Pak Amar memandangi dokumen di depannya dengan tatapan nanar. Surat pembatalan kontrak kerja sama yang disodorkan tim operasional Abimanyu Group terasa seperti hukuman yang terlalu berat. Ia merasa kesal, malu, dan tidak percaya bahwa semuanya harus berakhir seperti ini. Tangannya bergetar saat memegang pena, seolah-olah tubuhnya tahu bahwa menandatangani surat itu akan menjadi akhir dari peluang emas yang selama ini ia banggakan."Pak Amar, mohon segera ditandatangani, agar proses administrasi bisa langsung kami selesaikan," ujar salah satu staf operasional dengan nada profesional.Pak Amar mendongak, menatap pria muda yang menyampaikan instruksi itu. Dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin meminta waktu tambahan, tetapi ia tahu bahwa Davin tidak akan mengubah keputusan.“Sebentar, Pak. Saya ingin bicara dulu,” ucap Pak Amar, berusaha mengulur waktu.“Silakan, Pak. Tapi keputusan akhir tetap ada pada Pak Davin. Kami hanya menjalankan perintah,” jawab staf operasional itu dengan nad
“Gini amat jadi anak olang kaya,” keluh Raka. Baru saja mereka habis makan malam, dan makanan yang dikonsumsi mereka gak habis. Bahkan keduanya buru-buru menuju ruang keluarga. Tak ada TV menyala seperti biasanya, kala mereka habis makan malam. Seperti ada sesuatu yang hilang dari keduanya. Bram perlahan mendekat, lalu menghentikan langkah saat mendengar obrolan kedua keponakannya. Tangannya merogoh ponsel di saku celana lalu merekam diam-diam dari arah belakang. “Iya benel. Daddy sama Mommy sibuk cali uang, kita dibuang.”Ucapan Rania membuat Bram mengatupkan bibirnya menahan tawa. Drama keduanya telah dimulai. “Ngapain punya uang banyak? Mending sama Mommy telus gak usah punya uang,” keluh Raka menimpali. “Aku punya ide,” kata Rania dengan mata berbinar. “Ide apa?” tanya Raka.“Bagaimana kalau kita kelja di kantol Daddy. Kamu kelja jadi satpam. Telima tamu, jadi bisa dwkat sama Mommy telus,” usulnya, seakan ide itu kalau di ACC oleh Daddynya makan akan sangat seru.“Kamu jadi
“Uuuh Baby, kenapa setiap kali menciummu, tubuhku terasa terbakar,” ujar Bram.Maksudnya tak pernah bisa dikendalikan setiap kali dia mencium Dinda. Sementara wanita itu dengan sengaja menyentuh Area sensitif di tubuh Bram. Wanita itu dengan nakal memasukkan tangannya, ke dalam celana Bram.Mereka kembali berciuman begitu panas, lidahnya saling membelit, sesekali memberikan gigitan kecil di bibir masing-masing. Hasrat pria itu sudah tak terbendung, karena Dinda benar-benar berhasil menggodanya. Dinda melepaskan ciumannya, lalu meraup oksigen sebanyak-banyaknya.“Tapi kamu menyukai pelayananku, kan?”Dinda mulai meremas dengan lembut bagian intim pria tersebut, sementara Bram memejamkan mata menikmati setiap sentuhan maka dari jari-jari lentik wanita di hadapannya ini.Dinda membuka dasi yang masih terasa mencekik di leher Bram, juga melepaskan kancing kemeja pria tersebut. Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu memainkan lidahnya di dada Bram, hingga membuat pria itu mengeluarkan lenguhan
Dinda mengetuk pintu ruangan dokter dengan hati yang berat. Setelah mendengar izin dari dalam, ia membuka pintu perlahan dan masuk. Di dalam ruangan, dr. Harun menyambutnya dengan senyum ramah, seperti biasa.“Permisi, dok.”“Selamat pagi, Ibu Dinda. Silakan duduk,” ujar dr. Harun sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Dinda mengangguk pelan dan duduk dengan hati-hati. “Selamat pagi juga, Dokter. Saya dihubungi pihak rumah sakit, katanya dokter ingin bertemu keluarga pasien. Saya juga ingin mendengar kabar terbaru tentang kondisi suami saya, Dimas.”Dr. Harun membuka berkas di mejanya dan memeriksa laporan medis terbaru. Setelah beberapa saat, ia menatap Dinda dengan serius namun tetap lembut. “Baik, Bu Dinda, langsung saja ya. Kami sudah melakukan pemeriksaan lanjutan terkait patah tulang yang dialami oleh Pak Dimas. Hasilnya menunjukkan bahwa kerusakan pada tulangnya lebih parah dari yang kami duga sebelumnya.”Dinda menelan ludah. “Seberapa parah, Dok?”“Pak Dimas membutuhkan set
Bram mendorong pelan tubuh Dinda, dan keduanya segera merapikan penampilannya kembali. Suara Davin semakin dekat, membuat Dinda jadi gugup dan menyesal datang ke kantor Bram.“Nanti kita lanjutkan di rumah,” bisik Bram.CeklekDavin dan Dinda sama terkejutnya, lalu mengarahkan pandangan pada saudara lelakinya, “apa aku ganggu?” tanya Davin dengan wajah menyebalkan. Melihat pasangan ini panik tentu Davin tahu yang terjadi.“Sialan,” umpat Bram.Davin terkekeh, lalu duduk di sofa. Bram menyusul.“Sa–saya pulang dulu, pak,” pamit Dinda merasa tak enak hati dengan Davin.“Tunggu dulu, saya cuma sebentar kok. Nanti lanjutkan lagi,” Davin menggoda membuat rona merah di pipi Dinda tak bisa disembunyikan.PlakBram memukul lengan sang adik dengan map di tangannya. Wajah panik Bram membuat Davin tergelak. Beberapa saat dia terpana melihat keakraban Davin dan Bram. Davin, jauh dari apa yang dia dengar selama ini tentang pimpinan Abimanyu Group.Davin bicara sebentar dengan kakaknya, memberikan
Sementara itu, Bram kembali berbicara fokus dengan Dinda.“Dia menghabiskan biaya Rp300 juta untuk biaya operasinya?” tanya Bram.“Benar, baby. Aku sudah bicara dengan dokter. Kalau misalnya tidak dioperasi, berarti dia akan mengalami kelumpuhan. Aku tidak mau repot dan disalahkan oleh keluarganya. Jadi, kumohon tolong segera bantu aku agar bisa terlepas dari orang itu tanpa harus menyakiti keluargaku. Aku yakin, Papa tidak bersalah atas meninggalnya rekan kerjanya dulu,” ucap Dinda.Dinda sudah menceritakan semuanya secara detail pada Bram. Tak ada satu pun yang ia tutup-tutupi dari pria tersebut, karena dia sangat yakin papanya tidak bersalah.“Aku sedang berusaha, kamu tenang saja,” jawab Bram tanpa keraguan sedikit pun. “Jadi, kamu melihatnya sedang berciuman dengan Herman?” tanyanya lagi pada Dinda.“Benar. Aku sangat jijik. Sebetulnya, dari dulu aku sudah curiga. Dia tidak mau menyentuhku, pasti karena dia seorang gay, dan ternyata benar, dia penyuka sesama jenis. Sangat menjiji
Sore harinya selepas bekerja, Bram memilih mampir ke rumah Davin. Dia memang tidak akan makan malam di rumah itu, tapi dia hanya ingin bercengkrama sebentar bersama kedua keponakannya. Karena bagi Bram bertemu si kembar adalah hal wajib yang tidak boleh ia lewatkan.“Kenapa Uncle Blam tidak makan di sini? Kenapa bulu-bulu banget pulangnya? Bibi udah masak banyak loh, ada ayam top up juga,” kata Raka.“Ayam Pop, oiiii!” teriak Bram.“Ah libet, pokoknya itu.”Laura bergabung duduk di ruang tamu, “Uncle Bram mau makan malam berdua sama pacarnya,” bisik Laura di samping telinga Raka. Rania yang tak mendengar jadi penasaran dibuatnya, “apa kata nenek?” bisiknya pada Raka.Raka menarik kepala saudara kembarnya, lalu berbisik, “kata nenek Uncle Blam tak punya pacal.”Laura dan Bram terkekeh, yang sampai ke telinga Rania jadi beda dengan yang dia ucapkan.“Dasar budek!” Bram menarik hidung mancung Raka.“Aduuuuh …. Aduuuuuuh, sakit Blam.”Bram semakin keras menariknya, Rania menggigit tangan
“Sakiiiit,” rintih Dinda.“Belum juga masuk,” jawab Bram, “jadi mau coba, atau gaya lain aja?” tanya Bram lagi.Dinda mengangguk, “jadi, penasaran banget di film itu kok enak banget kayaknya. Tapi kok sakit gini,” lirih Dinda.“Namanya juga baru pertama kali, beb. Lanjut ya, aku juga mau tahu rasanya. Ini udah pake pelicin kok,” ucap Bram membujuk.Kembali Dinda mengangguk karena dia juga penasaran rasanya seperti apa. Bram kembali menuangkan cairan seperti minyak, di bagian intimnya dan lubang sempit itu. Dia kembali berjuang untuk untuk bisa menerobos masuk, dan setelah beberapa kali coba, Dinda menjerit. Bram menghentikan gerakannya menunggu Dinda tenang dulu. “Apa seperti ini juga rasanya, mereka yang main pedang-pedangan?” Dinda bertanya di tengah rintihannya.“Mungkin, bahkan aku juga baru mencobanya denganmu. Kita mulai lagi ya beb,” bujuk Bram dengan lembut.Dinda kembali mengangguk, sakitnya sama persis saat keperawanannya direnggut oleh Bram. Semakin lama Bram bergerak m
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le
“Aaaaaaah, baby. Hisap lebih dalam.” Dinda melumat milik Bram penuh dengan hasrat, Dia sangat senang sekali kalau disuruh ngemut permen kulit satu ini. Tangan berantak tinggal diam dia meremas dada Dinda dan tangan yang satunya masih bermain di area kewanitaan Dinda. Dinda mempercepat gerakannya, semakin cepat gerakan itu, semakin sering desahan keluar dari mulut Bram yang berhasil membangkitkan gairah liar keduanya. Bahkan mereka benar-benar sudah kecanduan satu sama lain, dimanapun Bram berada permainan panas dengan Dinda selalu memenuhi benaknya. Setelah selesai perjalanan bisnisnya lalu mereka berlibur di atas kapal pesiar, Bram bersumpah tidak akan membiarkan Dinda nganggur sedikitpun. “Cium aku, baby,” kata Bram dengan mata sayu. Dinda melepaskan mulutnya dari benda yang sudah berdiri dengan tegak, lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Bram. Mereka saling mendekat satu sama lain, lidahnya saling membelit satu sama lain seolah kegiatan panas ini tidak pernah membuat mereka
Nyanyian selamat ulang tahun yang menggema di ballroom hotel tersebut, masih terngiang-ngiang dalam benar kedua anak kembar itu. Tidak ada hal yang paling menyenangkan daripada hari ini bagi si kembar, mereka merayakan hari ulang tahun besar-besaran dan dihadiri oleh banyak tamu undangan tanda. Dan yang paling penting bagi keduanya adalah begitu banyak kado yang tertata dengan rapi hingga membuat keduanya sangat takjub dan cepat-cepat ingin pulang agar bisa segera membuka kado tersebut. Sang nenek, Bram, dan keempat pengasuh mereka sudah memberikan kado spesial. Kedua orang tuanya pun memberikan satu box untuk masing-masing berukuran besar yang akan dibuka oleh mereka besok pagi di rumah. Meski keberatan namun mereka tidak bisa membantah permintaan kedua orang tuanya untuk tidak membuka kado di tempat ini. Rasanya mereka sudah tidak sabar ingin segera pulang dan mengakhiri pesta malam ini.“Selamat ulang tahun, doa terbaik buat Raka dan Rania,” ucap Dinda, memberi selamat pada Twin
“Kita mulai acaranya, setuju?” tanya MC pada semua orang yang hadir di sana.“Setuju,” jawab semua.Davin berdiri dengan penuh wibawa di atas podium. Dengan mikrofon di tangan, ia tampak percaya diri, sementara sorotan lampu panggung memusatkan perhatian semua orang padanya. Naura, yang berdiri anggun di sampingnya, menatap suaminya dengan senyuman penuh kebanggaan. Di antara mereka, Rania dan Raka berdiri dengan percaya diri, melambaikan tangan kecil mereka kepada para tamu undangan yang memberi tepuk tangan meriah.“Silakan, Pak Davin, untuk sepatah dua patah kata agar sah si kembar resmi go publik,” ujar salah satu MC dengan senyuman lebar, mengundang sorakan kecil dari audiens.Davin mengambil mikrofon dan membuka pidatonya dengan suara tegas namun hangat, “Selamat malam.”“Selamat malam, Pak Davin!” suara para tamu serentak menjawab, menciptakan suasana hangat dalam ruangan.Davin melanjutkan, “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk datang hari ini, ke acara ulang tahun ked
“Kenapa, sayang?” tanya Davin.Sang istri terus menoleh ke belakang, lalu fokus ke depan, ke belakang lagi, terus begitu. Seperti ada yang sedang dipikirkan oleh Naura.“Hey, kenapa, sayang?” tanya Davin lembut, sambil menyentuh tangan istrinya.“A–aku seperti melihat Aldo,” ucapnya.Davin berdecak kesal.“Jangan menyebutnya di depanku, sayang,” jawab pria itu cemburu.“Tapi aku beneran melihat dia membuntuti kita, sayang. Aku yakin itu, dia,” ujar Naura.Davin menepikan mobilnya, lalu mobil yang dicurigai Naura dikendarai Aldo melaju lurus.“Mana, sayang?” tanya Davin.“I–itu mobilnya. Aku melihatnya masuk ke mobil putih itu,” jawabnya seperti yang dia lihat.Naura hanya takut kalau Aldo datang untuk mengacaukan hidup mereka lagi. Naura yakin dia dendam pada Davin, apalagi kalau sampai dia tahu soal pernikahannya dengan Davin, tanpa melihat perjuangannya melewati ujian berat.“Dengar, sayang. Aldo atau siapapun tak akan pernah bisa menyentuh kita. Aku pastikan itu kok, jadi kamu jang