"Lihat tuh si Reina udah gede aja perutnya, padahal kan baru aja nikah. Jangan-jangan dia udah nyicil duluan," seru Mak Ida.
"Nyicil bagaimana maksudnya, Mak?" tanya Ratna heran.
"Maksudnya hamil duluan lah, wong anak jaman sekarang mana tahan, ha...ha...,"
suara tawa Mak Ida terdengar membahana.
"Apalagi suaminya Reina katanya punya hotel dan beberapa villa, di kota Batu. Pasti sering tuh berduaan di sana waktu dia masih kuliah di Malang," Mbak Risma ikut menambahi.
"Apalagi di rumah Reina kan udah gak ada orang tuanya, pasti mereka bebas berduaan dulu, ya gak?" Ratna menimpali.
"Kasihan ya, orang tuanya di alam kubur sana, pasti sedih lihat kelakuan anaknya," sahut Mak Ida.
"Iya," Ratna menyumbang suara.
Begitulah suasana warung Ratna setiap hari. Ada saja gosip hangat yang dibicarakan. Dari si A sampai si Z, tak luput dari mereka. Dan pembawa gosip paling handal tetap dipegang oleh Mak Ida. Mereka akan betah sekali nongkrong di warung Ratna dari pagi sampai tengah hari. Heran aku dibuatnya. Apa dalam hidup mereka hanya memikirkan hidup orang lain?.
Aku memang baru dua hari menikah dengan seorang Adityawan Ardhana, dosen muda di Universitas Brawijaya Malang. Tidak hanya itu, dia dan keluarganya juga mengelola sebuah hotel dan beberapa villa di kota Batu. Tapi, bukan berarti aku dengan gampangnya tidur dengan yang bukan mahrom seperti yang emak-emak katakan, apalagi sampai hamil diluar nikah. Astaghfirullah.
Astaghfirullah. Aku hanya beristighfar dalam hati. Aku memperlambat langkah kaki begitu mendengar emak-emak menggosip diriku. Mau pulang tanggung, warung Ratna sudah di depan mata.
Jujur, hati ini begitu sakit mendengar diri ini difitnah. Aku yang selama ini berusaha menjaga kehormatanku, justru Mak Ida yang menjatuhkanku. Tapi kalau semakin ditanggapi, akan semakin menjadi nanti.
Aku yang niatnya mau belanja ke warung jadi malas. Aku merutuki kesalahanku karena belanja kesiangan, ini jamnya emak-emak komplek ghibah mania di warung Ratna. Untung saja emak-emak yang lain belum datang. Akupun mempercepat langkah menuju warung.
"Ehem," rupanya dehemanku mengejutkan mereka.
"Eh, ada Mbak Reina, mau belanja apa, Mbak?" tanya Ratna salah tingkah.
"Mau beli pembalut," jawabku sekenanya. Puas hatiku membuat mak Ida dan gengnya bengong.
"Lho bukannya kamu hamil, Na?"
"Kata siapa, Mak?" ku jawab sesantai mungkin, padahal hati ini bergemuruh.
"Tadi, aku dengar kamu muntah-muntah," mak Ida heran.
"Muntah-muntah kan belum tentu hamil, Mak," jawabku.
"Jelas hamil lah, si Lina saja kemarin muntah-muntah kaya kamu gitu tiap pagi. Waktu dibawa ke dokter, katanya lagi hamil dua bulan. Langsung pingsan emaknya," mbak Risma menimpali.
"Si Lina anaknya Romlah?" tanya Mak Ida.
"Iya, Mak, siapa lagi. Kelihatannya saja itu anak alim, ternyata gampangan juga," Mbak Risma berucap sambil melirikku.
"Ih, amit-amit ya, anak jaman sekarang," sahut Ratna.
"Coba deh kamu periksa, Na. Pasti kamu hamil," Mak Ida menasihatiku.
Bukannya nasihat yang kudengar, tapi terasa sebuah sindiran. Padahal mbak mereka semua ini punya anak perempuan juga, kenapa gak dijaga ucapannya. Bagaimana coba kalau sampai anaknya hamil diluar nikah, bisa malu sekali pasti.
"Makanya, Na, kalau belum sah jangan mau di gituin duluan. Kalau sudah hamil, apa enggak malu?"
"Digituin gimana maksudnya, Mak?" aku pura-pura gak paham.
"Halah, pura-pura gak tahu, padahal sudah jago," Mak Ida kesal.
"Emang Reina gak tahu lho, Mak. Kan belum pengalaman kaya mbak Arum," aku mengedipkan mata sebelah yang membuat Mak Ida makin jengkel. Kulihat Mak Ida bibirnya mengerucut.
Mbak Arum adalah anak Mak Ida. Umurnya hanya selisih setahun denganku. Dulu kami sama-sama kuliah di Universitas Brawijaya, namun di semester lima, mbak Arum putus kuliah karena hamil di luar nikah dan orang tuanya malu. Lalu mereka secepatnya menikahkan mbak Arum.
"Na, kamu udah berapa bulan?. Udah periksa ke dokter belum?" Mak Ida memberondongku pertanyaan.
"Kenapa juga Reina harus periksa Mak, kan emang Reina belum hamil."
"Halah, aku sih gak percaya. Dasar anak zaman sekarang," sungut mak Ida sambil melengos pergi.
"Loh, Mak Ida kan belum di hitung belanjaannya," seru Ratna
"Hutang dulu, nanti aku bayar!" seru Mak Ida merasa tak berdosa.
"Tekor aku, Mak," Ratna frustasi.
"Gak ada seratus ribu juga ini belanjaan, gak usah lebay, nanti rejekimu seret," Mak Ida sok menasehati.
"Iya, seret gara-gara Mak ngutang terus." Ratna terlihat jengkel dengan kelakuan Mak Ida. Mak Ida tanpa merasa berdosa melenggang pergi.
"Ratna, belanjaanku mana?" setelah Mak Ida menghilang.
"Oh ya, lupa. Pembalut yang mana, Na?"
"Yang biasanya, Rat."
"Siap," sambil menyerahkan barangnya padaku.
"Ini uangnya, kembaliannya kasih permen aja, Rat."
"Terimakasih, Na," sambil menyerahkan permen padaku.
"Sama-sama," aku pun bergegas pulang.
"Mbak Risma aku duluan," pamitku
"Iya."
★★★★★
"Assalamualaikum, Mas Adit," ku edarkan pandangan namun tanda-tanda mas Adit tak nampak.
Ah biarlah, aku mau rebahan di kamar dulu. Pusing gara-gara Mak Ida yang menuduhku hamil duluan. Mungkin dia sudah hilang ingatan waktu anaknya jadi bahan gunjingan satu komplek setelah diketahui hamil di luar nikah.
"Wa alaikum salam, makmumku," Mas Adit yang hanya mengenakan handuk langsung ikut rebahan di sampingku. Rupanya dia habis mandi.
"Bangun-bangun, Mas. Tuh kan jadi basah kasurnya. Mas Adit sih habis mandi langsung tiduran. Aku gak suka ya, ada baju atau handuk basah di atas kasur," omelku.
Pantang bagiku ada pakaian nangkring di atas kasur, apalagi handuk basah. Big No.
"Habisnya kamu pagi-pagi tiduran aja sih, Aku kan jadi tergoda."
"Pagi-pagi pikiranmu jangan mesum, ya," sungutku kesal.
"Siapa sih yang mesum, aku kan cuma ikutan rebahan saja, Sayang," matanya mengerling sebelah.
"Tuh, kan matanya menggoda. Berarti bener, kan?"
"Kalau mau dibenerin, Mas siap, kok," Mas Adit mencolek daguku.
"Daasar," ucapku tertahan.
"Ha...ha..., "Mas Adit tertawa keras.
"Eh Mas, tadi masa di warung ada yang gosipin kalau Reina hamil lho," aku mengubah posisi menjadi duduk.
"Siapa Sayang?"
"Mak Ida sama Ratna," aku mencebik kesal.
"Budhe Ida, maksudnya?"
"Iya, Mas, siapa lagi," bibirku mengerucut.
"Emang Mak Ida bilang gimana?"
"Katanya Reina hamil duluan, karena tadi dengar Reina muntah-muntah," tuturku.
Mas Adit malah tertawa ngakak.
"Kok malah ngakak sih, Mas?" sungutku kesal. Bukannya menghibur istrinya, malah ngetawain.
"Abisnya lucu aja, aku aja belum ambil jatah."
"Jatah apa, Mas?" tanyaku bingung.
"Pura-pura gak paham nih, ya?"
