Selesai membuang sampah, Andra mengajak Eva untuk makan siang di salah satu tempat favoritnya. Eva yang sama sekali tak tahu tempat itu pun menurut saja. Ia mengikuti langkah Andra menyusuri trotoar yang cukup dipadati pedagang kaki lima. Lalu Andra berhenti di depan gerobak bakso yang tampak tak higenis tersebut. Eva menyentuh lengannya, ia langsung menoleh dan tersenyum. Ia menggenggam lengan Eva dan duduk di kursi yang tersedia.
Eva menyapukan pandangannya ke segala arah. Benar-benar jauh dari kata sehat, terutama saat jalan itu ramai. Asap dari kendaraan itu dengan mudah masuk ke hidungnya. Eva mengibaskan tangan di depan hidungnya."Aduh! Kalau tahu begini, saya pasti bawa masker," gerutu Eva.Pedagang bakso yang berusia hampir setengah abad itu menoleh. Andra mengisyaratkan pedagang bakso itu untuk tidak mendengarkan ucapan Eva."Selama ini saya makan seperti ini," ujar Andra.Eva mengernyitkan dahinya,lalu ia meEva membuka kedua matanya yang terasa berat. Alarm dari ponselnya terus berdering hingga memenuhi seisi kamarnya. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. Matanya mengerjap berulang kali sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu dahinya mulai berkerut saat merasa ada kejanggalan.Eva masih ingat betul, malam itu ia sedang menonton sinetron kesukaannya di ruang tamu. Tapi mengapa ia bisa ada di dalam kamar. Pikirannya tertuju pada Andra. Ia segera bangun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Setelah berada di luar, ia melihat kaki Andra menjuntai ke atas sandaran sofa. Eva menghampiri pria itu dan menatapnya sejenak. Wajahnya saat tidur ternyata menyimpan ketampanan yang tak pernah Eva sadari. Rambutnya yang berantakan membuatnya benar-benar berbeda. Biasanya rambut itu selalu tertata dengan rapi."Andra," panggil Eva sambil menepuk bahu Andra pelan."Hm.""Bangun, Ndra," ujar Eva.Bukannya bangun, Andra semakin merapa
"Kenapa kamu ga bilang sama saya?" tanya Eva dengan suara lirih.Eva mendorong tubuh Andra hingga terjatuh di atas sofa. Ia menatap suaminya itu dengan sorot tajamnya. Ia sama sekali tak membuka mulutnya. Andra berulang kali mengalihkan tatapannya ke sembarang arah untuk menghindari kontak kata dengan wanita di hadapannya. Andra menghela napasnya pelan, ia beranjak bangun dari sofa. Tapi dengan cepat Eva langsung mendorong tubuhnya lagi."Eva, saya bisa jelaskan ini semua," ujar Andra.Eva menganggukkan kepalanya. "Baguslah. Kalau begitu jelaskan sekarang juga!""Saya hanya memiliki satu kamar di sini," kata Andra dengan kepala yang menunduk.Eva memicingkan kedua matanya. "Lalu mengapa kamu menolak untuk tinggal bersama saya?"Andra tak menjawab, ia terus menundukkan kepalanya. Ia tak punya alasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan istrinya tersebut. Sebenarnya mereka memang lebih layak tinggal di rumah
Lebih dari 5 menit Eva terus menangis di trotoar yang ramai dilalui orang. Beberapa dari pejalan kaki berbisik membicarakannya, tapi ia sama sekali tak peduli. Ia terus menangisi ponselnya yang masih berstatus kredit tersebut. Eva mengangkat kepalanya saat melihat sepasang sepatu berhenti tepat di depannya."Andra?""Kenapa nangis di sini?" tanya Andra sambil mengulurkan sebelah tangannya.Eva langsung menyambut uluran tangan suaminya itu. Namun air mata nampaknya masih enggan untuk berhenti mengalir. Andra terus menatapnya dengan bingung."Apa yang membuat kamu menangis seperti ini?" tanya Andra.Eva menyerahkan tasnya pada Andra. "Ponsel saya hilang!"Andra terkekeh pelan lalu mengusap punca kepala istrinya tersebut. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu ia menyodorkan ponsel milik Eva. Terlihat wajah istrinya begitu bahagia."Kok bisa ada di kamu?" tanya Eva dengan senyum lebarnya.
Andra tiba terlebih dahulu di rumah. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk melihat arloji. Jarum pendek sudah berada tepat di angka enam, tapi Eva masih belum pulang. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Ia tersenyum tipis menatap gorden yang membelah kamar tersebut. Ia menyingkap gorden itu. Seketika tubuhnya langsung membeku, ia mengerjapkan matanya beberapa kali."A-a-andra?"Andra memutar tubuhnya dengan cepat. Ia merasakan wajahnya mulai memanas. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihatnya. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali untuk menghapus ingatannya dari kejadian beberapa detik yang lalu."Andra?" panggil Eva.Andra menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan menjawab panggilan Eva. Ia memilih berlari keluar dari kamar. Ia langsung menghidupkan televisi dan mencari saluran secara acak. Kemudian ia duduk di sofa walau masih dengan detak jantung yang tak karuan. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuk
Sejak kejadian malam itu, Eva benar-benar menjaga jaraknya dengan Andra. Ia bahkan tidak membiarkan sandalnya berdekatan dengan sandal milik pria itu. Saat berangkat bekerja, Eva sengaja membiarkan Andra pergi terlebih dahulu. Layaknya bisa memprediksi jarak, ia berjalan 10 meter di belakang suaminya tersebut. Eva memicingkan kedua matanya, pandangannya tertuju pada langkah kaki Andra yang semakin lambat. Ia pun mengikuti ritme langkah kaki suaminya. Ia tidak akan membiarkan jarak 10 meternya menjadi berantakan.Saat tengah fokus menyamakan langkah, ponsel di genggaman Eva bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ia langsung menggulir layar ponselnya. Nampak sebuah pesan dari Andra. Ia mencebikkan bibirnya, mungkin itu yang menyebabkan Andra memperlambat langkahnya.'Kamu jalan lebih dulu. Saya ada urusan.'Begitu isi pesannya.Eva mengernyitkan dahinya, ia mempercepat langkahnya untuk mengejar Andra. Setelah berada dalam jarak yang memun
Andra memasuki ruang kelas yang akan menjadi jadwal terakhirnya hari inj. Ia melangkah dengan tubuh tegapnya. Seperti biasa, para siswi yang baru memasuki masa remaja itu tersenyum malu-malu. Andra berdiri di depan papan tulis, lalu mengeluarkan selembar kertas. Ia menunjuk salah satu siswa yang duduk di kursi paling belakang."Nando!" panggilnya dengan suara lantang.Siswa bernama Nando yang sedang sibuk dengan buku itu langsung berdiri saat mendengar suara gurunya tersebut. Lalu Andra menggerakkan tangannya seolah mengisyaratkan Nando untuk maju ke depan. Muridnya itu langsung maju tanpa membatah sedikit pun."Kenapa nilai harian kamu kosong?" tanya Andra dengan suara yang melembut.Nando menundukkan kepalanya. "Maaf, Pak. Saat itu saya tidak datang ke sekolah karena sakit."Andra mengernyitkan dahinya. Ia mengambil buku absen dari laci mejanya. Ia meneliti setiap titik yang ada di nama Nando. Semuanya te
Eva mendengus sebal, entah sudah berapa kali ia mencoba keberuntungannya di mesin capit tersebut. Ia hampir patah semangat, padahal sedikit lagi ia berhasil mencapit boneka cacing yang diminta oleh anak laki-laki di sampingnya. Anak itu mengerucutkan bibirnya dengan wajah kesal."Tante payah!" kata anak tersebut.Eva langsung melongo saat mendengar ucapan anak tersebut. Padahal ia sudah menghabiskan hampir dari semua uangnya demi mendapatkan boneka tersebut. Eva merogoh sakunya lagi, ia menggenggam selembar uang lima ribuan."Eva, ayo pulang!" kata Vira yang baru saja selesai membeli pakaian.Eva menggeleng cepat. "Ga! Gue ga akan pulang sebelum dapat boneka itu!"Ina mendecak sebal. "Ya sudah, kita pulang duluan."Eva tak menjawab, ia langsung berlari menuju ke sebuah kios untuk menukar uang kertasnya menjadi koin. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Saat ia kembali, anak laki-laki itu sudah menghilang. M
Eva menatap Andra yang sudah tertidur di kasurnya. Ia sempat merasa kesal karena mau tak mau ia harus tidur di kasur tipis milik Andra. Padahal setelah Andra menerima paket, Eva sudah menyuruhnya untuk tidur dikasurnya sendiri. Tapi nampaknya pria itu sudah tidak kuasa menahan rasa kantuknya. Akhirnya ia tumbang di kasur milik Eva. Waktu terus berjalan, terdengar suara ketukan satpam yang menandakan tengah malam. Eva beranjak ke kasur milik Andra. Awalnya ia merasa nyaman, tapi setelah cukup lama punggungnya mulai terasa sakit akibat per yang ada di kasur itu sudah tidak berfungsi. Ia berinisiatif melapisi kasur dengan bed cover yang cukup tebal. Rasanya jauh lebih nyaman, tapi Eva sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya. Ia berhasil merusak jam tidurnya. Eva bangun dari kasur tersebut. Kemudian ia beralih pada ponsel Andra yang tergeletak di lantai. Eva meraih benda itu, namun saat dinyalakan, ternyata ponsel itu dipasang keamanan berupa kata sandi.
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan