“Ngapain sih kalian ini, jam segini udah di kamar Daddy? Udah tua bobo di kamar sana,” usir Davin menggoda kedua anaknya yang sedang bergelantungan di tangan kanan dan kirinya.“Yeeee, mau tidul tauuuk. Udah malam, kata Mommy gak boleh begadang. Nanti cepat tua kayak Daddy,” ejek Rania. Davin menghempas tubuh kedua anaknya di atas kasur, lalu dia menggelitik Raka dan Rania, hingga tawa keduanya mengudara di kamar mewah itu. Naura keluar dari ruang ganti sudah pakai piyama tidur. Lalu merangkak naik ke atas ranjang."Mommy, apa sekolah itu enak?" tanya Rania tiba-tiba dengan suara lembutnya saat mereka sudah nyaman berada di atas tempat tidur.Rania dan Raka berada di antara kedua orang tua mereka. Rania meringkuk manja di samping Davin, sementara Raka dengan tenang memeluk lengan sang Mommy."Sayang, sekolah itu menyenangkan," jawab Naura lembut sambil mengusap kepala kecil Raka. "Selain kalian belajar banyak hal baru, kalian juga akan punya banyak teman untuk bermain bersama."Raka
Puas menikmati Goa sempit itu, kini Dinda melumat bibir Bram. Lidah keduanya saling membelit satu sama lain, hingga ciuman itu terlepas setelah keduanya kekurangan oksigen.“Saya naik, ya Pak,” ucapnya.“Cepatlah, aku sudah tak tahan lagi,” ujar Bram.Dinda naik ke atas tubuh Bram, mulai bergerak naik turun. Demi apapun Bram rasanya ingin berteriak karena tak bisa ngapa-ngapain. Puas bergerak naik turun, Dinda memberikan goyangan maut yang membuat Bram kembali mengumpat.“Shiiiiiit.”Setiap kali milik Dinda menjepit miliknya, Bram merasakan nikmat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.“Percepat lagi, sayang. Jangan siksa aku seperti ini,” rancau Bram.Dinda berhenti sejenak, lalu melumat bibir Bram. Bram membalasnya dengan rakus. Puas berciuman, Dinda mendekatkan dada kanannya ke bibir Bram. Pria itu kembali melahapnya rakus seperti bayi yang kelaparan. Tak lupa dia memberi tanda kepemilikan di dada Dinda. Puas membiarkan Bram menikmati dadanya yang besar, Dinda memilih untuk mela
Lututnya lemas ketika duduk di depan ruang operasi. Ia bingung memikirkan biaya yang harus ia keluarkan, sementara uang yang diberikan oleh Bram sudah ia serahkan semuanya kepada suaminya. Demi keselamatan keluarganya, ia rela melakukannya, karena Dimas hampir setiap hari mengancam akan mencelakai keluarga Dinda jika keinginannya tidak terpenuhi."Kapan aku bisa bahagia? Kapan aku bisa hidup seperti orang lain? Kenapa aku harus menjadi tulang punggung keluarga? Bahkan setelah menikah, aku masih harus menanggung beban ini. Tidak hanya itu, aku juga harus memberikan uang kepada suamiku untuk berjudi. Ya Tuhan, kenapa hidupku seperti ini?" ucapnya sambil menangis.Dinda tidak tahu harus bagaimana. Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Ia ingin sekali berbicara lagi dengan Dimas agar pria itu mau menceraikannya, bahkan dulu ia sering melakukan itu, tapi nyatanya, sampai detik ini Dimas tetap tidak mau. Ironisnya, pria itu juga tidak pernah menyentuh Dinda lagi."Ya Tuhan, berikan j
Dinda dan Bram mengurai ciumannya. Bram segera memakai maskernya lagi agar wajahnya tak terlihat. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah pergi dari sana. Ia tidak berpamitan lagi pada Dinda, hanya memberikan isyarat singkat lewat anggukan kecil sebelum akhirnya menghilang di balik keramaian rumah sakit.Dinda masih berdiri mematung, mencoba menenangkan detak jantungnya yang begitu kencang. Ia belum siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul. Namun, suaranya Herman tiba-tiba membuyarkan lamunannya."Siapa orang itu?" tanya Herman, pria yang kini duduk di kursi sebelahnya.Dinda berusaha menenangkan diri dan menjawab, "Tadi itu orang suruhan bosku. Dia cuma mau minta sopirnya untuk mengantarkanku ke rumah sakit." Ia tidak menoleh ke arah Herman, khawatir pria itu menangkap kegugupannya atau—lebih parah lagi—menyadari apa yang sebenarnya terjadi."Oh," sahut Herman singkat. Namun, rasa ingin tahunya belum terpuaskan. "Lalu, bagaimana keadaan Dimas? Apa dia baik-baik saja?"D
“Kayak gini enaknya, dia malah milih main pedang,” gumam Bram. Dinda duduk di atas kursi spon panjang, semantara Bram hanya membuka celananya hingga di atas lutut.“Hisap susu saya, Pak,” ujarnya sambil memejamkan mata. Bram sedikit membungkuk, menangkup benda kecil berwarna pink yang sudah mengeras. Setiap gerakan Bram, membawa sensasi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata oleh keduanya. Tubuh keduanya saling merespon satu sama lain. Mungkin karena terlahir dari rahim yang sama, membuat Bram dan Davin memiliki hasrat yang tak bisa dikendalikan bila bersama orang yang dia sukai.“Enak gak?” tanya Bram saat melihat Dinda menggigit bibir bawahnya sambil memejamkan mata.Wanita itu hanya mengangguk. Bram meraup bibinya, Dinda membalas dengan ciuman yang sama panasnya. Tubuh keduanya saling merespon. Bram meremas dadanya Dinda, wanita itu membusung dadanya sengaja menggoda sang majikan.“Sehari tak menyentuhmu, aku bisa gila,” rancau Bram lagi.“Maka sentuhlah saya setiap hari. Dan
"Selamat pagi, Pak Amar," sapa Davin pada pria yang baru saja menghampirinya. Pria itu adalah pemilik bahan baku yang sedang dibutuhkan Davin untuk mempercepat pembangunan vila, mal, serta hotel terkait kerja sama dengan Imelda. Pihak klien menginginkan agar pembangunan tersebut selesai pertengahan tahun depan, lebih cepat dari jadwal semula."Selamat pagi, Pak Davin. Selamat pagi, Bu Naura. Boleh saya minta izin berbicara sebentar dengan Bapak? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan," ucap Pak Amar, berdiri berhadapan dengan Davin dan Naura."Boleh, tapi setelah saya selesai meeting pagi. Kalau Anda mau, silakan tunggu di depan resepsionis sampai nanti saya selesai meeting. Saya akan memberitahu karyawan saya untuk mengantarkan Anda ke ruangan saya," jawab Davin tegas."Apa tidak bisa sekarang, Pak? Ini sangat mendesak soalnya," sahut Pak Amar, mencoba memohon."Saya tidak bisa mengganggu jadwal meeting saya. Jadi, kalau Anda berkenan menunggu, silakan. Kalau tidak, kembali lagi
“Nanti sore kita harus mampir ke hotel dulu, sayang,” bisik Davin. Dia tak puas main buru-buru di rumahnya, sementara kalau tengah malam matanya ngantuk dan cepat keluar. Tak bisa ia menikmati permainan panas dan liar seperti sebelum ada Rania dan Raka. Naura hanya mengangguk.Matanya terpejam karena menikmati sensasi yang ditimbulkan dari permainan lidah Davin dan tangan Davin di dada yang berukuran jumbo itu. Davin terus melahap dengan rakus dada sang istri secara bergantian, setiap remasan yang ia berikan di dada itu menandakan kalau hasratnya semakin tak terbendung. Setelah puas menikmati dada sang istri Davin meminta Naura berbalik.Naura dan Davin sudah dalam keadaan polos. Naura menuruti permintaan sang suami posisi nungging saat ini adalah posisi yang akan membuat grafik merasa terpuaskan untuk sementara waktu. Pria itu segera memasukkan miliknya yang sudah tegang sejak tadi ke dalam milik sang istri. Keduanya mengingat masa-masa mereka belum menikah dulu, dan setiap pagi sela
Pak Amar memandangi dokumen di depannya dengan tatapan nanar. Surat pembatalan kontrak kerja sama yang disodorkan tim operasional Abimanyu Group terasa seperti hukuman yang terlalu berat. Ia merasa kesal, malu, dan tidak percaya bahwa semuanya harus berakhir seperti ini. Tangannya bergetar saat memegang pena, seolah-olah tubuhnya tahu bahwa menandatangani surat itu akan menjadi akhir dari peluang emas yang selama ini ia banggakan."Pak Amar, mohon segera ditandatangani, agar proses administrasi bisa langsung kami selesaikan," ujar salah satu staf operasional dengan nada profesional.Pak Amar mendongak, menatap pria muda yang menyampaikan instruksi itu. Dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin meminta waktu tambahan, tetapi ia tahu bahwa Davin tidak akan mengubah keputusan.“Sebentar, Pak. Saya ingin bicara dulu,” ucap Pak Amar, berusaha mengulur waktu.“Silakan, Pak. Tapi keputusan akhir tetap ada pada Pak Davin. Kami hanya menjalankan perintah,” jawab staf operasional itu dengan nad
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto