Eva menatap sinis Andra yang sedang makan dengan tenang. Padahal pria itu bilang tak akan berlama-lama di rumah ini, tapi mengapa malah sampai makan bersama. Ia merasa tak nyaman berada di sana, apalagi saat calon ayah mertua terus menatapnya dengan dingin. Ayah dan anak itu memiliki tatapan yang sangat mirip.
"Jadi kamu anaknya Hendri?" tanya Bambang dengan nada ketus.Eva mengangguk kaku lalu menjawab, "I-iya, saya anak Hen- maksud saya pak Hendri."Bambang mengernyitkan dahinya. "Sangat berbeda dengan yang di foto. Saya jadi kecewa."Eva memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum walau tipis. Andra yang duduk di hadapannya melirik sekilas, lalu kembali sibuk pada makanannya."Lebih cantik aslinya kok," ujar Ibu Andra.Eva menoleh pada ibu Andra, lalu tersenyum lebar. "Terima kasih, Bu."Ibu Andra tersenyum lalu mengelus puncak kepala Eva dengan lembut. "Ayo dimakan dulu makanannya."Eva menganggukkan kepalanya. Ia pun mulai menyentuh semur daging yang ada di piringnya. Perasaannya sedikir membaik saat ibu Andra membelanya. Setidaknya ada satu orang yang masih waras di rumah ini. Ia segera menyantap makanan itu tanpa memperdulikan tatapan dari kedua pria yang seperti pinang dibelah dua tersebut.Andra terus memperhatikan wanita yang tengah makan di hadapannya. Ia kembali teringat pada kejadian di taxi. Ia menatap intens bibir Eva yang terkena kecap. Tanpa sadar ia menjilat bibirnya sendiri."Andra kok ngelihat Eva sampai matanya mau keluar gitu?"Eva langsung mengangkat kepalanya. Ia mendapatkan Andra yang tengah menatapnya seperti singa yang kelaparan. Ia yang merasa tak nyaman pun memilih untuk mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.Ibu Andra tertawa lalu menepuk bahu Eva. "Maklum ya, Va. Hidup 28 tahun ga pernah dekat sama cewek. Jadi gitu deh."Eva menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang terlihat kaku. Sedangkan Andra kembali dengan wajah dinginnya. Ia bangun dari kursi dan pergi menuju ruang tamu.Eva yang melihat Andra pergi pun langsung berlari mengikutinya. Ia terpaksa harus meninggalkan semur yang belum habis tersebut. Langkahnya terhenti saat melihat pria itu sedang mengacak rambutnya. Pria itu terlihat sangat frustasi saat ini. Ia memilih untuk mengintip dan bersembunyi di balik lemari yang cukup besar."Bisa gila gue kalau kayak gini," rutuknya.Anda mengusap kasar bibirnya. "Kenapa juga gue harus ciuman sama dia."Eva mengernyitkan dahinya. Rupanya Andra sedang frustasi akibat ciuman di taxi waktu itu. Ia pun tersenyum miring, otaknya seperti mendapatkan sesuatu. Ia langsung keluar dari tempat persembunyiannya.Andra terkejut saat melihat Eva yang datang dengan wajah datar. Wanita itu terlihat sangat menakutkan saat ini. Perlahan wanita itu mendekat ke arahnya, ia hanya bisa melangkah mundur. Tiba-tiba wanita itu menarik lengannya hingga memperdekat jarak mereka."Mau ke mana, Sayang?" goda Eva.Andra mengernyitkan dahinya. "Kamu keracunan semur buatan ibu saya?"Eva menggelengkan kepalanya. "Saya keracunan cinta kamu."Andra bergidik ngeri. Ia langsung mendorong tubuh Eva agar menjauh darinya. Namun sial, wanita itu menarik kerah kemejanya dengan kuat hingga ia ikut terjatuh ke lantai. Ia menjadikan telapak tangannya sebagai alas kepala wanita tersebut. Eva mengerjapkan kedua matanya. Ia bisa melihat dengan jelas ketampanan Andra yang selama ini selalu ditutupi oleh sikap menyebalkannya. Ia tersenyum miring saat pria itu tak bergerak sama sekali.Cup!Eva langsung mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya. Setelah itu, ia berlari keluar dari rumah. Sedangkan Andra masih terdiam dengan posisi duduk di lantai. Ia memegangi bibirnya dengan tatapan kosong."Kurang lama ...," ucap Andra lirih.~~~Mereka sudah berada di taman bermain yang letaknya cukup dekat dengan rumah orang tua Andra. Eva menatap pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria itu nampak begitu ceria saat bermain dengan anak-anak. Kepribadiannya sangat berbeda dengan saat bersamanya.Eva menghela napasnya. "Apa gue harus jadi anak kecil, supaya dia bisa seperti itu setiap hari?"Andra yang berada cukup jauh itu menoleh ke arahnya. Tanpa sadar Eva melambaikan tangannya sambil tersenyum. Pasti sebentar lagi pria itu akan menganggapnya sok akrab atau apa pun yang menyebalkan."Kamu mau ikut main?" teriak Andra sambil tersenyum manis.Eva terhipnotis dengan senyuman manis itu. Ia terdiam cukup lama, senyum di wajahnya mendadak luntur. Ia merasa sekelilingnya menjadi sunyi, kini yang terdengar hanya suara detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Ia memegang dadanya dengan tatapan yang tak lepas dari pria tersebut."Saya—""Saya ke sana!" teriak Andra.Andra berlari kecil ke arah Eva yang berdiri di pinggir taman. Pria itu menyodorkan sebotol minuman yang berasal entah dari mana. Ia pun menerima minuman itu dengan senang. Entah sejak kapan ia merasa wajah pria itu seperri bersinar. Mungkin ini sisi hangat yang di maksud oleh ayahnya. Benar-benar menghangatkan.Eva berdeham cukup keras untuk memecahkan suasana yang semakin aneh tersebut. "Ehem! Terima kasih."Andra menganggukkan kepalanya. "Kamu ga mau ikut main?"Eva menggelengkan kepalanya. "Saya tunggu di sini aja."Andra memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku. Setelah itu ia mengeluarkan ponsel dan memberikannya pada Eva. Wanita itu menatap dengan bingung ponsel yang ada di telapak tangannya."Jaga HP saya. Kalau ada yang telepon, langsung kasih ke saya," ujar Andra.Eva mengerjapkan matanya. "Kenapa ga di bawa?""Nanti jatuh. Kalau rusak, nanti gimana saya mau hubungin kamu?" tanya Andra.Secara misterius, Eva bisa merasakan kedua pipinya mulai memanas. Ia langsung menunduk dan memasukkan ponsel itu ke dalam satchel bag berwarna hitam yang selalu menempel dengannya. Andra tersenyum tipis lalu mengelus puncak kepalanya."Terima kasih," gumam Andra.Eva hanya menganggukkan kepalanya. Ia sama sekali tak berani menatap kedua mata Andra. Setelah lebih dari 25 tahun nyaman hidup sendiri, kini ia mulai merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Ia tak ingin jauh dari pria yang baru dikenalnya beberapa hari ini.Eva menarik ujung kemeja Andra lalu berkata, "Jangan lama-lama."Andra tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Setelah itu ia kembali berlari ke tengah taman menghampiri gerombolan anak kecil yang sedang bermain. Sesekali ia menoleh ke arah Eva yang sedang memperhatikannya sambil tersenyum. Tiba-tiba Eva merasakan ponsel di satchel bagnya bergetar. Ia langsung membuka tasnya, lalu mengeluarkan ponsel Andra. Nampak sebuah nama yang membuat senyumnya pudar. Dadanya terasa sesak sampai ia harus berusaha keras untuk mengambil napasnya.Kekasihku.Membaca nama kontaknya sudah membuat Eva merasa hatinya teriris. Baru saja pintu hatinya terbuka, beberapa detik kemudian langsung terluka. Ia mendecih pelan merutuki kebodohannya yang langsung jatuh hati hanya karena hal remeh. Ia pun bergegas memberikan ponsel itu sebelum panggilan berakhir."Andra," panggil Eva.Andra tersenyum manis ke arahnya dan itu membuatnya merasa sangat kesal."Ada apa?" tanya Andra.Eva menyodorkan ponsel milik Andra dengan ekspresi datarnya. Ia merasa kerongkongannya sangat kering sampai sulit berbicara."Pacarmu telepon," ucap Eva nyaris tak terdengar.Bersambung ....Eva mendelikkan matanya ke arah Andra yang sedang meminum kopinya. Sejak mereka pulang dari taman bermain, pria itu sama sekali tak menjelaskan tentang panggilan dari kontak bernama 'Kekasihku' tersebut."Saya akan beritahukan hal itu kepada ayah dan ibu," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Baiklah."Eva semakin jengkel mendengar jawaban dari pria tersebut. Ia meletakkan gelas di atas meja makan dengan kekuatan penuh. Suara gelas itu bahkan sampai terdengar ke ruang tengah.Ibu Eva datang dengan membawa sepiring buah. Mereka tiba di rumahnya sejak sore hari. Tetapi ia sama sekali tak mengizinkan Andra pulang sebelum menjelaskan siapa wanita yang menghubunginya."Kalian kenapa, sih? Kok bertengkar?" tanya Ibu Eva.Eva menatap sinis Andra yang terlihat tak peduli. "Dia punya pacar, Bu."Ibu Eva menarik kursi yang ada di samping Andra, lalu menempatinya. "Benar begitu, Andra?"
Eva menghela napasnya kasar. Ia mangacak rambutnya hingga berantakan. Otaknya secara otomatis terus mengulang kejadian semalam. Ia bahkan tak menyangka akan jadi seperti itu. Padahal sebenarnya ia ingin menyingkirkan sesuatu dari bibir pria itu. Tapi sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman.Eva beranjak ke meja yang di tempati oleh Vira. Nampak wanita itu sedang memoles wajahnya. Ia menepuk bahu wanita itu pelan, hingga membuatnya menoleh."Kenapa, Va?" tanya Vira.Eva menarik kursi milik Ina yang masih kosong karena pemiliknya belum datang, lalu duduk di samping Vira. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal."Gue mau nanya," gumam Eva pelan.Vira menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Hm, nanya apa tuh?""Wajar ga sih kalau ciuman sama orang yang kita ga suka?" tanya Eva.Vira terdiam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih memproses ucapan Eva yang begitu mengejutkan
Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini."Ayo turun," ujar Eva.Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuat
Eva memandangi dirinya di cermin. Ia merasa jantungnya berdegup sangat cepat sampai tak beraturan. Ia bisa mendengar suara pembawa acara yang sudah heboh. Suasana di luar rumah juga sudah sangat heboh. Ia sengaja mengadakan pernikahan di rumah Andra agar tak terlalu banyak membuang uang.Tak lama, pintu ruangan tempatnya dirias itu terbuka. Ibunya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Eva langsung menghambur dan memeluk ibunya tersebut. Ia yang semula biasa saja seperti terbawa suasana. Entah mengapa air mata lolos begitu saja mengalir di pipinya."Loh ... anak ibu ga boleh nangis," ujar ibunya sambil menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Eva.Eva menarik kedua sudut bibirnya walau air maya terus mengalir. Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu kembali memeluk ibunya tersebut."Sebentar lagi kamu keluar ya. Andra sudah di luar," kata ibunya.Eva menganggukkan kepalanya, lalu ibunya pun pamit untuk kembali
Eva meringis kesakitan saat telapak kakinya terkena air. Akibat pelarian tanpa alas kaki, ia mendapat luka yang cukup parah di kakinya. Terpaksa ia berjalan tertatih menuju ruang kerjanya. Tidak ada siapa pun di sana, hanya Eva seorang diri. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa yang baru datang beberapa minggu lalu. Ia kembali teringat dengan ucapan Andra yang berhasil menghancurkan hatinya. Tepat di hari pernikahan, pria itu berani mengatakan bahwa dia menyukai wanita lain."Brengsek!"Eva meraba seluruh tubuhnya. Ia mendesis pelan saat menyadari ponselnya tertinggal di rumah Andra. Ia terlalu terburu-buru sampai melupakan barang kesayangannya tersebut. Ia memilih untuk memejamkan kedua matanya. Ia berharap semua ini cuma mimpi. Eva sama sekali tak menyangka pernikahan pertamanya ini berakhir seperti itu."Eva."Eva langsung membuka matanya dan menoleh ke arah pintu. Matanya terbelalak kaget saat melihat Andra yang sudah berdir
Eva meregangkan otot tubuhnya. Matahari sudah kembali menyeruak masuk melalui celah gorden kamarnya. Ia berusaha membuka kedua matanya yang terasa sangat sulit. Samar-samar ia melihat sosok Andra yang duduk di tepi ranjang tengah menatapnya. Walau nyawanya belum terkumpul, ia langsung bangun dari ranjang itu."Hari ini kita pulang ke rumah saya," ujar Andra.Eva hanya bisa membuka mulutnya. Ia mengira akan tinggal di rumah yang seperti istana ini, tapi ternyata mereka akan pindah ke rumah Andra. Ibunya pernah berkata bahwa pria itu tinggal di apartemen yang sempit untuk menghemat pengeluaran. Itu artinya Eva akan tinggal di apartemen itu mulai hari ini."Apartemen?" tanya Eva.Andra menganggukkan kepalanya. "Saya tidak ingin merepotkan orang tua."Andra mengambil ponselnya yang ada di meja, lalu segera keluar dari kamar tersebut. Kini meninggalkan Eva yang masih berdiri di tempatnya. Ternyata pikirannya dengan pria itu
Selesai membuang sampah, Andra mengajak Eva untuk makan siang di salah satu tempat favoritnya. Eva yang sama sekali tak tahu tempat itu pun menurut saja. Ia mengikuti langkah Andra menyusuri trotoar yang cukup dipadati pedagang kaki lima. Lalu Andra berhenti di depan gerobak bakso yang tampak tak higenis tersebut. Eva menyentuh lengannya, ia langsung menoleh dan tersenyum. Ia menggenggam lengan Eva dan duduk di kursi yang tersedia.Eva menyapukan pandangannya ke segala arah. Benar-benar jauh dari kata sehat, terutama saat jalan itu ramai. Asap dari kendaraan itu dengan mudah masuk ke hidungnya. Eva mengibaskan tangan di depan hidungnya."Aduh! Kalau tahu begini, saya pasti bawa masker," gerutu Eva.Pedagang bakso yang berusia hampir setengah abad itu menoleh. Andra mengisyaratkan pedagang bakso itu untuk tidak mendengarkan ucapan Eva."Selama ini saya makan seperti ini," ujar Andra.Eva mengernyitkan dahinya,lalu ia me
Eva membuka kedua matanya yang terasa berat. Alarm dari ponselnya terus berdering hingga memenuhi seisi kamarnya. Ia meraih ponsel dan mematikan alarm tersebut. Matanya mengerjap berulang kali sambil memperhatikan sekitarnya. Lalu dahinya mulai berkerut saat merasa ada kejanggalan.Eva masih ingat betul, malam itu ia sedang menonton sinetron kesukaannya di ruang tamu. Tapi mengapa ia bisa ada di dalam kamar. Pikirannya tertuju pada Andra. Ia segera bangun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Setelah berada di luar, ia melihat kaki Andra menjuntai ke atas sandaran sofa. Eva menghampiri pria itu dan menatapnya sejenak. Wajahnya saat tidur ternyata menyimpan ketampanan yang tak pernah Eva sadari. Rambutnya yang berantakan membuatnya benar-benar berbeda. Biasanya rambut itu selalu tertata dengan rapi."Andra," panggil Eva sambil menepuk bahu Andra pelan."Hm.""Bangun, Ndra," ujar Eva.Bukannya bangun, Andra semakin merapa
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan