POV ALWINA***Jam delapan pagi. Aku sudah siap di kursi dalam ruang kerjaku. Setelah kepergian Mas Guntur. Enam bulan ini, aku mengambil alih memimpin perusahaan propertinya.Setelah sebelumnya, aku merombak keadaan ruangan kerjanya ini. Mulai dari cat dinding yang kuganti dengan memasang wallpaper. Tata letak dalam ruangan ini, semuanya telah kuubah.Termasuk, kursi serta meja yang aku tempati sekarang, dan menjadi tempatku bekerja setiap harinya. Sudah aku ganti dengan yang baru. Karena meja serta kursi kebesaran Mas Guntur yang dulu, sudah pasti sering dipakainya bercumbu ria dengan Kharisma.Perusahaan ini, merupakan anak cabang dari perusahaan utama milik keluarga Mas Guntur. Semua anak dari almarhum Ayahnya Mas Guntur, dipercaya memegang satu anak cabang.Mas Guntur bukan anak orang biasa sepertiku. Dia anak orang berada. Kepergiannya ke Jepang, bukanlah untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, untuk dikirim pada keluarga di kampung, sepertiku.Dia pergi ke Jepang, hanya untuk melu
POV ALWINA************Sore hari. Aku mengajak Naga serta Bu Endah untuk ikut ke rumah Dewa. Setelah sebelumnya, aku menghubungi Dewa untuk menanyakan kabarnya.Dia mengatakan sudah di rumahnya. Aku berniat menjenguk di rumahnya itu, setelah dia mengirimkan share loc alamat rumahnya. Tak lupa, aku membawakan buah-buahan untuknya.Naga yang telah selesai mandi dan wangi. Duduk di pangkuan Bu Endah di samping kursi kemudi. Aku lantas melajukan mobil untuk menuju rumah Dewa.Sepanjang perjalanan ke rumah Dewa. Anakku, Naga, tak hentinya berceloteh. Dengan biskuit khusus bayi di genggamannya.Naga memang sedang lucu-lucunya. Maka dari itu, aku tidak ingin melewatkan waktuku bersamanya. Sehingga aku hanya setengah hari di kantor.Andai takdir hidup tak seperti ini, aku ingin keluarga yang sempurna. Suami yang bekerja dan aku mengurus rumah serta anakku.Tapi, jalan hidup menuntut lain. Aku diharuskan menjadi ayah sekaligus ibu untuk Naga. Belum lagi memimpin kantor.Sekitar dua puluh meni
POV ALWINA*****Jam delapan lebih lima belas menit. Aku baru tiba di kantor. Aku terlambat lima belas menit, karena ada kendala dengan mobilku.Entahlah, mobil merahku itu akhir-akhir ini sering sekali ngadat. Mobil itu merupakan hadiah ulang tahunku dari Mas Guntur. Aku yang dulu tak bisa menyetir mobil sama sekali. Diajari Mas Guntur dengan telaten dan hati-hati.Jika sering ngadat dan merepotkan ku seperti sekarang ini. Kemungkinan, mobil itu harus kujual saja. Meski tidak aku pungkiri. Mobil itu menyimpan begitu banyak kenangan bersama Mas Guntur.Kenangan manis bersamanya. Meski kadang, jika teringat kembali. Ada rasa tercubit di hatiku. Dan itu, sangatlah manusiawi.Masuk ke dalam ruang pribadi. Netraku menangkap sesuatu tak biasa di atas meja kerjaku.Hingga keningku berlipat, dan mataku menyipit untuk memperjelas apa yang tergeletak di atas sana.Gegas aku melangkah, mendekati meja kerjaku. Semakin dekat, semakin jelas pulalah apa yang tergeletak itu.Aku berdiri di belakang
Aku keluar kantor dengan tergesa. Seluruh karyawan sudah pulang. Sekarang sudah jam lima sore. Aku pulang terlambat dari biasanya. Karena ada jadwal diskusi mendadak dengan kantor utama dan kantor cabang yang lain. Mau tidak mau, aku harus mengikutinya. Demi keberlangsungan kantor yang saat ini kupimpin.Tiba di parkiran. Aku segera masuk ke dalam sedan merahku. Lalu menyalakan mesin mobil. Tiga kali kucoba menyalakan. Tetapi, mobil tak mau menyala juga."Aghh!" Kupukul kesal setir kemudi di depanku. Lalu membuka pintu mobil dan kembali keluar. Berbarengan dengan Alvito yang datang melewati mobilku."Wina, kenapa? Ada masalah? Kamu kelihatan gelisah?" Alvito menghentikan langkahnya, saat melihatku keluar dari mobil."Mobilku nggak mau nyala, Al. Tadi pagi juga ngadat ini mobil. Eeh sekarang kambuh lagi, mana aku buru-buru," sahutku, tak dapat menyembunyikan kekesalan. Kugigit kuku-kuku tangan, gelisah."Emm, naik motorku aja!" ujarnya seketika."Kamu mau anter aku, Al?"Alvito mengang
Aku baru selesai makan malam. Langsung masuk ke kamar dan menghenyakan bobotku di tepian tempat tidur. Sementara ini, aku diharuskan mengurangi kebiasaanku merokok. Menggantinya dengan makan buah serta sayuran. Untuk mempercepat penyembuhan luka jahit di perutku.Kuambil benda pipih di atas nakas. Karena dilanda bosan. Aku memilih berselancar di media sosial.Kubuka aplikasi gagang telepon hijau. Untuk melihat unggahan status dari nomor yang tersimpan dalam kontak.Satu unggahan, menarik perhatianku. Yaitu unggahan dari Alwina.Tap!"Buket bunga mawar?" gumamku setelah unggahan status Alwina terbuka.Menampilkan satu buket bunga, tetapi Alwina membuat warna dari unggahannya menjadi hitam putih. Sehingga aku tidak tahu, bunga mawar itu berwarna merah ataukah putih.Namun, Alwina justru memberikan caption pada unggahannya itu berupa tiga buah tanda tanya.Apa dia tidak tahu siapa yang mengirimkan bunga itu?Apa jangan-jangan, ada pengagum rahasia yang diam-diam ingin mendekatinya juga?
