"Bilang apa?"
Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?"
Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu.
Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok.
Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya.
Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji.
Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Baskara.
Baskara : Buruan post foto tadi!
Membuat Joi rolling eyes. Ia balas sambil malas.
Joi : Lo aja dulu, dih.
Setelahnya Joi kembali memakan sayur, masih di wajannya. Sudah terlalu malas berdiri, lagipula tidak mengurangi kesedapan makanan jika dimakan dengan alas wajan, kan?
Baskara : Lo dulu! Kalo gue dulu ntar kesannya gue yang bucin.
Joi mendelik, dahinya terlipat. Walaupun begitu ia masih membalas pesan Baskara.
Joi : Bawel lo, sat.
Segera ia buka aplikasi sosial media. Lalu mengunggah semua foto yang sempat mereka ambil tadi, itupun karena paksaan Baskara. Katanya biar totalitas peran mereka.
Tanpa caption apapun, 3 foto itu tampak berhasil diunggah di laman akun Joi. Tak ada tagar-tagar alay yang biasa digunakan pengguna baru untuk mendapatkan banyak suka. Sekadar mengikutsertakan akun Baskara di foto itu, tag.
Selesai dirasa, Joi kembali menikmati sayur-sayurnya. Terlebih pada brokoli yang Mama Joi masak tumis. Huh, sedap tak ada lawan. Joi pun sampai menjilati ujung jarinya lantaran rasa luar biasa.
Namun, bunyi notifikasi membuyar suasana indah itu, lagi. Ia ambil kasar ponsel bersampul hitam itu.
Baskara : Lo kenapa ngetag gue, Joita?
Baskara : Kenapa juga gak ada captionnya?
Nafas Joita tertahan sebentar. Segenap hati ia mematikan internetnya, tak peduli dengan bacotan Baskara. Ia lebih memilih sayur-sayur tercinta.
Enak-enak makan sayur, tiba-tiba Joita kepikiran tentang sesuatu. "Mama kalo dirayu terus mau nggak ya adain birthday party konsep bikini buat gue?"
***
Sebenarnya Joi malas keluar rumah malam ini, apalagi waktu sore tadi ia pergi keluyuran dengan Baskara. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada apapun di rumah. Termasuk persediaan snack seminggunya. Mungkin Mama Joi tidak sempat memasakkan lauk lebih sebelum berangkat tadi. Ia juga tidak dalam suasana ingin memakan makanan berat. Kemungkinan ia hanya akan ke supermarket untuk membeli persediaan snack seminggu saja.
Sekitar 14 menit Joi berjalan ke supermarket terdekat. Biasanya sih ke supermarket yang jaraknya kisaran 5 menit. Entah kenapa supermarket itu tutup tanpa alasan. Jadilah Joi jauh-jauh jalan sampai jalan besar.
Saat masuk ke dalam, indra penglihatan Joi mendapati seorang lelaki dengan hoodie hitam dan topi senada. Langkahnya yang menuju ke kiri langsung berubah haluan ke kanan, menghindari lelaki itu.
Dia adalah Antakali, anak tongkrongan sekolah sebelah yang dulu sering berkumpul dengan geng Joita. Yup, dia adalah mantan Joi, lelaki yang pernah ia sebut pernah tidur bersamanya.
Bukannya gagal move on atau bagaimana, Joi hanya tidak memiliki suasana hati berbicara dengan sang mantan termeresahkan itu. Syukur-syukur akhir-akhir ini hilang kontak, eh sekarang malah dipertemukan kembali.
"Malam, Joi." Tangan yang hendak menggapai sereal cokelat itu langsung terdiam. Detik kemudian ia mengambil dan memasukkan ke keranjang, lalu mendorongnya seperti biasa. Tidak menghiraukan sapaan tadi tentunya.
"Selain ngegambar, lo juga hobi ngeghosting?" Dia mengekor.
Decakan halus keluar dari bibir Joita. Ia berkata pelan, "Enyah lo." Kaki dan tangannya terus bergerak sesuai kebutuhan yang diperlukan, walaupun hatinya tidak.
Bukannya marah dan pergi, Antakali malah tertawa. "Joita banget," ucapnya.
