Berduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.
Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.
Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.
Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan masih melekat di kepalanya.
"Maafkan aku. Aku tidak pernah berniat berbuat sejauh ini denganmu. Maafkan aku yang telah lancang padamu." Aku berkata pelan sambil merapikan bajuku yang berantakan. Aku benar-benar malu.
Aku mengusap wajah dengan kasar. Sadar kalau aku dan Rina sudah membuat kesalahan besar, bahkan teramat besar. Kami sudah mengkhianati pernikahan kami masing-masing.
"Mas, tentang saja. Aku jamin tidak akan ada orang yang tau dengan apa yang sudah terjadi barusan. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita," ujar Rina seolah menenangkanku yang memang terlihat sangat gelisah.
Aku hanya mengangguk lemah.
Bayangan Ayu dan Putra sedang tertawa bahagia menari-nari di pelupuk mata. Kebersamaan kami yang begitu bahagia semakin terlihat nyata dalam bayangan itu. Rasanya aku tidak sanggup kalau suatu saat harus kehilangan mereka karena dosa yang telah aku lakukan. Tapi kini semuanya sudah terlanjur terjadi. Aku terlanjur telah mengkhianatinya. Aku terlanjur mengkhianati pernikahan suci kami.
Kringgg Kringggg kringggg
Panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Kuambil benda pipih itu dari dalam tas kerja yang disimpan di jok sebelah. Ternyata Ayu yang menelepon. Dia pasti khawatir karena aku belum pulang dan aku juga tidak mengabarinya.
Aku mengabaikan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya. Aku belum sanggup berbicara dengannya. Hatiku masih begitu berdebar. Masih belum percaya dengan apa yang telah kulakukan barusan.
"Ayo pulang," ucapku pada Rina sambil membuka pintu mobil dan pindah kembali ke depan untuk mengemudi.
Aku mengemudi dengan perasaan kacau. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Menyelami perasaan bersalah pada pasangan masing-masing. Andai waktu bisa diputar, aku ingin semua ini tidak pernah terjadi. Aku telah melakukan dosa yang sangat besar. Aku telah berzina. Aku begitu kotor, aku begitu hina.
Aku telah mengkhianati Ayu. Aku juga telah mengkhianati Doni. Aku menyakiti mereka. Semoga saja apa yang Rina katakan tadi benar. Kalau semua ini hanya akan menjadi rahasia kami berdua.
"Mas stop mas, sudah sampai," ucap Rina sambil menepuk bahuku pelan.
"Oh iya, maaf." Aku menginjak pedal rem.
"Makasih, ya mas. Hati-hati pulangnya. Jangan sambil ngelamun," pesan Rina sambil membuka pintu mobil dan segera turun.
Bagaimana aku bisa konsentrasi menyetir kalau pikiranku kemana-mana. Pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak, ini untuk pertama kalinya aku menyentuh tubuh wanita lain, wanita yang begitu haram untukku.
Meski begitu, aku tetap melajukan mobilku. Menyusuri jalanan menuju rumahku. Tempat orang yang begitu ku sayangi menunggu.
Kriingg kringg kringgg
Lagi-lagi gawaiku berbunyi. Itu pasti Ayu lagi. Aku segera menepikan mobil ke pinggir untuk mengangkat telepon dari Ayu.
"Assalamu'alaikum, Mas. Kamu, kok, belum pulang? Kamu juga enggak ngabarin aku. Biasanya juga kalau telat suka ngabarin dulu. Aku khawatir, Mas." Ayu memberondongku dengan pertanyaan sesaat setelah aku mengangkat teleponnya.
Aku menarik napas dalam agar sedikit tenang, berharap rongga dada yang sesak terisi kembali dengan sedikit oksigen.
"Wa'alaikum salam, Sayang. Ini Mas sudah di jalan kok. Maaf Mas tadi ada meeting, sibuk banget jadi enggak sempat ngabarin. Maaf ya?" jawabku berbohong.
"Oh gitu ya, Mas? Ya sudah enggak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja. Enggak tau kenapa perasaanku ga enak. Aku takut terjadi apa-apa kalau Mas enggak ada ngabarin," ucapnya lagi dengan nada cemas.
"Mas, baik-baik saja, kok, Sayang. Kamu ga usah khawatir. Kamu mau titip apa?" tanyaku.
"Ga usah, Mas. Aku masak opor ayam kampung kesukaanmu. Aku juga bikin bolu pandan keju," jawabnya.
"Ya sudah kalau gitu, Mas lanjut jalan lagi ya, biar cepat sampai. Tolong siapkan air hangat buat Mas mandi," pintaku.
"Siap, Mas. Hati-hati dijalan." Sambungan pun terdengar terputus.
Aku kembali menancap gas. Membelah jalanan yang licin bekas guyuran air hujan. Mencoba menenangkan hati. Sambil terus berdoa agar Ayu tidak pernah curiga apalagi mengetahui apa yang sudah dilakukanku dengan Rina.
***
Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah. Aku pijit klakson mobil agar Ayu tau aku sudah datang.Ayu terlihat keluar dari rumah. Berdiri di depan pintu sambil tersenyum, menungguku turun dari mobil. Wanita yang sudah menemaniku selama delapan tahun itu mengenakan home dress merah muda selutut dengan sedikit motif bunga-bunga. Rambutnya di ikat ke atas. Cantik sekali.
Bergegas aku turun dan segera menghampirinya sambil mengucapkan salam. Seperti biasa, dia akan mengulurkan tangannya untuk mencium tanganku. Dengan ragu aku pun mengulurkan tanganku. Tangan kotor yang beberapa saat yang lalu telah menyentuh wanita lain selain istriku.
"Capek ya, Mas?" tanyanya sambil mengambil tas kerja dari tanganku.
"Yuk, masuk. Aku sudah siapkan teh hangat. Air hangat untuk mandi juga udah siap," lanjutnya lagi.
Hatiku serasa tercabik. Di sini dia menungguku dengan setia, tapi di luar aku justru mengkhianatinya.
"Maafkan aku, istriku. Ampuni aku," gumamku dalam hati sambil berjalan mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Di dalam basuhan air hangat aku menangis tergugu. Menangisi kebodohanku yang telah mengkhianati Ayu. Aku mulai membasuh tubuhku. Namun sebelumnya aku berwudu dahulu. Aku ingin bersuci dari hadas besar yang telah bersetubuh. Tapi apa mungkin mandi junubku di terima. Sementara aku melakukannya dengan wanita lain, bukan dengan wanita yang telah halal untukku.
Aku basuh jengkal demi jengkal tubuhku yang hina. Tubuh yang telah berbagi peluh dengan wanita lain.
Setelah selesai mandi, aku keluar kamar mandi hanya dengan berbalut handuk.
"Tumben kamu keramas lagi, Mas? Bukankah tapi pagi sudah keramas?" tanya Ayu yang ternyata sedang memperhatikanku. Bersidekap kedua tangannya di dada sambil bersender di pinggir ranjang.
"I-Iya, dek. Kepala mas gatel. Soalnya tadi siang kan panas banget, gerah," jawabku tergagap sambil pura-pura membuka pintu lemari yang ada di sebelah ranjang tidur kami untuk menutupi kegugupanku.
Pov FajarMenyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku."Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y
Pov FajarSelama beberapa hari aku berusaha terus menghindar dari Rina. Aku pun tidak pernah mengantarnya pulang lagi. Meski masih sering ku lihat dia duduk di pinggir jalan menunggu angkot seperti biasa. Tapi aku coba abaikan dan tak memperdulikannya.Rina memang pernah beberapa kali mengirim pesan padaku.[ Yang, masih sibuk ]Begitu isi pesannya. Entahlah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meminta aku mengantarnya pulang lagi. Tapi dia merasa canggung untuk berkata langsung. Aku lebih memilih mengabaikan pesannya tanpa sedikitpun berniat membalas.Tapi ternyata pesan itu lupa dihapus karena aku terburu-buru pulang. Dan pesan itu terbaca oleh Ayu yang memang sering meminjam ponselku. Aku dan Ayu memang tidak pernah mengunci ponsel kami. Sehingga kami bebas membukanya satu sama lain.Ayu marah, menangis, mendiamkanku sampai berhari-hari lamanya, meskipun aku sudah berkali-kali meminta maaf dan menjelaskan kalau itu hanya salah f
Dering alarm dari gawaiku terdengar menjerit-jerit, mengganggu tidurku yang terasa baru beberapa menit. Entah jam berapa aku tertidur. Mungkin hanya sekitar 2 jam, kurang lebih. Membuat kepalaku terasa sakit dan berat.Kulirik jam dinding yang tergantung di kamar Putra, ternyata sudah pukul tiga. Mau tidak mau aku cepat-cepat bangun untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.Kupercepat langkah untuk mematikan alarm agar tidak menggangu tidur Putra. Aku mencari sumber suara alarm itu, lupa menyimpannya dimana. Dan ternyata tergeletak di kursi ruang tamu. Lekas aku mematikannya.Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Basuhan air wudhu terasa begitu menyejukkan di kulitku.Kugelar sajadah untuk menunaikan salat malamku. Mengadu kepada Rob-ku atas semua masalah yang sedang aku alami. Biasanya manusia akan lebih khusuk dan dek
Aku harus kuat. Aku enggak boleh lemah. Untuk apa aku menangisi orang yang sudah tega menyakitiku. Aku harus fokus untuk masa depanku dan anakku. Aku masih punya Putra sebagai semangat dan kekuatanku.Kuatur napas baik-baik, menghirupnya lalu mengembuskannya. Beberapa kali. Kuusap jejak air mata di kedua pipi, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.Kubasuh wajah dengan air agar mataku tidak terlalu bengkak. Mengambil wudhu untuk melakukan sholat dhuha dan kembali menumpahkan semua segala sesak di dadaku hanya pada Rob-ku.Selesai salat bergegas aku menuju ke meja rias, sedikit memoleskan bedak diwajahku yang terlihat menyedihkan karena terlalu banyak menangis.Aku ingin sekali bercerita, tapi tidak tau harus bercerita kepada siapa. Rumahku memang dekat dengan rumah orang tuaku, tapi sekarang ibuku sedang pergi keluar kota untuk menemui ayah yang bekerja di sana. Jika aku bercerita kepada orang lain, aku takut aib rumah ta
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mata ini rasanya sulit sekali untuk terpejam. Sementara Putra yang ada di sampingku, sudah tidur dengan lelapnya. Meskipun banyak drama yang harus aku hadapi sejak buka puasa tadi.Putra terus saja menanyakan ayahnya kenapa belum pulang. Terpaksa aku berbohong. Aku bilang kalau Bu Yati, mertuaku sedang sakit. Jadi Mas Fajar menginap di sana untuk beberapa hari.Putra juga enggan pergi tarawih kalau tidak sama ayahnya."Putra mau pergi tarawih sama ayah, Bun, kalau enggak sama ayah, Putra di rumah saja!" rengeknya manja sambil melipat kedua tangannya di dada."Kan ada bunda yang nemenin Putra? Berangkat sama ayah ataupun bunda sama saja. Yang penting niat kita kan ibadah. Sayang lho, tarawih itu kan cuma di bulan Ramadhan saja. Lagian nanti kan di masjid banyak teman-teman Putra," bujukku sambil berjongkok dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Matahari terlihat sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya begitu hangat masuk ke dalam rumahku melalui kaca jendela yang sudah terbuka tirainya sedari tadi.Sementara aku masih berada di tempat tidur, lengkap dengan selimut yang masih membelit tubuhku. Biasanya setelah solat subuh dan bertadarus, aku langsung berkutat dengan segala rutinitasku. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai. Tapi entah kenapa hari ini rasanya aku malas untuk mengerjakan apapun. Kepalaku rasanya pusing. Perutku juga mual. Ah, ini pasti gara-gara aku tidur lagi setelah subuh. Bukankah setelah subuh itu harusnya jangan tidur lagi? Begitu yang aku tahu menurut kesehatan.Dengan berat aku mulai menurunkan kakiku. Menapakkan kedua kakiku ke dasar lantai yang justru masih terasa dingin di kulit. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan hari ini. Selain mengerjakan pekerjaan rumahku, aku juga harus membersihkan rumah
Duduk di kursi sambil memainkan jari-jari tanganku untuk sedikit meredakan ketegangan. Sementara Bidan Leni terlihat sedang menunggu hasil dari test pack itu dengan terus memegangnya dan memperhatikannya. "Selamat ya, Ibu ternyata positif hamil," ucap Bidan Leni sambil menyerahkan benda pipih kecil berwarna putih biru tersebut. Aku menerima benda itu, sedikit tertegun melihat dua garis merah di alat tes kehamilan itu. "Silakan naik ke sini, Bu!" lanjut Bidan Leni sambil menepuk ranjang pasien yang terletak tak jauh dari mejanya. Aku mulai menghampiri dan berbaring di atas ranjang tersebut. Bidan Leni kemudian memeriksa perutku dengan sedikit menekannya. Dan kembali memeriksa tensi darahku. "Sudah, Bu. Ibu duduk kembali ya!" ujar Bidan Leni yang kembali duduk di kursinya. Aku pun mengikutinya dan duduk berhadapan dengan Bidan Leni. "Usia kehamilan Ibu sepertinya masih sangat muda. Diperkirakan mungkin masih se
SENTUHAN HARAM SUAMIKUBab 15Pov FajarSudah tiga hari aku tidak pulang ke rumahku. Rasanya kangen sekali pada Ayu juga Putra. Entah apa yang akan kurasakan kalau sampai aku harus benar-benar berpisah dengan Ayu. Sepertinya aku tidak akan sanggup. Tidak bertemu tiga hari saja, rasanya bagaikan tiga tahun.Aku tahu kesalahanku sangat fatal. Sudah menyakiti Ayu dan mengkhianati pernikahan kami. Tapi aku benar-benar tidak ingin berpisah dengannya. Aku sangat mencintainya. Aku tidak tahu harus bagaimana agar Ayu sudi memaafkanku dan memberikan kesempatan kedua kepadaku.Setiap hari aku mencoba mengirim pesan pada Ayu. Tapi tak pernah di responnya walaupun Ayu membukanya. Apa Ayu sangat membenciku sekarang? Ah, pertanyaan macam apa ini. Sudah pasti dia sangat membenciku."Pak Fajar, tolong di selesaikan dengan segera ya, berkas-berkas ini!" Perkataan Yuni, asisten atasanku membuyarkan lamunanku sambil menyimpan setumpuk berkas di meja kerjaku.
Sentuhan Haram SuamikuExtra part"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Riuh terdengar kata 'sah' dari semua orang yang berada di ruangan besar bercat nuansa putih tersebut.Di depan sana, Mas Fajar terlihat masih gagah dan tampan dengan balutan jas hitam senada dengan celana yang dikenakan. Tangannya terlihat berkali-kali mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ketegangan yang tadi begitu tergambar jelas dari wajahnya, kini berangsur hilang berganti kelegaan dan keharuan.Gadis 20 tahun yang duduk di sampingku, meremas pelan tanganku, lalu menggenggamnya erat. Aku menoleh, dia tersenyum simpul sambil mengusap jejak air mata yang tadi sempat jatuh di pipi.Ya, gadis itu bernama Fitri. Anak ketiga dariku dan Mas Fajar. Dua bulan setelah liburan berdua bersama Mas Fajar, aku dinyatakan hamil. Sungguh anugrah yang luar biasa. Menambah keharmonisan keluarga kami yang sebelumnya memang telah kembali harmonis.Di sisi yang lain,
Sentuhan Haram SuamikuSelalu ada harapan ketika kita masih mengingat Alloh. Aku selalu yakin, Rob-ku akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya.Aku dan Neni terus menjaga Mas Fajar bergantian. Neni sempat pulang dulu tadi siang untuk membawa baju ganti untuknya sekaligus untukku. Juga keperluan lainnya selama kami berada di RS. Sesekali aku melakukan video call dengan ibu dan anak-anak. Melepaskan kerinduan yang menggelayut dalam dada.Tak lupa aku selalu berbisik tepat di telinga Mas Fajar yang sedang melawan maut, untuk berjuang agar bisa kembali bersama di tengah-tengah keluarga kecil kami. Selalu kubisikkan kata-kata penyemangat untuknya. Berharap meskipun dia belum sadar, tapi mampu mendengar apa yang kukatakan.Setiap selesai salat 5 waktu di masjid RS yang letaknya tak begitu jauh dari ruang ICU, tak henti-hentinya aku mengiba, tak hentinya aku merayu pada sa
Sentuhan Haram SuamikuAroma kayu putih samar terendus penciumanku. Perlahan aku membuka mata. Kepala masih sedikit terasa pusing."Yu, kamu kenapa?" Ibu terlihat cemas. Tangan beliau terus saja menggosok kakiku.Pertanyaan ibu membuatku mengingat telepon yang baru saja aku terima."Mas Fajar, Bu." Aku menangis meraung-raung."Fajar, kenapa?" tanya ibu panik."Mas Fajar kecelakaan."Aku terus saja menangis, tak mempedulikan adanya anak-anak yang memperhatikan dengan mimik tak mengerti."Astaghfirullah, Yu. Terus sekarang gimana? Di mana?" tanya ibu lagi."Tadi polisi bilang, Mas Fajar sudah dibawa ke RS Mitra Husada.""Kamu tenang. Tarik napas dalam-dalam, istighfar. Kamu harus ke sana sekarang. Tapi kami harus tenangkan diri dulu," ujar Ibu.Aku pun menurut. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan."Ini sudah malam, Bu
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu tidak tau, betapa kesepiannya aku setiap hari sendirian di rumah. Apalagi kalau anak-anak sudah tidur. Sementara kamu juga belum pulang. Harus sama siapa aku bercerita, Mas? Coba lihat kembali ponselmu, apa kamu sering mengirimkan pesan untukku? Jarang bukan? Kalau bukan aku duluan yang mengirimkan pesan, sekedar untuk bertanya, apa Mas sudah makan siang atau belum." Aku berbicara dengan nada lumayan tinggi, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.Air mata terus saja berjatuhan. Membasahi pipi yang tadi sempat dipoles bedak.Mas Fajar memegang kedua bahuku, merengkuh tubuhku dalam pelukannya."Maafkan aku, ya, Dek. Semua ini memang salahku. Aku belum bisa membahagiakanmu. Hanya luka dan air mata yang selalu aku berikan padamu. Maafkan aku, jika perhatianku padamu berkurang akhir-akhir ini," ucap Mas Fajar dengan suara parau. Tubuhnya masih memeluk tubuhku. Kurasakan guncangan dari tubuhnya. Ternyata dia ikut m
Sentuhan Haram Suamiku"Kamu nggak usah khawatir, aku baik-baik saja. Semua itu hanya masa lalu. Suamiku hanya sedang khilaf waktu itu. Tapi bukan berarti dia suami yang tidak baik. Toh tidak ada manusia yang benar-benar sempurna." Akhirnya aku menjawab setelah aku bisa mengontrol hatiku menjadi lebih stabil."Syukurlah kalau begitu. Semoga suamimu tidak lagi menyakiti wanita baik sepertimu. Kalau kamu merasa tersakiti lagi, jangan ragu untuk pergi. Ingat, di luar sana masih banyak yang mengidamkan wanita baik dan setia sepertimu, termasuk aku." Ucapan Bambang membuatku merasa sedikit tak nyaman. Aku jadi salah tingkah. Takut kalau ternyata Bambang benar-benar masih mengharapkanku."Aku pulang dulu, ya. Sudah lewat waktu duhur ini." Aku melirik jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan. "Anak-anak juga sebentar lagi sudah waktunya tidur siang," lanjutku lagi.Bambang mengangguk ragu. Dari wajahnya masih tergambar jelas kecemasan.
Sentuhan Haram Suamiku[ Jangannnn][ Memangnya kenapa kalo aku ke rumahmu?][ Ya ... ga apa-apa sih, nggak enak aja sama tetangga. Kecuali lagi ada suamiku di rumah.][ Ogah, ah. Suamimu kan ga suka sama aku.]Ya, memang benar. Mas Fajar memang ga suka sama Bambang. Teringat kejadian beberapa belas tahun lalu, saat aku masih kuliah. Bambang yang sedang pulang ke kota ini, memintaku menemaninya mencari buku di mall dekat kampusku kuliah. Sore, sekitar pukul empat sore setelah habis mata kuliah, aku pun menemani Bambang sesuai permintaannya. Setelah buku yang dicari Bambang ditemukan, dia mengajakku untuk makan terlebih dahulu di food court yang ada di lantai tiga mall terbesar di kotaku itu. Entah dapat informasi dari mana, ternyata Mas Fajar mengetahuinya. Malam itu malam Minggu. Mas Fajar menemuiku dan menanyakan langsung padaku. Aku menjawabnya dengan jujur, toh aku dan Bambang hanya teman, dan kami tidak melakukan apapun. Tapi Mas
Sentuhan Haram Suamiku[ Bambang, ya?]Kuketik balasan mencoba menanyakan langsung. Takutnya salah menebak. Meskipun sebenarnya aku yakin dia.[Alhamdulillah sekarang sudah ingat]Ternyata memang benar ini nomor Bambang.[ He, iya ][ Kok, cuma gitu jawabannya][ Emang harusnya gimana?][ Aku, kan, tadi tanya, sudah tidur belum?][ Kalau aku sudah tidur, terus siapa yang balas chat ini.][ Eh, iya. Bener juga. Tapi ... bisa jadi suami kamu kan.][ Suamiku belum pulang. Lembur dia. Kerjaannya lagi lumayan banyak. ][ Oh, kasihan dong. Kesepian. Boleh aku temenin?][ Iihhh ... enak aja.][ Temenin chatingan maksudnya. Kamu mikirnya apa, hayooo?][ Ga mikir apa-apa ][ Anak-anak kamu udah tidur belum?][ Udah. Baru saja pada tidur.][ Berarti kamu sendirian dong. Aku masih kangen sama kamu. Udah lama banget ga ketemu. Sekalinya ketemu t
Sentuhan Haram SuamikuSenyum terkembang di bibirku saat motor yang dikendarai melaju santai. Ya, aku terbiasa membawa motor dengan pelan. Pernah dulu terburu-buru mengendarai motor karena ada urusan penting, malah jatuh terperosok ke pinggir selokan. Hal itu menyebabkan badanku terasa remuk, kakiku terluka dan tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Sejak saat itu, Mas Fajar melarangku untuk kembali membawa motor. Tapi aku protes, keberatan. Akhirnya Mas Fajar mengijinkan kembali membawa sepeda motor dengan syarat pelan-pelan dan hanya jarak dekat.Dari kaca spion, terlihat mobil Faj*ro hitam persis seperti milik Bambang membuntutiku. Tadi, aku sempat melihat plat nomornya, jadi bisa dipastikan itu memang benar mobil Bambang. Tapi untuk apa dia mengikutiku? Ah, mungkin hanya kebetulan dia akan pergi ke arah yang sama denganku.Aku pun kembali fokus pada jalanan di depanku. Tak ingin kembal
Sentuhan Haram SuamikuDuh ... gimana ya? Mau nolak, tapi ga enak. Lagipula, cuma ngobrol sambil minum, apa salahnya? Benar yang dikatakan Bambang, ini pertemuan pertama kami setelah belasan tahun yang lalu.Bambang adalah temanku waktu SMA. Bahkan, aku mengenal Bambang terlebih dahulu sebelum mengenal Mas Fajar. Kami dulu cukup dekat. Meski hanya sebatas teman, tapi Bambang selalu memperlakukanku dengan istimewa. Karena perhatiannya, dulu aku pun sempat naksir sama dia. Tapi karena dia tak pernah sekalipun mengungkapkan perasaannya, aku mundur pelan-pelan sampai aku bertemu Mas Fajar dan jatuh hati padanya.Bambang memang tidak pernah mengatakan langsung 'aku mencintaimu', tapi dia selalu bilang padaku dan semua teman-temannya bahwa suatu saat, jika dia sudah sukses akan datang melamar-ku. Bahkan saat Bambang tahu aku jadian sama Mas Fajar, karena sering melihatku di antar jemput, Bambang pernah bilang, 'sekarang kamu boleh pacaran sama siapa saja