Sedetik ia menatap dirinya sendiri, lalu membuang napas juga membuang wajah. Entahlah, ia juga bingung karena terlalu berlebihan memberi Baskara harapan.
Alih-alih mercedes benz, Baskara datang dengan senyum lebar dan vespa matic berwarna abu. Inilah sebab Joita tak langsung percaya pada kesepakatan Baskara sebelumnya.
Laki-laki itu sering berdusta, jauh dari bawaan diri, seorang lelaki memang sudah memiliki tabiat sendiri. Sebaik atau seterpercaya apapun lelaki, tetap ada dustanya. Lihatlah lelaki di depan Joita ini. Duduk santai memainkan gas motor lawas dengan cengiran bebas. Seolah dunia dimilikinya.
Lagi, Joita mendengus. Bukan agak kesal sih, tapi banyak kesal. Andai sang mama tidak memaksanya tadi, malas Joita nebeng sama Baskara dan motor bututnya ini. Lebih baik naik taksi atau tukang ojek online. Kualitasnya berbeda, hey.
"Lo gak suka, ya bareng sama gue?"
Joita malas menatap Baskara dari kaca spion. Ia memilih memandang alun-alun yang mereka lewati. "Sangat."
"Sebenernya gue kaya, beneran deh. Cuma Bunda gue gak ngebolehin gue naik mer—"
"Cepetan, kunyuk! Mau lambat ini."
Baskara memandang Joi di spion sebentar. Ia memilih tak lagi melanjut kata. Ia percepat laju motor dengan menarik gas, namun tetap saja. Speedometernya tetap bergeming di tempat sebelumnya.
***
Sepeda motor lawas itu berhenti di parkiran. Masing-masing melepas helm yang mereka pakai. Baskara menunggu Joita. Namun, anehnya Joita juga menunggu Baskara.
"Lo duluan aja," suruh Joi. Ia mengibas-kibas tangannya, mengusir.
Teguh pendirian, Baskara tak pergi. "Gue tunggu lo, biar samaan."
Entah keberapa kalinya, Baskara mampu membuat Joita jengah. Ia rolling eyes. "Lo duluan, gue ada urusan bentar."
Baskara ngotot. "Gak, gu—"
"PERGI GAK LO?! Pergi aja kenapa, sih?! Dibilangin gue ada urusan." Joita tak sabar. Dia hampir telat.
Baskara tersentak sedikit. Ia kikuk, dan akhirnya masuk ke sekolah dengan kalimat, "G ... gue duluan kalo gitu."
Joita mengangguk senang. Ia lihatnya punggung Baskara yang menjauh dengan senyuman lega. Detik kemudian ia malah keluar dari halaman sekolah.
Baskara yang tak benar-benar pergi kini menyipitkan mata. Apakah Joita bolos? Jika iya, Baskara merasa kecewa. Kenapa ia tidak diajak juga? Berhubung Baskara belum pernah bolos selama sekolah menengah atas.
Bel berbunyi. Baskara menghilangkan rasa ingin bolosnya. Ia beranjak masuk, berusaha menghiraukan Joita.
Di lain tempat, Joita baru saja sampai di suatu gedung rongsok. Ia mengambil napas dalam, lumayan letih berlari-lari.
"Heh, ini ketua geng kalian? Ck!"
Mata Joita menyipit. Ia menatap tajam seorang yang melontarkan kalimat laknat tadi. Langkah demi langkah mengantarnya ke hadapan anak itu, tepat di tengah sedikit depan para sahabatnya yang sudah siap siaga.
Tiba-tiba, Joi meludah. Entah disengaja atau tidak, ludahnya itu mengenai sepatu salah satu dari beberapa orang di depannya.
Joi memasang wajah terkejut. "Gosh, my bad." Setelahnya ia malah menyeringai, tak lupa para kawalan di belakang.
Orang yang diludahi berteriak kencang. Ia menatap jijik sepatunya yang dipikir terkena najis mugaladah. Dilepas sepatu itu lalu menendangnya sampai terkena tulang kering Joi. "BERSIHIN ITU! Sekarang juga! IH!"
Joi tertawa kecil. Di belakang, Tiara menyahut, "Jadi ini ketua geng lo pada?"
Mereka berempat, tertawa keras. Sedangkan Tiara hanya menyeringai dingin.
Lawan di hadapan pun terlihat sangat kesal. Antara malu dan jengkel.