Ia rolling eyes lalu beranjak ke kasir dan membayar. Setelahnya keluar dengan masih tak mengindahkan kehadiran Antakali yang terus mengekor.
"I have a great news, Ta!"
"How great?"
"Ada pendonor buat Ayah."
Langkah Joita terhenti. Ia berbalik dan mendongak menatap Antakali. "For real?" tanyanya sedikit tak percaya. Soalnya Antakali dan kebohongannya itu tidak bisa lepas ataupun menjauh. Wajar saja jika selama ini kata-kata Antakali hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri buat Joi
"Iya, seriusan."
Bibir cewek itu melengkung lebar. Tak bisa ia pungkiri bahwa ia sangat senang atas berita yang dibawa Antakali. Juga tentang betapa dekatnya ia dan keluarga Antakali sebelum konflik hubungan tak jelas waktu itu.
Senyum dan mata berair Antakali begitu haru. Cewek itu menggapai leher Antakali dan memeluknya erat. Melupakan plastik makanan yang terjatuh ke lantai. Perasaan bahagianya langsung mematahkan ego tentang Antakali yang tidak berhati baik. "Syukur banget, Ta!"
Nyatanya, sampai rumah Joi langsung mengutuk diri. Bayangkan saja seorang Joita yang bernotabene membenci Antakali tapi malah memeluknya. Betapa memalukan.
Tatapan Joita mengarah pada plastik yang menganggur di atas meja. Beranjak ke sana lalu mengambil sebuah es krim. Benar saja, semuanya mencair.
Dengan malas ia masukkan semua makanan dan minuman dingin ke lemari es. Lalu sisanya ia taruh di rak gantung. Tak lupa beberapa snack ia ambil untuk dimakan di ruang tengah.
Setelah duduk di sofa dan menyalakan televisi, ponselnya beberapa kali berbunyi. Jadilah siaran televisi yang terpampang lebar diacuhkan, memilih melihat pesan yang mengambang di kunci layar.
Baskara : Lo sendirian?
Joita mengernyit, anak itu tahu dari mana bahwa Joi sendirian?
Joi : Kenapa?
Baskara : Gue liat mama lo di luar.
Ia menggumam, hampir saja Joi kira Baskara menguntitnya. Kan seram.
Pesan Baksara yang telah ia baca dibiarkan saja. Beralih pada grup yang bernama 'Rasa Jagung Bakar'. Entahlah, kemungkinan besar Bianca yang mengubah, karena memang seringnya seperti itu.
Angel : Bar kuy!
Clara : Najong ngapel lo, sat.
Bianca : Diam, katamu terlalu kasar, Bekantan!
Tiara : Gawaras.
Angel : Gak, anjir. Dia dah resign.
Clara : Kek bahasa lo paling suci aja, Ca.
Tiara : Kuy lah ke bar!
Clara : Yaudah skuy lah. Kapan lagi ngumpul?
Tiara : Lo ikut, Joi?
Joita memejamkan mata. Sebenarnya agak malas ia keluar-keluar. Tapi kapan lagi ia keluar dengan teman-temannya saat Mama pergi? Emas sekali, bukan?
Joi : Gue Join.
Tepat pukul 11 malam, Joi dan kawan-kawan sampai di tujuan. Semuanya berpakaian ketat, kecuali Joita. Anak itu tidak berpakaian seperti biasa saat akan ke bar, seringnya sih dress kasual sepaha. Sekarang hanya rok pendek dan jaket kulit.
Mereka masuk dan langsung mengambil duduk. Memesan minuman lalu berbincang-bincang kecil. Seperti yang semua orang duga, Angel berbohong. Memang sudah niatnya ke bar untuk bertemu si doi. Resign hanyalah alasan agar kawan-kawan tak menggodanya. Lihatlah anak itu di dinding pojok, entah sudah sampai mana kegiatan mereka.
Setelah menelan habis minumannya, Joi berpamitan ke toilet. Seingatnya ia banyak meminum minuman manis saat di rumah tadi. Berkutat lama di toilet yang mana berdandan mendominasi membuat Joita menghabiskan banyak waktu. Ia keluar toilet sambil merapikan roknya.
"Joi?"
Matanya menyipit, menatap Baskara yang datang dengan agak sempoyongan. Tak disangka-sangka, anak yang 5 waktunya lengkap seperti Baskara bisa datang ke tempat seperti ini.
Baskara tersenyum. Ia mendekat dengan senyum lebar. Dikunci keberadaan Joi dengan menumpu kedua tangannya di kedua sisi. Senyum lebar itu tambah jelas di kedekatan. Nafasnya bahkan menerpa kuat wajah Joita.
Seperti dugaan, Baskara mabuk. Terbukti dengan beraninya ia mencium bibir Joita. Yang mana cewek itu sangat kaget dan tak percaya. Seperti ... yang benar saja?
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
"Lo yang suruh jawab mau!""Lo kenapa mau, bego?""Ya karena lo suruh, bajingan.""Lo gak harus mau dan asal terima, Joita.""Kalo gue emang mau gimana?"Keduanya lagi-lagi diam. Nyatanya, setelah peristiwa di puncak, saat perjalanan pulang mereka cekcok saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah. Padahal kalau memang hal yang mereka lakukan salah, maka mereka berdua bersalah."Apa? Gak bisa jawab kan lo?" Joita berdecih sambil bersedekap dan menyandar ke kursi mobil. Ia menatap terang jalan lewat kaca spion mobil.Sementara Baskara meremat-remat bibirnya. Ia tak tahu harus membalas apa kali ini. Sebenarnya dia mengaku bahwa dia yang memulai, tapi ia tak bisa menjelaskan detail tentang maksud perkataannya karena gengsi."Maafin gue, deh," ucap Baskara akhirnya. Ia menyerah, tak akan ada habisnya jika adu mulut dengan Joita."Tapi ... gue serius."Atensi Joi teralih ke samping. Ia menatap Baskara yang meliriknya sebentar. "Gue juga."Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di mobil
"Uang lo!"Dirampasnya tiga lembar uang biru dari tangan seorang yang terulur ragu. Lalu dibuat senyum puas sambil mengibas uang-uang itu, bangga.Atensinya kembali pada seorang kutu buku yang akhir-akhir ini sering ia poroti. Tangannya mengelus kasar rambut cewek itu. "Lain kali, bawa yang banyak!"Pasrah, cewek kutu buku tadi mengangguk takut. Tak berani melawan adik kelas yang mempunyai mata setajam silet, seperti Joi. Yang mana jika kemauannya tidak dituruti, maka siapapun harus siap mendapat perlakuan buruk yang nantinya malah merusak masa-masa indah SMA.Kembali pada penguasa, ia melanjut kata, "Lo boleh pergi selama lo muji gue sampai tujuan."Benar saja, cewek lugu itu terus memuji cantik Joi sembari berjalan menuju kelasnya. Membuat Joi mendapat sedikit hiburan di rabu pagi ini.Saat asyik memperhatikan cewek kutu buku tadi terus mengucapkan pujian, bahu Joi ditepuk keras oleh seseorang dari arah belakang.I
"Apa jaminannya?" Cowok itu berpikir dengan diam, ia mengalihkan atensi pada sepasang kekasih yang tengah bermanja-manja di depannya. Sang cewek dengan manjanya berucap, "Aku mau es krim cake tiramisu yang kayak kemaren pokoknya! Kalo gak dibeliin aku ngambek." Tanpa pikir panjang Baskara berkata, "Gue kabulin dua permintaan lo setiap seminggu." Dilihatnya Joita mengerutkan alis, tak begitu yakin. Baskara melebarkan mata sembari mencari solusi. Lalu ia berseru, "Apapun! Lo boleh minta apapun!" Mata Joita semakin mengecil, menandakan bahwa keyakinannya belum level maksimal. "Kalo gue minta ketemu Kekeyi?" Baskara mengangguk pasti. Kecil. "Kalo gue minta anak kangguru?" Baskara mengangguk, lagi. Terpatri jelas senyuman kebanggaan dengan sombongnya. "Kalo mercedes benz?" Ia tetap mengangguk, seolah semua yang dikatakan Joita hanyalah masalah kecil yang tak lebih dari kotoran kuku. "Alah, tipu-tipu lo!" Ia mengibaskan tangan, mengusir kehaluannya yang ingin ternak kangguru. Baska
