Sampai dengan wajah memberengut, kini Joi melepas helm kasar. Tangannya menaruh helm juga tak pelan, seakan ingin memecahkan barang tua itu. Bagaimana tidak? Bagus sekali penampilannya sekarang, kekinian dan mewah. Tapi transportasinya motor butut biru pudar ini, bayangkan malu yang ditanggung saat semua atensi di parkiran mengarah kepadanya.
"Gue pulang sendiri nanti, kita pisah di sini." Joi hendak pergi, namun Baskara keburu menahannya. "Gimana caranya lo mau pisah kalo undangannya lo dari gue?"
Skakmat, Joi bingung akan membalas apa. "Gue pulang aja." Lagi-lagi saat hendak pergi, Joita ditahan oleh Baskara. Kali ini anak itu langsung merangkul Joi, meminimalisir jarak di antara mereka. "Yakali lo udah cantik gini pulang, ayolah Joi." Baskara memainkan alisnya, merayu Joi agar tinggal lebih lama.
Karena risih, jadi Joi iyakan saja. Baper? Tidak akan. Asal kalian tahu bahwa banyak cowok yang mengincar Joi bahkan jauh lebih dekat dibanding Baskara, tapi apa? Nihil, kalo Joi bilang tidak ya tidak.
Senyum Baskara terbentuk indah, sempat dipuji Joi dalam hati. Ya ... kalau tentang ketampanan sih Joi tak dapat menyangkal. "Ayo masuk!" Beda dari biasanya, Baskara tidak lagi menyeret Joi seperti yang lalu. Kini ia mengimbangi jalan cewek itu, sehingga terlihat alami. Padahal Joita sedang menahan umpatan sekarang, karena Baskara mengapitnya tepat di ketek. Tidak bau, harum malah. Sayang, Joi tidak menyukai aromanya, dapat ia tebak bahwa Baskara memakai aroma citrus. Ya, citrus, parfum yang kata orang segar karena beraroma jeruk. Tapi, lain lagi untuk Joi.
"Selera parfum lo aneh!"
Baskara mengacuhkannya. Memasuki lokasi pesta, lalu melebarkan senyum. Bersamaan dengan tangannya yang turun dari pundak Joi. Setidaknya membuat Joi tak risih lagi akan aroma sitrus.
Dia menghampiri seorang cowok yang juga tengah menghampirinya. Mereka bertos ala-ala cowok kekinian, lalu saling melempar senyum. "Apa kabar, Bro?" tanya Baskara membuka percakapan.
"Okeh banget ini. Lo sendiri gimana?"
"Biasa aja. Eh ... gimana jadinya sama mantan gue? Mantap, kan?"
Keadaan sekitar yang gemerlap sinar kecil membuat Joi tak peduli akan percakapan Baskara dan temannya. Ia asyik memandangi anak-anak lain yang berjoget atau bahkan bercumbu mesra. Senyumnya mengembang sendiri, menikmati dosa yang orang sekitar lakukan. Sampai akhirnya kegiatan yang ia lakukan dihancur oleh kenyataan bahwa Baskara kembali merangkulnya.
"Pacar baru?"
Sementara Baskara mengangguk, Joi menyodorkan salam. Walaupun agak bingung awalnya, teman Baskara itu tetap membalas. "Gantara."
"Joita."
Joi membalas saat Gantara mengulas senyum. "Lo kelas berapa?" tanya Gantara.
"Sepantaran sama gue." Bukannya ia yang membalas, tapi Baskara. Jadi Joi mengangguk saja.
Gantara mengangguk-angguk. "Masih adek gue ternyata."
Joi ikut mengangguk-angguk, ia membalas, "Keliatan tua, kan? Banyak yang bilang." Lalu mengangkat bahu, sudah biasa jika orang salah sangka tentang umur sebab tak sesuai dengan wajahnya yang terkesan tua.
Gandara terkekeh, tak menyangka Joi tahu apa yang ia pikirkan. Selanjutnya ia bertanya dengan kerutan dahi, "Kita pernah ketemu, kah? Muka lo keliatan familiar soalnya."
Belum Joi jawab, suara mikrofon dari jauh berdengung kuat. Sepertinya acara akan segera dimulai. Terlihat dari Dania yang berdiri cantik di tengah kerumunan. Ditemani mahkota lucu yang berbentuk aster ungu di tengah dan dipenuhi dedaunan kecil di pinggir.
Kalau tak salah ingat, salah satu mantan Baskara ada yang sangat menyukai bunga aster, katanya identik dengan teman semasa kecilnya yang berpulang lebih awal. Iya ... sepertinya dia adalah Dania. Segala perabotan sekolahnya pun selalu ada gambar bunga aster menyelip entah kecil atau besar, di stabilonya sekalipun.
Saat acara dimulai, Joi mendadak sakit perut. Ia segera pergi ke toilet setelah memberitahu Baskara. Sebentar saja ia di sana, karena sebelumnya ia belum makan apapun. Di perjalanan kembali, Joita tak sengaja menemukan Tiara di belakang kerumunan. Langsung saja ia panggil, "Tiara!"
Anak yang dipanggil menengok, lalu berjalan menghampiri Joita dengan senyum kecil. "Lo diundang juga, Joi?"
Ia memukul lengan Tiara pelan. "Seharusnya gue yang nanya, lo diundang sama Dania?" Tiara mengangguk cepat. "Gue sepupunya, anjir."
Mata Joi terbelalak kaget. "Seriusan lo sepupuan ama si jaim itu?" tanyanya tak peduli tentang hubungan darah mereka. Melihat Tiara mengangguk, membuat Joi semakin tak percaya.
"Lo kesini sendiri? Naik apa?" tanya Tiara sembari melihat sekitar.
"Sama Baskara, dia yang diundang sebenernya, sih."
Tiara mengangguk-angguk. Kemudian sebuah panggilan dari belakang membuyar topik mereka. "Gue dipanggil, masuk dulu gue, ya?"
Joi mengangguk sembari tertawa kecil. "Jadi babu di acara keluarga, anjir."
Tiara menghela. "Biasalah." Setelahnya ia pergi. Juga membuat Joi kembali ke tempatnya dengan Baskara tadi. Tapi, anak itu hilang entah kemana.
Karena malas mondar-mandir hanya untuk mencari keberadaan Baskara, Joi memilih duduk di tempatnya tadi sambil meminum minuman yang terletak di meja. Sesekali ia menatap iri pada Dania yang menari-nari bersama temannya, tampak begitu ceria wajah anak itu. Ya ... karena seumur-umur Joi belum pernah dirayakan ukang tahunnya, jadi normal kalau dia iri. Apalagi saat kembali memutar memori ke percakapannya dengan sang Mama saat memilih baju. Demi apa, saat mengatakan konsep bikini birthday party itu Joi sedang tidak bercanda. Melihat artis barat mengadakan birthday party di pantai dengan konsep bikini membuat Joi ikut ingin merayakan konsep yang sama. Haruskah Joi merayu sang Mama lagi?
"Joita?"
Ia mendongak, melihat gerombolan cewek di depannya. Detik kemudian ia mendengus. Mereka lagi.
"Seriusan lo, Joi? Astaga, ngapain lo di sini?" Mereka tertawa mengejek. Ya, mereka adalah gerombolan murid sekolah sebelah yang sempat berkelahi dengannya belum lama ini. Tepat, anak yang Joi buang sepatunya itu.
"Dania gak akan pernah ngundang anak gak baik kayak lo," katanya dengan rayut siap menindas. Padahal masih di acara berbahagianya Dania.
"Emang lo baik?" tanyanya sengaja, apalagi raut sombong itu. Membuat lawan bicara mulai emosi dan terebawa perasaaaan. Wajah mereka merah padam, menandakan pertanyaan singkat yang Joi lontarkan barusan benar-benar mengganggu.
"Joi, lo jangan sok, ya." Katanya sambil mengacungkan telunjuk, memberi peringatan keras. Dilanjutnya lagi, "Temen-temen lo gak ada di sini, kalo kami mau udah abis lo dari tadi."
Joi merespon ancaman itu dengan tawa meremehkan. "Beraninya rame-rame nih?" tanyanya dengan raut menjengkelkan. lagi-lagi membuat geng mereka kesal bukan main.
Cewek berdress merah itu hendak menampar Joi, namun tangannya dihalang seseorang. Baskara? Bukan, melainkan Tiara. Ya, dengan tampang datar anak itu. Otomatis Joi langsung tertawa kecil. Kalau dia tadi tertampar, tak segan-segan Joi mengacau pesta ini. Tapi alur hidup tak bisa ditebak, Tiara malah menolongnya. Hitung-hitung untung juga ada Tiara, pesta sepupunya tak jadi hancur.
"Tiara?" Cewek itu tampak terkejut. "Lo ngapain di sini?" tanyanya dengan raut kebingungan.
Sedangkan Tiara melangkah maju, mendekat. "Gue yang harusnya tanya sama lo, ngapain lo di sini?" Ia bersedekap.
"Ya ... gue ke sini karena diundang, lah!"