Joi berhenti tertawa. Ia mengambil sepatu yang dibuang di depannya. "Lo mau gue ngebersihin?" Senyum kecil terbit. Tapi tangannya dengan cepat melempar sepatu itu sampai keluar gendung. Dapat dilihat bahwa sepatu itu masuk genangan air kumuh bekas hujan kemarin.
"Besok lo datang lagi, udah bersih tuh pasti."
"JOI?!"
Joi mengibas rambutnya sombong. "Iya, gak percaya? Tanya g****e, gih. Nanti malam bakal hujan."
PLAK!
Mereka melotot. Bianca dan Angel mendekati Joi yang tertunduk akibat tamparan keras tadi. Namun, Joi menolak. Ia mengangkat kepalanya walau dengan pipi merah.
Matanya menangkap sang musuh tertawa bersama selir-selirnya. Membuat sudut bibir Joi terangkat.
Tanpa aba-aba, Joi menendang sang musuh tepat di hidung, sampai tersungkur jauh ke belakang. Ia memandangi ketua geng wanita -wanita ribet itu tanpa ekspresi. Ia memegang pipinya yang sedikit nyeri. Mengacuhkan darah yang muncul dari hidung orang yang ditendangnya.
"Apa gak pingsan, tuh," celetuk Angel yang membuat mereka tertawa, kecuali Joita.
Anak tadi berteriak kencang, ia berdiri lalu menjambak rambut Joita kesal. Para selir-selirnya tadi juga menjambak orang yang sama, Joi.
Tentu saja Bianca, Clara, Angel, dan Tiara tak tinggal diam. Mereka menghantamkan diri dengan orang di sana. Ada yang balik menjambak, menendang tulang kering, atau bahkan menggigit telinga.
Kerusuhan itu tenggelam oleh besarnya gedung, hingga tak mungkin seseorang di luar dapat menyadarinya.
***
Pelajaran matematika hari ini sama membosankan seperti sebelumnya. Baskara kembali dibuat muak oleh angka-angka yang tak pernah berbeda.
Ia juga tidak mengerti dengan anak-anak pada umumnya yang benci dengan matematika, bukan berarti ia menyukai matematika. Hanya saja, angka-angka yang digunakan selalu sama setiap waktunya. Cuma rumus saja yang berubah. Susahnya dari mana?
Membahas matematika, Baskara malah melotot saat melihat gerombolan siswi yang muncul dari balik tembok pagar. Yang benar saja, dengan rok pendek mereka.
Di sana, Baskara melihat Joi berdiri dengan dua alis angry bird. Rambut dan badannya berantakan dan awut-awutan.
Baskara menghampiri. "Joi, lo habis nyungsep di mana?" tanyanya otomatis. Membuat Angel tertawa kecil bahkan dengan muka bonyok dan bibir sobek.
Sedangkan Joita rolling eyes. Ia hendak melewati Baskara, tapi anak itu mencekalnya pelan. Tak membiarkannya pergi.
Setelah Baskara teliti, wajah Joi lebam dan terluka. Entah bekas manusia atau serigala, itu terlihat seperti cakaran. "Lo habis dibegal siapa?"
Joita kesal. Ia ingin menepis tangannya tapi tak bisa. "Lepas, Bas."
Baskara menggeleng sambil menelusuri wajah Joita. Sungguh ukiran yang estetik, keindahan luka itu benar-benar seni!
Seseorang yang lewat tiba-tiba berteriak, "Jadi ini cowok yang lo bilang bakal jemput lo pake mercedes benz, Joi? Tapi jumlah mercedes benz di parkiran masih sama, tuh."
Tangan Joita mengepal. Giginya bergemelatuk kuat, kesal dengan hari ini yang sangat-sangat sial. Ia menepis Baskara kuat. Menatap tajam mata cowok itu, lalu berlalu dengan jalan menghentak keras.
Baskara sendiri terdiam. Tak tahu harus bagaimana atau apa. Sampai salah satu teman Joi berucap, "Joi bukan tipe cewek yang suka cowok famous dan pintar. Kalo aja tampan dan kaya, auto diembat sama dia." Dia adalah Clara.
Membuat Baskara bergeming lama. Ia bersumpah bahwa ia kaya. Hanya saja Bundanya tak memperbolehkannya membeli mercedes benz. Padahal keuangan mereka cukup-cukup saja, asal tidak membeli 50 buah sekaligus.
Baskara jadi kasihan dengan mereka yang keuangannya rendah. Apalagi dengan tampang jamet. Mundur saja.
Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula. Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi. Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam. Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah. Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja. Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu. Ia berhasil sampai
Hari ini adalah hari minggu. Karena itu Joita bangun telat tadi, bahkan menghiraukan teriakan sang Mama yang pamit hendak ke rumah saudara. Entahlah, Joi rasa ia kelelahan. Sebab tawuran hampir setiap hari. Dan setiap hari itu juga, Baskara tak lagi memunculkan diri di depan Joi. Tak menguntit, mengganggu, atau menawarkan jasa antar-jemput. Kecuali kemarin. Saat hendak pulang, Joita ditarik oleh lelaki itu ke belakang gedung. Ya, dia adalah Baskara. Anak itu tak seperti biasanya saat menemui Joi, ia kembali pada diri yang haus famous dan pujian. Lihat saja dagunya yang terangkat tinggi. "Kenapa?" Joi bertanya sambil bersedekap. Jujur, ia sedang malas berinteraksi. Terlebih pada mahkluk menyebalkan di depannya ini. "Kalo gue besok jemput lo pake mercedes benz, lo deal jadi pacar gue?" tanyanya dengan raut serius. "Kalo emang lo besok bawa mercedes benz, yaudah bagus, lo kaya. Tapi, untungnya di gue gak ada. Mau lo kaya kalo gak guna, gak bisa diporotin, ya percuma." Joita mengiku
"Lo peka, ya. Gue akui acting lo bagus." Alisnya ia naik turunkan, menyombong for life. "Apa sih yang Joi gak bisa?" ujarnya sembari bersedekap. Membuat Baskara mendengkus kecil, menyesal melontar pujian. "Karena kita udah official, malem minggu kita ngedate, ya. Gak ada penolakan." Ia tak mengalihkan atensi dari ponsel, masih mensearching tempat ngedate yang bagus. Joi mendelik. "Unofficial mungkin," ucapnya tak terima. Hey, sekaya-kayanya Baskara kalau bukan tipe Joi ya tetap tidak lampu hijau. Dia memang sepemilih itu. Sementara Baskara mengangguk-angguk tak peduli. Toh semua hanya untuk publisitas, agar cewek-cewek seperti pagi tadi tidak menganggu Baskara lagi. Lagipula ngedate yang dimaksud bukan seperti ngedate pada umumnya, paling Baskara dan Joi hanya pergi makan, berfoto, posting, lalu pulang. Tidak ada sentuh-sentuh, tidak boleh! "Hai, Bas?" Atensi Joi dan Baskara teralih bersama. Di sana, berdiri seorang gadis berambut panjang lurus dengan semburat malu. Kalau Baska
Sampai dengan wajah memberengut, kini Joi melepas helm kasar. Tangannya menaruh helm juga tak pelan, seakan ingin memecahkan barang tua itu. Bagaimana tidak? Bagus sekali penampilannya sekarang, kekinian dan mewah. Tapi transportasinya motor butut biru pudar ini, bayangkan malu yang ditanggung saat semua atensi di parkiran mengarah kepadanya. "Gue pulang sendiri nanti, kita pisah di sini." Joi hendak pergi, namun Baskara keburu menahannya. "Gimana caranya lo mau pisah kalo undangannya lo dari gue?" Skakmat, Joi bingung akan membalas apa. "Gue pulang aja." Lagi-lagi saat hendak pergi, Joita ditahan oleh Baskara. Kali ini anak itu langsung merangkul Joi, meminimalisir jarak di antara mereka. "Yakali lo udah cantik gini pulang, ayolah Joi." Baskara memainkan alisnya, merayu Joi agar tinggal lebih lama. Karena risih, jadi Joi iyakan saja. Baper? Tidak akan. Asal kalian tahu bahwa banyak cowok yang mengincar Joi bahkan jauh lebih dekat dibanding Baskara, tapi apa? Nihil, kalo Joi bilang
"Bilang apa?" Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?" Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu. Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok. Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya. Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji. Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Bask
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
"Lo yang suruh jawab mau!""Lo kenapa mau, bego?""Ya karena lo suruh, bajingan.""Lo gak harus mau dan asal terima, Joita.""Kalo gue emang mau gimana?"Keduanya lagi-lagi diam. Nyatanya, setelah peristiwa di puncak, saat perjalanan pulang mereka cekcok saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah. Padahal kalau memang hal yang mereka lakukan salah, maka mereka berdua bersalah."Apa? Gak bisa jawab kan lo?" Joita berdecih sambil bersedekap dan menyandar ke kursi mobil. Ia menatap terang jalan lewat kaca spion mobil.Sementara Baskara meremat-remat bibirnya. Ia tak tahu harus membalas apa kali ini. Sebenarnya dia mengaku bahwa dia yang memulai, tapi ia tak bisa menjelaskan detail tentang maksud perkataannya karena gengsi."Maafin gue, deh," ucap Baskara akhirnya. Ia menyerah, tak akan ada habisnya jika adu mulut dengan Joita."Tapi ... gue serius."Atensi Joi teralih ke samping. Ia menatap Baskara yang meliriknya sebentar. "Gue juga."Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di mobil
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
"Bilang apa?" Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?" Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu. Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok. Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya. Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji. Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Bask
Sampai dengan wajah memberengut, kini Joi melepas helm kasar. Tangannya menaruh helm juga tak pelan, seakan ingin memecahkan barang tua itu. Bagaimana tidak? Bagus sekali penampilannya sekarang, kekinian dan mewah. Tapi transportasinya motor butut biru pudar ini, bayangkan malu yang ditanggung saat semua atensi di parkiran mengarah kepadanya. "Gue pulang sendiri nanti, kita pisah di sini." Joi hendak pergi, namun Baskara keburu menahannya. "Gimana caranya lo mau pisah kalo undangannya lo dari gue?" Skakmat, Joi bingung akan membalas apa. "Gue pulang aja." Lagi-lagi saat hendak pergi, Joita ditahan oleh Baskara. Kali ini anak itu langsung merangkul Joi, meminimalisir jarak di antara mereka. "Yakali lo udah cantik gini pulang, ayolah Joi." Baskara memainkan alisnya, merayu Joi agar tinggal lebih lama. Karena risih, jadi Joi iyakan saja. Baper? Tidak akan. Asal kalian tahu bahwa banyak cowok yang mengincar Joi bahkan jauh lebih dekat dibanding Baskara, tapi apa? Nihil, kalo Joi bilang
"Lo peka, ya. Gue akui acting lo bagus." Alisnya ia naik turunkan, menyombong for life. "Apa sih yang Joi gak bisa?" ujarnya sembari bersedekap. Membuat Baskara mendengkus kecil, menyesal melontar pujian. "Karena kita udah official, malem minggu kita ngedate, ya. Gak ada penolakan." Ia tak mengalihkan atensi dari ponsel, masih mensearching tempat ngedate yang bagus. Joi mendelik. "Unofficial mungkin," ucapnya tak terima. Hey, sekaya-kayanya Baskara kalau bukan tipe Joi ya tetap tidak lampu hijau. Dia memang sepemilih itu. Sementara Baskara mengangguk-angguk tak peduli. Toh semua hanya untuk publisitas, agar cewek-cewek seperti pagi tadi tidak menganggu Baskara lagi. Lagipula ngedate yang dimaksud bukan seperti ngedate pada umumnya, paling Baskara dan Joi hanya pergi makan, berfoto, posting, lalu pulang. Tidak ada sentuh-sentuh, tidak boleh! "Hai, Bas?" Atensi Joi dan Baskara teralih bersama. Di sana, berdiri seorang gadis berambut panjang lurus dengan semburat malu. Kalau Baska
Hari ini adalah hari minggu. Karena itu Joita bangun telat tadi, bahkan menghiraukan teriakan sang Mama yang pamit hendak ke rumah saudara. Entahlah, Joi rasa ia kelelahan. Sebab tawuran hampir setiap hari. Dan setiap hari itu juga, Baskara tak lagi memunculkan diri di depan Joi. Tak menguntit, mengganggu, atau menawarkan jasa antar-jemput. Kecuali kemarin. Saat hendak pulang, Joita ditarik oleh lelaki itu ke belakang gedung. Ya, dia adalah Baskara. Anak itu tak seperti biasanya saat menemui Joi, ia kembali pada diri yang haus famous dan pujian. Lihat saja dagunya yang terangkat tinggi. "Kenapa?" Joi bertanya sambil bersedekap. Jujur, ia sedang malas berinteraksi. Terlebih pada mahkluk menyebalkan di depannya ini. "Kalo gue besok jemput lo pake mercedes benz, lo deal jadi pacar gue?" tanyanya dengan raut serius. "Kalo emang lo besok bawa mercedes benz, yaudah bagus, lo kaya. Tapi, untungnya di gue gak ada. Mau lo kaya kalo gak guna, gak bisa diporotin, ya percuma." Joita mengiku
Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula. Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi. Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam. Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah. Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja. Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu. Ia berhasil sampai