Bila Bram sedang sibuk persiapan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Davin. Malam ini adalah malam bahagia untuknya.Davin baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di meja nakas berbunyi. Ia meraih ponselnya dan melihat nama pengacara mereka muncul di layar. Mendengar kabar baik yang disampaikan oleh sang pengacara, ekspresinya berubah cerah. Wajahnya penuh antusiasme, dan tanpa berpikir panjang, ia setengah berlari keluar kamar menuju kamar sang Mama.Tanpa Davin sadari, kedua anak kembarnya, Raka dan Rania, yang berdiri tak jauh darinya, langsung mengekor di belakang. Keduanya saling berbisik sambil tertawa kecil, seakan merasa ini adalah petualangan seru di rumah.“Mama! Mama!” Davin berteriak seperti anak kecil, penuh semangat.“Mama! Mama!” si kembar ikut-ikutan memanggil sambil berlari kecil.Davin terlalu fokus dengan pikirannya, tak sadar kalau kedua buah hatinya mengikuti. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap, ia tak sabar ingin segera
Bryan duduk di kursi empuknya, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahoni di ruang kerjanya yang gelap. Matanya tajam menatap ke arah sepuluh anak buah kepercayaannya yang berdiri berbaris di hadapannya. Wajah-wajah mereka menunjukkan keseriusan, siap menerima perintah dari sang pemimpin. Asap cerutu yang terus mengepul dari tangan Bryan menambah suasana mencekam di ruangan itu.“Kalian sudah dengar kabar kekalahan kita, kan?” suara Bryan rendah, namun penuh ancaman. Tatapannya beralih dari satu anak buah ke anak buah lain, seolah menantang mereka untuk menjawab.Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Victor, memberanikan diri angkat bicara. “Ya, Tuan. Kami sangat menyesal atas kekalahan ini.”Bryan mendengus. “Penyesalan tidak ada artinya untukku, Victor. Kekalahan ini adalah tamparan keras, dan aku tidak akan membiarkan Davin Abimanyu bersenang-senang dengan kemenangan mereka.” Ia membuang cerutunya ke asbak, lalu bersandar dengan tangan terlipat di dadanya.“Tuan, apa langkah k
Bila saat ini Davin dan Naura sibuk dengan makan malam mereka yang kemalaman, sementara Laura dan Bram sedang berbicara di balik sambungan telepon.“Halo, Ma,” Bram menyapa ketika panggilan teleponnya akhirnya terhubung dengan sang mama.Sejak Laura mendapatkan kabar baik itu dari putranya Davin, dia sudah berusaha menghubungi Putra sulungnya, namun tak ada jawaban dari Bram. Sampai akhirnya dia meletakkan ponselnya dan berniat menghubungi sang anak besok pagi untuk menyampaikan kabar Bahagia itu. Namun baru saja ia ingin tertidur tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering.“Halo, Sayang. Dari tadi Mama coba hubungi kamu. Mama pikir kamu sudah tidur. Rencananya besok Mama telepon lagi, tapi syukurlah kamu sudah telepon Mama,” ujar Laura, suaranya terdengar lega.“Tadi Bram berendam, Ma. Sampai ketiduran di kamar mandi. Makanya baru lihat ponsel, kok ada banyak missed call dari Mama. Ada apa, Ma?” tanya Bram santai, meski sebenarnya ia berbohong. Baru saja ia menghabiskan waktu bersama
"Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—sa
"Siapa sih ini? Belum juga mulai!" Davin menggerutu, lalu kembali mengenakan pakaiannya sembarangan. Setelah itu, ia membuka pintu kamar hotel tersebut, hanya memberi sedikit celah bagi orang yang ada di depan kamar. "Kamu ini mengganggu saja," kata Davin, kesal pada Bram, wakilnya di kantor yang mengetahui perihal Naura akan meminjam uang sebesar 1 miliar. "Saya hanya ingin memberikan surat ini untuk Anda, Pak Davin," ucapnya sambil menyerahkan map berwarna merah kepada Davin. "Oke, terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi. Dan ingat, jangan sampai ada yang tahu soal ini," kata Davin dengan penuh penekanan. "Tenang saja, Pak. Saya sudah bekerja dengan Anda puluhan tahun, dan tak sekalipun saya pernah membocorkan rahasia Anda. Saya tidak mungkin melakukan itu, mengkhianati orang yang sudah memberi saya tempat untuk mencari nafkah," ucap Bram. "Ya sudah, pergilah, dan tolong tangani dulu urusan kantor. Aku masih ingin mencoba rasanya perawan seperti apa," bisiknya kepada Bram, yang
Setelah kegiatan panas mereka, Naura dan Davin membersihkan diri secara bergantian. Setelah penampilannya rapi, mereka kembali duduk di sofa yang ada di dalam kamar hotel itu secara berhadap-hadapan. "Kamu tahu, kan, kalau aku adalah laki-laki yang mengidap penyakit hiperseksual, dan aku baru bisa tidur setelah melakukan pelampiasan dengan lawan jenis," ucap Davin sambil menatap ke arah sang sekretaris yang saat ini menunduk dan tidak berani menatap ke arahnya. "Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini, bahwa kamu siap menjadi pelampiasan hasrat saya sampai nanti menjelang hari pernikahanmu dengan Aldo," tambah Davin, yang berhasil membuat Naura melotot ke arahnya. "Tapi, Pak, bagaimana kalau saya dengan Aldo menikahnya masih lama?" tanya Naura polos. Davin kembali tersenyum. "Selama kamu belum menikah, maka selama itu juga kamu harus menjadi pelampiasan hasratku, kecuali aku pulang ke kota kelahiranku, baru saat itu kamu bisa bebas," tutur Davin tanpa memberi kelonggara
Naura segera bangkit karena ia tidak mungkin berlama-lama di sana. Ia melajukan motornya yang sudah lecet akibat terjatuh, menuju ke kantor. Hari ini, Davin ada meeting, dan Naura harus menunggu pria itu sampai selesai rapat dengan Kepala Divisi di kantor Abimanyu Group. Saat Naura tiba di kantor, Aldo melihat kekasihnya mengalami luka lecet dan segera menghampiri. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Aldo. Sebetulnya, Naura sedang marahan dengan kekasihnya. Ketika ia meminta tolong pada Aldo untuk memberinya pinjaman melunasi utangnya pada rentenir, bukannya uang yang didapatkan, Naura justru menerima caci maki dari kekasihnya. “Jatuh,” jawab Naura dengan suara serak. “Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh? Kamu ini setiap kali bawa motor selalu tidak pernah hati-hati,” kata Aldo dengan nada ketus. Ia melihat ke arah sepeda motor yang ia hadiahkan untuk Naura, kini lecet, dan kemarahannya pun memuncak. “Kamu ini memang tidak pernah telaten! Dikasih apa pun, tidak pernah dijaga dengan baik.
Setelah keluar dari ruangan Davin dengan hati yang hancur, Naura tak tahu harus pergi ke mana. Ia merasa tak punya siapa-siapa yang bisa mendengarkan keluhannya. Tiba-tiba, terlintas bayangan ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit. Tubuhnya seolah bergerak tanpa arahan, langkahnya langsung menuju parkiran untuk segera pergi ke sana. Rasa takut dan cemas bercampur jadi satu, terutama mengingat ibunya masih di ruang ICU, tak sadarkan diri.Sesampainya di rumah sakit, Naura dengan cepat melangkah menuju ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Pemandangan ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya membuat hati Naura semakin teriris. Matanya memanas, dan tanpa bisa dicegah, air mata pun mengalir deras. Ia duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya yang dingin dan kaku.“Ibu...” bisiknya, suaranya serak. “Naura nggak tahu harus gimana lagi. Naura bener-bener nggak sanggup
Bila saat ini Davin dan Naura sibuk dengan makan malam mereka yang kemalaman, sementara Laura dan Bram sedang berbicara di balik sambungan telepon.“Halo, Ma,” Bram menyapa ketika panggilan teleponnya akhirnya terhubung dengan sang mama.Sejak Laura mendapatkan kabar baik itu dari putranya Davin, dia sudah berusaha menghubungi Putra sulungnya, namun tak ada jawaban dari Bram. Sampai akhirnya dia meletakkan ponselnya dan berniat menghubungi sang anak besok pagi untuk menyampaikan kabar Bahagia itu. Namun baru saja ia ingin tertidur tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering.“Halo, Sayang. Dari tadi Mama coba hubungi kamu. Mama pikir kamu sudah tidur. Rencananya besok Mama telepon lagi, tapi syukurlah kamu sudah telepon Mama,” ujar Laura, suaranya terdengar lega.“Tadi Bram berendam, Ma. Sampai ketiduran di kamar mandi. Makanya baru lihat ponsel, kok ada banyak missed call dari Mama. Ada apa, Ma?” tanya Bram santai, meski sebenarnya ia berbohong. Baru saja ia menghabiskan waktu bersama
Bryan duduk di kursi empuknya, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahoni di ruang kerjanya yang gelap. Matanya tajam menatap ke arah sepuluh anak buah kepercayaannya yang berdiri berbaris di hadapannya. Wajah-wajah mereka menunjukkan keseriusan, siap menerima perintah dari sang pemimpin. Asap cerutu yang terus mengepul dari tangan Bryan menambah suasana mencekam di ruangan itu.“Kalian sudah dengar kabar kekalahan kita, kan?” suara Bryan rendah, namun penuh ancaman. Tatapannya beralih dari satu anak buah ke anak buah lain, seolah menantang mereka untuk menjawab.Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Victor, memberanikan diri angkat bicara. “Ya, Tuan. Kami sangat menyesal atas kekalahan ini.”Bryan mendengus. “Penyesalan tidak ada artinya untukku, Victor. Kekalahan ini adalah tamparan keras, dan aku tidak akan membiarkan Davin Abimanyu bersenang-senang dengan kemenangan mereka.” Ia membuang cerutunya ke asbak, lalu bersandar dengan tangan terlipat di dadanya.“Tuan, apa langkah k
Bila Bram sedang sibuk persiapan ke luar negeri, berbanding terbalik dengan Davin. Malam ini adalah malam bahagia untuknya.Davin baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di meja nakas berbunyi. Ia meraih ponselnya dan melihat nama pengacara mereka muncul di layar. Mendengar kabar baik yang disampaikan oleh sang pengacara, ekspresinya berubah cerah. Wajahnya penuh antusiasme, dan tanpa berpikir panjang, ia setengah berlari keluar kamar menuju kamar sang Mama.Tanpa Davin sadari, kedua anak kembarnya, Raka dan Rania, yang berdiri tak jauh darinya, langsung mengekor di belakang. Keduanya saling berbisik sambil tertawa kecil, seakan merasa ini adalah petualangan seru di rumah.“Mama! Mama!” Davin berteriak seperti anak kecil, penuh semangat.“Mama! Mama!” si kembar ikut-ikutan memanggil sambil berlari kecil.Davin terlalu fokus dengan pikirannya, tak sadar kalau kedua buah hatinya mengikuti. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap, ia tak sabar ingin segera
Davin menatap Bram dengan dahi berkerut, masih mencerna penjelasan kakak tirinya. Situasi ini jelas jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jadi, Dinda itu… masih istri orang?” tanya Davin dengan nada menuntut penjelasan lebih lanjut.Bram mengangguk pelan, ekspresinya terlihat berat. “Iya, dia masih istri Dimas. Tapi pernikahan mereka hanya status di atas kertas. Tidak ada hubungan suami-istri seperti layaknya pasangan lain,” jelas Bram.Davin menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya menyilang di dada. “Kenapa mereka sampai seperti itu? Bukannya sudah menikah?”Bram menarik napas panjang, jelas berat menceritakan hal ini. “Dimas itu... pecinta sesama jenis, Vin. Dinda pernah memergoki dia dengan sahabatnya, Herman. Mereka bahkan... berciuman di rumah sakit.”Mata Davin melebar, tangannya hampir menjatuhkan cangkir kopi yang tadi baru ia pegang. “Astaga, jadi selama ini...?”Bram mengangguk. “Iya, selama ini Dimas memanfaatkan Dinda untuk menutupi orientasinya. Dia nggak pern
“Gak usah malu gitu. Lagian kamu udah dewasa wajar sedekat itu dengan kekasihmu. Yang penting tanggung jawab,” ujar satpam itu, karena melihat Andi tampak gugup. Andi mengangguk, berharap tak ada yang curiga kalau merah ini akibat keganasan Laura.Sementara di dalam rumah Raka dan Rani sedang menunjukan kado-kadonya yang diberikan Mommy, Daddy, dan Uncle Bram. Tiga orang itu yang memberikan kado tak kaleng-kaleng buat Raka dan Rania.“Lihatlah nek. Ini dali Mommy dan Daddy. Yang itu dali Uncle Blam. Yeeeeeew.”Keduanya berjingkrak girang. Meski acara buka kado terbilang terlambat tapi mereka puas melihatnya. Bram memberikan dua sepatu roda untuk Raka dan Rania. Satu mobil aki untuk Raka dan satu untuk Rania. Satu motor aki untuk Raka juga satu untuk Rania.Sementara sang Daddy, membelikan gundam dan tang tangan tanos jumlahnya empat. Ukurannya sangat besar dan terpajang di rak kaca. Rania mendapat Barbie keluaran terbaru juga yang besar dan berjumlah empat sesuai usianya.Sementara sa
Hujan deras masih mengguyur, menciptakan suasana dingin dan berkabut di luar vila megah tempat Andi dan Laura berada. Setelah permainan panas yang baru saja mereka lewati, Laura berbaring santai di sofa besar yang empuk. Tubuhnya diselimuti kimono satin tipis yang nyaris transparan, sementara Andi berdiri kaku tak jauh darinya, tubuhnya sama sekali tak tertutup sehelai benang pun. Wajah Andi tampak memerah, bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena rasa malu yang begitu dalam."Andi, ambilkan ponselku," perintah Laura tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh otoritas.Andi menelan ludah, matanya menghindari pandangan langsung ke arah majikannya. "Nyonya, bolehkah saya—""Tidak perlu pakai baju," potong Laura cepat sambil tersenyum tipis, menikmati rasa canggung yang jelas tergambar di wajah Andi.Meski malu, Andi tak punya pilihan selain menuruti perintah itu. Dengan langkah ragu, ia berjalan mengambil ponsel Laura yang tergeletak di meja tak jauh dari sana. Ia menyerahkan p
“Jangan gugup,” kata Laura.Andi jantungnya berdebar kian kencang. Sementara Laura semakin bahagia. Melihat daun muda tentu membuatnya jauh lebih semangat.“Ta–tapi Nyonya, benar kan akan membiayai operasi ibu, saya?” tanya Andi.“Tentu saja benar. Puaskan dulu aku, biar kamu dapat bayaran. Ingan selama kamu berhubungan denganku, jangan sesekali bercinta dengan wanita lain, termasuk kekasihmu. Paham!”“Pa–paham Nyonya,” jawab Andi. “Ya ampun, gini amat nyari uang, aku harus main dengan nenek-nenek. Bahkan aku harus menyerahkan perjakaku padanya. Ibu harus segera pulih, demi Ibu, apapun akan Andi lakukan, Bu,” Andi membatin.Laura menarik tangan sang sopir, mengajaknya menuju kolam air panas. Mereka berdua turun ke dalam. “Kau tak ingin menghisap dadaku hmmmm?” tanya Laura saat keduanya sudah masuk dalam kolam. “Sa–saya-” Andi semakin gugup.“Puaskan aku. Hanya itu yang perlu kamu lakukan. Kalau kau tak mau biar aku pesan cowok lain dari Vila ini!” ancam Laura. “Nanti juga terbiasa,
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah