Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
“Jangan gugup,” kata Laura.Andi jantungnya berdebar kian kencang. Sementara Laura semakin bahagia. Melihat daun muda tentu membuatnya jauh lebih semangat.“Ta–tapi Nyonya, benar kan akan membiayai operasi ibu, saya?” tanya Andi.“Tentu saja benar. Puaskan dulu aku, biar kamu dapat bayaran. Ingan selama kamu berhubungan denganku, jangan sesekali bercinta dengan wanita lain, termasuk kekasihmu. Paham!”“Pa–paham Nyonya,” jawab Andi. “Ya ampun, gini amat nyari uang, aku harus main dengan nenek-nenek. Bahkan aku harus menyerahkan perjakaku padanya. Ibu harus segera pulih, demi Ibu, apapun akan Andi lakukan, Bu,” Andi membatin.Laura menarik tangan sang sopir, mengajaknya menuju kolam air panas. Mereka berdua turun ke dalam. “Kau tak ingin menghisap dadaku hmmmm?” tanya Laura saat keduanya sudah masuk dalam kolam. “Sa–saya-” Andi semakin gugup.“Puaskan aku. Hanya itu yang perlu kamu lakukan. Kalau kau tak mau biar aku pesan cowok lain dari Vila ini!” ancam Laura. “Nanti juga terbiasa,
Hujan deras masih mengguyur, menciptakan suasana dingin dan berkabut di luar vila megah tempat Andi dan Laura berada. Setelah permainan panas yang baru saja mereka lewati, Laura berbaring santai di sofa besar yang empuk. Tubuhnya diselimuti kimono satin tipis yang nyaris transparan, sementara Andi berdiri kaku tak jauh darinya, tubuhnya sama sekali tak tertutup sehelai benang pun. Wajah Andi tampak memerah, bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena rasa malu yang begitu dalam."Andi, ambilkan ponselku," perintah Laura tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh otoritas.Andi menelan ludah, matanya menghindari pandangan langsung ke arah majikannya. "Nyonya, bolehkah saya—""Tidak perlu pakai baju," potong Laura cepat sambil tersenyum tipis, menikmati rasa canggung yang jelas tergambar di wajah Andi.Meski malu, Andi tak punya pilihan selain menuruti perintah itu. Dengan langkah ragu, ia berjalan mengambil ponsel Laura yang tergeletak di meja tak jauh dari sana. Ia menyerahkan p
“Gak usah malu gitu. Lagian kamu udah dewasa wajar sedekat itu dengan kekasihmu. Yang penting tanggung jawab,” ujar satpam itu, karena melihat Andi tampak gugup. Andi mengangguk, berharap tak ada yang curiga kalau merah ini akibat keganasan Laura.Sementara di dalam rumah Raka dan Rani sedang menunjukan kado-kadonya yang diberikan Mommy, Daddy, dan Uncle Bram. Tiga orang itu yang memberikan kado tak kaleng-kaleng buat Raka dan Rania.“Lihatlah nek. Ini dali Mommy dan Daddy. Yang itu dali Uncle Blam. Yeeeeeew.”Keduanya berjingkrak girang. Meski acara buka kado terbilang terlambat tapi mereka puas melihatnya. Bram memberikan dua sepatu roda untuk Raka dan Rania. Satu mobil aki untuk Raka dan satu untuk Rania. Satu motor aki untuk Raka juga satu untuk Rania.Sementara sang Daddy, membelikan gundam dan tang tangan tanos jumlahnya empat. Ukurannya sangat besar dan terpajang di rak kaca. Rania mendapat Barbie keluaran terbaru juga yang besar dan berjumlah empat sesuai usianya.Sementara sa
Davin menatap Bram dengan dahi berkerut, masih mencerna penjelasan kakak tirinya. Situasi ini jelas jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jadi, Dinda itu… masih istri orang?” tanya Davin dengan nada menuntut penjelasan lebih lanjut.Bram mengangguk pelan, ekspresinya terlihat berat. “Iya, dia masih istri Dimas. Tapi pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Tidak ada hubungan suami-istri seperti layaknya pasangan lain,” jelas Bram.Davin menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya menyilang di dada. “Kenapa mereka sampai seperti itu? Bukannya sudah menikah?”Bram menarik napas panjang, jelas berat menceritakan hal ini. “Dimas itu... pecinta sesama jenis, Vin. Dinda pernah memergoki dia dengan sahabatnya, Herman. Mereka bahkan... berciuman di rumah sakit.”Mata Davin melebar, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi yang tadi baru ia pegang. “Astaga, jadi selama ini...?”Bram mengangguk. “Iya, selama ini Dimas memanfaatkan Dinda untuk menutupi orientasinya. Dia nggak pern
Bila Bram sedang sibuk persiapan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Davin. Malam ini adalah malam bahagia untuknya.Davin baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di meja nakas berbunyi. Ia meraih ponselnya dan melihat nama pengacara mereka muncul di layar. Mendengar kabar baik yang disampaikan oleh sang pengacara, ekspresinya berubah cerah. Wajahnya penuh antusiasme, dan tanpa berpikir panjang, ia setengah berlari keluar kamar menuju kamar sang Mama.Tanpa Davin sadari, kedua anak kembarnya, Raka dan Rania, yang berdiri tak jauh darinya, langsung mengekor di belakang. Keduanya saling berbisik sambil tertawa kecil, seakan merasa ini adalah petualangan seru di rumah.“Mama! Mama!” Davin berteriak seperti anak kecil, penuh semangat.“Mama! Mama!” si kembar ikut-ikutan memanggil sambil berlari kecil.Davin terlalu fokus dengan pikirannya, tak sadar kalau kedua buah hatinya mengikuti. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap, ia tak sabar ingin segera
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto