Share

Bab 118

Penulis: Atieckha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 13:02:45

Naura duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya berkaca-kaca menatap layar ponsel. Ia baru saja menyelesaikan beberapa panggilan telepon untuk memastikan bahwa semua urusan keuangan terkait dengan Lidya akan selesai hari itu juga. Ia tidak ingin ada yang tertunda, tidak ada lagi beban yang harus dipikirkan oleh sahabat lamanya.

Davin duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu sudah membayar semuanya, sayang?" tanya Davin, suaranya lembut, namun mengandung rasa khawatir yang ia tak bisa sembunyikan.

Naura mengangguk, matanya tak lepas dari layar ponsel. "Ya, semuanya sudah dibayar, sayang. Biaya operasi Lidya, biaya rumah sakit, semuanya. Aku juga sudah melunasi biaya pemakaman suaminya, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendiang anaknya." Ia menarik napas panjang, seakan melepaskan segala beban.

Davin menghela napas lega. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Sayang. Terima kasih, Dinda pasti bahagia punya ipar sepertimu."

“Semoga dia bahagia di surga,” lirih Nau
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 219

    Lidya memandang Angelica, yang terbaring di pelukannya. Meskipun wajahnya masih terlihat begitu kecil dan rapuh, bibir mungil Angelica tampak mencari-cari sesuatu. Lidya merasakan getaran halus di dalam hatinya. Waktu terasa melambat, seakan segala sesuatu di sekitarnya hilang. Semua yang ada hanyalah suara detak jantungnya sendiri dan napas ringan bayi yang masih mencari kehangatan dan kasih sayang.Sambil mengatur pernapasannya, Lidya perlahan-lahan mengangkat Angelica lebih dekat ke tubuhnya. Tangan Lidya menggenggam kepala bayi itu dengan lembut, memberi sedikit dorongan agar bibir mungil itu bisa menyentuh puting susu yang sudah penuh dengan air susu yang melimpah. Lidya menahan air mata yang sudah sejak lama terpendam. Ia merasa ada yang menyesakkan di dadanya. Tangannya gemetar, tapi ia tahu ini adalah kesempatan yang tak bisa ia sia-siakan.Sebuah isak tangis lirih terdengar dari bibir Lidya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Keputusan ini, keputusan untuk menjadi ibu s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 220

    Bi Inem, baju aku dibawa ke mana?" tanya Dinda terkejut."Maaf, Lidya. Pak Bram barusan nelpon, Bibi disuruh buang semua bajumu, tapi Bibi sudah belikan pengganti untukmu. Apalagi, selama kamu bekerja dari pagi sampai sore, kamu menggunakan seragam," jawab Inem sambil menghentikan pekerjaannya untuk mengeluarkan pakaian Lidya dari lemari di kamar yang ia gunakan untuk menaruh pakaian dan membersihkan diri.Lidya menarik napas berat. "Ya sudah, Bi, nggak papa. Aku ikut aturan di sini saja," jawabnya pasrah.Pelayan itu pun mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dan benar-benar membuang semua pakaian Lidya ke dalam tong sampah."Oh ya, Lidya, mumpung Angelica masih tidur, sebaiknya kamu makan dulu. Ahli gizi yang dikirim oleh Pak Bram sudah buatkan makanan bergizi untukmu. Pak Bram ingin Angelica mendapatkan asupan gizi yang baik dari asimu," kata pelayan itu lagi.Sebagai seorang ibu susu, tentu Lidya tak punya pilihan lain selain mengikuti semua aturan yang sudah ditetapkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 221

    “Lakukanlah, Andi. Aku sudah tidak tahan,” desah Laura.“Baik, nyonya.”Andi menggiring Laura dengan lembut menuju ke tempat tidur di villa tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Pria itu sudah benar-benar lihai memanjakan sang majikan, dia mencium bibir Laura dengan penuh hasrat. Tangannya meremas dada Laura hingga membuat desahan kecil terus keluar dari mulut Laura. Setelah mereka kehabisan nafas, Andi pun mulai ciumannya. Dia mulai melakukan penyatuan. Pria itu menghentak tubuh Laura, namun setiap kali miliknya dijepit oleh milik Laura, Andi terus mendesah hingga suara desahan mereka saling bersahutan di dalam kamar Villa tersebut.“Aaah, kau benar-benar membuatku semakin tergila-gila dengan permainanmu, Andi!” “Saya pun ketagihan untuk menyentuh anda, nyonya. Anda mengajari saya menjadi lelaki seutuhnya,” jawab Andi.Laura tersenyum, namun matanya terpejam. Remasan tangan Andi di dadanya membuat Laura semakin panas. Pria itu menghentak Laura penuh hasrat.“Ooooh, saya mau kelu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 222

    "Mommy, panggil Raka," terdengar suara lembut dari Raka yang sedang duduk di meja makan."Ya, sayang?" jawab Naura, sambil membawa piring-piring makan malam untuk disajikan kepada suaminya, Davin, dan kedua anak kembarnya. Mereka duduk dengan rapi di meja makan, menunggu hidangan disajikan. Naura meletakkan piring-piring itu dengan hati-hati, lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum kepada keluarga kecilnya."Minggu depan itu ada kemah di sekolah, Mommy. Kami boleh ikut atau tidak?" tanya Raka dengan mata berbinar, penuh harap.Naura tersenyum lembut dan menjawab, "Tanya Daddy, dong, sayang." Ia menyeka tangan dengan serbet dan duduk di samping suaminya. Pandangannya beralih ke Davin, yang sedang fokus membaca koran bisnis yang belum sempat ia baca tadi pagi.“Daddy,” panggil keduanya menatap Davin.“Apa, sayang?” tanya Davin."Daddy, kami boleh ikut?" tanya Raka dan Rania kompak, seraya menatap ayah mereka dengan ekspresi penuh harap.Davin menurunkan koran dan menatap anak-anaknya de

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-05
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bapaknya Mau ASI Juga

    “Iya, nyonya sangat cantik. Pantas Angelica cantik banget, ternyata ibunya seperti bidadari. Semoga saja sifat Angelica nurun dari Ibunya.” Lidya melangkah menaiki anak tangga dan berhenti di samping Bram. “Kalau mirip ayahnya, pasti tidak akan punya banyak teman!”Lidya buru-buru naik ke lantai atas setelah membalas Bram. Jalannya masih sakit naik turun tangga, dan dia mendengar Bram memanggilnya, tapi Lidya mengabaikannya. Tangisan Angelica memenuhi kamarnya, saat Lidya hampir sampai di kamar bidadari cantik itu. Lidya mencuci tangannya di wastafel di depan kamar Angelica, lalu mengeringkannya sebelum masuk ke dalam kamar.“Cup… cup… cup. Anak cantik dan baik tak boleh rewel,” ujarnya. Lidya mengangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam dekapan. Ia segera membuka kancing bajunya, untuk memberi ASI pada Angelica. Bayi mungil dan menggemaskan itu tampak sangat kehausan, padahal baru satu jam yang lalu minum sangat banyak.Setelah Angelica tenang, Lidya mengusap lembut pipinya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 224

    “Jangan bercanda Pak,” ucap Lidya.Dia berharap Bram hanya menggodanya bukan benar-benar menginginkan ASI yang sama seperti Angelica, sungguh tak bisa dia bayangkan kalau dia harus memberikan ASI pada ayahnya Angelica.“Aku serius, aku tidak pernah bercanda! Sekarang terserah kamu mau memberikanku ASI juga atau kamu harus berpisah dari Angelica,” jawab Bram sedikit mengancam.“Pak saya mohon jangan seperti ini, kenapa Angelica dijadikan alasan untuk pelampiasan hasrat anda? Seharusnya Anda bisa mencari perempuan lain Pak, bukan saya. Mungkin anda bisa pergi ke tempat hiburan malam untuk melampiaskan hasrat anda di sana,” jawab Lidya.Jantungnya berdetak dengan kencang ketika Bram duduk di sampingnya, sangat dekat. Pria itu mulai menyentuh dada Lidya, sementara Angelica masih asik menikmati ASI dari sang Ibu susu.“Kau tidak mungkin mau berpisah dari Angelica kan?” tanya Bram.Sebagai seorang pria dewasa tentu dia ingin melampiaskan hasratnya setiap hari, tapi untuk menikah lagi seper

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-06
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 225

    “Jangan coba-coba meminta lebih dari saya. Saya rendahkan harga diri karena Angelica. Tapi kalau anda nuntut lebih, maka saya tak segan-segan akan ungkap sikap anda ini pada keluarga anda.”Mata Lidya merah, dia sangat marah pada Bram. Menurutnya ini sudah keterlaluan, di masa lalu meski mereka pernah melakukannya, tapi sekarang keadaannya sudah berubah.Bram melepaskan bibirnya dari puting susu Lidya. Dia tahu Lidya sangat marah. Tapi Bram akan terus mengganggunya.“Dan kamu pikir keluargaku akan peduli? Masih mending kalau kamu gadis perawan, ini-”Bram tak melanjutkan ucapannya. Tapi dari seringainya tentu dia mengejek Lidya. Lidya meraih ponselnya, segera menghubungi Naura, tapi belum tersambung Bram merampasnya.“Oke, hanya sebatas minum ASI saja. Janji!” serunya menatap mata Lidya. Suara pintu diketuk membuat Bram dan Lidya merapikan penampilannya.Bram mendekati pintu kamar hotel tempatnya menginap, lalu membuka.Klik“Hay Uncle. Adik mana?” Suara nyempreng Raka dan Rania men

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Jual Diri

    "Jadi, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Davin pada sekretarisnya. Naura menunduk, bingung harus menjawab karena nominalnya sangat tidak masuk akal. "Sa—satu-" Naura belum sempat menyelesaikannya, namun suara Davin memotong ucapannya. "Satu juta?" Naura menghela napas berat. Ia bingung harus menjawab apa. Demi apapun, Naura sangat malu. "Cepat katakan!" desak Davin. Sambil memejamkan mata, sang sekretaris kembali menjawab, "Satu miliar, Pak Davin." Alis Davin sontak berkerut. Bisa-bisanya sekretaris yang baru bekerja satu bulan dengannya berani meminjam uang sebesar itu. "Mau dipakai untuk apa uang itu, Naura?" Suara berat Davin membuat Naura semakin gugup dan menunduk. "Lihat lawan bicaramu!" ucap Davin lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap CEO Abimanyu Group, perusahaan nomor satu di Sun City, yang mempunyai ketampanan nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi badan 185 cm, kekar, mata abu-abu, hidung mancung, dan rambut yang selalu disisir rapi ke atas. "Sa—sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10

Bab terbaru

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 225

    “Jangan coba-coba meminta lebih dari saya. Saya rendahkan harga diri karena Angelica. Tapi kalau anda nuntut lebih, maka saya tak segan-segan akan ungkap sikap anda ini pada keluarga anda.”Mata Lidya merah, dia sangat marah pada Bram. Menurutnya ini sudah keterlaluan, di masa lalu meski mereka pernah melakukannya, tapi sekarang keadaannya sudah berubah.Bram melepaskan bibirnya dari puting susu Lidya. Dia tahu Lidya sangat marah. Tapi Bram akan terus mengganggunya.“Dan kamu pikir keluargaku akan peduli? Masih mending kalau kamu gadis perawan, ini-”Bram tak melanjutkan ucapannya. Tapi dari seringainya tentu dia mengejek Lidya. Lidya meraih ponselnya, segera menghubungi Naura, tapi belum tersambung Bram merampasnya.“Oke, hanya sebatas minum ASI saja. Janji!” serunya menatap mata Lidya. Suara pintu diketuk membuat Bram dan Lidya merapikan penampilannya.Bram mendekati pintu kamar hotel tempatnya menginap, lalu membuka.Klik“Hay Uncle. Adik mana?” Suara nyempreng Raka dan Rania men

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 224

    “Jangan bercanda Pak,” ucap Lidya.Dia berharap Bram hanya menggodanya bukan benar-benar menginginkan ASI yang sama seperti Angelica, sungguh tak bisa dia bayangkan kalau dia harus memberikan ASI pada ayahnya Angelica.“Aku serius, aku tidak pernah bercanda! Sekarang terserah kamu mau memberikanku ASI juga atau kamu harus berpisah dari Angelica,” jawab Bram sedikit mengancam.“Pak saya mohon jangan seperti ini, kenapa Angelica dijadikan alasan untuk pelampiasan hasrat anda? Seharusnya Anda bisa mencari perempuan lain Pak, bukan saya. Mungkin anda bisa pergi ke tempat hiburan malam untuk melampiaskan hasrat anda di sana,” jawab Lidya.Jantungnya berdetak dengan kencang ketika Bram duduk di sampingnya, sangat dekat. Pria itu mulai menyentuh dada Lidya, sementara Angelica masih asik menikmati ASI dari sang Ibu susu.“Kau tidak mungkin mau berpisah dari Angelica kan?” tanya Bram.Sebagai seorang pria dewasa tentu dia ingin melampiaskan hasratnya setiap hari, tapi untuk menikah lagi seper

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bapaknya Mau ASI Juga

    “Iya, nyonya sangat cantik. Pantas Angelica cantik banget, ternyata ibunya seperti bidadari. Semoga saja sifat Angelica nurun dari Ibunya.” Lidya melangkah menaiki anak tangga dan berhenti di samping Bram. “Kalau mirip ayahnya, pasti tidak akan punya banyak teman!”Lidya buru-buru naik ke lantai atas setelah membalas Bram. Jalannya masih sakit naik turun tangga, dan dia mendengar Bram memanggilnya, tapi Lidya mengabaikannya. Tangisan Angelica memenuhi kamarnya, saat Lidya hampir sampai di kamar bidadari cantik itu. Lidya mencuci tangannya di wastafel di depan kamar Angelica, lalu mengeringkannya sebelum masuk ke dalam kamar.“Cup… cup… cup. Anak cantik dan baik tak boleh rewel,” ujarnya. Lidya mengangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam dekapan. Ia segera membuka kancing bajunya, untuk memberi ASI pada Angelica. Bayi mungil dan menggemaskan itu tampak sangat kehausan, padahal baru satu jam yang lalu minum sangat banyak.Setelah Angelica tenang, Lidya mengusap lembut pipinya.

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 222

    "Mommy, panggil Raka," terdengar suara lembut dari Raka yang sedang duduk di meja makan."Ya, sayang?" jawab Naura, sambil membawa piring-piring makan malam untuk disajikan kepada suaminya, Davin, dan kedua anak kembarnya. Mereka duduk dengan rapi di meja makan, menunggu hidangan disajikan. Naura meletakkan piring-piring itu dengan hati-hati, lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum kepada keluarga kecilnya."Minggu depan itu ada kemah di sekolah, Mommy. Kami boleh ikut atau tidak?" tanya Raka dengan mata berbinar, penuh harap.Naura tersenyum lembut dan menjawab, "Tanya Daddy, dong, sayang." Ia menyeka tangan dengan serbet dan duduk di samping suaminya. Pandangannya beralih ke Davin, yang sedang fokus membaca koran bisnis yang belum sempat ia baca tadi pagi.“Daddy,” panggil keduanya menatap Davin.“Apa, sayang?” tanya Davin."Daddy, kami boleh ikut?" tanya Raka dan Rania kompak, seraya menatap ayah mereka dengan ekspresi penuh harap.Davin menurunkan koran dan menatap anak-anaknya de

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 221

    “Lakukanlah, Andi. Aku sudah tidak tahan,” desah Laura.“Baik, nyonya.”Andi menggiring Laura dengan lembut menuju ke tempat tidur di villa tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Pria itu sudah benar-benar lihai memanjakan sang majikan, dia mencium bibir Laura dengan penuh hasrat. Tangannya meremas dada Laura hingga membuat desahan kecil terus keluar dari mulut Laura. Setelah mereka kehabisan nafas, Andi pun mulai ciumannya. Dia mulai melakukan penyatuan. Pria itu menghentak tubuh Laura, namun setiap kali miliknya dijepit oleh milik Laura, Andi terus mendesah hingga suara desahan mereka saling bersahutan di dalam kamar Villa tersebut.“Aaah, kau benar-benar membuatku semakin tergila-gila dengan permainanmu, Andi!” “Saya pun ketagihan untuk menyentuh anda, nyonya. Anda mengajari saya menjadi lelaki seutuhnya,” jawab Andi.Laura tersenyum, namun matanya terpejam. Remasan tangan Andi di dadanya membuat Laura semakin panas. Pria itu menghentak Laura penuh hasrat.“Ooooh, saya mau kelu

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 220

    Bi Inem, baju aku dibawa ke mana?" tanya Dinda terkejut."Maaf, Lidya. Pak Bram barusan nelpon, Bibi disuruh buang semua bajumu, tapi Bibi sudah belikan pengganti untukmu. Apalagi, selama kamu bekerja dari pagi sampai sore, kamu menggunakan seragam," jawab Inem sambil menghentikan pekerjaannya untuk mengeluarkan pakaian Lidya dari lemari di kamar yang ia gunakan untuk menaruh pakaian dan membersihkan diri.Lidya menarik napas berat. "Ya sudah, Bi, nggak papa. Aku ikut aturan di sini saja," jawabnya pasrah.Pelayan itu pun mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dan benar-benar membuang semua pakaian Lidya ke dalam tong sampah."Oh ya, Lidya, mumpung Angelica masih tidur, sebaiknya kamu makan dulu. Ahli gizi yang dikirim oleh Pak Bram sudah buatkan makanan bergizi untukmu. Pak Bram ingin Angelica mendapatkan asupan gizi yang baik dari asimu," kata pelayan itu lagi.Sebagai seorang ibu susu, tentu Lidya tak punya pilihan lain selain mengikuti semua aturan yang sudah ditetapkan

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 219

    Lidya memandang Angelica, yang terbaring di pelukannya. Meskipun wajahnya masih terlihat begitu kecil dan rapuh, bibir mungil Angelica tampak mencari-cari sesuatu. Lidya merasakan getaran halus di dalam hatinya. Waktu terasa melambat, seakan segala sesuatu di sekitarnya hilang. Semua yang ada hanyalah suara detak jantungnya sendiri dan napas ringan bayi yang masih mencari kehangatan dan kasih sayang.Sambil mengatur pernapasannya, Lidya perlahan-lahan mengangkat Angelica lebih dekat ke tubuhnya. Tangan Lidya menggenggam kepala bayi itu dengan lembut, memberi sedikit dorongan agar bibir mungil itu bisa menyentuh puting susu yang sudah penuh dengan air susu yang melimpah. Lidya menahan air mata yang sudah sejak lama terpendam. Ia merasa ada yang menyesakkan di dadanya. Tangannya gemetar, tapi ia tahu ini adalah kesempatan yang tak bisa ia sia-siakan.Sebuah isak tangis lirih terdengar dari bibir Lidya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Keputusan ini, keputusan untuk menjadi ibu s

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 118

    Naura duduk di ruang tunggu rumah sakit, matanya berkaca-kaca menatap layar ponsel. Ia baru saja menyelesaikan beberapa panggilan telepon untuk memastikan bahwa semua urusan keuangan terkait dengan Lidya akan selesai hari itu juga. Ia tidak ingin ada yang tertunda, tidak ada lagi beban yang harus dipikirkan oleh sahabat lamanya.Davin duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu sudah membayar semuanya, sayang?" tanya Davin, suaranya lembut, namun mengandung rasa khawatir yang ia tak bisa sembunyikan.Naura mengangguk, matanya tak lepas dari layar ponsel. "Ya, semuanya sudah dibayar, sayang. Biaya operasi Lidya, biaya rumah sakit, semuanya. Aku juga sudah melunasi biaya pemakaman suaminya, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendiang anaknya." Ia menarik napas panjang, seakan melepaskan segala beban. Davin menghela napas lega. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Sayang. Terima kasih, Dinda pasti bahagia punya ipar sepertimu."“Semoga dia bahagia di surga,” lirih Nau

  • SENTUHAN PANAS DI RUANG KERJA SANG CEO   Bab 217

    Naura terpaku di ambang pintu kamar rumah sakit. Napasnya tercekat saat melihat wanita yang terbaring lemah di ranjang pasien. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga air mata menggenang di pelupuk matanya.“Na—Naura?” Lidya kembali berbisik dengan suara serak, nyaris tak percaya dengan penglihatannya.Tanpa berpikir panjang, Naura melangkah cepat ke sisi ranjang. Tangannya gemetar saat meraih tangan Lidya yang terasa dingin. Seketika, air matanya jatuh, membasahi pipinya.“Lidya…” suaranya bergetar hebat. “Ya Tuhan, ini benar-benar kamu…”Lidya yang masih terbaring menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi isak tangis lebih dulu memenuhi ruang itu. Tanpa bisa ditahan, Naura langsung memeluk tubuh sahabatnya erat-erat.Davin yang berdiri di samping mereka hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan sendu. Dia memahami bahwa ini bukan sekadar pertemuan antara dua orang yang lama tak bertemu, tapi sebuah pertemuan pen

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status