Naura dan Davin meminta izin untuk membersihkan diri, meninggalkan Rania dan Raka di ruang keluarga bersama Bram dan neneknya. Laura duduk santai di sofa, mengawasi si kembar yang asyik bermain dengan mainan baru yang dibawa oleh Bram. Tawa mereka memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat.Namun, tak lama setelah Naura dan Davin kembali ke ruang keluarga, Bram tiba-tiba meminta izin untuk pulang ke rumahnya.“Emangnya kamu nggak mau makan di sini, Nak?” tanya Laura dengan nada lembut, menatap putra sulungnya yang sudah berdiri, siap untuk pergi.“Hari ini asistenku datang, Ma. Katanya dia sudah ada di rumah. Aku ingin berbincang dengan dia sekaligus memberitahu apa saja tugasnya di rumah itu, baik ketika aku ada di rumah ataupun ketika aku nggak ada di rumah,” jawab Bram dengan tenang.Laura mengangguk pelan, meski tampak sedikit kecewa karena Bram tidak tinggal lebih lama.“Uncle Blam, makasih mainannya ya! Besok apa lagi yang mau Uncle bawain?” tanya Raka dengan suara cadeln
Bram duduk di sofa kamarnya, menatap Dinda yang berdiri beberapa langkah di depannya dengan kepala tertunduk. Setelah insiden tak terduga itu Dinda sangat canggung, dia nyaris tak berani menatap Bram. Matanya telah melihat langsung ukuran senjata pria itu.Wanita itu tampak ragu, sesekali mengusap jemarinya seolah ingin menyembunyikan kegelisahannya. Bram menghela napas, lalu membuka percakapan yang langsung menghantam relung perasaan Dinda.“Berapa kali sehari kamu berhubungan badan dengan suamimu kalau di rumah, Dinda?” tanyanya tajam, tanpa basa-basi.Dinda mengangkat wajahnya perlahan, tampak terkejut, namun ia segera menguasai dirinya. “Tidak pernah, Pak. Saya hanya disentuh sekali, itu pun di malam pertama kami. Hanya sebentar, bahkan saya tidak merasakan sakit sama sekali. Dia bilang tidak berhasrat untuk menyentuh saya.”Bram mengangkat alisnya. Jawaban Dinda membuat pikirannya melayang, namun ia tetap menjaga sikapnya. “Lalu, kenapa kamu tetap bertahan dalam pernikahan sepert
Bram melihat Dinda menatap rudalnya penuh minat.“Apa kamu mau menyentuhnya?” tanya Bram.Dengan ragu sambil menggigit bibir bawahnya, Dinda mengangguk.“Sentuhlah,” ucapnya.Bram mengeluarkan tangannya dari gua hangat Dinda, dia duduk sambil merentangkan tangannya di sandaran sofa. Dinda kini berlutut di hadapan pria itu, matanya berkabut menatap rudal dengan ukuran tak biasa itu dan bahkan dia tak yakin benda besar ini bisa menembus lubang sempit miliknya.“Sentuhlah,” ujar Bram.Dinda mengangguk. Tangannya mulai menyentuh benda yang sudah tegang dan berurat itu, tanpa meminta izin Dinda mulai memasukkan benda itu ke dalam mulutnya, tangan kanannya bermain di dua telur milik Bram hingga membuat pria tersebut mulai mendesah karena ternyata wanita yang disangkanya lugu justru sudah melakukan lebih dari yang dia kira.Bram mulai meragu kalau wanita ini, hanya memiliki pengalaman dengan menonton film dewasa. Gerakannya, lumatannya, semuanya seperti sudah berpengalaman.“Aaaaaaah, saya s
“Pagi, ganteng,” sapa Naura kepada suaminya sambil menyusun sarapan di meja makan.“Hmmmm... uaheeeeeem,” Raka, anak laki-laki mereka yang berusia empat tahun, membalas dengan suara khas orang yang masih setengah mengantuk. Ia duduk di kursinya sambil mengusap-usap matanya yang berat.Naura tersenyum melihat tingkah putranya, sementara Davin yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya mengusap kepala si kecil penuh kasih. “Mana Rania, sayang?” tanya Naura sambil melirik ke arah tangga.Raka, dengan gaya khas anak-anak, menjawab dengan bahasa cadelnya. “Itu Mom, lagi diselet sama Nenek. Gak mau bangun dia,” adunya sambil menunjuk ke arah kamar.Davin dan Naura tertawa kecil mendengar laporan polos Raka. “Dulu, Daddy seusia kalian gak cadel deh,” ujar Davin menggoda.Raka mencibir, melipat tangannya di dada. “Tapi kata Nenek, Daddy ompong. Telus udah gede masih minum Asi. Kata Nenek, sampai sekolah masih minum Asi.”Davin langsung mengatupkan bibir, tersipu malu mendengar aibnya diungkap o
“Lakukan gerakan seperti yang tadi malam kita tonton,” ulang Bram lagi.“Oke, siap.”Seluruh tubuh Dinda sudah terekam jelas di dalam kamera. Dengan gerakan sensual dia merangkak naik ke atas ranjang, lalu duduk menghadap kamera dengan kedua kaki dilipat ke belakang. Tangannya mulai menyentuh dadanya, memainkan puncaknya sendiri hingga membuat dia terangsang dengan permainannya sendiri.Dinda melepaskan handuk di atas kepalanya, rambut panjangnya masih setengah basah namun gerakan sensual yang ia ciptakan berhasil membuat Bram kepanasan.Bahkan Bram sudah melepaskan celananya, dan mulai bermain Solo, sebab hanya dengan melihat tubuh Dinda yang polos saja sudah membuat miliknya menegang.Semakin tidak bergerak dengan gerakan genit, semakin membuat Bram tidak kuasa menahan hasratnya. Sekali pria itu matanya terpejam dan kepalanya menengadah di sandaran kursi kebesarannya. Bram mengingat betul permainan panas mereka tadi malam. Bahkan dia sempat menonton film dewasa berdua di dalam kama
Dinda sedang memasak untuk makan malamnya dan Bram. Tadi Bram menghubunginya akan makan malam di rumah. Tak ada makanan special yang pria itu inginkan sehingga membuat Dinda sedikit kebingungan membuatkan menu makan malam.Jadilah dia memasak steak ayam dengan saus spesial racikannya. Tiba-tiba saja dia terkejut, karena ada tangan besar melingkar di perutnya, memeluk Dinda dari belakang.Beruntung jam segini semua pelayan memang tak diizinkan untuk berkeliaran di ruang utama, sehingga keintiman mereka sangat terjaga.“Paaaaaaak,” ujar Dinda, sambil menjauhkan tubuhnya dari Bram.“Biarkan begini sebentar saja,” jawaban pria itu membuat Dinda yang tadinya hendak protes lagi, terpaksa mengatupkan bibirnya.Tangan Bram mulai menyentuh bagian sensitif di tubuh wanita itu.“Paaaaaaaak nanti kena minyak panas,” ujarnya.Namun pria itu menulikan pendengarannya. Dia terus meremas dada sang asisten pribadi, sambil sesekali mengeluarkan desahan yang tertahan. Bram merasa seperti pria yang sudah
Bila Bram sedang bermain hasrat dengan Dinda, berbeda halnya dengan Rania dan Raka.“Aaaaaak.”Raka menutup mulutnya setelah bersendawa.“Joloooook!” seru Rania, “Aaaak.”Rania ikut bersendawa membuat sang kakak kembar balik mengejeknya.“Gak sopan,” tegur sang mommy.“Solly Mom, soalnya makan banyak. Enak jatah Om Blam kami habisin,” Raka menjawab.“Benel tuh, seling-seling aja gini, bisa gendut kita,” Rania menimpali lalu keduanya tertawa lepas.Davin terkekeh, “Ma, apa kita tarik aja kali ya lidahnya Raka dan Rania, biar g cadel lagi,” goda Davin. Sontak si kembar menutup mulutnya, takut lidahnya beneran ditarik.PlakLaura memukul lengan kekar Davin, “sembarangan kalau bicara, kupingmu yang Mama tarik nanti.”Tawa renyah Raka dan Rania mengudara, merasa menang dibela oleh sang nenek.Setelah makan malam bersama istri, kedua anaknya, dan sang mama, Davin duduk di ruang keluarga dengan Naura. Kedua anak kembar itu, sudah mulai mengantuk setelah kenyang dengan makanan favorit mereka
“Ngapain sih kalian ini, jam segini udah di kamar Daddy? Udah tua bobo di kamar sana,” usir Davin menggoda kedua anaknya yang sedang bergelantungan di tangan kanan dan kirinya.“Yeeee, mau tidul tauuuk. Udah malam, kata Mommy gak boleh begadang. Nanti cepat tua kayak Daddy,” ejek Rania. Davin menghempas tubuh kedua anaknya di atas kasur, lalu dia menggelitik Raka dan Rania, hingga tawa keduanya mengudara di kamar mewah itu. Naura keluar dari ruang ganti sudah pakai piyama tidur. Lalu merangkak naik ke atas ranjang."Mommy, apa sekolah itu enak?" tanya Rania tiba-tiba dengan suara lembutnya saat mereka sudah nyaman berada di atas tempat tidur.Rania dan Raka berada di antara kedua orang tua mereka. Rania meringkuk manja di samping Davin, sementara Raka dengan tenang memeluk lengan sang Mommy."Sayang, sekolah itu menyenangkan," jawab Naura lembut sambil mengusap kepala kecil Raka. "Selain kalian belajar banyak hal baru, kalian juga akan punya banyak teman untuk bermain bersama."Raka
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le
“Aaaaaaah, baby. Hisap lebih dalam.” Dinda melumat milik Bram penuh dengan hasrat, Dia sangat senang sekali kalau disuruh ngemut permen kulit satu ini. Tangan berantak tinggal diam dia meremas dada Dinda dan tangan yang satunya masih bermain di area kewanitaan Dinda. Dinda mempercepat gerakannya, semakin cepat gerakan itu, semakin sering desahan keluar dari mulut Bram yang berhasil membangkitkan gairah liar keduanya. Bahkan mereka benar-benar sudah kecanduan satu sama lain, dimanapun Bram berada permainan panas dengan Dinda selalu memenuhi benaknya. Setelah selesai perjalanan bisnisnya lalu mereka berlibur di atas kapal pesiar, Bram bersumpah tidak akan membiarkan Dinda nganggur sedikitpun. “Cium aku, baby,” kata Bram dengan mata sayu. Dinda melepaskan mulutnya dari benda yang sudah berdiri dengan tegak, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Bram. Mereka saling mendekat satu sama lain, lidahnya saling membelit satu sama lain seolah kegiatan panas ini tidak pernah membuat mereka
Nyanyian selamat ulang tahun yang menggema di ballroom hotel tersebut, masih terngiang-ngiang dalam benar kedua anak kembar itu. Tidak ada hal yang paling menyenangkan daripada hari ini bagi si kembar, mereka merayakan hari ulang tahun besar-besaran dan dihadiri oleh banyak tamu undangan tanda. Dan yang paling penting bagi keduanya adalah begitu banyak kado yang tertata dengan rapi hingga membuat keduanya sangat takjub dan cepat-cepat ingin pulang agar bisa segera membuka kado tersebut. Sang nenek, Bram, dan keempat pengasuh mereka sudah memberikan kado spesial. Kedua orang tuanya pun memberikan satu box untuk masing-masing berukuran besar yang akan dibuka oleh mereka besok pagi di rumah. Meski keberatan namun mereka tidak bisa membantah permintaan kedua orang tuanya untuk tidak membuka kado di tempat ini. Rasanya mereka sudah tidak sabar ingin segera pulang dan mengakhiri pesta malam ini.“Selamat ulang tahun, doa terbaik buat Raka dan Rania,” ucap Dinda, memberi selamat pada Twin
“Kita mulai acaranya, setuju?” tanya MC pada semua orang yang hadir di sana.“Setuju,” jawab semua.Davin berdiri dengan penuh wibawa di atas podium. Dengan mikrofon di tangan, ia tampak percaya diri, sementara sorotan lampu panggung memusatkan perhatian semua orang padanya. Naura, yang berdiri anggun di sampingnya, menatap suaminya dengan senyuman penuh kebanggaan. Di antara mereka, Rania dan Raka berdiri dengan percaya diri, melambaikan tangan kecil mereka kepada para tamu undangan yang memberi tepuk tangan meriah.“Silakan, Pak Davin, untuk sepatah dua patah kata agar sah si kembar resmi go publik,” ujar salah satu MC dengan senyuman lebar, mengundang sorakan kecil dari audiens.Davin mengambil mikrofon dan membuka pidatonya dengan suara tegas namun hangat, “Selamat malam.”“Selamat malam, Pak Davin!” suara para tamu serentak menjawab, menciptakan suasana hangat dalam ruangan.Davin melanjutkan, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang hari ini, ke acara ulang tahun ked
“Kenapa, sayang?” tanya Davin.Sang istri terus menoleh ke belakang, lalu fokus ke depan, ke belakang lagi, terus begitu. Seperti ada yang sedang dipikirkan oleh Naura.“Hey, kenapa, sayang?” tanya Davin lembut, sambil menyentuh tangan istrinya.“A–aku seperti melihat Aldo,” ucapnya.Davin berdecak kesal.“Jangan menyebutnya di depanku, sayang,” jawab pria itu cemburu.“Tapi aku beneran melihat dia membuntuti kita, sayang. Aku yakin itu, dia,” ujar Naura.Davin menepikan mobilnya, lalu mobil yang dicurigai Naura dikendarai Aldo melaju lurus.“Mana, sayang?” tanya Davin.“I–itu mobilnya. Aku melihatnya masuk ke mobil putih itu,” jawabnya seperti yang dia lihat.Naura hanya takut kalau Aldo datang untuk mengacaukan hidup mereka lagi. Naura yakin dia dendam pada Davin, apalagi kalau sampai dia tahu soal pernikahannya dengan Davin, tanpa melihat perjuangannya melewati ujian berat.“Dengar, sayang. Aldo atau siapapun tak akan pernah bisa menyentuh kita. Aku pastikan itu kok, jadi kamu jang