Tiara tertawa sumbang. "Yakin lo diundang? Gue yang buat undangan aja gak pernah tuh naruh nama lo dan dayang-dayang tercinta."
Joi tertawa keras. Ia menepuk-nepuk tangan, sangat terhibur dengan drama undangan sang rival. Sedangkan yang jadi bahan tawa menunduk malu. Rasa malu dan kesal bercampur-campur hingga mendidih dan hampir menyembur lewat telinga.
"Masih gak cabut? Gak malu?" tegur joi dengan senyum kemenangan. Membuat cewek-cewek heboh itu langsung pergi. Sebelumnya ia masih menunjuk Joi sambil berkata, "Awas lo!"
Tapi Joi anggap lalu. Karena prinsip Joi, 'kemenangan selalu ada pada diri sendiri'. jadi tak heran kalau kepercayaan diri anak itu melambung tinggi melampaui pohon kelapa pak Ahmad.
"Eh bener dia gak diundang?"
Tiara mengangguk beberapa kali. "Dania ajak gak kenal sama tuh anak, gimana mau ngundang."
Joi tertawa lagi. "Anjir malu banget." Ia membungkam mulutnya lantaran terbahak. Bahkan pahanya ia pukul-pukul.
"Joi? Lo kenapa?" Baskara yang baru saja tiba kebingungan melihat tingkah Joi, anak itu tak berhenti ketawa. Membuat wajahnya merah padam.
Baskara bertanya pada Tiara tentang apa yang terjadi, tapi Tiara mengacuhkannya. Ia lebih memilih menatap ramainya pesta. Jadilah Baskara terus kebingungan tanpa tahu alasannya. Apalagi saat Joi memukuli lengannya bertubi-tubi sembari terus tertawa.
"Apaan, sih Joi? Lidah lo ntar ketelen lo kalo ketawa mulu."
Tidak berhenti, Joi malah semakin menjadi-jadi.
***
"Makasih, Pak."
Satu tangannya terjulur ke samping. Sedetik kemudian jagung yang ia genggam sudah direbut oleh kucing hitam, Joita. Malam kota mereka lihat dari atas bukit di belakang pasar malam, menebar keindahan cahaya kota. Terbukti dari Joi yang terus tersenyum menghadap kelap-kelip cahaya. Walau begitu, mulutnya tidak menganggur, jagung kelima yang Baskara bawa sudah hampir habis setengah. Ketika ditawari makan Joi malah menolak dengan alasan kenyang. Ada-ada saja.
"Seneng lo?" tanya Baskara kembali memakan jagungnya yang dari awal belum ganti. Kakinya ia selonjorkan di atas rerumputan peking berduri. Matanya mengikuti arah pandang atensi Joi, tepatnya pada gedung tinggi yang memancarkan bintang. Kalau tidak salah ingat, itu adalah semacam gedung opera yang seringnya mementaskan kompetisi balet. Ya ... kenapa Baskara bisa tahu, mungkin karena dulu mantannya sering ikut kompetisi itu, dan dia yang jadi tukang antar-jemput.
"Lo suka nari balet?"
Joita mengalihkan atensi, begitu juga dengan Baskara. Tidak menjawab, mereka malah saling pandang. Tidak ada yang memutuskan, keduanya saling menghangatkan tatapan seperti pasangan dalam film romansa.
Hingga akhirnya sebuah jagung yang tak lagi berwarna kuning menghalangi, kemudian digeser agar menampilkan wajah Joi lagi. "Pesenin lagi," pinta Joita sambil tersenyum lebar.
Membuat Baskara menggeram dalam hati. Ia pikir tatapan Joi tadi serius, mungkin saja ia akan menyampaikan sesuatu yang pilu. Nyatanya .... Sudahlah, Baskara memilih berdiri, megambil jagung berikutnya. Tapi sebelum itu ia berucap, "Jangan senyum, gigi lo hitam kuning kek minion."
"Bilang apa?" Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?" Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu. Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok. Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya. Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji. Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Bask
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
"Lo yang suruh jawab mau!""Lo kenapa mau, bego?""Ya karena lo suruh, bajingan.""Lo gak harus mau dan asal terima, Joita.""Kalo gue emang mau gimana?"Keduanya lagi-lagi diam. Nyatanya, setelah peristiwa di puncak, saat perjalanan pulang mereka cekcok saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah. Padahal kalau memang hal yang mereka lakukan salah, maka mereka berdua bersalah."Apa? Gak bisa jawab kan lo?" Joita berdecih sambil bersedekap dan menyandar ke kursi mobil. Ia menatap terang jalan lewat kaca spion mobil.Sementara Baskara meremat-remat bibirnya. Ia tak tahu harus membalas apa kali ini. Sebenarnya dia mengaku bahwa dia yang memulai, tapi ia tak bisa menjelaskan detail tentang maksud perkataannya karena gengsi."Maafin gue, deh," ucap Baskara akhirnya. Ia menyerah, tak akan ada habisnya jika adu mulut dengan Joita."Tapi ... gue serius."Atensi Joi teralih ke samping. Ia menatap Baskara yang meliriknya sebentar. "Gue juga."Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di mobil
"Uang lo!"Dirampasnya tiga lembar uang biru dari tangan seorang yang terulur ragu. Lalu dibuat senyum puas sambil mengibas uang-uang itu, bangga.Atensinya kembali pada seorang kutu buku yang akhir-akhir ini sering ia poroti. Tangannya mengelus kasar rambut cewek itu. "Lain kali, bawa yang banyak!"Pasrah, cewek kutu buku tadi mengangguk takut. Tak berani melawan adik kelas yang mempunyai mata setajam silet, seperti Joi. Yang mana jika kemauannya tidak dituruti, maka siapapun harus siap mendapat perlakuan buruk yang nantinya malah merusak masa-masa indah SMA.Kembali pada penguasa, ia melanjut kata, "Lo boleh pergi selama lo muji gue sampai tujuan."Benar saja, cewek lugu itu terus memuji cantik Joi sembari berjalan menuju kelasnya. Membuat Joi mendapat sedikit hiburan di rabu pagi ini.Saat asyik memperhatikan cewek kutu buku tadi terus mengucapkan pujian, bahu Joi ditepuk keras oleh seseorang dari arah belakang.I
"Apa jaminannya?" Cowok itu berpikir dengan diam, ia mengalihkan atensi pada sepasang kekasih yang tengah bermanja-manja di depannya. Sang cewek dengan manjanya berucap, "Aku mau es krim cake tiramisu yang kayak kemaren pokoknya! Kalo gak dibeliin aku ngambek." Tanpa pikir panjang Baskara berkata, "Gue kabulin dua permintaan lo setiap seminggu." Dilihatnya Joita mengerutkan alis, tak begitu yakin. Baskara melebarkan mata sembari mencari solusi. Lalu ia berseru, "Apapun! Lo boleh minta apapun!" Mata Joita semakin mengecil, menandakan bahwa keyakinannya belum level maksimal. "Kalo gue minta ketemu Kekeyi?" Baskara mengangguk pasti. Kecil. "Kalo gue minta anak kangguru?" Baskara mengangguk, lagi. Terpatri jelas senyuman kebanggaan dengan sombongnya. "Kalo mercedes benz?" Ia tetap mengangguk, seolah semua yang dikatakan Joita hanyalah masalah kecil yang tak lebih dari kotoran kuku. "Alah, tipu-tipu lo!" Ia mengibaskan tangan, mengusir kehaluannya yang ingin ternak kangguru. Baska
Sedetik ia menatap dirinya sendiri, lalu membuang napas juga membuang wajah. Entahlah, ia juga bingung karena terlalu berlebihan memberi Baskara harapan. Alih-alih mercedes benz, Baskara datang dengan senyum lebar dan vespa matic berwarna abu. Inilah sebab Joita tak langsung percaya pada kesepakatan Baskara sebelumnya. Laki-laki itu sering berdusta, jauh dari bawaan diri, seorang lelaki memang sudah memiliki tabiat sendiri. Sebaik atau seterpercaya apapun lelaki, tetap ada dustanya. Lihatlah lelaki di depan Joita ini. Duduk santai memainkan gas motor lawas dengan cengiran bebas. Seolah dunia dimilikinya. Lagi, Joita mendengus. Bukan agak kesal sih, tapi banyak kesal. Andai sang mama tidak memaksanya tadi, malas Joita nebeng sama Baskara dan motor bututnya ini. Lebih baik naik taksi atau tukang ojek online. Kualitasnya berbeda, hey. "Lo gak suka, ya bareng sama gue?" Joita malas menatap Baskara dari kaca spion. Ia memilih memandang alun-alun yang mereka lewati. "Sangat." "Sebener
"Lo yang suruh jawab mau!""Lo kenapa mau, bego?""Ya karena lo suruh, bajingan.""Lo gak harus mau dan asal terima, Joita.""Kalo gue emang mau gimana?"Keduanya lagi-lagi diam. Nyatanya, setelah peristiwa di puncak, saat perjalanan pulang mereka cekcok saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah. Padahal kalau memang hal yang mereka lakukan salah, maka mereka berdua bersalah."Apa? Gak bisa jawab kan lo?" Joita berdecih sambil bersedekap dan menyandar ke kursi mobil. Ia menatap terang jalan lewat kaca spion mobil.Sementara Baskara meremat-remat bibirnya. Ia tak tahu harus membalas apa kali ini. Sebenarnya dia mengaku bahwa dia yang memulai, tapi ia tak bisa menjelaskan detail tentang maksud perkataannya karena gengsi."Maafin gue, deh," ucap Baskara akhirnya. Ia menyerah, tak akan ada habisnya jika adu mulut dengan Joita."Tapi ... gue serius."Atensi Joi teralih ke samping. Ia menatap Baskara yang meliriknya sebentar. "Gue juga."Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di mobil
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
"Bilang apa?" Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?" Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu. Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok. Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya. Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji. Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Bask
Sampai dengan wajah memberengut, kini Joi melepas helm kasar. Tangannya menaruh helm juga tak pelan, seakan ingin memecahkan barang tua itu. Bagaimana tidak? Bagus sekali penampilannya sekarang, kekinian dan mewah. Tapi transportasinya motor butut biru pudar ini, bayangkan malu yang ditanggung saat semua atensi di parkiran mengarah kepadanya. "Gue pulang sendiri nanti, kita pisah di sini." Joi hendak pergi, namun Baskara keburu menahannya. "Gimana caranya lo mau pisah kalo undangannya lo dari gue?" Skakmat, Joi bingung akan membalas apa. "Gue pulang aja." Lagi-lagi saat hendak pergi, Joita ditahan oleh Baskara. Kali ini anak itu langsung merangkul Joi, meminimalisir jarak di antara mereka. "Yakali lo udah cantik gini pulang, ayolah Joi." Baskara memainkan alisnya, merayu Joi agar tinggal lebih lama. Karena risih, jadi Joi iyakan saja. Baper? Tidak akan. Asal kalian tahu bahwa banyak cowok yang mengincar Joi bahkan jauh lebih dekat dibanding Baskara, tapi apa? Nihil, kalo Joi bilang
"Lo peka, ya. Gue akui acting lo bagus." Alisnya ia naik turunkan, menyombong for life. "Apa sih yang Joi gak bisa?" ujarnya sembari bersedekap. Membuat Baskara mendengkus kecil, menyesal melontar pujian. "Karena kita udah official, malem minggu kita ngedate, ya. Gak ada penolakan." Ia tak mengalihkan atensi dari ponsel, masih mensearching tempat ngedate yang bagus. Joi mendelik. "Unofficial mungkin," ucapnya tak terima. Hey, sekaya-kayanya Baskara kalau bukan tipe Joi ya tetap tidak lampu hijau. Dia memang sepemilih itu. Sementara Baskara mengangguk-angguk tak peduli. Toh semua hanya untuk publisitas, agar cewek-cewek seperti pagi tadi tidak menganggu Baskara lagi. Lagipula ngedate yang dimaksud bukan seperti ngedate pada umumnya, paling Baskara dan Joi hanya pergi makan, berfoto, posting, lalu pulang. Tidak ada sentuh-sentuh, tidak boleh! "Hai, Bas?" Atensi Joi dan Baskara teralih bersama. Di sana, berdiri seorang gadis berambut panjang lurus dengan semburat malu. Kalau Baska
Hari ini adalah hari minggu. Karena itu Joita bangun telat tadi, bahkan menghiraukan teriakan sang Mama yang pamit hendak ke rumah saudara. Entahlah, Joi rasa ia kelelahan. Sebab tawuran hampir setiap hari. Dan setiap hari itu juga, Baskara tak lagi memunculkan diri di depan Joi. Tak menguntit, mengganggu, atau menawarkan jasa antar-jemput. Kecuali kemarin. Saat hendak pulang, Joita ditarik oleh lelaki itu ke belakang gedung. Ya, dia adalah Baskara. Anak itu tak seperti biasanya saat menemui Joi, ia kembali pada diri yang haus famous dan pujian. Lihat saja dagunya yang terangkat tinggi. "Kenapa?" Joi bertanya sambil bersedekap. Jujur, ia sedang malas berinteraksi. Terlebih pada mahkluk menyebalkan di depannya ini. "Kalo gue besok jemput lo pake mercedes benz, lo deal jadi pacar gue?" tanyanya dengan raut serius. "Kalo emang lo besok bawa mercedes benz, yaudah bagus, lo kaya. Tapi, untungnya di gue gak ada. Mau lo kaya kalo gak guna, gak bisa diporotin, ya percuma." Joita mengiku
Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula. Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi. Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam. Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah. Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja. Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu. Ia berhasil sampai