Sedetik ia menatap dirinya sendiri, lalu membuang napas juga membuang wajah. Entahlah, ia juga bingung karena terlalu berlebihan memberi Baskara harapan. Alih-alih mercedes benz, Baskara datang dengan senyum lebar dan vespa matic berwarna abu. Inilah sebab Joita tak langsung percaya pada kesepakatan Baskara sebelumnya. Laki-laki itu sering berdusta, jauh dari bawaan diri, seorang lelaki memang sudah memiliki tabiat sendiri. Sebaik atau seterpercaya apapun lelaki, tetap ada dustanya. Lihatlah lelaki di depan Joita ini. Duduk santai memainkan gas motor lawas dengan cengiran bebas. Seolah dunia dimilikinya. Lagi, Joita mendengus. Bukan agak kesal sih, tapi banyak kesal. Andai sang mama tidak memaksanya tadi, malas Joita nebeng sama Baskara dan motor bututnya ini. Lebih baik naik taksi atau tukang ojek online. Kualitasnya berbeda, hey. "Lo gak suka, ya bareng sama gue?" Joita malas menatap Baskara dari kaca spion. Ia memilih memandang alun-alun yang mereka lewati. "Sangat." "Sebener
Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula. Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi. Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam. Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah. Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja. Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu. Ia berhasil sampai
"Lo yang suruh jawab mau!""Lo kenapa mau, bego?""Ya karena lo suruh, bajingan.""Lo gak harus mau dan asal terima, Joita.""Kalo gue emang mau gimana?"Keduanya lagi-lagi diam. Nyatanya, setelah peristiwa di puncak, saat perjalanan pulang mereka cekcok saling menyalahkan. Tidak ada yang mau mengalah. Padahal kalau memang hal yang mereka lakukan salah, maka mereka berdua bersalah."Apa? Gak bisa jawab kan lo?" Joita berdecih sambil bersedekap dan menyandar ke kursi mobil. Ia menatap terang jalan lewat kaca spion mobil.Sementara Baskara meremat-remat bibirnya. Ia tak tahu harus membalas apa kali ini. Sebenarnya dia mengaku bahwa dia yang memulai, tapi ia tak bisa menjelaskan detail tentang maksud perkataannya karena gengsi."Maafin gue, deh," ucap Baskara akhirnya. Ia menyerah, tak akan ada habisnya jika adu mulut dengan Joita."Tapi ... gue serius."Atensi Joi teralih ke samping. Ia menatap Baskara yang meliriknya sebentar. "Gue juga."Setelah itu, tak ada lagi perbincangan di mobil
Dengan tangan asyik memukul-mukul bantal, Joita juga menghantamkan kepalanya berkali-kali ke kasur. Ia terus mengulang kejadian di rumah sakit dua hari yang lalu. Dan sebelum ini juga ia terus memikirkannya, ia tak bisa menepis ingatan itu.Sensasi Antakali mendekapnya dalam benar-benar suatu karya paling indah, namun Joita tak seharusnya berpikir seperti itu. Antakali hanyalah masa lalu yang berperan kecil dalam masa depannya. Tapi, kenapa Joita terus-terusan memikirkannya?Ia yakin bahwa ia sudah melupakan segala hal tentang mantan terakhirnya itu. Bahkan tak pernah ia merasa galau karenanya, tapi kenapa akhir-akhir ini berjalan menyimpang. Suara notifikasi membuyar segala tingkah Joita. Ia memeriksa ponsel dan melihat pemberitahuan pesan dari Baskara. Cowok itu memberitahukan bahwa boneka kangguru yang ia minta sedang di perjalanan. Ya, beberapa hari setelah insiden mercedes benz itu Joita hanya meminta boneka kangguru sebagai permintaannya. Karena kalau kangguru asli ia belum me
Mata Baskara membulat lagi dan lagi. Ia menatap Joita tak percaya. Sementara yang ditatap malah mendekat hingga hidung mereka bersentuhan. "Gue emang secantik itu, Baskara sayang." Joi mengecup pelan bibir Baskara, persis seperti semalam. Lalu tersenyum puas menuju ke sisi lain pinggir sungai. Badan anak itu masih terpaku, entah karena ia ingat kejadian memalukan itu atau karena kecupan Joi barusan. Astaga, ini baru dua hari dan Baskara telah melakukan dosa besar begitu banyak. Kini otak Baskara terus memutar kejadian itu, seperti kaset rusak. Kotor! Tapi Baskara tak mampu menepisnya. Dan, kenapa jantung Baskara terus menerus berdentum bak dijatuhi ribuan meteor? "Sialan." "Baskara!" panggil Joita dari sisi lain agak jauh. Ia mengisyaratkan agar Baskara mendekat. "Sini!" Sembari mengernyit, Baskara berjalan pelan ke arah Joita. Mati-matian ia tahan kakinya agar tak lemas. Bayangkan saja, ciuman pertama seorang Baskara jatuh kepada seorang Joita Rastanti. Bahkan yang kedua, ketiga
"Bunda, aku kemarin pulang jam berapa?" Wajah masam Bunda teralihkan. Sayuran yang tengah dipotong sengaja dihentikan. "Selama Bunda hidup, gak pernah tuh Bunda ngajarin anak Bunda keluyuran jauh sampai mabuk-mabuk. Bahkan Bunda larang buat ngerjain hal bejat kayak gitu." Baskara menunduk, menyesal bertanya pada sang Bunda. Ia lupa tentang tadi malam ia mabuk berat. "Maafin, Baskara, Bunda." "Bunda maafin kalo ini yang terakhir. Bunda gak suka kedepannya Baskara ngelakuin hal yang kayak gini atau lebih." Bunda Baskara kembali memotong-motong sayurnya. "Kamu udah dewasa, tahu yang bener dan salah. Bunda emang gak pernah ngajarin anak Bunda untuk gak berbuat salah, tapi Bunda ngelarang keras kalo anak Bunda ngulangin kesalahan yang sama." "Tahu, kan, kalo kesalahan adalah bahan pembelajaran?" "Iya, Bunda. Baskara khilaf." Keduanya diam setelah itu. Atensi Baskara beralih pada sang Bunda yang berjalan mendekat. Duh, bahaya kalau Bunda sampai melapor pada sang Raja, alias Tuan Baskar
"Bilang apa?" Sesudah menyodorkan helm pada sang empu, Joi malah balik bertanya, "Apa?" Baskara menghela napas. Lalu menggeleng, membiarkan pertanyaannya tadi mengambang tanpa balasan. Ia beranjak menyalakan mesin motor tuanya. Hendak pergi, ia sempat berkata, "Kalo lo ngerasa udah ngerepotin seseorang, minimal ucapin terima kasih. Kecuali lo emang gak tahu terima kasih, sih." Sindiran halus itu menjadi akhir percakapan mereka, karena Baskara menjalankan motornya, berlalu. Joita yang malas mencerna, memilih masuk saja. Rumah tampak gelap, karena memang Mama Joi belum pulang. Kalau sesuai izinnya pada Joi, kemungkinan besar pulang besok. Ruangan gelap itu terang kala Joi masuk ke dalam. Bukan otomatis, tapi karena Joi memencet tombolnya. Setelah mandi dan memakai segala kebutuhan malam seperti biasa, Joi duduk di meja dapur. Memakan sayur mayur yang berada dalam tudung saji. Asyik bengong, Joi disadarkan oleh notifikasi ponsel. Setelah ia cek, orang yang mengirim pesan adalah Bask
Sampai dengan wajah memberengut, kini Joi melepas helm kasar. Tangannya menaruh helm juga tak pelan, seakan ingin memecahkan barang tua itu. Bagaimana tidak? Bagus sekali penampilannya sekarang, kekinian dan mewah. Tapi transportasinya motor butut biru pudar ini, bayangkan malu yang ditanggung saat semua atensi di parkiran mengarah kepadanya. "Gue pulang sendiri nanti, kita pisah di sini." Joi hendak pergi, namun Baskara keburu menahannya. "Gimana caranya lo mau pisah kalo undangannya lo dari gue?" Skakmat, Joi bingung akan membalas apa. "Gue pulang aja." Lagi-lagi saat hendak pergi, Joita ditahan oleh Baskara. Kali ini anak itu langsung merangkul Joi, meminimalisir jarak di antara mereka. "Yakali lo udah cantik gini pulang, ayolah Joi." Baskara memainkan alisnya, merayu Joi agar tinggal lebih lama. Karena risih, jadi Joi iyakan saja. Baper? Tidak akan. Asal kalian tahu bahwa banyak cowok yang mengincar Joi bahkan jauh lebih dekat dibanding Baskara, tapi apa? Nihil, kalo Joi bilang
"Lo peka, ya. Gue akui acting lo bagus." Alisnya ia naik turunkan, menyombong for life. "Apa sih yang Joi gak bisa?" ujarnya sembari bersedekap. Membuat Baskara mendengkus kecil, menyesal melontar pujian. "Karena kita udah official, malem minggu kita ngedate, ya. Gak ada penolakan." Ia tak mengalihkan atensi dari ponsel, masih mensearching tempat ngedate yang bagus. Joi mendelik. "Unofficial mungkin," ucapnya tak terima. Hey, sekaya-kayanya Baskara kalau bukan tipe Joi ya tetap tidak lampu hijau. Dia memang sepemilih itu. Sementara Baskara mengangguk-angguk tak peduli. Toh semua hanya untuk publisitas, agar cewek-cewek seperti pagi tadi tidak menganggu Baskara lagi. Lagipula ngedate yang dimaksud bukan seperti ngedate pada umumnya, paling Baskara dan Joi hanya pergi makan, berfoto, posting, lalu pulang. Tidak ada sentuh-sentuh, tidak boleh! "Hai, Bas?" Atensi Joi dan Baskara teralih bersama. Di sana, berdiri seorang gadis berambut panjang lurus dengan semburat malu. Kalau Baska
Hari ini adalah hari minggu. Karena itu Joita bangun telat tadi, bahkan menghiraukan teriakan sang Mama yang pamit hendak ke rumah saudara. Entahlah, Joi rasa ia kelelahan. Sebab tawuran hampir setiap hari. Dan setiap hari itu juga, Baskara tak lagi memunculkan diri di depan Joi. Tak menguntit, mengganggu, atau menawarkan jasa antar-jemput. Kecuali kemarin. Saat hendak pulang, Joita ditarik oleh lelaki itu ke belakang gedung. Ya, dia adalah Baskara. Anak itu tak seperti biasanya saat menemui Joi, ia kembali pada diri yang haus famous dan pujian. Lihat saja dagunya yang terangkat tinggi. "Kenapa?" Joi bertanya sambil bersedekap. Jujur, ia sedang malas berinteraksi. Terlebih pada mahkluk menyebalkan di depannya ini. "Kalo gue besok jemput lo pake mercedes benz, lo deal jadi pacar gue?" tanyanya dengan raut serius. "Kalo emang lo besok bawa mercedes benz, yaudah bagus, lo kaya. Tapi, untungnya di gue gak ada. Mau lo kaya kalo gak guna, gak bisa diporotin, ya percuma." Joita mengiku
Kemarin ... adalah hari yang sudah dicap buruk oleh Joita. Sudah diberi harapan palsu, bonyok akibat tawuran, dihina, tambah pulang jalan kaki pula. Ya, kemarin saat Joita hendak pulang, Baskara mengajaknya bersama. Tapi Joi menolak mentah-mentah, mengatakan bahwa ia tak ingin naik motor butut Baskara lagi. Mungkin juga ikut kesal, Baskara tak lagi membujuk Joita. Dan berakhir Joita menaiki angkot karena uang yang ia punya tidak cukup untuk naik bis dan taksi. Berhubung ia tidak memalak, karena harinya dihabiskan untuk baku hantam. Ya, kalian taulah, angkot berwarna merah yang kulit badan mobilnya agak terkelupas. 5 menit sebelum sampai di rumah Joita diturunkan, dengan alasan keluarganya ada yang terkena musibah. Joita sangat kesal dan bahkan ingin menuntut sopir angkotnya. Tetapi sang sopir malah mengembalikan seluruh uang Joi dan pergi begitu saja. Sungguh, Joi bersumpah serapah saat itu juga. Mengatakan bahwa tidak ada hal yang berjalan lancar di hari itu. Ia berhasil sampai