Aku panik. "Bu, Ibu jangan bilang begitu. Ibu pasti sembuh. Kita akan sama-sama pulang, Bu!"Ibu tak bersuara lagi. Hanya deru napasnya yang semakin berat dengan dadanya yang semakin naik turun. Kurasakan genggamannya di tanganku mengendur.Aku mundur. Membiarkan dokter memeriksa dan menangani Ibu kembali. Kulihat napas Ibu tersendat-sendat. Kepalanya lalu terkulai pelan, seiring dengan matanya yang ikut memejam kembali.Terdengar helaan napas berat dari dokter. Disertai gelengan kepala."Bu Utari sudah meninggal, Pak," ujarnya.Aku menggeleng tak percaya. "Nggak mungkin! Nggak! Dokter pasti bohong!"Aku kembali mendekat pada samping ranjang Ibu. Suster melepas alat bantu pernapasan yang terpasang.Mata Ibu telah memejam. Aku mengguncang bahunya. "Bu? Bangun, Bu! Bangun! Jangan tinggalkan Dewa, Bu! Dewa mohon!" pintaku dengan airmata yang tak bisa kubendung.Kuraih kembali tangan Ibu. Menggenggamnya tetapi tangan itu tak membalas genggamanku seperti tadi."Ibuuuu …." Aku meletakkan ke
POV AUTHOR***"Puas lo, hancurin keluarga lo sendiri?"Dewa menyeka sudut matanya. Menoleh, mencari sumber suara.Ternyata dia memang tak salah dengar. Nakula yang berdiri di belakangnya. Didampingi satu petugas kepolisian. Terhalang satu makam dari makam Ibu mereka saat ini.Dewa memalingkan wajahnya cepat-cepat, setelah melihat Nakula. Para tetangga yang ikut mengantar ke pemakaman Bu Utari, telah pergi.Tersisa hanya beberapa kerabat saja di sini."Puas lo? Udah bikin Ibu meninggal, hah?"Sadewa mendongak. Lantas menegakkan tubuhnya yang sedari tadi berjongkok. Menghadap Nakula yang sudah ada di belakang papan nisan yang tertancap."Sekarang aja lo nangisin Ibu. Seharusnya lo pikirin ini sebelum lo bertindak!" ketus Nakula pada sang Kakak.Dewa melirik sekilas pada Nakula yang menghadapnya. Wajah itu memancarkan kemarahan. Sedangkan mata Nakula begitu sembab dengan bola mata yang memerah."Semua ga akan kayak gini. Kalo lo ga khianati gue. Lo ngerti ga, hah? Yang salah disini itu,
Rumah besar Bu Utari. Kini hanya diisi oleh beberapa kerabat yang masih berdiam di sana. Memutuskan pulang, setelah mengikuti tahlilan nanti malam.Di dapur, Bi Yuyun serta Mang Parjo—suaminya. Tengah meratapi kepergian majikan mereka. Sepasang mata mereka masih mengembun. Dipenuhi sisa-sisa airmata.Majikan yang telah memperkerjakan mereka bertahun-tahun. Majikan yang sangat baik di mata mereka. Kini, telah kembali kepelukan Sang Pemilik Kehidupan.Dewa serta Nakula, berada di ruang depan. Duduk berhadapan di sofa single dan Wira di tengah-tengah mereka.Wira menatap bergantian kedua anak dari almarhum Bu Utari. Wira yang merupakan kerabat dekat dari Bu Utari merasakan kekesalan pada kelakuan Dewa dan Nakula.“Kita cari jalan keluar dari masalah yang terjadi di antara kalian!" tegas Wira tanpa banyak basa-basi."Nakula. Kamu yang paling bertanggungjawab, dan menjadi pemicu dari segala masalah yang terjadi saat ini!" ujar Wira. Membuat Nakula mendongak, dan matanya membesar. Tak perca
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih