Pagi ini sekitar jam sembilan pagi saat Rizki sedang menatap Papanya dari luar jendela ruang ICU yang terbuat dari kaca, seorang dokter yang semalam sudah mengoperasi papanya berjalan arahnya, lalu mengangguk sekilas pada Rizki kemudian masuk ke dalam ruang ICU.Dokter itu berganti seragam khusus, kemudian memeriksa kondisi papa Rizki dengan seksama. Dengan wajah yang harap-harap cemas, Rizki memperhatikan dokter itu dari luar ruangan. Kemudian dokter yang telah mengoperasi Papa Rizki itu menoleh kepada suster lalu mengatakan sesuatu seraya melirik pada Rizki. Tak lama kemudian suster dari ruang ICU pun menghampiri Rizki dan mengatakan bahwa dokter ingin menjelaskan kondisi Papanya. Rizki pun segera masuk ke ruang ICU, kemudian berganti baju khusus untuk menjenguk pasien dan masuk menemui dokter yang berada di dalam ruang ICU. Dia segera mendekat dan menyentuh tangan papanya yang masih belum sadarkan diri. "Pasien belum juga menunjukkan kesadaran dan belum menunjukkan perbaikan ta
Sepulang dari kantor polisi, Rizki mendadak teringat ayahnya. "Pak RT, saya mau menjenguk makam papa dulu. Pak RT nggak apa - apa kan pulang sendiri?" tanya Rizki. "Nggak apa- apa, Mas Rizki. Kita kan berangkat ke kantor polisi naik motor sendiri-sendiri. Jadi pulang nya nggak barengan, juga nggan apa- apa. Silakan Mas Rizki ke makam almarhum pak Ridwan dulu," sahut Pak RT. Mereka kemudian berpisah di depan gerbang kantor polisi.Rizki dengan perasaan yang sangat sedih menuju ke makam papanya. Di sana dia bersimpuh dan berdoa semoga papanya diberikan tempat yang terindah di sisi Allah dan diampuni semua dosa-dosanya. Air mata Rizki turut meleleh bersamaan dengan untaian doa dari bibirnya. Langit yang sudah mendung sejak Rizki berada di kantor polisi, sekarang menjadi gerimis hujan. Air mata Rizki menjadi bercampur dengan air hujan. Namun Rizki tetap tidak bergeming dari duduknya. Dia mengelus batu nisan bapaknya dan semakin menangis tersedu-sedu. Tanpa disangka, sebuah payung te
Pagi itu Rizki terbangun dan merasakan badannya sudah lebih baik, akhirnya dia melaksanakan salat subuh, kemudian membuat teh di dapurnya. Rizki menikmati secangkir teh hangat seraya duduk di ruang makan sambil menggulir layar ponsel. Mendadak masuklah notifikasi pesan whatsapp ke ponsel Rizki. [Pagi, Mas? Bagaimana kondisi kamu pagi ini?]Rizki tersenyum membaca pesan whatsapp dari Devita. [Alhamdulillah aku sudah lebih baik. Aku masih ngeteh ini.] balas Rizki. [Syukurlah kalau kamu sudah sehat. Apa perlu dibelikan bubur ayam lagi?] tawar Devita. [Nggak usah, Dev. Aku bisa pergi sendiri. Mungkin setelah ini aku juga jalan-jalan ke alun-alun untuk menyegarkan pikiran, kemudian membeli bubur ayam.] [Ya sudah kalau begitu, Mas. Selamat pagi dan selamat beraktifitas, Mas Rizki. Jangan lupa sarapan.][Iya, Dev, kamu juga selamat beraktifitas dan jangan lupa sarapan ya.]Devita tersenyum menatap ke layar ponsel nya. Mendadak terlintas ide di pikiran Devita untuk ikut jalan - jalan ke
"Astaga, Nin! Kenapa aroma ja l an la hir kamu seperti ini? Padahal sudah enam bulan aku 'puasa' karena berlayar di laut. Eh, saat pulang nggak bisa minta ja t ah," protes Rizki. Wajah Nina memucat. "A-aku sakit, Mas!" "Sakit apa, Nin? Ayo ke dokter!" seru Rizki dengan wajah cemas. "Enggak usah. Aku... Takut."Jawaban Nina justru membuat Rizki semakin heran."Takut apa, Nin?" "Takut mendengar diagnosa dokter," sahut Nina lirih. Dia menunduk. Dia tidak menyangka jika suami nya kembali ke darat lebih cepat daripada janjinya kemarin lusa saat di telepon. Rizki menggenggam tangan istri nya. Mereka baru menikah selama 1,5 tahun. Dan Rizki adalah seorang anak buah kapal penangkapan ikan yang bekerja di perairan Indonesia atau beroperasi di dalam negeri sebagai OS (ordinary seamen) atau bagian deck departement. Dia berlayar selama tiga bulan dan libur di darat selama dua pekan. "Sayang, aku sayang banget sama kamu. Aku nggak mau terjadi apa - apa pada kamu. Apalagi aku kan jarang di
Dokter dan perawat UGD di rumah sakit itu terkejut dan serentak melihat ke arah Rizki. "Tenang dulu, Pak. Saya hanya menjelas kan tentang penyakit yang saya ketahui," ujar dokter di hadapan Rizki dengan tenang. Tangan Rizki terk e p a l. "Bagaimana saya bisa tenang jika dokter me n u d uh saya selingkuh?!""Lho, memang ada kalimat saya yang menyebut jika bapak se li n g kuh? Saya kan hanya bilang tentang fakta penyakit yang dialami oleh pasien," ujar dokter itu lagi. Rizki mengatur napasnya yang membu ru. Hatinya masih tidak terima jika dia disebut kan berselingkuh."Darimana dokter tahu tentang penyakit yang dialami oleh istri saya?" tanya Rizki akhirnya. Dia menatap t a j a m pada dokter itu. "Pak, gejala penyakit seperti aroma tidak sedap dari ja l an la hir, nyeri saat buang air kecil, k e p u t i h a n berwarna, d a r a h padahal belum waktu nya da ta ng bu l an, dan nyeri pinggang yang dialami oleh pasien adalah salah satu ciri dari dua kemungkinan penyakit. Pertama kanker
"Bukan hal seperti itu yang ingin aku ketahui, Nin! Aku mohon kejujuran mu! Ini untuk kebaikan kita berdua. Apa kamu selingkuh?" tanya Rizki to the point membuat Nina salah tingkah. "Mas Rizki... Aku..."Nina terdiam menatap Rizki yang tampak kacau. Dia menggenggam tangan suami nya. "Aku tidak pernah selingkuh, aku sangat mencintai kamu, Mas!" ujar Nina sungguh-sungguh. "Lalu darimana datangnya penyakit yang kamu alami ini? Aku juga tidak pernah selingkuh, Nin. Di kapal, aku berusaha menjaga iman ku dan selalu mengingatmu. Aku juga tidak pernah men ye n tuh perempuan lain."Rizki menjeda kalimat nya sejenak. "Apa kamu pernah tra ns fu si saat aku berlayar?" tanya Rizki lagi. Nina menggeleng. "Tidak, Mas.""Lalu dari mana asal penyakit ini?" tanya Rizki. Nina hanya bisa mengedikkan bahunya. "Aku juga tidak tahu dari mana asalnya penyakit ini. Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin mengalami sakit seperti ini, Mas. Aku juga tidak mau membuat kamu cu ri ga," ujar Nina lirih
"Aku nggak selingkuh, Mas! Seharusnya kamu pun juga dicek ke laboratorium! Jangan- jangan kamu yang membawa penyakit itu dari luar tapi nggak mau ngaku. Bisa juga kan?" tanya Nina sengit. "Hah? Apa?" "Iya! Bisa saja kan kamu sebelum berlayar tiga bulan yang lalu terkena penyakit ini lalu menulariku!? Dan karena kamu lebih sehat dariku atau penyakit mu diketahui lebih dulu akhirnya kamu lebih cepat sembuh dariku karena bisa saja kamu minum o b at yang lebih manjur dariku, Mas!?" tanya Nina memberanikan diri. Rizki mengerut kan dahinya. "Jangan sembarangan kalau bicara, Nin! Jangan lempar batu sembunyi tangan!" ujar Rizki tegas. "Aku ingin keadilan, Mas!" ujar Nina tegas. "Hah, keadilan!? Keadilan mana yang kamu maksud kan?" tanya Rizki bingung. "Kamu juga harus dites, Mas! Aku juga tidak mau hanya aku yang di cu ri gai berbuat cu ra ng!" tuntut Nina. Rizki tercengang. "Hah, untuk apa aku dites? Aku kan tidak menunjukkan gejala apapun?" tanya Rizki."Ya, memang kamu tidak menun
Mendadak Rizki mendelik melihat bagian bawah papanya yang kemerahan. "Papa? Papa kenapa?"Papanya berusaha berdiri dengan berpegangan pada tiang besi mendatar yang terpasang di dinding kamar mandi. "Tadi jatuh saat lari-lari. Jatuh ke depan. Njlungup sampai tengkurap gara - gara kesandung pas lari-lari tadi," ujar papa Rizki. Rizki memegangi lengan papanya perlahan. "Kalau memang ngilu dan sakit, lebih baik papa ber o b a t ke dokter UGD atau poli. Biar Rizki antar papa," tawar Rizki. Papanya menggeleng. "Enggak usah, Riz. Biasanya diurut biar sembuh," tukas papanya, Rizki dan papanya pun kembali ke dalam kamar ruang rawat inap. Nina tampak sedang memainkan ponselnya sesaat, dan saat melihat Rizki kembali ke kamar, dia meletakkan ponselnya kembali. Ekspresi wajah Nina terlihat kalut dan dengan cepat dia menghela napas panjang, berusaha menormalkan ekspresi wajahnya. "Papa nggak apa-apa?" tanya Nina saat melihat mertuanya keluar dari kamar mandi diikuti Rizki di belakang nya.