"Tau ah," aku semakin kesal dibuatnya.
Memang, selama ini kami belum melakukan malam pertama. Malam pertama kami lalui dengan tidur pulas karena acara akad nikah dan resepsi yang sangat menguras tenaga.
Aku pun keluar kamar, sebal sama Mas Adit. Pagi-pagi udah bikin kesal orang. Sudah tahu aku lagi mode singa, malah godain terus.
Aku menuju dapur, mencuci piring bekas sarapan tadi. Tiba-tiba mas Adit memelukku dari belakang.
"Astaghfirullah, Reina, Adit. Apa yang kalian lakukan?" Mak Ida berteriak.
"Eh, Mak Ida," ucapku salah tingkah.Ku lepas paksa pelukan mas Adit. Namun, Mas Adit sengaja mempererat pelukannya. Malu sekali rasanya dipergoki bermesraan dengan suami. Padahal, kalau dipikir, kan gak dosa juga bermesraan dengan pasangan yang halal. Hi...hi.... Aku senyum-senyum sendiri."Reina, kamu malah senyum-senyum. Kalian ini pagi-pagi udah bermesraan aja. Kamu juga Adit, gak punya baju ya, masa ada orang tua cuma pake handuk?" Mak Ida ceramah pagi."Iri, nih ye?" Kutekankan kata IRI kepadanya."Halah, ngapain juga Mak harus iri sama kalian. Mak udah pernah dulu. Kamu juga, Reina, kalau dinasihatin orang tua, selalu saja ada jawabnya," ucap mak Ida sewot."Mak Ida juga ngapain ke rumah orang pagi-pagi, gak pakai salam, lagi?. Ganggu pengantin baru aja," Mas Adit menanggapi santai, melepas pelukannya lalu menuju kamar.Aku malas menanggapi
Aku terdiam. Jawabannya sudah jelas, Mas Adit keberatan Mak Ida menginap disini. Ku tahu, momennya sangat tidak pas. Mas Adit ingin berdua saja. Aku pun tak berani membantahnya.Aku melangkah keluar kamar, tapi Mak Ida sudah tidak ada di tempat semula. Kemana perginya ini orang, cepat sekali. Mana pula tidak pamit lagi. Syukurlah kalau dia sudah pulang.Ah, baiknya aku tidur siang saja. Aku melangkah menuju kamar. Hatiku sudah lega, karena akhirnya mak Ida pulang."Reina, Mak udah bawa baju nih. Mak tidur di kamar kamu, ya?""Tunggu, tunggu. Gak bisa gitu, Mak. Di kamar Reina gak muat kalau bertiga. Kasurku sangat kecil, lagian di sana juga ada hantunya," aku mencoba mencari ide.Biarlah berbohong, kata guru ngaji dulu, kita boleh berbohong, asal tujuannya buat kebaikan. Kali ini aku praktekan berbohong demi kebaikan, tentunya kebaikan diri sendiri dan Mas Adit.&nbs
"Kok bisa?""Ya bisa lah, Mas. Mas Adit sih mengerem mendadak gitu, pasti sudah benjol kepalaku," sungutku kesal."Bukan itu maksudku, kenapa bisa sembuh secepat ini. Bukannya tadi kamu masih lemes?""Aktingku bagus, kan, Mas?""Akting?" Mas Adit menganga gak percaya."Kamu mangap gitu aja masih ganteng, Mas," kekagumanku tak dapat kusembunyikan."Gak lucu," sungutnya kesal."Auw, sakit tahu, Mas. Kenapa sih suka sekali nyubit pipiku," aku manyun."Akting, kamu bilang. Dari tadi aku khawatir tapi ternyata kamu malah akting.""Hehe," aku nyengir kuda."Dasar ratu akting," mas Adit mencebik kesal."Jangan marah, dong, Mas. Aku akting kan demi Mas juga. Kalau aku gak akting sakit, pasti Mak Ida bakalan bermalam di rumah."Mas Adit nampakn
"Mas, jangan masuk dulu," aku bicara takut-takut."Kenapa?" Mas Adit heran."Aku lupa gak bawa buah tangan, Mas.""Santai saja," ucapnya setenang mungkin. Ya iya lah dia tenang, ini kan rumahnya sendiri. Dasar mas Adit.Kami memasuki halaman yang sangat luas. Mas Adit mematikan mesin Mobil, lalu dengan cepat membukakan pintu untukku. Dinginnya kota Batu di malam hari membuatku semakin mulas. Hatiku semakin tak karuan. Bagaimana kalau Mama mertua tak menyukaiku?. Kug erat tangan Mas Adit untuk menghilangkan rasa gugupku. Seolah merasakan apa yang ku rasa, Mas Adit menggenggam erat tanganku."Assalamualaikum, Ma. Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa," Mas Adit langsung mengajakku ke ruang tamu, karena pintu rumah dalam keadaan terbuka.Ternyata rumah mas Adit sangat mewah dan megah. Jika dibanding dengan rumahku, tak ada apa-apanya. Mak Ida pasti pingsan kala
Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana. "Bagus itu," mata Mama berbinar. "Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas." "Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat. "Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk." "Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius. "Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya. Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi. ****** "Adit, Mama sudah
Bab 7"Pakai apa ya, Mbok, enaknya nanti?" aku bingung mau pakai apa nanti, karena ku lihat di kamar Mas Adit tidak terlihat koper."Bawa bajunya, Mbak?""Iya, Mbok. Reina panggil Mas Adit apa Mama ya, enaknya?" aku berpikir."Panggil Mas Adit, saja, Mbak?" Mbok Yah memberi usul. "biar saya panggilkan, Mbak.""Terima kasih ya, Mbok.""Mbak Reina ini, sedikit-sedikit bilang terima kasih, Mbak Reina memang baik hati.""Mbok ini, bisa saja."Ku keluarkan baju Mas Adit dari lemari. Ku pilih baju yang sekiranya dipakai nanti selama liburan. Ternyata Mas Adit rapi juga.Bajunya tidak ada yang berantakan di lemari."Sayang, ada apa?" Mas Adit sudah masuk kamar di susul Mbok Yah di belakangnya."Kita bawa baju pakai koper atau tas, Mas?""Kalau barang
"Ayolah, Mas. Masa tega biarin aku pulang sendiri?" aku mulai jengkel."Lihat nanti saja, ya?""Terserah!""Cie, merajuk beneran nih?" Mas Adit malah menggodaku." Gak lucu.""Kamu yang lucu," tersenyum menggoda."Tau ah," ku palingkan wajahku keluar jendela. Kini kami melati alun-alun Batu yang masih sepi.Mas Adit mengarahkan mobilnya menuju Jalan Gajah Mada. Lalu Mas Adit mengambil jalur menuju wisata Selecta."Makin lucu kalau merajuk begitu," candanya membuatku semakin jengkel.Aku terdiam, malas sekali menanggapinya."Bercanda, Sayang. Mas mana tega biarin kamu pulang sendirian, naik bus pula.""Bercandanya gak lucu.""He...he..., maaf deh. Ok?" Mas Adit menggenggam tangan kananku sebagai permohonan maaf.
Mas Adit langsung menghentikan aktifitas makannya. Tatapan tak suka ia tujukan pada seniorku. Sementara aku, masih mencoba mengorek memori, berharap menemukan serpihan nama di masa lalu. Aku benar-benar lupa.Kepalaku mendadak pusing. Namun, wajahnya tak asing. Aku ingat semuanya, sekelebat bayangan masa lalu mendesak hadir kembali. Namun, aku tak berhasil menemukan namanya."Kita sudah selesai, ayo pulang!" Mas Adit menggandeng tanganku paksa."Mas?" aku meminta jawaban. Dengan terseok, aku berdiri.Kenapa tiba-tiba sikap Mas Adit berubah. Apa aku melakukan kesalahan?."Pak, ini uangnya," Mas Adit mengeluarkan selembar rupiah bewarna merah dari dompetnya. Dengan langkah lebar, aku berusaha mengimbangi langkahnya.Aku merasa tak enak dengan kakak seniorku. Dia hanya bengong melihat kami pergi begitu saja."Maaf Mas
Dengan langkah tergesa, kulangkahkan kaki menuju rumah Mak Ida. Rumah yang hanya berjarak beberapa langkah saja. "Mak, kembalikan makananku!" Gertakku, langsung masuk ke dapurnya lewat pintu samping.Mak Ida yang sedang menata piring, kaget bukan kepalang, melihat kedatanganku. Bahkan, piring yang dipegangnya hampir merosot jatuh."Mana makanan yang Mak ambil tadi? Demi Allah, aku gak ikhlas.""Kamu ini, main nyelonong aja. Gak punya sopan santun. Makanan apa yang kamu tuduhkan?" sengitnya."Jangan pura-pura deh, Mak. Semua makanan di mejaku, tiba-tiba menghilang. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan anda?" tuduhku dengan geram.Rencananya, sayur dan lauk akan kubuat sampai makan siang. Dengan sesuka hatinya, Mak Ida membawa semuanya."Bisa jadi kucing yang makan," belanya tak mau kalah. "Kucing berkepala manusia?" ejekku. Mak Ida mencebik tak suka. "Menghina kamu!" Tunjuknya tepat di mukaku."Jadi betul kan? Gak mungkin juga, kucing bisa menghabiskan ayam dan sayur bersamaan. Lagian,
DrtttGawaiku bergetar, tak hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Mataku masih sangat lengket, sekedar untuk dibuka, namun karena getarannya sudah sangat mengganggu, terpaksa aku bangun.Ternyata aku tadi malam memasang alarm. Jam di gawaiku, sudah menunjukan pukul empat pagi. Bahkan, adzan juga belum berkumandang. Segera aku bangun, menyiapkan sarapan, karena Mas Adit dan rombongannya, akan pulang pagi ini juga.Tepat setelah aku selesai mandi, adzan shubuh berkumandang. Kutunaikan terlebih dahulu, kewajibanku.Setelah memasak nasi, aku bergegas ke warung Ratna. Di sana lengkap, menjual sembako, sekaligus aneka sayuran. Rencananya, aku mau masak bening bayam dan ayam goreng."Eh, kapan datang, Mbak Reina?" tanya Mak Romlah. "Tadi malam, Mak. Tumben belanja pagi-pagi?" tanyaku heran, karena biasanya dia belanjanya siang, bareng geng rempongnya Mak Ida."Oh, ini mau ngirim orang kerja di sawah, jadi harus masak pagi.""Oh ...," jawabku sambil menyomot seikat bayam."Mbak Reina, oleh
Aku yang merasa risih, buru-buru membuka pesanan Mak Ida. Tak tanggung-tanggung, apel, jeruk, dan aneka kripik apel, diambilnya. Mau melarang, kesannya aku pelit, tapi gak dilarang, makan hati."Mak ambil yang ini, ya!" Kusodorkan satu kantong besar padanya."Dikit amat, itu masih banyak!" Gerutunya. "Teman-temanku juga mau, Mak, bukan Mak Ida saja," sungutku kesal. Bagimana gak kesal, orang baru sampai, masih capek, sudah direcokin. "Dasar pelit!" Ejeknya sambil berlalu pulang. Kakinya dihentak-hentakan, saat berjalan. "Sabar!" Mas Adit mendekat, meredam emosiku yang siap menyembur.Aku melangkah ke kamar, membersihkan badan, berganti baju, lalu rebahan. Ah, rasanya nikmat sekali, setelah lama duduk di mobil. Tak lama, Mas Adit menyusul ke kamar, dengan wajah tak kalah lelah."Raka sama Pakdhe, tidur di mana? tanyanya. "Di kamar satunya saja. Sebentar, aku bersihkan."Setelah berkata demikian, aku beranjak membersihkan kamar, yang akan digunakan Raka. Meski tubuh amat letih, baga
"Kalian mau lanjut honey moon di Mobil?" Aku mengerjap. Ternyata sudah sampai rumah. Kulirik arloji, ternyata sudah pukul tujuh. Perasaan baru terpejam sebentar."Kok cepet sampainya?" Mas Adit mengerjap."Buruan, mana kunci rumahnya, pegel nih kakiku!" seru Raka.Kurogoh tas selempangku, mencari keberadaan benda yang dicari-cari Raka. Hap, akhirnya ketemu. "Nih!" seruku sambil melempar kunci rumah padanya.Pakdhe Nur menurunkan barang bawaan dari bagasi, sementara Raka, langsung nyelonong masuk. Tak ada angin tak ada hujan, Mak Ida datang ikut nimbrung. Membantu menurunkan barang-barang dari bagasi. "Sehat, Mak?" tanyaku basa-basi."Kamu gak lupa oleh-oleh, buat Mak kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Aku memutar bola malas. Baru saja satu detik bertemu, sudah membuat moodku ambyar. "Mak Ida gak mau tanya kabarku?" "Lha wong kamu sehat gitu, ngapain ditanya," ujarnya tanpa dosa. "Kurang piknik tuh, nenek-nenek," sahut Raka, yang langsung ditoyor kepalanya oleh Mas Adit."Dia Budhe
Tok tok tokPintu diketuk. Gegas kubuka pintu, dan nampak Mbok Yah."Ada apa, Mbok?""Ada Mas Raka sama Ibu, di bawah. Mbak sama Mas Adit disuruh ke bawah!""Mas Adit tidur, Mbok. Ya udah aku aja yang turun. Terima kasih, Mbok."Aku menuruni anak tangga. Tampak Mama dan Raka tengah mengobrol santai."Siang, Ma," kujatuhkan bobotku di sofa tepat di samping Mama."Adit, mana?""Masih tidur, Ma. Biar gak ngantuk nanti nyetirnya.""Kecapekan dia, Tante. Lembur terus sih," canda Raka."Biar nanti sama Raka ke Kedirinya, buat teman ngobrol," ucap Mama mengejutkan Raka."Kok sama aku, Tante. Gak ah.""Kasihan Adit kalau harus nyetir sendiri. Dia sedang capek, kalau ada kamu, kan bisa gantian," ucap Mama enteng.
Pagi ini, kami tidak jalan-jalan. Pegal semua rasanya badan kami, karena kelelahan. Kami ingin menghabiskan waktu berdua saja hari ini. Sekedar mengobrol ringan sambil di temani camilan khas kota Batu, keripik apel.Sebenarnya, selain keripik apel, banyak lagi buah-buahan yang di jadikan keripik, yaitu keripik salak dan nangka."Nanti jangan lupa beli oleh-oleh, Yang!" Mas Adit mewanti-wanti."Mama sama Papa dibelikan apa, Mas?""Gak usah dibelikan apa-apa. Mama sama Papa cuma pengen cucu aja," matanya mengerling nakal."Semoga saja cepat diberi kepercayaan, Mas," ucapku sambil menulis daftar oleh-oleh dan penerimanya. Tak banyak, tetangga sekitar dan teman-teman mengajar. Mereka sudah berpesan, untuk membawakan oleh-oleh khas Batu jika aku sedang berkunjung."Lihat daftarnya, Sayang!" kuserahkan kertas kepada Mas Adit."Banya
bab 13"Tedy...," aku tak percaya. Ternyata ada Teddy, teman satu kelompokku magang dulu."Aku kerja di sini, Rei," ucapnya."Wah, ternyata dunia itu kecil, ya. Seneng deh bisa ketemu lagi. Ada teman satu kelompok lain, yang kerja di sini juga, gak?""Gak ada, cuma aku kayanya.""Hem," Mas Adit berdehem. Aduh, aku lupa saking asiknya ngobrol sama Tedy."Kenalkan Ted, ini suamiku," aku merangkul lengan Mas Adit. Semoga saja dia tidak marah karena aku tidak sengaja bertemu Tedy."Tedy, teman kampus Reina," ucapnya ramah sambil menjabat tangan Mas Adit."Saya Adit, suaminya Reina," Mas Adit memeluk bahuku."Kamu nikah kok gak undang-undang, Rei?" ku jawab dengan senyuman terpaksa karena raut muka Mas Adit sudah masam."Tedy, kami permisi dulu, ya. Buru-buru soalnya," ku akhiri sa
"Ya udah ayo, kita temui Papa dulu!"Kami berjalanan beriringan. Namun, aku masih menyimpan penasaran. Berbagai prasangka singgah di benakku."Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan."Pagi," Mas Adit menjawab ramah."Ada pengantin baru, nih," sapa seseorang lagi. Sepertinya dia kenal dekat dengan Mas Adit. Buktinya, dia tidak memanggil Mas Adit dengan panggilan Bapak, seperti halnya pegawai yang lain."Pagi, Bu, saya Raka, pegawai teladan dan tertampan, di sini," ucapnya berseloroh. Ku jabat tangannya."Udah, jangan lama-lama," Mas Adit menarik kasar tanganku. Melarangku bersentuhan dengan Raka."Sensitif amat pengantin baru.""Biar saja.""Jangan panggil Bu, aku masih muda," aku tidak suka dipanggil dengan sebutan, Bu."Sorry, aku gak bisa datang ke resepsi kal
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m