Dinda istirahat sebentar, menyeruput minuman miliknya. Bram yang melihat turun dari kursi santai. Dia mencium Dinda dengan rakus dari atas kolam. Tangannya meremas dada Dinda.“Aaaaaaaaah,” Dinda mendesah.Hasrat Bram terbakar ketika melihat banyaknya pasangan yang ada di kolam renang tersebut sedang bermesraan. Ternyata seperti ini kehidupan di atas kapal pesiar ketika mereka berlibur bersama orang-orang yang memiliki budaya barat. Untuk masuk ke kolam ini memang dikenakan tiket, namun ternyata berada di kolam ini suguhannya benar-benar membuat birahi keduanya naik.“Turun beb, aku juga mau kayak mereka,” bisik Dinda.Bram akhirnya menceburkan diri ke dalam kolam, mendesak tubuh wanita itu di pinggir kolam renang. Mencium leher dan me.beri tanda kepemilikan di leher wanita itu. Suara rintihan, jeritan, dan desahan yang semakin keras Bram dengar ketika dia sudah turun ke dalam kolam renang. Ciuman mereka juga semakin panas saat tangan Dinda dengan sengaja masuk ke dalam celana Bram,
“Jadi kamu akan menerima kerja sama ini?” tanya Bram, memecah kesunyian di ruang kerja Davin.Davin bersandar di kursinya, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Sebetulnya nggak ada yang salah dengan proposal mereka. Bahkan sebelum pertemuan tadi, aku cukup yakin kalau mereka adalah investor terbaik yang bisa membawa perusahaan ini ke tingkat lebih tinggi. Tapi setelah bertemu langsung, aku punya firasat buruk tentang mereka.”Naura yang duduk di sebelah Davin ikut mengangguk pelan. “Aku juga ngerasa ada sesuatu yang aneh. Aku nggak tahu apa itu, tapi dari tadi hati kecilku terus-terusan ngasih alarm bahaya. Seolah-olah, kalau kita tetap jalanin kerja sama ini, sesuatu yang buruk bakal terjadi.”Bram menyandarkan punggungnya ke kursi, memutar bolpoin di tangannya dengan ekspresi berpikir. “Alright, kalau kita semua ngerasa yang sama, berarti ini bukan cuma kebetulan. Mereka datang jauh-jauh dari luar negeri, menawarkan kerja sama yang menguntungkan, tapi firasat kita bilang ada se
“Tolong selamatkan dua cucu nenek yang gemoy ini dali monstel,” rengeknya bersembunyi di belakang tubuh sang nenek.“Mommmyyyyyy, Daddyyyyy,” keduanya kembali berlari mendekati kedua orang tuanya. Sementara Bram cosplay jadi monster. Raka dan Rania tertawa renyah setiap kali Bram menyentuhnya. Keduanya terbatuk. Naura memberikan air putih untuk anak kembarnya.“Siapa yang matahin mata kaca nenek? Pasti Uncle,” tuduh Raka. Semua orang dewasa tergelak. Bahkan Naura mencubit gemas pipinya Raka. “Kaca mata, sayang,” Davin meralat. “Ya pokoknya itu.”“Yeeee bukan Uncle.”“Neeeek gak mau ngaku telsangkanya. Kunci saja di gudang Nek. Bial mau ngaku.”Bram terkekeh, hal semacam inilah yang dia rindukan bila tak bertemu Raka dan Rania.“Nenek coba tanya,” kata Rania.“Siapa yang matahin kaca mata Mama?” tanya Laura.“Davin, Ma. Kan udah Davin ganti,” jawab Davin.“Yeeeeee salah nuduh! Weeeeek,” Bram menjulurkan lidah pada Raka dan Rania.Bug bug bugTangan kecil mereka memukul sang Daddy, “
Tiga hari kemudian,Davin, Bram, dan Naura sudah tiba lebih dulu di restoran yang mereka pilih untuk pertemuan kali ini. Sebuah tempat dengan suasana tenang di pusat kota Sun City, cukup eksklusif untuk membicarakan hal-hal penting tanpa takut ada orang lain yang ikut mendengar. Mereka memilih duduk di meja sudut, agak jauh dari keramaian, menunggu Selena dan timnya datang.“Kamu yakin ini cara yang paling tepat, sayang?” tanya Naura, mengaduk minumannya dengan pelan. Wajahnya terlihat sedikit tegang, meskipun dia sudah berusaha untuk tetap tenang.Davin menatap istrinya sekilas lalu mengangguk. “Aku sudah pikirkan ini matang-matang. Kita nggak bisa langsung menolak mereka begitu saja tanpa alasan yang bisa diterima. Kalau kita bikin mereka curiga, bisa jadi mereka malah menggali lebih dalam soal kita.”Bram yang duduk di sebelah Davin menimpali, “Iya, aku setuju. Kita kasih alasan yang halus, tapi tetap tegas. Kita nggak boleh kasih mereka celah untuk memaksa kita berubah pikiran.”N
“Apa mungkin kita terlalu dini merayakan kemenangan? Dan sekarang lihatlah, semua hancur. Aku masih belum percaya mereka membatalkan kerjasamanya.” “Aku juga masih tak percaya dengan alasan mereka,” balas Selena.Niat kembali ke hotel, namun langkah keduanya terasa berat. Akhirnya mereka masih duduk di tempat yang sama.Panggilan telepon yang terputus tadi terasa menggantung membuat keduanya serba salah akan melangkah hingga membawa suasana tegang yang semakin memuncak. Selena meletakkan ponselnya dengan kasar di atas meja, suara klik kecil dari tombol ponsel yang jatuh kembali ke dalam kesunyian ruangan.Victor menatapnya, ragu. Hanya beberapa detik yang lalu, mereka baru saja mendengar kemarahan Bryan yang membuat bulu kuduk merinding. Kini, mereka harus menanggung konsekuensi dari kegagalan yang ada di depan mata mereka. Tentu saja, itu bukanlah kegagalan mereka sendiri, tetapi mereka yang harus menyelesaikan masalah ini."Selena," Victor mulai, suara yang lebih rendah dari biasa
ByuuuuuuurBila orang tuanya sedang bercinta di kantor, maka kedua anak kembar ini memilih untuk berenang.Tak butuh waktu lama membuat mereka paham teknik berenang yang sesungguhnya. Hal ini membuat Laura teringat Davin di masa lalu. Kedua cucunya seperti flashback ke masa lalunya. Karena tak ada sedikitpun keahlian atau kebiasaan sang papa dibuang oleh Twin’s. Minusnya hanya mereka sering bertengkar saja kalau Bram tak ada.“Enak ya mbem, belenang jam segini,” ucap Raka.“Iya ndut, seling-seling aja batal belajal, jadi kita bisa lenang,” sahut Rania, dan keduanya terkikik geli. “Neeeeek,” panggil Raka. Laura yang sedang main hp pun menoleh ke arah sang cucu.“Ya, sayang? Udahan?” tanyanya.Twin”s tergelak, “mau minum, nek. Balu juga mulai,” kata Raka.Laura terkekeh, “oke baiklah bos, sebentar ya,” kata Laura. Dia menghubungi kedua pengasuh Raka dan Rania, lalu mereka datang membawa nampan. Raka dan Rania tersenyum. Sang pengasuh meletakan minumannya di pinggir kolam, tampak Raka
“Rakaaaaaaaa, Raniaaaaaaa,” jerit sang nenek.Kedua cucunya berenang bersama ikan koi yang dibeli sang daddy dengan harga fantastis.Laura hanya meninggalkan keduanya sekitar 10 menit, merasa kalau kedua cucunya sudah pintar berenang dan tak mungkin tenggelam. Namun saat dia kembali, dia justru melihat ikan koi itu sudah pada mengapung di dalam kolam.Laura memijat kepalanya yang julai sakit.“Pak Udiiiiiiiin!” teriaknya lagi. Sopir pribadi Davin segera mendekati Laura.“Saya, nyonya?” “Lihat itu, Pak!” Mata Pak Udin membulat melihat tujuh ikan koi mengambang di dalam kolam. Di pinggir kolam ada jaring yang dipakai memindahkan ikan saat baru sampai di rumah itu.“Raka, Rania, naik!” perintah sang nenek. “Ayo naik, kita main lagi besok,” kata Raka pada ikan yang sudah mati karena air kaporit kolam renang.“Nenek gak tahu ya, kalau Daddy marah ikannya mati,” ujar Laura. Suaranya lembut tak seperti tadi.“Meleka gak mati, cuma bobok. Sebental tak tanya dulu pasti meleka gelak,” ucap R
“Nenek ngapain tadi nangis? Nenek takut sama Daddy?” tanya Rania polos.Laura mengangguk pelan. “Makanya jangan nakal. Takut kan Daddy malah,” Raka menimpali.Naura dan Davin yang baru menuruni anak tangga, setelah membersihkan diri, terkekeh.“Playing victim banget, mereka,” kata Naura. Davin hanya tertawa kecil.“Aku bersyukur mereka baik-baik saja. Tapi entah di mana punya ide ngajak ikan lomba renang,” ucapnya.“Ini pasti efek, Bram yang tak memenuhi tantangan, mereka,” sahut Naura. Keduanya kembali tergelak.Davin pun mengajak keluarga kecilnya serta sang Mama untuk makan malam bersama. Situasinya sudah tidak tegang lagi, mereka semua sudah kembali tertawa bahagia. Meski para pengasuh yang melihat Davin tertawa tetap saja mereka takut membuat kesalahan lagi karena saat Davin marah benar-benar sangat menyeramkan bagi keempat pengasuhnya.Setelah selesai makan malam Davin dan Naura menemani kedua anaknya menonton kartun kesayangan mereka. Sementara Laura memilih menuju ke kamarnya
Laura dan Penelope melangkah masuk ke dalam supermarket yang cukup besar, hanya beberapa blok dari rumah sementara keluarga Abimanyu. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka, memberikan kesegaran setelah berjalan di bawah terik matahari."Kita beli apa saja, Tante?" tanya Penelope dengan senyum ramah. Wajahnya tampak antusias, seolah benar-benar ingin belajar memasak.Laura melirik daftar belanja yang telah ia buat sebelum berangkat. "Tante akan memasak beberapa menu spesial hari ini. Kita butuh daging sapi, ayam, beberapa jenis sayuran, dan tentu saja bumbu-bumbu dapur," jawabnya sembari mendorong troli.Penelope mengangguk sambil menyesuaikan langkahnya dengan Laura. Dalam hati, ia tersenyum penuh kemenangan. Kesempatan ini adalah jalan terbaik untuk lebih dekat dengan keluarga Davin. Jika ia bisa mengambil hati Laura, maka ia akan punya alasan untuk datang kapan saja ke rumah mereka.Mereka mulai berkeliling supermarket, memilih bahan-bahan dengan teliti. Lau
Davin membawa keluarganya ke sebuah butik eksklusif yang menyediakan berbagai koleksi pakaian anak-anak. Sejak awal memasuki butik, Raka dan Rania terlihat sangat bersemangat, mata mereka berbinar melihat berbagai pilihan pakaian yang tersusun rapi."Wow, Daddy, lihat! Bajunya bagus-bagus banget! Ini keluaran terbaru deh, Nia belum punya!" seru Rania sambil menunjuk salah satu dress berwarna pastel dengan aksen renda yang elegan.Raka yang berdiri di sampingnya juga tak kalah antusias. "Daddy, Aka mau yang ini!" katanya sambil menarik tangan Davin ke arah sebuah jaket keren yang dipajang di etalase.Davin tersenyum, mengusap kepala keduanya dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Sayang. Tapi kita harus pilih yang cocok untuk kalian berdua. Meskipun kalian berbeda jenis kelamin, Daddy tetap ingin kalian punya baju yang serasi. Bagaimana kalau kita cari couple outfit?""Keren! Raka mau baju kembaran sama Rania!" sahut Raka penuh semangat.Naura yang berdiri di samping Davin tertawa kec
"Penelope!" balas Laura, memanggil wanita yang menyapanya.Tampak Penelope melangkah mendekati Laura yang sedang duduk di salah satu meja di restoran cepat saji tersebut. Wajahnya terlihat sumringah, senyum lebarnya menghangatkan suasana. Begitu sampai di hadapan Laura, mereka langsung berpelukan erat, seolah-olah melepas rindu yang sudah lama tertahan.Sementara itu, Naura dan Davin yang duduk di sisi lain meja hanya bisa saling berpandangan. Keduanya sama sekali tak menyangka bahwa Laura mengenal Penelope. Naura terutama, masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemuan pertamanya dengan wanita itu yang terkesan meremehkannya."Kamu apa kabar, sayang? Makin cantik aja," ucap Laura dengan nada akrab, menyapa anak dari sahabatnya tersebut."Baik, Tante. Tante sendiri gimana? Tante awet muda banget, loh!" balas Penelope dengan nada ceria, matanya berbinar menatap Laura. "Kalau nggak salah, kita bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu ya, Tan? Untung saja Penelope mampir ke restoran ini
Fernando terus menatap ke arah Bram dan Davin yang saat ini sedang berbicara dengan Bruno, pemilik tempat hiburan malam tersebut yang juga merupakan teman baik Fernando. Dari sudut ruangan, Fernando memperhatikan dengan saksama, memperkirakan apa yang sebenarnya mereka bicarakan."Aku tak menyangka mereka suka juga ke tempat yang seperti ini. Aku pikir Davin benar-benar lelaki terbaik. Ternyata semua lelaki sama saja, mana betah kami hanya dengan satu pasangan," ucapnya pada diri sendiri, mendesah pelan sambil mengamati mereka dari kejauhan.Fernando menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengaduk minuman di tangannya dengan gerakan lambat. Matanya tidak lepas dari mereka bertiga, terutama Davin. Ada sedikit perasaan tidak percaya dalam benaknya. Selama ini, Davin dikenal sebagai pria yang setia dan tidak tertarik dengan tempat hiburan. Namun, kenyataan di depan matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.Sementara itu, di sudut tempat hiburan tersebut, Davin dan Bram sedang berbicara serius
"Apa semuanya sudah sesuai dengan yang kamu rencanakan?" tanya Penelope pada Fernando, sambil meliriknya dari sofa mewah berlapis beludru merah yang sedang didudukinya.Tangannya yang ramping menggenggam gelas anggur, menggoyangkan cairan merah di dalamnya dengan gerakan anggun. Cahaya lampu kristal di ruang tamunya yang luas memantulkan kilauan di permukaan gelas, menciptakan bayangan berkilau di meja kaca di depannya.Fernando berdiri tegap di dekat rak buku yang dipenuhi koleksi bacaan mahal dan beberapa lukisan klasik yang sengaja dipajang sebagai simbol kemewahan. Mata pria itu menatap tajam pada atasannya, memastikan tidak ada keraguan dalam Suaranya saat ia menjawab."Sudah, Bu. Anda tenang saja, semuanya sudah saya atur," jawab Fernando tanpa ragu sedikit pun.Penelope menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dengan gerakan lambat dan sensual. Senyuman tipis tersungging di bibir merahnya yang sempurna. Dia menikmati permainan ini, sebuah permainan yang dirancangnya sendiri
"Kamu kenapa, Sayang? Masih khawatir aku ketemu dengan Penelope? Makanya ayo ikut," ajak Davin saat wajah istrinya terlihat sendu, menatapnya yang sedang bersiap pergi untuk penandatanganan proyek besar Abimanyu Group di kota ini.Naura menggeleng. Untuk datang? Tentu dia tidak mungkin punya mental yang kuat, apalagi setelah Penelope menatapnya dengan tatapan seakan mengejek kondisinya yang seperti ini. Naura menjadi insecure."Nggak apa-apa kok," jawabnya, tapi sorot matanya tentu tidak membuat Davin percaya begitu saja pada sang istri.Pria itu mendekati Naura, lalu berjongkok di depan kursi roda sang istri. Dengan lembut, ia mengecup punggung tangan wanita yang sangat dia cintai. Bahkan, rasa cintanya sejak dulu hingga kini tidak berubah sama sekali."Aku tahu, di luar sana banyak sekali perempuan jahat. Tapi tidak semua laki-laki menyambut dengan baik wanita yang seperti itu. Laki-laki yang baik akan memilih perempuan yang baik pula. Laki-laki yang tidak baik mungkin akan tergoda
"Kenapa sih, Mama nggak pernah berubah? Semua keputusan harus kemauan Mama! Kenapa seperti ini? Kalau memang Bram tidak mau menikah lagi, ya sudah, Bram nggak akan menikah!"Bram menatap sang Mama dengan rahang mengeras. Hatinya semakin sesak karena merasa tidak pernah diberi kebebasan menentukan hidupnya sendiri."Bram janji, Angelica tidak akan pernah kekurangan kasih sayang. Lagian, Lidya masih jadi pengasuhnya. Nanti, lama-lama Angelica juga akan tahu kalau Lidya itu hanya seorang pengasuh, hanya seorang ibu susu, bukan ibu kandungnya. Bram nggak mau ada orang yang menggantikan posisi Dinda di hati Angelica dan di hati Bram."Bram menghela napas berat. Matanya yang tajam menatap Laura dengan sorot penuh keteguhan."Sekarang terserah Mama. Yang jelas, sekuat apa pun Mama membujuk Bram untuk menikah lagi dan mencarikan jodoh, itu tidak akan pernah terjadi! Bram tidak ingin menikah lagi!" ucapnya tegas.Hening sejenak. Laura masih ingin membantah, tetapi Bram tidak memberinya kesempa
Bram melangkah santai menuju ruang keluarga Davin. Begitu sampai, ia mendapati kedua keponakannya, Raka dan Rania, tengah duduk di meja belajar kecil mereka. Buku-buku terbuka di hadapan mereka, sementara pensil warna-warni berserakan di atas meja. Sesekali, mereka tampak berdiskusi satu sama lain, wajah mereka serius, tetapi tetap menggemaskan di mata Bram.Senyuman kecil terukir di wajah pria itu. Meskipun jauh dari rumah mereka yang sebenarnya, Raka dan Rania tetap terlihat bahagia. Bram bangga melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan ceria.Tanpa menunggu lebih lama, ia pun berjalan mendekat, lalu menjatuhkan diri di sofa dekat mereka. "Lagi sibuk apa nih, dua anak pintar Uncle?" tanyanya dengan nada hangat.Rania menoleh lebih dulu, lalu tersenyum lebar. "Lagi ngerjain PR, Uncle!" jawabnya bersemangat."Iya, PR Matematika," tambah Raka, mengangguk antusias.Bram mengangguk-angguk paham. "Wah, Matematika ya? Dulu waktu Uncle seumuran kalian, Matematika itu pelajar
Davin tiba di rumahnya bersama Bram. Begitu memasuki rumah, aroma khas kayu dan wewangian lembut yang selalu digunakan Naura menyambutnya. Rumah itu terasa hangat, tetapi juga sunyi, seakan ada sesuatu yang kurang.Tatapannya langsung tertuju ke ruang keluarga, tempat Raka dan Rania duduk bersisian di meja belajar kecil mereka. Kedua buah hatinya tampak serius mencoret-coret buku mereka, sesekali berdiskusi dengan suara pelan. Biasanya, di antara mereka ada Naura yang menemani—memberikan bimbingan atau sekadar duduk sambil membaca buku. Tapi kali ini, Naura tidak ada di sana."Loh, Mommy di mana, sayang?" tanya Davin, suaranya penuh keheranan.Rania dan Raka sontak menoleh ke arah sang ayah. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya menjawab dengan kompak. "Di kamar, Daddy."Davin mengernyit. "Kok tumben nggak nemenin kalian belajar? Apa Mommy sakit?" tanyanya lagi, kekhawatiran mulai muncul di benaknya.Sambil menunggu jawaban dari anak-anaknya, ia melambaikan tangan pada pengasuh