Rizki merasakan hari ini begitu melelahkan dan ingin menceritakannya pada Devita, tapi dia terkejut saat menyadari kontaknya telah diblokir oleh gadis itu. Ketika dia membuka pesan whatsapp hanya ada profil picture yang kosong dan Adi pun mencoba meneleponnya. Tapi hasilnya nihil. Beberapa kali Rizki mengirim pesan pada Devita, gadis itu tidak juga membaca apalagi membalas pesannya.[Kamu ke mana? Kenapa kamu seharian ini tidak membalas pesanku?]Hanya centang satu. Kemudian Rizki mengirim pesan lagi. [Dev, kamu marah padaku? Katakan apa salahku padamu sehingga kamu marah?] Rizki hanya menghela nafas panjang dan penuh kecewa karena Devita tiba-tiba memblokirnya tanpa alasan, sedangkan dia yakin tidak merasa bersalah. "Atau Devita mendadak mempunyai laki-laki lain, jadi nomor ku diblokir? Tapi sepertinya dia bukan tipe PHP dan bukan tipe menghilang tanpa alasan," gumam Rizki heran. Akhirnya Rizki memilih untuk meminum obat sakit kepala lagi yang diberikan oleh Devita lalu memutuska
Rizki baru saja mencuci piring nya setelah dia makan malam, saat ponselnya berdering. Lelaki itu segera mengusap telapak tangannya di lap yang tergantung di sebelah sink lalu meraih ponsel nya yang tergeletak di atas meja makan. Senyum terkembang di bibir Rizki, saat menyadari bahwa yang menelepon nya adalah Devita. "Halo, Dev...""Mas Riz, hiks... Hiks.. Huhuhu""Eh, Dev? Kenapa? Kamu kenapa menangis!?" tanya Rizki kaget setelah mendengar suara tangisan Devita dari seberang telepon. Suasana hening sejenak. Devita menyusut air mata dari pipi. "A - aku sudah membicarakan tentang kedatangan mu besok pada orang tuaku. Tapi mereka tidak menyetujui hubungan kita, Mas," kata Devita di sela isak tangisnya. Rizki terkejut. Dia merasa heran karena ada orang yang menolak berkenalan dengan orang baru padahal belum bertemu. "Apa alasan orang tua kamu tidak setuju, Dev? Ceritakan padaku selengkapnya ya," pinta Rizki. Devita terdiam beberapa saat, sejenak ragu untuk memberitahu dan untuk me
Malam itu Rizki berpakaian dengan rapi dan bersiap-siap untuk menuju rumah Devita, tidak lupa dia membawakan martabak dan terang bulan premium serta satu parcel buah-buahan yang ditata dengan cantik.Dengan mengendarai mobil xpander barunya, Rizki menuju ke rumah orang tua Devita. Sementara itu, Devita merasa tegang saat makan malam dengan orang tuanya. Kedua tangan dan kaki nya terasa dingin. Beberapa kali dia melihat jam bulat yang tergantung di dinding. Devita merupakan tiga orang bersaudara. Adiknya yang nomor 2 sedang kuliah di luar kota, sedangkan adik lelakinya yang paling bungsu masih sekolah SMA dan ikut serta makan malam dengannya. Suara bel pintu depan berbunyi saat mereka sedang makan, kemudian salah satu asisten rumah tangga mereka segera membukakan pintu, lalu mendekat ke ruang makan. "Pak, Bu, ada teman Nona Devita di depan," ujar asisten rumah tangga. Papa Devita menatap tajam pada anak sulungnya. "Siapa temanmu yang janjian ke sini?" "Mas Rizki, Pa," sahut Devita
Setelah Devita mengakhiri panggilan telepon, Rizki segera menelepon teman pemilik tempat gymnya bekerja dulu. "Halo, Bos, ikut aku sekarang yuk!" ajak Rizki dengan nada tergesa. "Loh, bukannya kamu tadi barusan telepon aku, kalau traktirannya besok malam karena aku telah membantumu menemukan pembeli?" tanya si Bos."Ini untuk urusan yang berbeda, Bos. Ini bukan urusan traktiran tapi ini urusan hidup dan mati serta kelanjutan kisah cintaku," ujar Rizki."Hah? Maksud kamu apa, Riz?" tanya Bos gym, tempat Rizky bekerja dulu dengan bingung."Nanti aja aku jelasin di jalan. Yang penting, sekarang aku jemput dulu. Kita harus ke rumah sakit sekarang."Teman Rizki mengerut kan dahinya. "Siapa yang sakit, Riz?""Nanti aku jelaskan ketika sudah sampai di rumah kamu, Bos. Sekarang Bos siap - siap dulu, saya jemput sekarang," jawab Rizki."Oh oke. Ya sudah aku tunggu di rumah."Rizkipun mengakhiri panggilannya dan segera bersiap menuju rumah temannya."Wah, jadi Papanya calon istri kamu kecela
Bos Rizki tersenyum. "Wah, kamu baik sekali, Riz. Semoga hubunganmu semakin lancar ya!" "Aamin, Bos. Terima kasih doanya."Teman Rizki mengangguk, tak lama kemudian datang lah karyawan PMI yang lalu melakukan serangkaian tes pada mereka sebelum mengambil darah mereka sebagai pendonor. "Syukurlah, darah kalian AB dan memenuhi syarat. Ayo sekarang kalian berdua bersiap-siap untuk diambil darahnya," ujar pegawai PMI tersenyum. Tak lama berselang akhirnya Rizki dan temannya sudah berhasil membawa dua kantong darah ke rumah sakit. Mereka segera menyerahkan kantong darah itu pada dokter dan akhirnya operasi pada Papa Devita berlangsung lancar tanpa hambatan. ***Adi sedang duduk termenung di kursi, di ruang pribadi di tokonya, saat melihat mamanya datang. Mata Adi langsung berbinar. "Mama! Mama pasti datang untukku! Aku tahu mama tidak akan tega melihat papa mengusir ku dari rumah dan mengeluarkan aku dari KK," ujar Adi, menyambut kedatangan mamanya. Mama Adi langsung memeluk anak bu
Mama Devita tampak cemas melihat ke arah lampu ruang operasi yang masih menyala, sementara itu teman Rizki sudah pulang terlebih dahulu. Rizki bersikeras untuk menemani Devita walaupun Devita sudah menyuruhnya untuk pulang. Devita, Rizki, dan Mama Devita duduk di bangku memanjang yang di depan ruang operasi. Mama Devita hanya melirik Rizki, dan merasa gengsi untuk berterima kasih, walaupun sebenarnya di dalam hatinya juga harap-harap cemas dan merasa bahagia karena operasi suaminya bisa berlangsung dengan lancar. Setelah hampir empat jam, lampu ruang operasi padam, kemudian keluarlah seorang dokter dengan baju hijau. "Keluarga pasien Atmaja," ucap sang dokter bedah tulang itu. "Ya, Dok?" Mama dan Devita langsung mendekat. "Bagaimana kondisi suami saya, Dokter?" tanya mama Devita dengan harap - harap cemas. "Alhamdulillah, karena kantong darah datang tepat waktu, maka operasi suami Ibu bisa berjalan lancar. Kondisi suami ibu pasca operasi akan dipantau dulu di ru
"Halo, Dev, bagaimana kabar papamu?""Halo, Mas Rizki! Ada kabar bahagia! Papa mau ketemu sama kamu. Ehm, kayaknya papa merestui hubungan kita deh," ujar Devita dengan nada riang. Rizki tersenyum senang mendengar berita dari Devita. "Wah, alhamdulillah dong! Apa papa sudah bilang kalau setuju tentang hubungan kita?" "Yaaa, belum sih tapi Papa wajahnya bahagia banget pas tahu kalau kamu dan teman kamu lah yang mendonorkan darah pada beliau," ujar Devita. "Lho, aku mendonorkan darah pada papa kan ikhlas, Dev? Nggak ada keinginan terselip lainnya. Aku tetap akan menggapai kamu sesuai dengan syarat yang diajukan Papa Mama kamu," jawab Rizki. "Hm, jadi kamu nggak seneng nih kalau hubungan kita direstui?!" tanya Devita."Lah, seneng banget dong, Dev...""Lah iya, kalau begitu yang penting malam ini kamu jenguk papa di rumah sakit ya untuk ketemu papa. Nanti apa yang papa sampaikan, kita dengarkan bersama," ujar Devita."Wah, oke siap. Nanti malam kamu mau dibawain apa? Buah, roti, snac
"Pemirsa, sebuah kebakaran telah terjadi di kota. Toko elektronik yang terletak di jalan XX telah dilalap si jago merah hingga terbakar habis." Adi melongo, dalam hatinya masih tidak bisa mempercayai berita yang baru saja didengarnya. "Apa? Tidak mungkin!" seru Adi. Badannya mendadak lemas dan telinganya seolah berdenging, kepalanya pun terasa pening. Adi terjatuh, duduk di kursi busa di hadapan nya. 'Ini pasti mimpi,' gumam Adi sambil menepuk kedua pipinya. Dia bahkan mencubit lengannya. "Aawww! Sakit! Berarti ini bukan mimpi?!! Aku kehilangan semuanyaaa!!! Huhuhu!" seru Adi seraya meraung sambil menjambak rambutnya sendiri. "Lho, mas, mas! Ada apa?" tanya seorang karyawan klab malam yang baru saja keluar dari ruangan karaoke privat. Dia mendekati Adi dengan khawatir. Adi menatap ke arah karyawan itu. Dia bingung hendak mengurus kehilangan dompet, HP, dan mobil atau kebakaran toko nya. 'Lebih baik, aku mengurus hal yang masih bisa dikembalikan lagi. Yaitu kerampo
Tiga bulan berlalu sejak kematian Nina, Rizki dan Devita mulai mempersiapkan acara resepsi mereka. "Jadi tokonya akan tutup selama berapa hari, Bos?" tanya salah satu karyawan Rizki. "Tiga hari, mulai besok ya."Karyawan Rizki mengangguk. Dia tetap memandang Rizki seperti sedang memikirkan sesuatu. "Bos, hm, sebenarnya saya ingin menyampaikan sesuatu. Tapi takut dan ragu," ujar karyawan Rizki. "Bilang saja, saya sudah jinak kok," sahut Rizki sambil tertawa. "Kemaren saya menjenguk Dedi di penjara. Dia kan dipenjara setahun. Ada bukti bahwa dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh almarhum mas Adi. Papanya mas Adi pun juga tidak keberatan dengan hukuman itu padahal sudah membuat istrinya meninggal. Karena bapaknya mas Adi bilang ke Dedi kalau bapak nya mas Adi ngerasa bersalah sudah gagal mendidik anak sehingga mengakibatkan orang lain di penjara juga," ujar karyawan Rizki. "Lalu apa hubungannya dengan ku?" tanya Rizki bingung. Dia memandang ke arah Devita yang duduk di s
Fuso itu juga mengerem mendadak agar tidak menabrak mobil Nina, namun terlambat, bemper sebelah kanan fuso itu menyambar mobil Nina, sehingga mobil Nina terdorong ke belakang lima puluh meter dalam keadaan ringsek. "Aaaaa! Mas!" jerit Devita kaget karena melihat tabrakan yang terjadi di hadapan nya. "Ya allah, innalillahi wa innalillahi roji'un! Kamu di sini saja, aku akan melihat siapa korban kecelakaan itu dan memanggil polisi," ucap Rizki sambil mengusap kepala Devita. Rizki bergegas menyebrang jalan. Rupanya bunyi tabrakan yang kencang tadi membuat beberapa warga yang mempunyai rumah di jalanan itu segera keluar dari rumah meskipun pada awalnya masing-masing pintu rumah mereka tertutup karena bersiap tidur. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar mobil Nina dan truk fuso. Dan alangkah terkejutnya Rizki, saat melihat korban yang berada di dalam mobil nahas itu. Tampak tubuh Nina yang bersandar di balik kemudi dalam keadaan terpejam. Bemper mobil depan Nina ringsek dan menje
Nina dengan cepat mengetik nomor yang tertera di poster itu lalu menelepon nya. "Halo, dengan toko Rizki di sini. Ada yang bisa dibantu?"Terdengar suara lelaki ramah di seberang telepon. Nina yang baru saja berganti nomor ponsel sangat yakin jika suara itu adalah suara Rizki, mantan suaminya. "Halo, Kak, saya butuh beberapa cemilan dan bahan makanan untuk ngegrill. Bisa diantar kan ke alamat saya?" tanya Nina. Jantung nya berdebar kencang. Berharap Rizki tidak mengenali suaranya lagi. Di seberang telepon, Rizki terdiam. Dia memang sudah lama tidak berkomunikasi dengan Nina, tapi dia yakin jika suara yang didengar nya saat ini adalah suara Nina, mantan istri nya. 'Wah, sepertinya ini suara Nina. Jangan - jangan dia merencanakan sesuatu pada ku atau Devita,' batin Rizki. 'Sebaiknya aku ikuti saja permainan Nina. Awas saja kalau dia sampai berbuat aneh- aneh pada Devita,' sambung Rizki dalam hati. "Oh, ya. Kami memang melayani pembelian secara COD. Jadi apa saja yang ingin dibeli?
Wajah Rizki terlihat keruh saat bersiap untuk membuka toko. "Kamu kenapa, Yang? Ada masalah? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Devita. Dia menumpuk piring kotor setelah mereka makan dan mengumpulkannya di dalam wastafel. "Aku baru dapat pesan dari pengacara kalau kasus Nina berhasil saat naik banding di pengadilan. Dan sekarang dia bebas," ujar Rizki sambil menghela napas panjang. Gerakan Devita yang sedang membasuh piring dengan sabun menjadi terhenti. Dia menggigil sesaat. Teringat saat Nina yang menyuruh preman untuk menganggu dan menculiknya. Untung saja waktu itu Rizki berhasil menyelamatkan kehormatan nya. Kalau saja saat itu Rizki telat datang, Devita bahkan tidak berani untuk membayangkan nya. "Aku takut, Mas. Bagaimana kalau Nina mengincar kebahagiaan kita lagi?" tanya Devita terdiam di depan wastafel. Rizki yang hendak menuruni anak tangga untuk ke lantai bawah, membalikkan badan dan memeluk Devita erat. "Aku tidak akan membiarkan Nina mengambil kebahagiaan kita, Yang.
Pengacara nya menghela napas panjang, berpikir sejenak. "Bukan kapasitas saya untuk bicara. Mbak Nina lihat saja sendiri saat pulang nanti, sekarang mbak Nina pulang saja dulu," ujar pengacara Nina. Nina mengangguk, lalu tersenyum dan menoleh sejenak ke arah sel tempat dia dikurung kemarin. Telihat para perundungnya yang menatap Nina dengan rasa kesal. Nina yang tampak kurus dan terlihat dekil karena mengalami penganiayaan di dalam penjara oleh teman satu selnya, menatap ke arah teman- teman satu selnya dengan penuh dendam. Dia lalu mengacungkan jari tengah ke arah mereka, kemudian bergegas pergi. ***"Ini rumah siapa, Pak??" tanya Nina pada pengacara nya. "Ini rumah kamu, mbak Nina," ujar pengacara nya membuat Nina semakin bingung. "Bukan! Rumahku gede, Pak! Bukan kecil seperti ini!" ujar Nina seraya menggelengkan kepalanya. "Masuk saja dulu, Mbak Nina. Ada orang tua kamu di dalam," ujar pengacara nya mempersilahkan. Nina pun berjalan sampai ke arah teras rumahnya, dia lalu m
Devita terbangun saat mencium aroma nasi goreng yang lezat. Dia lantas duduk di ranjang sejenak lalu merenggang kan kedua tangan nya ke atas dan menuju ke kamar mandi. Usai sikat gigi, cuci muka dan berganti pembalut, dia menuju ke dapur yang berseberangan dengan kamar nya dan melihat Rizki yang sedang mengaduk masakannya di wajan. Devita menatap nya dengan takjub. Tampak Rizki menuangkan minyak cabai ke dalam wajan berisi nasi goreng lalu menggoyang - goyangkan pegangan wajannya dengan ahli dan tampak api dari kompor yang menjilat sampai ke wajan. "Wihh, bisa begitu ya?" tanya Devita takjub. Rizki menoleh ke arah istrinya. "Hei, kamu sudah bangun, Yang? Duduk gih, aku sedang memasak sarapan kita. Nasi goreng hitam! Ini pakai aneka seafood dan tinta cumi-cumi lho! Rasa pedas kesukaan kamu!" ujar Rizki tersenyum. Devita terdiam dan menatap sang suami penuh cinta. Bukannya menuruti instruksi suaminya untuk duduk, Devita justru mendekat ke arah Rizki dan memeluk nya dari arah belak
Saat langkah Rizki mendekat ke arah pohon tempat Adi bersembunyi, Adi segera berdiri lalu mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. "Hiyaaat! Ma ti kamu, Rizki!" seru Adi sambil membabi buta mengayunkan pisaunya ke arah Rizki. Buaakkh! "Aarrghhh!"Alih - alih bisa melukai Rizki dengan ayunan pisau nya, tangan Adi justru terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Adi berteriak saat pergelangan tangannya terasa patah terkena hantaman dahan pohon yang dibawa oleh Rizki. Kedua lelaki yang pernah menjadi sepasang sahabat itu pun berhadapan dengan sengit. Adi menggerak - gerakkan tangan kanannya yang terkena hantaman dahan pohon. 'Untung saja tidak patah,' batin Adi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pisau lipatnya yang terjatuh ke entah dimana. 'Duh, dimana pula pisau ku tadi!? Bagaimana mungkin aku melawan Rizki hanya dengan tangan kosong?' batin Adi panik. Tapi dia tetap berusaha untuk bersikap tenang. "Menyerahlah saja, Di! Bertanggungjawab lah atas segala hal yang te
Warning : Adegan gore! "Mampus saja kamu, Riz!" seru Adi sambil mendorong pisau di tangannya semakin mendekat ke arah perut Rizki dan Rizki pun sekuat tenaga menahan pisau Adi, dan dalam gerakan dorong- mendorong itu, tangan Rizki tanpa sengaja menekuk dan membalikkan arah tangan Adi, sehingga pisau Adi menghujam perut nya sendiri. "Aaarghh!" Adi berseru bertepatan dengan darah yang mengalir dari perutnya. Rizki dan Adi saling mendelik dalam diam. Cengkeraman tangan Rizki melonggar, sehingga genggamannya pada tangan Adi melemah. Adi berdiri terhuyung dan memegangi perutnya yang tertusuk pisau yang dipegangnya sendiri. Rizki membalikkan badannya dan perhatian nya tertuju pada Devita yang sudah terlepas dari tali yang mengikat tangannya dan lakban yang menutup mulut nya. "Mas!" seru Devita menghambur ke arah Rizki. Rizki dan Devita berpelukan dengan berurai air mata. "Kamu nggak apa- apa kan?" tanya Rizki sambil membingkai wajah istri nya dengan cemas. Devita menggeleng. "Alhamd
"Kenapa kamu nggak lapor polisi, Riz?" tanya teman pemilik gym nya dengan prihatin. Rizki menghela napas panjang. "Sudah. Tapi kata polisi harus menunggu 1x24 jam. Kecuali memang ada bukti ancaman."Teman Rizki berpikir sejenak. "Kalau begitu, apa tidak mungkin istri kamu pergi ke rumah temannya? Lalu HP nya rusak, sehingga dia tidak bisa menelepon kamu?" tanya teman Rizki.Rizki menggeleng."Tidak mungkin! Devita sangat hapal nomor HP ku. Jadi kalau dia memang harus menginap di rumah temannya dan HP nya rusak, dia pasti akan meninjam HP temannya untuk menghubungiku," ujar Rizki. "Kalau HP Devita tidak aktif dan dia juga tidak menghubungi ku, berarti kemungkinan nya hanya satu. Istriku sedang dalam bahaya. Kemungkinan dia diculik orang atau sedang dalam bahaya. Aku butuh bantuan kamu dan Falcon," sambung Rizki lagi. Temannya manggut-manggut. "Kita harus menyediakan alat untuk membela diri, Riz," ujar Johan. Dia lalu masuk ke dalam rumah dan membawa keluar semprotan merica, pisau