“Gini amat jadi anak olang kaya,” keluh Raka. Baru saja mereka habis makan malam, dan makanan yang dikonsumsi mereka gak habis. Bahkan keduanya buru-buru menuju ruang keluarga. Tak ada TV menyala seperti biasanya, kala mereka habis makan malam. Seperti ada sesuatu yang hilang dari keduanya. Bram perlahan mendekat, lalu menghentikan langkah saat mendengar obrolan kedua keponakannya. Tangannya merogoh ponsel di saku celana lalu merekam diam-diam dari arah belakang. “Iya benel. Daddy sama Mommy sibuk cali uang, kita dibuang.”Ucapan Rania membuat Bram mengatupkan bibirnya menahan tawa. Drama keduanya telah dimulai. “Ngapain punya uang banyak? Mending sama Mommy telus gak usah punya uang,” keluh Raka menimpali. “Aku punya ide,” kata Rania dengan mata berbinar. “Ide apa?” tanya Raka.“Bagaimana kalau kita kelja di kantol Daddy. Kamu kelja jadi satpam. Telima tamu, jadi bisa dwkat sama Mommy telus,” usulnya, seakan ide itu kalau di ACC oleh Daddynya makan akan sangat seru.“Kamu jadi
“Uuuh Baby, kenapa setiap kali menciummu, tubuhku terasa terbakar,” ujar Bram.Maksudnya tak pernah bisa dikendalikan setiap kali dia mencium Dinda. Sementara wanita itu dengan sengaja menyentuh Area sensitif di tubuh Bram. Wanita itu dengan nakal memasukkan tangannya, ke dalam celana Bram.Mereka kembali berciuman begitu panas, lidahnya saling membelit, sesekali memberikan gigitan kecil di bibir masing-masing. Hasrat pria itu sudah tak terbendung, karena Dinda benar-benar berhasil menggodanya. Dinda melepaskan ciumannya, lalu meraup oksigen sebanyak-banyaknya.“Tapi kamu menyukai pelayananku, kan?”Dinda mulai meremas dengan lembut bagian intim pria tersebut, sementara Bram memejamkan mata menikmati setiap sentuhan maka dari jari-jari lentik wanita di hadapannya ini.Dinda membuka dasi yang masih terasa mencekik di leher Bram, juga melepaskan kancing kemeja pria tersebut. Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu memainkan lidahnya di dada Bram, hingga membuat pria itu mengeluarkan lenguhan
Dinda mengetuk pintu ruangan dokter dengan hati yang berat. Setelah mendengar izin dari dalam, ia membuka pintu perlahan dan masuk. Di dalam ruangan, dr. Harun menyambutnya dengan senyum ramah, seperti biasa.“Permisi, dok.”“Selamat pagi, Ibu Dinda. Silakan duduk,” ujar dr. Harun sambil menunjuk kursi di depan mejanya.Dinda mengangguk pelan dan duduk dengan hati-hati. “Selamat pagi juga, Dokter. Saya dihubungi pihak rumah sakit, katanya dokter ingin bertemu keluarga pasien. Saya juga ingin mendengar kabar terbaru tentang kondisi suami saya, Dimas.”Dr. Harun membuka berkas di mejanya dan memeriksa laporan medis terbaru. Setelah beberapa saat, ia menatap Dinda dengan serius namun tetap lembut. “Baik, Bu Dinda, langsung saja ya. Kami sudah melakukan pemeriksaan lanjutan terkait patah tulang yang dialami oleh Pak Dimas. Hasilnya menunjukkan bahwa kerusakan pada tulangnya lebih parah dari yang kami duga sebelumnya.”Dinda menelan ludah. “Seberapa parah, Dok?”“Pak Dimas membutuhkan set
Bram mendorong pelan tubuh Dinda, dan keduanya segera merapikan penampilannya kembali. Suara Davin semakin dekat, membuat Dinda jadi gugup dan menyesal datang ke kantor Bram.“Nanti kita lanjutkan di rumah,” bisik Bram.CeklekDavin dan Dinda sama terkejutnya, lalu mengarahkan pandangan pada saudara lelakinya, “apa aku ganggu?” tanya Davin dengan wajah menyebalkan. Melihat pasangan ini panik tentu Davin tahu yang terjadi.“Sialan,” umpat Bram.Davin terkekeh, lalu duduk di sofa. Bram menyusul.“Sa–saya pulang dulu, pak,” pamit Dinda merasa tak enak hati dengan Davin.“Tunggu dulu, saya cuma sebentar kok. Nanti lanjutkan lagi,” Davin menggoda membuat rona merah di pipi Dinda tak bisa disembunyikan.PlakBram memukul lengan sang adik dengan map di tangannya. Wajah panik Bram membuat Davin tergelak. Beberapa saat dia terpana melihat keakraban Davin dan Bram. Davin, jauh dari apa yang dia dengar selama ini tentang pimpinan Abimanyu Group.Davin bicara sebentar dengan kakaknya, memberikan
Sementara itu, Bram kembali berbicara fokus dengan Dinda.“Dia menghabiskan biaya Rp300 juta untuk biaya operasinya?” tanya Bram.“Benar, baby. Aku sudah bicara dengan dokter. Kalau misalnya tidak dioperasi, berarti dia akan mengalami kelumpuhan. Aku tidak mau repot dan disalahkan oleh keluarganya. Jadi, kumohon tolong segera bantu aku agar bisa terlepas dari orang itu tanpa harus menyakiti keluargaku. Aku yakin, Papa tidak bersalah atas meninggalnya rekan kerjanya dulu,” ucap Dinda.Dinda sudah menceritakan semuanya secara detail pada Bram. Tak ada satu pun yang ia tutup-tutupi dari pria tersebut, karena dia sangat yakin papanya tidak bersalah.“Aku sedang berusaha, kamu tenang saja,” jawab Bram tanpa keraguan sedikit pun. “Jadi, kamu melihatnya sedang berciuman dengan Herman?” tanyanya lagi pada Dinda.“Benar. Aku sangat jijik. Sebetulnya, dari dulu aku sudah curiga. Dia tidak mau menyentuhku, pasti karena dia seorang gay, dan ternyata benar, dia penyuka sesama jenis. Sangat menjiji
Sore harinya selepas bekerja, Bram memilih mampir ke rumah Davin. Dia memang tidak akan makan malam di rumah itu, tapi dia hanya ingin bercengkrama sebentar bersama kedua keponakannya. Karena bagi Bram bertemu si kembar adalah hal wajib yang tidak boleh ia lewatkan.“Kenapa Uncle Blam tidak makan di sini? Kenapa bulu-bulu banget pulangnya? Bibi udah masak banyak loh, ada ayam top up juga,” kata Raka.“Ayam Pop, oiiii!” teriak Bram.“Ah libet, pokoknya itu.”Laura bergabung duduk di ruang tamu, “Uncle Bram mau makan malam berdua sama pacarnya,” bisik Laura di samping telinga Raka. Rania yang tak mendengar jadi penasaran dibuatnya, “apa kata nenek?” bisiknya pada Raka.Raka menarik kepala saudara kembarnya, lalu berbisik, “kata nenek Uncle Blam tak punya pacal.”Laura dan Bram terkekeh, yang sampai ke telinga Rania jadi beda dengan yang dia ucapkan.“Dasar budek!” Bram menarik hidung mancung Raka.“Aduuuuh …. Aduuuuuuh, sakit Blam.”Bram semakin keras menariknya, Rania menggigit tangan
“Sakiiiit,” rintih Dinda.“Belum juga masuk,” jawab Bram, “jadi mau coba, atau gaya lain aja?” tanya Bram lagi.Dinda mengangguk, “jadi, penasaran banget di film itu kok enak banget kayaknya. Tapi kok sakit gini,” lirih Dinda.“Namanya juga baru pertama kali, beb. Lanjut ya, aku juga mau tahu rasanya. Ini udah pake pelicin kok,” ucap Bram membujuk.Kembali Dinda mengangguk karena dia juga penasaran rasanya seperti apa. Bram kembali menuangkan cairan seperti minyak, di bagian intimnya dan lubang sempit itu. Dia kembali berjuang untuk untuk bisa menerobos masuk, dan setelah beberapa kali coba, Dinda menjerit. Bram menghentikan gerakannya menunggu Dinda tenang dulu. “Apa seperti ini juga rasanya, mereka yang main pedang-pedangan?” Dinda bertanya di tengah rintihannya.“Mungkin, bahkan aku juga baru mencobanya denganmu. Kita mulai lagi ya beb,” bujuk Bram dengan lembut.Dinda kembali mengangguk, sakitnya sama persis saat keperawanannya direnggut oleh Bram. Semakin lama Bram bergerak m
“Apa kamu, menginginkan lagi?” tanya Dinda manja. “Aku tak pernah puas main hanya sekali denganmu. Tubuhmu sangat menggairahkan,” jawab Bram. Pria itu sudah mencium leher Dinda. Desahan pelan sengaja Dinda ucapkan tepat di samping telinga Bram. Hingga pria itu mengeram nikmat. Dinda duduk berhadap-hadapan dengan Bram. Membuka kancing piyamanya, agar Bram bisa mencium dan memberi tanda kepemilikan di dadanya. “Aku suka kamu yang hot seperti, baby,” bisik Bram pelan.“Asal aku dapat upah tiap malam, maka apapun akan aku lakukan untuk membuatmu puas,” balas Dinda penuh hasrat.*Jam makan siang tiba. Davin menghampiri meja kerja Naura dengan senyum lebar di wajahnya. “Sayang, waktunya makan siang. Ayo, kita pergi sekarang.”Naura, yang tengah sibuk memeriksa beberapa dokumen, mendongak sambil tersenyum kecil. “Ke mana? Kamu sudah pesan makanan di luar?”Davin mengangguk sambil meraih tas tangan Naura yang tergeletak di meja. “Restoran favorit kita. Aku ada hadiah kecil untukmu.”“Untu
Laura duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Matanya menatap Penelope yang duduk di seberangnya dengan senyum cerah. Wanita muda itu tampak begitu nyaman di rumah ini, seolah tempat ini adalah bagian dari dunianya."Tante, bagaimana kalau kita shopping sekarang? Biar Penelope yang traktir Tante hari ini," ucapnya riang setelah mereka duduk santai.Laura hanya tersenyum tipis. Sekilas, tawaran itu terdengar tulus, tetapi setelah kejadian makan siang tadi, pikirannya mulai dipenuhi dengan pertanyaan. Ini pertama kalinya dia melihat Penelope bersikap terlalu ‘perhatian’ pada keluarganya, terutama pada Davin dan anak-anaknya.Sementara itu, suara tawa samar terdengar dari ruang belajar. Laura tahu Davin sedang menemani kedua anaknya di sana, mungkin membantu mereka dengan tugas sekolah atau sekadar bercanda melepas penat.Laura mengalihkan pandangannya kembali pada Penelope. Ia harus segera mengambil sikap sebelum semuanya semakin tidak terkendali."Maaf ya, Penelope, sepertinya Tante t
Dua jam berikutnya, makanan pun sudah siap tersaji di atas meja. Aroma masakan yang sedari tadi menguar dari dapur kini memenuhi seluruh ruangan, menciptakan suasana hangat di tengah rumah itu. Laura menepuk tangannya pelan, memastikan semua sudah tertata rapi sebelum akhirnya melangkah ke taman belakang, tempat putranya masih berada."Davin, Sayang, makan siangnya sudah siap. Coba kamu panggil Naura, biar Mama ke atas memberitahu Raka dan Rania," ucapnya lembut.Davin yang sejak tadi duduk termenung di bangku taman hanya mengangguk pelan. Wajahnya tampak letih, pikirannya masih terbayang perdebatan dengan sang istri beberapa waktu lalu."Iya, Ma," sahutnya singkat, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam hatinya.Laura tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menepuk bahu putranya dengan lembut sebelum berbalik menuju lantai atas. Setibanya di lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Raka dan Rania, lalu membukanya pelan.Di dalam, kedua cucunya sedang duduk di tempat tidur masing-masing, a
"Apa Naura cemburu dengan Penelope? Apa mungkin Penelope seperti itu?" tanya Laura dalam hati. Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana sikap Penelope selama ini. Setahunya, Penelope adalah anak baik, tidak mungkin berniat merusak hubungan orang lain, apalagi hubungan suami istri.Namun, ucapan Naura tadi terlihat kalau dia begitu terganggu dengan kehadiran Penelope. Jika benar ada sesuatu yang membuatnya cemburu, Laura ingin mengetahuinya sendiri. Ia ingin memastikan apakah perasaan Naura beralasan atau hanya sekadar kecurigaan tak berdasar."Aku harus membuktikannya," gumamnya dalam hati. Ia mengurungkan niatnya membawakan buah untuk Naura dan memilih kembali ke dapur bersama Penelope. Ia akan mengamati lebih dekat, mencari tahu apakah ada hal yang selama ini luput dari perhatiannya.Sementara itu, di taman belakang, Davin masih berusaha menenangkan Naura. Mereka berdiri di dekat bangku kayu panjang yang biasa digunakan untuk bersantai. Cahaya matahari yang mulai meredup tidak cukup unt
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda