egois ketika mengingat kejadian tersebut."Mba Eva?"Eva menoleh ke arah pintu yang ada di belakangnya. "Iya?""Silakan masuk ke ruang ganti," ujar seorang wanita berpakaian hitam putih.Eva tersenyum lalu bangun dari tempat duduknya. Ia melihat gaun pengantin berwarna putih dengan rompi sesuai impiannya. Perlahan ia meraih gaun itu, benar-benar terlihat indah. Ia segera mengenakan gaun itu tanpa berlama-lama."Sudah selesai?" tanya wanita penjaga toko itu dari luar.Eva menundukkan kepalanya lalu berkata, "Saya sudah selesai."Eva membuka tirai yang menutupi ruang gantinya. Ia terus menundukkan kepalanya, entah mengapa ia mengharapkan kehadiran Andra saat ini. Ia ingin tahu bagaimana respon dari pria tersebut."Cantik sekali!"Eva langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pria. Namun ia menjadi sangat kecewa saat ternyata pria itu pasangan dari wanita yang ada di ruang ganti sebelahnya. Ia tersenyum kecut menyadari kenyataan bahwa ia menginginkan kehadiran Andra.Eva memaksakan diri untuk tersenyum di cermin besar yang ada di depannya. Ia memutar tubuhnya, gaun itu benar-benar mengubahnya seperti sang putri. Gaun itu memang tak terlalu meriah, namun memiliki kesan berkarisma."Bagaimana menurut calon pengantin pria?" kata wanita berseragam hitam putih tersebut.Eva mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak melihat siapapun di sana selain pasangan yang sedang bermesraan. Ia menghela napasnya pelan, lalu berbalik ke dalam ruang ganti."Cantik."Eva langsung menolehkan kepalanya, tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya. Ia melihat sosok Andra yang sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam dilengkapi dasi berwarna yang sama.Andra langsung menghampiri wanita itu dengan wajah dinginnya. Walaupun penampilannya sudah sangat berbeda, tapi kebiasaannya itu tak bisa dihilangkan."Senyum," bisik Eva saat Andra sudah ada di dekatnya.Andra menggelengkan kepalanya. "Khusus hari ini saya marah sama kamu."Eva mengulum senyumnya. Ia langsung melingkarkan lengannya di celah lengan kekar pria tersebut. Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu pria itu, tapi ternyata tidak bisa."Kamu terlalu tinggi," bisik Eva.Andra mengangkat sebelah alisnya. "Ya sudah, saya aja yang nyandar di kamu."Eva mendelikkan matanya. Tapi belum sempat melarang, Andra sudah menyandarkan kepala di bahunya. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang, terutama saat pria itu membisikkan sesuatu ke telinganya."Senyum."Bersambung ....
Eva memandangi dirinya di cermin. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat sampai tak beraturan. Ia bisa mendengar suara pembawa acara yang sudah heboh. Suasana di luar rumah juga sudah sangat heboh. Ia sengaja mengadakan pernikahan di rumah Andra agar tak terlalu banyak membuang uang.Tak lama, pintu ruangan tempatnya dirias itu terbuka. Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Eva langsung menghambur dan memeluk ibunya tersebut. Ia yang semula biasa saja seperti terbawa suasana. Entah mengapa air mata lolos begitu saja mengalir di pipinya."Loh ... anak ibu ga boleh nangis," ujar ibunya sambil menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Eva.Eva menarik kedua sudut bibirnya walau air maya terus mengalir. Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu kembali memeluk ibunya tersebut."Sebentar lagi kamu keluar ya. Andra sudah di luar," kata ibunya.Eva menganggukkan kepalanya, lalu ibunya pun pamit untuk kembali
Eva meringis kesakitan saat telapak kakinya terkena air. Akibat pelarian tanpa alas kaki, ia mendapat luka yang cukup parah di kakinya. Terpaksa ia berjalan tertatih menuju ruang kerjanya. Tidak ada siapa pun di sana, hanya Eva seorang diri. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa yang baru datang beberapa minggu lalu. Ia kembali teringat dengan ucapan Andra yang berhasil menghancurkan hatinya. Tepat di hari pernikahan, pria itu berani mengatakan bahwa dia menyukai wanita lain."Brengsek!"Eva meraba seluruh tubuhnya. Ia mendesis pelan saat menyadari ponselnya tertinggal di rumah Andra. Ia terlalu terburu-buru sampai melupakan barang kesayangannya tersebut. Ia memilih untuk memejamkan kedua matanya. Ia berharap semua ini cuma mimpi. Eva sama sekali tak menyangka pernikahan pertamanya ini berakhir seperti itu."Eva."Eva langsung membuka matanya dan menoleh ke arah pintu. Matanya terbelalak kaget saat melihat Andra yang sudah berdir
Eva meregangkan otot tubuhnya. Matahari sudah kembali menyeruak masuk melalui celah gorden kamarnya. Ia berusaha membuka kedua matanya yang terasa sangat sulit. Samar-samar ia melihat sosok Andra yang duduk di tepi ranjang tengah menatapnya. Walau nyawanya belum terkumpul, ia langsung bangun dari ranjang itu."Hari ini kita pulang ke rumah saya," ujar Andra.Eva hanya bisa membuka mulutnya. Ia mengira akan tinggal di rumah yang seperti istana ini, tapi ternyata mereka akan pindah ke rumah Andra. Ibunya pernah berkata bahwa pria itu tinggal di apartemen yang sempit untuk menghemat pengeluaran. Itu artinya Eva akan tinggal di apartemen itu mulai hari ini."Apartemen?" tanya Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Saya tidak ingin merepotkan orang tua."Andra mengambil ponselnya yang ada di meja, lalu segera keluar dari kamar tersebut. Kini meninggalkan Eva yang masih berdiri di tempatnya. Ternyata pikirannya dengan pria itu
Selesai membuang sampah, Andra mengajak Eva untuk makan siang di salah satu tempat favoritnya. Eva yang sama sekali tak tahu tempat itu pun menurut saja. Ia mengikuti langkah Andra menyusuri trotoar yang cukup dipadati pedagang kaki lima. Lalu Andra berhenti di depan gerobak bakso yang tampak tak higenis tersebut. Eva menyentuh lengannya, ia langsung menoleh dan tersenyum. Ia menggenggam lengan Eva dan duduk di kursi yang tersedia.Eva menyapukan pandangannya ke segala arah. Benar-benar jauh dari kata sehat, terutama saat jalan itu ramai. Asap dari kendaraan itu dengan mudah masuk ke hidungnya. Eva mengibaskan tangan di depan hidungnya."Aduh! Kalau tahu begini, saya pasti bawa masker," gerutu Eva.Pedagang bakso yang berusia hampir setengah abad itu menoleh. Andra mengisyaratkan pedagang bakso itu untuk tidak mendengarkan ucapan Eva."Selama ini saya makan seperti ini," ujar Andra.Eva mengernyitkan dahinya,lalu ia me
Eva membuka kedua matanya yang terasa berat. Alarm dari ponselnya terus berdering hingga memenuhi seisi kamarnya. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. Matanya mengerjap berulang kali sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu dahinya mulai berkerut saat merasa ada kejanggalan.Eva masih ingat betul, malam itu ia sedang menonton sinetron kesukaannya di ruang tamu. Tapi mengapa ia bisa ada di dalam kamar. Pikirannya tertuju pada Andra. Ia segera bangun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Setelah berada di luar, ia melihat kaki Andra menjuntai ke atas sandaran sofa. Eva menghampiri pria itu dan menatapnya sejenak. Wajahnya saat tidur ternyata menyimpan ketampanan yang tak pernah Eva sadari. Rambutnya yang berantakan membuatnya benar-benar berbeda. Biasanya rambut itu selalu tertata dengan rapi."Andra," panggil Eva sambil menepuk bahu Andra pelan."Hm.""Bangun, Ndra," ujar Eva.Bukannya bangun, Andra semakin merapa
"Kenapa kamu ga bilang sama saya?" tanya Eva dengan suara lirih.Eva mendorong tubuh Andra hingga terjatuh di atas sofa. Ia menatap suaminya itu dengan sorot tajamnya. Ia sama sekali tak membuka mulutnya. Andra berulang kali mengalihkan tatapannya ke sembarang arah untuk menghindari kontak kata dengan wanita di hadapannya. Andra menghela napasnya pelan, ia beranjak bangun dari sofa. Tapi dengan cepat Eva langsung mendorong tubuhnya lagi."Eva, saya bisa jelaskan ini semua," ujar Andra.Eva menganggukkan kepalanya. "Baguslah. Kalau begitu jelaskan sekarang juga!""Saya hanya memiliki satu kamar di sini," kata Andra dengan kepala yang menunduk.Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu mengapa kamu menolak untuk tinggal bersama saya?"Andra tak menjawab, ia terus menundukkan kepalanya. Ia tak punya alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan istrinya tersebut. Sebenarnya mereka memang lebih layak tinggal di rumah
Lebih dari 5 menit Eva terus menangis di trotoar yang ramai dilalui orang. Beberapa dari pejalan kaki berbisik membicarakannya, tapi ia sama sekali tak peduli. Ia terus menangisi ponselnya yang masih berstatus kredit tersebut. Eva mengangkat kepalanya saat melihat sepasang sepatu berhenti tepat di depannya."Andra?""Kenapa nangis di sini?" tanya Andra sambil mengulurkan sebelah tangannya.Eva langsung menyambut uluran tangan suaminya itu. Namun air mata nampaknya masih enggan untuk berhenti mengalir. Andra terus menatapnya dengan bingung."Apa yang membuat kamu menangis seperti ini?" tanya Andra.Eva menyerahkan tasnya pada Andra. "Ponsel saya hilang!"Andra terkekeh pelan lalu mengusap punca kepala istrinya tersebut. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu ia menyodorkan ponsel milik Eva. Terlihat wajah istrinya begitu bahagia."Kok bisa ada di kamu?" tanya Eva dengan senyum lebarnya.
Andra tiba terlebih dahulu di rumah. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk melihat arloji. Jarum pendek sudah berada tepat di angka enam, tapi Eva masih belum pulang. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum tipis menatap gorden yang membelah kamar tersebut. Ia menyingkap gorden itu. Seketika tubuhnya langsung membeku, ia mengerjapkan matanya beberapa kali."A-a-andra?"Andra memutar tubuhnya dengan cepat. Ia merasakan wajahnya mulai memanas. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menghapus ingatannya dari kejadian beberapa detik yang lalu."Andra?" panggil Eva.Andra menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan menjawab panggilan Eva. Ia memilih berlari keluar dari kamar. Ia langsung menghidupkan televisi dan mencari saluran secara acak. Kemudian ia duduk di sofa walau masih dengan detak jantung yang tak karuan. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuk
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan