“Jangan bercanda Pak,” ucap Lidya.Dia berharap Bram hanya menggodanya bukan benar-benar menginginkan ASI yang sama seperti Angelica, sungguh tak bisa dia bayangkan kalau dia harus memberikan ASI pada ayahnya Angelica.“Aku serius, aku tidak pernah bercanda! Sekarang terserah kamu mau memberikanku ASI juga atau kamu harus berpisah dari Angelica,” jawab Bram sedikit mengancam.“Pak saya mohon jangan seperti ini, kenapa Angelica dijadikan alasan untuk pelampiasan hasrat anda? Seharusnya Anda bisa mencari perempuan lain Pak, bukan saya. Mungkin anda bisa pergi ke tempat hiburan malam untuk melampiaskan hasrat anda di sana,” jawab Lidya.Jantungnya berdetak dengan kencang ketika Bram duduk di sampingnya, sangat dekat. Pria itu mulai menyentuh dada Lidya, sementara Angelica masih asik menikmati ASI dari sang Ibu susu.“Kau tidak mungkin mau berpisah dari Angelica kan?” tanya Bram.Sebagai seorang pria dewasa tentu dia ingin melampiaskan hasratnya setiap hari, tapi untuk menikah lagi seper
“Jangan coba-coba meminta lebih dari saya. Saya rendahkan harga diri karena Angelica. Tapi kalau anda nuntut lebih, maka saya tak segan-segan akan ungkap sikap anda ini pada keluarga anda.”Mata Lidya merah, dia sangat marah pada Bram. Menurutnya ini sudah keterlaluan, di masa lalu meski mereka pernah melakukannya, tapi sekarang keadaannya sudah berubah.Bram melepaskan bibirnya dari puting susu Lidya. Dia tahu Lidya sangat marah. Tapi Bram akan terus mengganggunya.“Dan kamu pikir keluargaku akan peduli? Masih mending kalau kamu gadis perawan, ini-”Bram tak melanjutkan ucapannya. Tapi dari seringainya tentu dia mengejek Lidya. Lidya meraih ponselnya, segera menghubungi Naura, tapi belum tersambung Bram merampasnya.“Oke, hanya sebatas minum ASI saja. Janji!” serunya menatap mata Lidya. Suara pintu diketuk membuat Bram dan Lidya merapikan penampilannya.Bram mendekati pintu kamar hotel tempatnya menginap, lalu membuka.Klik“Hay Uncle. Adik mana?” Suara nyempreng Raka dan Rania men
“Jangan cerita soal apa yang kita lakukan pada Naura atau siapapun,” ucap Bram.Bram sedang mengenakan sepatu santai saat mereka sudah rapi, sambil bersiap menunggu Davin dan keluarga kecilnya. Sementara Lidya sedang memasukkan kebutuhan Angelica ke dalam tas bayi yang selalu dibawa kemanapun Mereka pergi.“Ngapain saya buka aib sendiri. Malu-maluin aja punya bos cabul!”Demi apapun Lidya akan sangat malu sekali bahkan harga dirinya akan hancur lebur kalau sampai ada orang lain yang mengetahui apa yang sudah Bram lakukan terhadap dirinya. Maka tanpa disuruh pun di dia pasti tidak akan membongkar aib dirinya dan Bram.“Bilang cabul lagi sekali?”Bram mendesak Lidya hingga terhimpit di dinding. Pria itu mencium Lidya dengan rakus, dia tak ingin punya komitmen apapun namun dia juga tak bisa menolak pesona Sang Mantan Kekasih. Meski tak ada respon dari Lidya setiap kali dia menciumnya, namun bagi Bram hal yang semacam ini biasa untuk perempuan. Mereka lebih jual mahal daripada laki-laki,
“Hidup Davin begitu sempurna. Dia memiliki istri yang sangat cantik, bahkan tubuhnya seperti gadis, padahal dia sudah memiliki anak kembar. Beruntung sekali Davin," gumam Victor kepada rekannya yang lain. Matanya menatap tajam ke arah Davin dan Naura yang saat ini sedang berbincang. Sesekali, Victor melihat Naura dan Davin saling menyuapkan makanan. Keduanya tampak begitu romantis, membuat Victor seketika menjadi iri dengan kemesraan itu."Tapi Naura juga beruntung, Bos. Punya suami ganteng, kaya raya, setia, dan sayang sama dia. Sepertinya Davin mencintai istrinya lebih dari mencintai dirinya sendiri. Dari sikapnya, terlihat jelas," ujar anak buah Bryan yang lain, yang kebetulan sekarang bersama Victor di restoran tersebut.Victor kembali memperhatikan mereka. Sebetulnya, benar yang dibilang oleh rekannya ini. Naura pun beruntung memiliki suami dan anak-anak yang terlihat begitu sempurna. Bahkan hubungan mereka nyaris tanpa masalah."Maka jangan biarkan hidup mereka menjadi sempurna
Bila Davin dan Naura tengah asyik bercinta, berbeda dengan Bram yang tampak tak punya semangat hidup karena si kembar memilih menginap di kamarnya.“Mbar,” panggil Bram.“Hmmmmmmm,” jawab Raka dan Rania. Bram terkekeh, biasanya keduanya sangat marah kalau dipanggil kembar!Keduanya sudah memejamkan mata di atas ranjang, mereka tidur di antara Bram dan Lidya sementara Angelica sudah terlelap di box bayi yang disediakan oleh pihak hotel.“Sana pergi ke kamar. Mommy sama Daddy buat adik lagi tuh!” kata Bram. Lidya yang mendengar hanya menggeleng.“Udah biarin aja. Kalau Uncle gak mau Daddy buat adik lagi, sana Uncle aja di kamar Mommy sama Daddy,” jawab si jutek Rania.Bram yang hendak membuka mulut, melihat Lidya cekikikan, ia kembali mengatupkan bibirnya.“Tidur, Uncle. Bukankah besok malam Uncle harus ajak kami ke Mall. Kami mau belanja banyak loh!” Raka menimpali. Tapi bocah tampan itu juga enggan membuka matanya.“Kan pergi ke Mall nya baru sore. Pagi dan siang masih bisa istiraha
Naura dan Davin melangkah memasuki ballroom hotel berbintang dengan penuh percaya diri. Malam ini, perayaan ulang tahun pernikahan emas Tuan Lee dan istrinya berlangsung dengan meriah, ditambah dengan pertunangan putri semata wayang mereka. Sejumlah tamu undangan, yang mayoritas adalah para pebisnis berpengaruh dari berbagai negara, telah memadati ruangan yang luas itu.Davin melirik Naura yang berjalan di sampingnya. Gaun malam berwarna navy yang dikenakan istrinya membingkai tubuhnya dengan anggun. Tanpa banyak bicara, Davin menggenggam tangan Naura dan menuntunnya lebih dalam ke keramaian. Beberapa orang sudah mulai memperhatikan mereka. Davin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis, lalu terus melangkah menuju tuan rumah.Begitu tiba di depan Tuan Lee dan istrinya, Davin segera menyerahkan kotak kecil berisi jam tangan couple yang sudah dipersiapkannya. "Selamat ulang tahun pernikahan, Tuan Lee. Dan juga selamat atas pertunangan putri Anda," ujar Davin dengan sopa
"Kalian mau makan apa?" tanya Bram pada Raka dan Rania. Mereka baru saja mengakhiri permainan di sebuah mal. Keduanya tampak kelelahan. Bram benar-benar mengasuh Raka dan Rania dengan baik; dia juga sesekali mengajak Angelica ikut bermain."Uncle mau makan apa?" Rania yang bertanya."Ditanya malah tanya balik," kata Bram. Namun, pria itu kembali menjawab, "Ya sudah deh, Uncle mau makan ayam goreng aja."Tentu saja itu bukan makanan favoritnya; ayam goreng adalah makanan favorit Raka dan Rania. Tapi demi keponakannya, Bram tidak apa-apa memesan makanan yang tidak terlalu ia sukai tersebut.Namun, di luar dugaan, jawaban Raka dan Rania malah berbeda. Mereka tidak ingin makan makanan kesukaannya tersebut karena makanan itu dipilih oleh sang uncle."Ya sudah deh, kalau begitu kami makan steak sapi aja. Yang premium ya, Uncle," ucapnya lagi penuh penekanan.Mata Bram membulat sempurna. Tentu saja steak yang dimaksud harganya sangat fantastis karena mereka tidak terbiasa makan daging yang
Davin berlari, kakinya hampir tidak bisa mengimbangi detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Setiap langkah yang diambil terasa seperti beban yang lebih berat. Nafasnya tersengal-sengal, seolah-olah udara di sekitarnya tidak cukup untuk mengisi paru-parunya yang sesak."Naura! Sayang!" teriaknya, suaranya serak, tapi tidak ada jawaban. Hanya riuh suara para tamu yang masih kebingungan setelah listrik padam.Lampu hotel yang sempat padam kini menyala lagi, tetapi itu tidak menenangkan Davin. Justru, cahaya itu semakin menyoroti kekosongan yang ada di sekitarnya.Ia berlari menyusuri ruang dansa, matanya liar mencari sosok yang sudah terlalu lama ia cintai. Setiap sudut ruangan ia lihat dengan harapan Naura akan muncul dari bayang-bayang, tapi tidak ada. Hanya tamu yang tampak bingung dan pelayan yang tampak tergesa-gesa menyelamatkan barang-barang dari meja prasmanan yang hampir tumpah."Sayaaaaang kamu di mana? Jangan bercanda!" teriaknya lagi, kali ini lebih panik, lebih pecah.
Tidak ada jawaban.Ia menggedor pintu sekuat tenaga, jari-jarinya mulai sakit, tetapi ia tidak peduli."SIAPA PUN DI LUAR SANA, KELUARKAN AKU DARI SINI! TOLONG!" suaranya semakin keras, semakin putus asa. "AKU MAU PULANG! SIAPA PUN YANG MELAKUKAN INI, LEPASKAN AKU!!"Matanya mulai panas, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir. Ia menggigit bibirnya keras, menahan isakan yang mulai pecah. "Daviiiin, tolong aku, sayang. Hiks hiks…" suaranya melemah, hanya sebuah bisikan. "Sayaaaaaang, tolong aku…"Tidak ada yang menjawab.Tidak ada yang peduli.Ia tersungkur di lantai, bahunya terguncang saat tangisnya semakin pecah. Ketakutan merayap ke dalam setiap sarafnya. Apa yang mereka inginkan darinya? Kenapa mereka menculiknya? Apa yang akan mereka lakukan padanya?Berbagai kemungkinan buruk mulai memenuhi pikirannya. Ia tidak tahu siapa penculiknya.Naura mengangkat wajahnya, matanya yang membengkak menatap jeruji besi di depannya. Ia tidak bisa terus menangis. Ia harus keluar. Ia
Victor melangkah penuh percaya diri memasuki markas bawah tanah Bryan, membawa tubuh Naura yang tak sadarkan diri di dalam gendongan anak buahnya. Wajahnya dipenuhi kebanggaan, ekspresi puas terlihat jelas dalam sorot matanya. Hari ini, ia telah mencapai sesuatu yang selama ini gagal ia lakukan—menghancurkan Davin, meskipun secara tidak langsung.Di dalam ruangan yang luas dan megah, Bryan sudah menunggu. Duduk santai di kursi besar dengan cerutu di tangannya, pria itu menatap dengan tatapan penuh kepuasan ketika melihat Naura yang tak berdaya."Jadi, kau benar-benar berhasil kali ini, Victor?" Bryan terkekeh sambil mengembuskan asap cerutunya ke udara. "Aku kira kau hanya menggertak seperti biasanya."Bryan tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya pada Victor. Dia benar-benar bangga karena kali ini Victor tidak mengecewakannya seperti yang sudah-sudah. Bryan juga akan memberikan bonus yang begitu besar untuk anak buahnya ini.Victor menyeringai. “Saya tidak akan membuang waktu hanya
Ketegangan di antara Davin dan Tuan Lee begitu terasa saat mereka meninggalkan hotel menuju kantor polisi. Pesta yang semula penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini berubah menjadi kehampaan yang mencekam. Setiap langkah Davin terasa semakin berat, seolah dunia di sekitarnya ikut runtuh. Suasana di luar malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, dan setiap detik yang berlalu semakin memaksanya tenggelam dalam kecemasan.“Pak Davin, anda harus tenang,” ujar Tuan Lee dengan suara yang berusaha meyakinkan meskipun matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. “Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu.”Davin tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terkunci, matanya hanya menatap lurus ke depan. Pikirannya hanya berputar pada satu hal: Naura.Sesampainya di kantor polisi, situasi langsung berubah. Kepala polisi yang menerima laporan mereka segera memerintahkan untuk melanjutkan penyelidikan. “Ini kasus besar, Pak Davin. Kami akan kerahkan semua personel untuk membantu,” ujar
Davin berlari, kakinya hampir tidak bisa mengimbangi detak jantungnya yang berdetak semakin cepat. Setiap langkah yang diambil terasa seperti beban yang lebih berat. Nafasnya tersengal-sengal, seolah-olah udara di sekitarnya tidak cukup untuk mengisi paru-parunya yang sesak."Naura! Sayang!" teriaknya, suaranya serak, tapi tidak ada jawaban. Hanya riuh suara para tamu yang masih kebingungan setelah listrik padam.Lampu hotel yang sempat padam kini menyala lagi, tetapi itu tidak menenangkan Davin. Justru, cahaya itu semakin menyoroti kekosongan yang ada di sekitarnya.Ia berlari menyusuri ruang dansa, matanya liar mencari sosok yang sudah terlalu lama ia cintai. Setiap sudut ruangan ia lihat dengan harapan Naura akan muncul dari bayang-bayang, tapi tidak ada. Hanya tamu yang tampak bingung dan pelayan yang tampak tergesa-gesa menyelamatkan barang-barang dari meja prasmanan yang hampir tumpah."Sayaaaaang kamu di mana? Jangan bercanda!" teriaknya lagi, kali ini lebih panik, lebih pecah.
"Kalian mau makan apa?" tanya Bram pada Raka dan Rania. Mereka baru saja mengakhiri permainan di sebuah mal. Keduanya tampak kelelahan. Bram benar-benar mengasuh Raka dan Rania dengan baik; dia juga sesekali mengajak Angelica ikut bermain."Uncle mau makan apa?" Rania yang bertanya."Ditanya malah tanya balik," kata Bram. Namun, pria itu kembali menjawab, "Ya sudah deh, Uncle mau makan ayam goreng aja."Tentu saja itu bukan makanan favoritnya; ayam goreng adalah makanan favorit Raka dan Rania. Tapi demi keponakannya, Bram tidak apa-apa memesan makanan yang tidak terlalu ia sukai tersebut.Namun, di luar dugaan, jawaban Raka dan Rania malah berbeda. Mereka tidak ingin makan makanan kesukaannya tersebut karena makanan itu dipilih oleh sang uncle."Ya sudah deh, kalau begitu kami makan steak sapi aja. Yang premium ya, Uncle," ucapnya lagi penuh penekanan.Mata Bram membulat sempurna. Tentu saja steak yang dimaksud harganya sangat fantastis karena mereka tidak terbiasa makan daging yang
Naura dan Davin melangkah memasuki ballroom hotel berbintang dengan penuh percaya diri. Malam ini, perayaan ulang tahun pernikahan emas Tuan Lee dan istrinya berlangsung dengan meriah, ditambah dengan pertunangan putri semata wayang mereka. Sejumlah tamu undangan, yang mayoritas adalah para pebisnis berpengaruh dari berbagai negara, telah memadati ruangan yang luas itu.Davin melirik Naura yang berjalan di sampingnya. Gaun malam berwarna navy yang dikenakan istrinya membingkai tubuhnya dengan anggun. Tanpa banyak bicara, Davin menggenggam tangan Naura dan menuntunnya lebih dalam ke keramaian. Beberapa orang sudah mulai memperhatikan mereka. Davin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis, lalu terus melangkah menuju tuan rumah.Begitu tiba di depan Tuan Lee dan istrinya, Davin segera menyerahkan kotak kecil berisi jam tangan couple yang sudah dipersiapkannya. "Selamat ulang tahun pernikahan, Tuan Lee. Dan juga selamat atas pertunangan putri Anda," ujar Davin dengan sopa
Bila Davin dan Naura tengah asyik bercinta, berbeda dengan Bram yang tampak tak punya semangat hidup karena si kembar memilih menginap di kamarnya.“Mbar,” panggil Bram.“Hmmmmmmm,” jawab Raka dan Rania. Bram terkekeh, biasanya keduanya sangat marah kalau dipanggil kembar!Keduanya sudah memejamkan mata di atas ranjang, mereka tidur di antara Bram dan Lidya sementara Angelica sudah terlelap di box bayi yang disediakan oleh pihak hotel.“Sana pergi ke kamar. Mommy sama Daddy buat adik lagi tuh!” kata Bram. Lidya yang mendengar hanya menggeleng.“Udah biarin aja. Kalau Uncle gak mau Daddy buat adik lagi, sana Uncle aja di kamar Mommy sama Daddy,” jawab si jutek Rania.Bram yang hendak membuka mulut, melihat Lidya cekikikan, ia kembali mengatupkan bibirnya.“Tidur, Uncle. Bukankah besok malam Uncle harus ajak kami ke Mall. Kami mau belanja banyak loh!” Raka menimpali. Tapi bocah tampan itu juga enggan membuka matanya.“Kan pergi ke Mall nya baru sore. Pagi dan siang masih bisa istiraha
“Hidup Davin begitu sempurna. Dia memiliki istri yang sangat cantik, bahkan tubuhnya seperti gadis, padahal dia sudah memiliki anak kembar. Beruntung sekali Davin," gumam Victor kepada rekannya yang lain. Matanya menatap tajam ke arah Davin dan Naura yang saat ini sedang berbincang. Sesekali, Victor melihat Naura dan Davin saling menyuapkan makanan. Keduanya tampak begitu romantis, membuat Victor seketika menjadi iri dengan kemesraan itu."Tapi Naura juga beruntung, Bos. Punya suami ganteng, kaya raya, setia, dan sayang sama dia. Sepertinya Davin mencintai istrinya lebih dari mencintai dirinya sendiri. Dari sikapnya, terlihat jelas," ujar anak buah Bryan yang lain, yang kebetulan sekarang bersama Victor di restoran tersebut.Victor kembali memperhatikan mereka. Sebetulnya, benar yang dibilang oleh rekannya ini. Naura pun beruntung memiliki suami dan anak-anak yang terlihat begitu sempurna. Bahkan hubungan mereka nyaris tanpa masalah."Maka jangan biarkan hidup mereka menjadi sempurna
“Jangan cerita soal apa yang kita lakukan pada Naura atau siapapun,” ucap Bram.Bram sedang mengenakan sepatu santai saat mereka sudah rapi, sambil bersiap menunggu Davin dan keluarga kecilnya. Sementara Lidya sedang memasukkan kebutuhan Angelica ke dalam tas bayi yang selalu dibawa kemanapun Mereka pergi.“Ngapain saya buka aib sendiri. Malu-maluin aja punya bos cabul!”Demi apapun Lidya akan sangat malu sekali bahkan harga dirinya akan hancur lebur kalau sampai ada orang lain yang mengetahui apa yang sudah Bram lakukan terhadap dirinya. Maka tanpa disuruh pun di dia pasti tidak akan membongkar aib dirinya dan Bram.“Bilang cabul lagi sekali?”Bram mendesak Lidya hingga terhimpit di dinding. Pria itu mencium Lidya dengan rakus, dia tak ingin punya komitmen apapun namun dia juga tak bisa menolak pesona Sang Mantan Kekasih. Meski tak ada respon dari Lidya setiap kali dia menciumnya, namun bagi Bram hal yang semacam ini biasa untuk perempuan. Mereka lebih jual mahal daripada laki-laki,