Kami biasanya menghabiskan waktu liburan dengan jalan-jalan, belanja kebutuhan ke Mall, kadang berenang ke Waterboom, atau terkadang juga di rumah tanpa pergi kemanapun. Ya, seperti hari ini, kami memutuskan untuk tidak kemana-mana karena hari ini adalah hari kedua di bulan Ramadhan. Bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh semua umat Islam.
"Masak apa, Sayang?" tanya suamiku sambil memelukku dari belakang.
"Masak sayur sop campur tetelan, Mas," jawabku sambil terus mengiris bawang merah.
"Waahh, enak dong. Kalau sudah selesai kita salat berjamaah yah, Mas ambil wudu dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamar mandi.
Tidak ada yang aneh. Semua berjalan normal seperti hari-hari biasanya. Sampai tiba-tiba terdengar suara motor berhenti persis di depan rumahku.
"Kayaknya ada tamu, Sayang, coba lihat ke depan," perintah mas Fajar sambil melipat sajadah bekas kami sholat.
"Iya, Mas," ucapku sambil membuka mukena dan menyambar jilbab di belakang pintu kamar.
Deggg, jantungku tiba-tiba berdebar ketika melihat seorang lelaki turun dari motornya
"Cari siapa, Mas?" Aku pura-pura bertanya padahal aku sudah cukup kenal dengannya.
Dia adalah Doni. Rekan kerja suamiku dulu. Dia suaminya Rina yang juga teman kerja suamiku sampai sekarang.
"Fajar ada?" tanyanya datar sambil terlihat menahan marah.
"Ada didalam, habis salat. Sebentar saya panggilkan. Silakan duduk dulu."
Dengan rasa masih penasaran aku memanggil mas Fajar.
"Siapa, Dek?"
"Doni, Mas, kayaknya ada penting. Tidak biasanya dia datang ke sini." Kulihat keterkejutan di wajah suamiku.
Meskipun sepertinya enggan, mas Fajar akhirnya menemui Doni.
"Sudah berkali-kali aku memperingatkanmu agar jangan pernah lagi mengganggu istriku," teriak Doni lantang yang langsung berdiri ketika melihat suamiku datang.
"Apa kamu tidak mengerti, apa kamu tidak tau dosa? Percuma kamu salat tapi kelakuanmu bej*t," lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk muka mas Fajar.
Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya diam mematung. Mencoba mencerna apa yang sedang dan telah terjadi.
"Ada apa ini sebenarnya, Mas?" tanyaku dengan muka kebingungan.
"Tanyakan saja pada suamimu yang sok alim itu. Apa yang sudah dia lakukan dengan Rina, istriku."
"Berkali-kali Fajar mengantar Rina pulang. Aku tidak yakin mereka tidak melakukan hal yang kotor selama diperjalanan. Berduaan di dalam mobil dengan yang bukan muhrim, yang ketiganya pasti setan. Mungkin saja kan mereka sudah berbuat zina," ucap Doni berapi-api.
"Apa kamu tidak curiga dengan suamimu selama ini?" tanya Doni padaku.
"Aku sebenarnya pernah beberapa kali menemukan pesan di gawai suamiku yang berisi sayang-sayangan. Dan ternyata itu nomer HP-nya Rina. Tapi mas Fajar selalu bilang, kalau itu hanya iseng. Dia mengaku kalau itu kebiasaan dia dan teman-teman di pekerjaannya. Ada yang biasa panggil sayang, bebeb, cinta. Itu katanya sudah biasa," jawabku sambil menatap tajam mas Fajar karena merasa sudah dibohongi.
"Aku juga merasa heran, akhir-akhir ini Mas Fajar sering pulang telat, katanya sih meeting," tambahku.
"Kamu itu jadi istri polos banget, gampang banget ditipu suamimu. Berkali-kali dia ketahuan menggoda istriku. Bahkan berkali-kali juga aku memperingatkannya untuk tidak menggangu rumah tanggaku. Entah sudah berapa kali suamimu mengantar istriku pulang."
Doni terlihat menarik napas sejenak.
"Dan ini, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Kalau sampai terjadi lagi, jangan salahkah aku kalau kepalamu aku tebas," ucap Doni kepada mas Fajar sambil mendorong tubuhnya dan berlalu pergi dengan amarah.
Lututku seketika lemas. Aku ambruk ke lantai dengan hati yang hancur. Seketika air mataku mengalir deras. Hatiku sakit bagai diremas-remas.
"Sayang, ayo bangun. I-Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas akan jelaskan semuanya. Kamu jangan nangis ya!" bujuk mas Fajar sambil memegang bahuku berusaha membantuku untuk bangun.
"Lepas!" tatapku nyalang.
"Assalamu'alaikum."
Sepertinya Putra sudah pulang dari madrasah. Setiap sore dia belajar mengaji. Aku cepat-cepat menghapus air mataku.
"Wa'alaikum salam," jawabku sambil berusaha untuk tetap tersenyum dan merapikan jilbab yang kusut.
"Bunda, kok seperti habis nangis, kenapa?" tanyanya khawatir.
"Enggak, kok, Nak, bunda cuma perih kena bawang, kan habis masak. Sekarang Putra bantuin bunda nyiapin buat buka puasa, yuk."
"Siap Bunda," jawab Putra mengacungkan jempol.
"Kamu masih berhutang penjelasan padaku, Mas!" ucapku pelan sambil menatap tajam mas Fajar.
———————————————————————
Jarum jam yang menggantung di kamarku terus berdetak. Menunjukkan bahwa waktu terus berlalu. Tapi suamiku belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal aku sudah gelisah menunggu penjelasannya.Sepulang dari tarawih, suamiku menemani Putra di kamarnya. Ya, anakku itu memang sangat dekat dengan ayahnya. Seringkali meminta ayahnya untuk menemaninya sampai tertidur. Kalau Putra sudah tidur, barulah mas Fajar akan pindah ke kamar kami.
Gemercik suara hujan yang tidak terlalu deras di luar menyamarkan sunyinya malam ini. Bagaikan irama yang berlomba bersahutan dengan dentuman nada jantungku.
Duduk di atas tempat tidur sambil menyandarkan punggung ditopang dua buah bantal. Mata menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Aku masih berharap penjelasan mas Fajar nanti akan sedikit membuat lega hatiku. Ah, aku tidak ingin menduga-duga.
Trek
Suara knop pintu terdengar dibuka. Mas Fajar melangkah pelan masuk ke kamar kami. Ruangan berukuran cukup kecil ini tempat ternyaman bagi kami. Tempat kami berbagi cerita, tempat kami mencurahkan kasih sayang.
Duduk di sisi ranjang tepat disebelahku. Tangannya menyentuh pipiku dan mengecup dahiku sekilas.Cukup lama kami terdiam. Tanpa kata, tanpa suara. Beberapa menit dalam keheningan, akhirnya dia bersuara."Maafkan, Mas, Sayang!" ucapnya sambil menunduk."Apakah itu berarti semua yang Doni katakan itu benar, Mas? Apakah kamu berselingkuh dengan Rina?" tanyaku sambil mengguncang lengannya.Dia terlihat sedikit mengangguk tanpa berbicara sepatah katapun. Perih, sakit, itulah yang aku rasakan saat ini. Tapi aku harus kuat, aku harus tau, sudah sejauh mana hubungan mereka."Sejak kapan, Mas? Jujur padaku sudah sejauh mana hubungan kalian?" cecarku."Beberapa bulan ini Mas dan Rina memang dekat. Sejak Rina pulang ke rumah orang tuanya. Mas sering mengantarnya pulang. Mas tak ada niat sedikitpun untuk berkhianat. Mas hanya iba, mas kasihan padanya. Rina waktu itu sedang ada masalah dengan Doni, sehingga mereka pisah ranjang dan Rina pulang ke rumah orang tuanya. Sepulang kerja, mas sering melihatnya duduk sendirian di pinggir jalan untuk menunggu angkot. Awalnya mas abaikan. Tapi hari itu hujan sangat deras, waktu juga sudah hampir maghrib. Mas kasihan melihatnya. Akhirnya mas berinisiatif mengantarkannya pulang. Sejak saat itu, setiap kali hujan, mas selalu mengantarnya pulang." Cerita mas Fajar panjang lebar."Lalu?" tanyaku lagi.
Mas Fajar terlihat menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Akhirnya Mas dan dia makin dekat. Dia selalu mencurahkan isi hatinya pada Mas. Mas selalu berusaha menghiburnya. Apalagi dia sedang ada masalah rumah tangga. Dia butuh teman untuk bercerita. Dia terlihat sangat terpuruk. Dan Mas ga tega melihatnya."
"Dan Mas lebih tega padaku? Membohongiku, menyakitiku? Bagaimana cara Mas menghiburnya? Bagaimana cara mas menenangkannya? Bagaimanaaa?" tanyaku penuh emosi."Sama seperti Mas menenangkanmu saat kamu sedih, saat kamu terluka. Mas memeluknya. Maafkan Mas.""Kamu tega, Mas, kamu tega. Kamu berani memeluk dan menyentuh wanita lain dengan alasan kasian," ucapku sambil menangis tergugu."Apa lagi yang sudah kamu lakukan dengannya Mas? Apa kamu sudah menciumnya?" tanyaku sambil menatapnya tajam.Lagi lagi dia mengangguk.
Hancur sudah hatiku. Remuk. Sakit bagaikan diremas-remas. Air mataku semakin mengalir deras. Jawaban demi jawabannya membuatku semakin hancur. Meski sudah sangat terluka, aku tetap ingin melanjutkan menanyai mas Fajar.
"Bagian mana saja yang sudah Mas cium? Pipinya? Keningnya? Atau bibirnya? Jawab Mas," tanyaku sedikit berteriak."Semuanya. Maafkan Mas Sayang, maafkan, Mas. Mas khilaf," jawabnya sambil menggenggam tanganku.Repleks aku melepaskan genggamannya dan menutup mulutku. Sakit yang aku rasakan sudah tak tertahankan. Air mata pun tak henti mengalir bahkan semakin deras. "Jangan bilang kalau Mas dan dia juga sudah melakukan hal yang lebih dari itu! Atau memang benar. Apa kalian sudah sampai melakukan hubungan suami istri? Jawab Mas jawaabbb?" tanyaku sambil memukul mukul dadanya."Cukup Sayang, cukup. Maafkan, Mas. Intinya Mas sudah berkhianat padamu dan pada pernikahan kita. Maafkan Mas, Mas khilaf. Sudah ya, Dek," ucapnya sambil mengusap air mata di pipiku. "Jawab dulu pertanyanku Mas. Karena ini akan menentukan nasib rumah tangga kita ke depannya"."Ini bulan Ramadhan Dek, Mas tidak mau berbohong di bulan suci ini. Mas juga tidak mau menutupi semuanya dari kamu selamanya. Meskipun ini memang pasti akan menyakitkan, tapi Mas ingin jujur.""Itu artinya mMa sudah melakukan hubungan suami istri sama Rina, Mas? Begitukah maksudmu? Sudah sejauh itukah hubunganmu dengan Rina, mMa? Sudah berapa kali kalian melakukannya? Jawab Mas, tolong, jawab! Tanyaku dengan terus berderai air mata."Dua kali, Dek," ucapnya pelan.DuarrrrrJawaban mas Fajar bagaikan petir yang menggelegar.Hujan di luar terdengar semakin deras. Sesekali diikuti kilatan petir menggelegar. Seolah alam ikut merasakan kepedihanku. Kepedihan seorang istri yang didzolimi, dan tercerai-berai hatinya."Dua kali."Dua kata yang telah diucapkan pelan oleh suamiku, bak tamparan keras yang menghujam ulu hati. Perih, sakit tak terkira. Bagaikan ribuan jarum yang menancap bersamaan tepat dihatiku."Astaghfirullahal adzim," lirihku.Aku hanya bisa terus beristighfar untuk sedikit meredakan hati yang kini remuk redam.Ingin rasanya memukul, menendang, tapi apalah daya. Justru aku luruh, lemas lunglai tak berdaya. Seluruh tubuhku bergetar hebat seolah tidak sanggup menerima dahsyatnya rasa sakit yang kini harus ku rasakan."Maafkan, Mas, Sayang. Maafkan. Mas khilaf, Dek." Mas Fajar pun ikut menangis tergugu. Dia bahkan bersujud tepat di kakiku. Hingga kurasakan tetes demi
Pov FajarDengan gontai aku mencoba bangkit, berjalan pelan menuju pembaringan. Naik ke atasnya kemudian meringkuk sendirian. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan.Di kamar ini, di atas kasur ini. Biasanya setiap malam aku habiskan waktuku berdua bersama Ayu, istriku. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, atau sekedar menonton film di laptop bersama.Sambil bercerita, aku duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Ayu lebih senang berbaring sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku usap-usap rambutnya pelan hingga kadang membuatnya tertidur. Dia juga paling suka tiduran sambil dipijat kakinya perlahan. Setelah dia tertidur, tidak lupa ku selimuti tubuhnya, baru aku akan ikut berbaring di sampingnya.Ya, dia semanja itu. Dan aku sangat senang jika bisa memanjakannya.Bahkan sebelum tidur, tak jarang aku ucapkan kata i love you di telinganya, lalu kukecup keningnya.
PovFajarBerduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan
Pov FajarMenyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku."Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y
Pov FajarSelama beberapa hari aku berusaha terus menghindar dari Rina. Aku pun tidak pernah mengantarnya pulang lagi. Meski masih sering ku lihat dia duduk di pinggir jalan menunggu angkot seperti biasa. Tapi aku coba abaikan dan tak memperdulikannya.Rina memang pernah beberapa kali mengirim pesan padaku.[ Yang, masih sibuk ]Begitu isi pesannya. Entahlah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meminta aku mengantarnya pulang lagi. Tapi dia merasa canggung untuk berkata langsung. Aku lebih memilih mengabaikan pesannya tanpa sedikitpun berniat membalas.Tapi ternyata pesan itu lupa dihapus karena aku terburu-buru pulang. Dan pesan itu terbaca oleh Ayu yang memang sering meminjam ponselku. Aku dan Ayu memang tidak pernah mengunci ponsel kami. Sehingga kami bebas membukanya satu sama lain.Ayu marah, menangis, mendiamkanku sampai berhari-hari lamanya, meskipun aku sudah berkali-kali meminta maaf dan menjelaskan kalau itu hanya salah f
Dering alarm dari gawaiku terdengar menjerit-jerit, mengganggu tidurku yang terasa baru beberapa menit. Entah jam berapa aku tertidur. Mungkin hanya sekitar 2 jam, kurang lebih. Membuat kepalaku terasa sakit dan berat.Kulirik jam dinding yang tergantung di kamar Putra, ternyata sudah pukul tiga. Mau tidak mau aku cepat-cepat bangun untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.Kupercepat langkah untuk mematikan alarm agar tidak menggangu tidur Putra. Aku mencari sumber suara alarm itu, lupa menyimpannya dimana. Dan ternyata tergeletak di kursi ruang tamu. Lekas aku mematikannya.Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Basuhan air wudhu terasa begitu menyejukkan di kulitku.Kugelar sajadah untuk menunaikan salat malamku. Mengadu kepada Rob-ku atas semua masalah yang sedang aku alami. Biasanya manusia akan lebih khusuk dan dek
Aku harus kuat. Aku enggak boleh lemah. Untuk apa aku menangisi orang yang sudah tega menyakitiku. Aku harus fokus untuk masa depanku dan anakku. Aku masih punya Putra sebagai semangat dan kekuatanku.Kuatur napas baik-baik, menghirupnya lalu mengembuskannya. Beberapa kali. Kuusap jejak air mata di kedua pipi, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.Kubasuh wajah dengan air agar mataku tidak terlalu bengkak. Mengambil wudhu untuk melakukan sholat dhuha dan kembali menumpahkan semua segala sesak di dadaku hanya pada Rob-ku.Selesai salat bergegas aku menuju ke meja rias, sedikit memoleskan bedak diwajahku yang terlihat menyedihkan karena terlalu banyak menangis.Aku ingin sekali bercerita, tapi tidak tau harus bercerita kepada siapa. Rumahku memang dekat dengan rumah orang tuaku, tapi sekarang ibuku sedang pergi keluar kota untuk menemui ayah yang bekerja di sana. Jika aku bercerita kepada orang lain, aku takut aib rumah ta
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mata ini rasanya sulit sekali untuk terpejam. Sementara Putra yang ada di sampingku, sudah tidur dengan lelapnya. Meskipun banyak drama yang harus aku hadapi sejak buka puasa tadi.Putra terus saja menanyakan ayahnya kenapa belum pulang. Terpaksa aku berbohong. Aku bilang kalau Bu Yati, mertuaku sedang sakit. Jadi Mas Fajar menginap di sana untuk beberapa hari.Putra juga enggan pergi tarawih kalau tidak sama ayahnya."Putra mau pergi tarawih sama ayah, Bun, kalau enggak sama ayah, Putra di rumah saja!" rengeknya manja sambil melipat kedua tangannya di dada."Kan ada bunda yang nemenin Putra? Berangkat sama ayah ataupun bunda sama saja. Yang penting niat kita kan ibadah. Sayang lho, tarawih itu kan cuma di bulan Ramadhan saja. Lagian nanti kan di masjid banyak teman-teman Putra," bujukku sambil berjongkok dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Sentuhan Haram SuamikuExtra part"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Riuh terdengar kata 'sah' dari semua orang yang berada di ruangan besar bercat nuansa putih tersebut.Di depan sana, Mas Fajar terlihat masih gagah dan tampan dengan balutan jas hitam senada dengan celana yang dikenakan. Tangannya terlihat berkali-kali mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ketegangan yang tadi begitu tergambar jelas dari wajahnya, kini berangsur hilang berganti kelegaan dan keharuan.Gadis 20 tahun yang duduk di sampingku, meremas pelan tanganku, lalu menggenggamnya erat. Aku menoleh, dia tersenyum simpul sambil mengusap jejak air mata yang tadi sempat jatuh di pipi.Ya, gadis itu bernama Fitri. Anak ketiga dariku dan Mas Fajar. Dua bulan setelah liburan berdua bersama Mas Fajar, aku dinyatakan hamil. Sungguh anugrah yang luar biasa. Menambah keharmonisan keluarga kami yang sebelumnya memang telah kembali harmonis.Di sisi yang lain,
Sentuhan Haram SuamikuSelalu ada harapan ketika kita masih mengingat Alloh. Aku selalu yakin, Rob-ku akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya.Aku dan Neni terus menjaga Mas Fajar bergantian. Neni sempat pulang dulu tadi siang untuk membawa baju ganti untuknya sekaligus untukku. Juga keperluan lainnya selama kami berada di RS. Sesekali aku melakukan video call dengan ibu dan anak-anak. Melepaskan kerinduan yang menggelayut dalam dada.Tak lupa aku selalu berbisik tepat di telinga Mas Fajar yang sedang melawan maut, untuk berjuang agar bisa kembali bersama di tengah-tengah keluarga kecil kami. Selalu kubisikkan kata-kata penyemangat untuknya. Berharap meskipun dia belum sadar, tapi mampu mendengar apa yang kukatakan.Setiap selesai salat 5 waktu di masjid RS yang letaknya tak begitu jauh dari ruang ICU, tak henti-hentinya aku mengiba, tak hentinya aku merayu pada sa
Sentuhan Haram SuamikuAroma kayu putih samar terendus penciumanku. Perlahan aku membuka mata. Kepala masih sedikit terasa pusing."Yu, kamu kenapa?" Ibu terlihat cemas. Tangan beliau terus saja menggosok kakiku.Pertanyaan ibu membuatku mengingat telepon yang baru saja aku terima."Mas Fajar, Bu." Aku menangis meraung-raung."Fajar, kenapa?" tanya ibu panik."Mas Fajar kecelakaan."Aku terus saja menangis, tak mempedulikan adanya anak-anak yang memperhatikan dengan mimik tak mengerti."Astaghfirullah, Yu. Terus sekarang gimana? Di mana?" tanya ibu lagi."Tadi polisi bilang, Mas Fajar sudah dibawa ke RS Mitra Husada.""Kamu tenang. Tarik napas dalam-dalam, istighfar. Kamu harus ke sana sekarang. Tapi kami harus tenangkan diri dulu," ujar Ibu.Aku pun menurut. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan."Ini sudah malam, Bu
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu tidak tau, betapa kesepiannya aku setiap hari sendirian di rumah. Apalagi kalau anak-anak sudah tidur. Sementara kamu juga belum pulang. Harus sama siapa aku bercerita, Mas? Coba lihat kembali ponselmu, apa kamu sering mengirimkan pesan untukku? Jarang bukan? Kalau bukan aku duluan yang mengirimkan pesan, sekedar untuk bertanya, apa Mas sudah makan siang atau belum." Aku berbicara dengan nada lumayan tinggi, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.Air mata terus saja berjatuhan. Membasahi pipi yang tadi sempat dipoles bedak.Mas Fajar memegang kedua bahuku, merengkuh tubuhku dalam pelukannya."Maafkan aku, ya, Dek. Semua ini memang salahku. Aku belum bisa membahagiakanmu. Hanya luka dan air mata yang selalu aku berikan padamu. Maafkan aku, jika perhatianku padamu berkurang akhir-akhir ini," ucap Mas Fajar dengan suara parau. Tubuhnya masih memeluk tubuhku. Kurasakan guncangan dari tubuhnya. Ternyata dia ikut m
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu nggak usah khawatir, aku baik-baik saja. Semua itu hanya masa lalu. Suamiku hanya sedang khilaf waktu itu. Tapi bukan berarti dia suami yang tidak baik. Toh tidak ada manusia yang benar-benar sempurna." Akhirnya aku menjawab setelah aku bisa mengontrol hatiku menjadi lebih stabil."Syukurlah kalau begitu. Semoga suamimu tidak lagi menyakiti wanita baik sepertimu. Kalau kamu merasa tersakiti lagi, jangan ragu untuk pergi. Ingat, di luar sana masih banyak yang mengidamkan wanita baik dan setia sepertimu, termasuk aku." Ucapan Bambang membuatku merasa sedikit tak nyaman. Aku jadi salah tingkah. Takut kalau ternyata Bambang benar-benar masih mengharapkanku."Aku pulang dulu, ya. Sudah lewat waktu duhur ini." Aku melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan. "Anak-anak juga sebentar lagi sudah waktunya tidur siang," lanjutku lagi.Bambang mengangguk ragu. Dari wajahnya masih tergambar jelas kecemasan.
Sentuhan Haram Suamiku[ Jangannnn][ Memangnya kenapa kalo aku ke rumahmu?][ Ya ... ga apa-apa sih, nggak enak aja sama tetangga. Kecuali lagi ada suamiku di rumah.][ Ogah, ah. Suamimu kan ga suka sama aku.]Ya, memang benar. Mas Fajar memang ga suka sama Bambang. Teringat kejadian beberapa belas tahun lalu, saat aku masih kuliah. Bambang yang sedang pulang ke kota ini, memintaku menemaninya mencari buku di mall dekat kampusku kuliah. Sore, sekitar pukul empat sore setelah habis mata kuliah, aku pun menemani Bambang sesuai permintaannya. Setelah buku yang dicari Bambang ditemukan, dia mengajakku untuk makan terlebih dahulu di food court yang ada di lantai tiga mall terbesar di kotaku itu. Entah dapat informasi dari mana, ternyata Mas Fajar mengetahuinya. Malam itu malam Minggu. Mas Fajar menemuiku dan menanyakan langsung padaku. Aku menjawabnya dengan jujur, toh aku dan Bambang hanya teman, dan kami tidak melakukan apapun. Tapi Mas
Sentuhan Haram Suamiku[ Bambang, ya?]Kuketik balasan mencoba menanyakan langsung. Takutnya salah menebak. Meskipun sebenarnya aku yakin dia.[Alhamdulillah sekarang sudah ingat]Ternyata memang benar ini nomor Bambang.[ He, iya ][ Kok, cuma gitu jawabannya][ Emang harusnya gimana?][ Aku, kan, tadi tanya, sudah tidur belum?][ Kalau aku sudah tidur, terus siapa yang balas chat ini.][ Eh, iya. Bener juga. Tapi ... bisa jadi suami kamu kan.][ Suamiku belum pulang. Lembur dia. Kerjaannya lagi lumayan banyak. ][ Oh, kasihan dong. Kesepian. Boleh aku temenin?][ Iihhh ... enak aja.][ Temenin chatingan maksudnya. Kamu mikirnya apa, hayooo?][ Ga mikir apa-apa ][ Anak-anak kamu udah tidur belum?][ Udah. Baru saja pada tidur.][ Berarti kamu sendirian dong. Aku masih kangen sama kamu. Udah lama banget ga ketemu. Sekalinya ketemu t
Sentuhan Haram SuamikuSenyum terkembang di bibirku saat motor yang dikendarai melaju santai. Ya, aku terbiasa membawa motor dengan pelan. Pernah dulu terburu-buru mengendarai motor karena ada urusan penting, malah jatuh terperosok ke pinggir selokan. Hal itu menyebabkan badanku terasa remuk, kakiku terluka dan tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Sejak saat itu, Mas Fajar melarangku untuk kembali membawa motor. Tapi aku protes, keberatan. Akhirnya Mas Fajar mengijinkan kembali membawa sepeda motor dengan syarat pelan-pelan dan hanya jarak dekat.Dari kaca spion, terlihat mobil Faj*ro hitam persis seperti milik Bambang membuntutiku. Tadi, aku sempat melihat plat nomornya, jadi bisa dipastikan itu memang benar mobil Bambang. Tapi untuk apa dia mengikutiku? Ah, mungkin hanya kebetulan dia akan pergi ke arah yang sama denganku.Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku. Tak ingin kembal
Sentuhan Haram SuamikuDuh ... gimana ya? Mau nolak, tapi ga enak. Lagipula, cuma ngobrol sambil minum, apa salahnya? Benar yang dikatakan Bambang, ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun yang lalu.Bambang adalah temanku waktu SMA. Bahkan, aku mengenal Bambang terlebih dahulu sebelum mengenal Mas Fajar. Kami dulu cukup dekat. Meski hanya sebatas teman, tapi Bambang selalu memperlakukanku dengan istimewa. Karena perhatiannya, dulu aku pun sempat naksir sama dia. Tapi karena dia tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, aku mundur pelan-pelan sampai aku bertemu Mas Fajar dan jatuh hati padanya.Bambang memang tidak pernah mengatakan langsung 'aku mencintaimu', tapi dia selalu bilang padaku dan semua teman-temannya bahwa suatu saat, jika dia sudah sukses akan datang melamar-ku. Bahkan saat Bambang tahu aku jadian sama Mas Fajar, karena sering melihatku di antar jemput, Bambang pernah bilang, 'sekarang kamu boleh pacaran sama siapa saja