"Mas, jangan masuk dulu," aku bicara takut-takut.
"Kenapa?" Mas Adit heran.
"Aku lupa gak bawa buah tangan, Mas."
"Santai saja," ucapnya setenang mungkin. Ya iya lah dia tenang, ini kan rumahnya sendiri. Dasar mas Adit.
Kami memasuki halaman yang sangat luas. Mas Adit mematikan mesin Mobil, lalu dengan cepat membukakan pintu untukku. Dinginnya kota Batu di malam hari membuatku semakin mulas. Hatiku semakin tak karuan. Bagaimana kalau Mama mertua tak menyukaiku?. Kug erat tangan Mas Adit untuk menghilangkan rasa gugupku. Seolah merasakan apa yang ku rasa, Mas Adit menggenggam erat tanganku.
"Assalamualaikum, Ma. Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa," Mas Adit langsung mengajakku ke ruang tamu, karena pintu rumah dalam keadaan terbuka.
Ternyata rumah mas Adit sangat mewah dan megah. Jika dibanding dengan rumahku, tak ada apa-apanya. Mak Ida pasti pingsan kalau tahu semua. Betewe, bagaimana keadaan Mak Ida sekarang, ya?.
"Mas, kita kan gak bawa oleh-oleh, kenapa Mas bilang bawa oleh-oleh, tadi?" Mas Adit hanya tersenyum.
Kini kami tengah duduk di ruang keluarga dengan sofa yang empuk sambil menunggu empunya rumah keluar. Di depanku, terpampang televisi super besar.
Benar-benar rumah orang kaya.
"Apa ini yang dinamakan home theater, ya?" aku membatin.
"Loh, anak mama kok sudah disini?" Mama terlihat heran. Aku mencium punggung mama mertua yang masih sangat cantik walaupun usianya sudah tak muda lagi. Mama balik mencium kedua pipiku penuh cinta. Bayangan tentang mertua yang jahat, sirna di kepalaku. Ternyata keluarga Mas Adit sangat hangat.
"Mama gak suka, Adit pulang?" Mas Adit manyun.
"Bukan begitu, kata keluarga Reina kan belum boleh keluar kalau belum sepasar. Mama heran aja, kenapa kalian sudah nekat ."
"Bukan nekat, Ma, tadi Adit gak sengaja kalau mau kesini ceritanya," Mas Adit mengerling kepadaku. Aku menunduk malu dan bingung, jangan sampai Mas Adit membongkar rahasiaku tadi.
"Gak sengaja kok bisa sampai sini?. Sudah pamitan belum?"
"Sudah Ma, tenang aja."
"Ya udah ayo makan dulu, pasti kalian lapar," ajak Mama seraya menuju ke meja makan.
"Kita sudah makan tadi, Ma," ucapku.
"Makan di mana tadi, Na?" Mama beralih kepadaku.
"Di dekat alun-alun, Ma."
"Reina tadi mabuk, Ma. Karena Reina pengen sekali jalan-jalan ke alun-alun, jadi sekalian deh tadi mampir terus makan," Mas Adit ikut menjawab.
"Ya Allah, kamu mabuk Sayang, ayo cepat ke kamar, istirahat!. Adit, kamu ini bagaimana, istrinya sakit gitu masih aja diajak kelayapan," mama terlihat khawatir.
"Reina udah sembuh, Ma. Tidak perlu khawatir, lagian tadi Reina pengen sekalian jalan-jalan," aku mengulas senyum.
"Pasti Adit bawa mobilnya ugal-ugalan ya, makanya kamu mabuk. Dasar Adit," mama menjewer mas Adit gemas.
"Aduh sakit lah, Ma," mas Adit meringis kesakitan.
"Kalau sampai Reina kenapa-kenapa, awas ya kamu!" Mama mengancam.
"Anaknya Mama itu Reina apa Adit. Sekarang Mama pilih kasih," mas Adit merengut.
Aku senyum-senyum sendiri melihat tingkah anak sama mamanya ini.
"Assalamualaikum, ada apa ini ribut-ribut, Ma?" Papa mertua masuk. "Nyampe jam berapa tadi, Dit?"
"Adit, Pa, masa Reina mabuk Adit santai saja," Mama menyela.
"Ayo kalian istitahat saja, gak usah dengar ocehan mamamu," Papa menyuruh kami istirahat.
Kesempatan ini tak disia-siakan Mas Adit.
Dia langsung melenggang ke kamar.
"Reina ke kamar dulu, Ma," aku menyusul Mas Adit.
"Ini kamarmu, Mas," aku terkagum.
"Iya, Mas mandi dulu, ya, gerah rasanya. Mau mandi gak?"
"Malam-malam mandi?"
"Iya, gerah banget."
"Gak dingin, Mas?"
"Pake air anget dong ,Yang," Mas Adit melepas kaosnya.
"Ih, kenapa buka baju disini, Mas, buru gih ke kamar mandi ," kupalingkan mukaku sambil mendorong mas Adit ke kamar mandi. Entahlah, malu sekali rasanya melihat mas Adit bertelanjang dada di depanku, meskipun kita suami istri.
Sembari menunggu Mas Adit mandi, aku merebahkan badan yang pegal-pegal setelah dari perjalanan dari Kediri ke Batu. Ku sempatkn berselancar ke dunia maya sejenak sekedar mencari hiburan.
"Sayang," ada yang memanggilku.
"Yang," lagi, kali ini disertai ciuman di pipi.
"Apa, sih. Aku ngantuk," ucapku setengah bergumam.
"Ayo, sekarang ya?" mas Adit menggoyang bahuku.
"Aku ngantuk banget, nanti aja ya," ucapku tetap memejamkan mata.
"Reina, Sayang, ayo bangun!" Mas Adit menggelitik kakiku. Ku gulung diri ini dengan selimut, dingin sekali rasanya.
"Apa lagi, Mas? Nanti ya. Dingin nih," ku tutup kepala menggunakan bantal biar mas Adit gak mengganggu lagi.
"Sayang, apanya yang nanti, ini sudah jam lima lewat, ayo buru bangun!"
"Hah, jam lima? kenapa Mas gak bangunin aku?" mataku langsung melek, ternyata sudah siang, perasaan baru tidur lima menit, kok sudah pagi aja?.
"Huh, dari tadi aku ngapain coba?" Mas Adit menggerutu.
"Ya udah aku mandi dulu, Mas. Jangan turun dulu, tungguin aku!" pesanku pada Mas Adit .
Gegas ku sambar handuk. Dengan berlari kecil, aku menuju kamar mandi. Tak perlu lama, lima menit cukup untuk mengguyur tubuh ini. Dulu, jurus ini sering kupakai saat buru-buru kuliah.
Keluar dari kamar mandi, kulihat Mas Adit sudah rapi dengan baju santainya, kaos putih dan celana olahraga. Ku poles sedikit wajah ini agar terlihat segar.
"Ayo buru turun, Mama pasti sudah bangun!" ajakku.
Di bawah, suara perkakas dapur saling beradu sudah terdengar. Gegas ku menuju dapur untuk membantu mama. Sedang Mas Adit, ke teras samping menghampiri Papa mertua.
"Ma, maaf Reina telat bangun," ucapku menahan malu.
Gawat, bagaimana kalau Mama jadi membenciku lantaran aku bangun kesiangan.
"Udah bangun, Sayang?" ucapan mama justru membuatku tambah malu.
"Masak apa, Ma?"
"Ini masak kesukaannya Adit, pecel sama ayam goreng tepung. Adit ini suka sekali sarapan nasi pecel, gak ada bosannya," sesekali Mama membolak-balik ayam agar tidak gosong.
"Reina bantu apa, Ma?"
"Bantu siapkan di meja saja, habis itu kita sarapan bareng," ucap Mama ramah.
"Ma, aku bersih-bersih dulu, ya. Semua sudah siap dimeja," setelah hidangan pagi kusiapkan dimeja.
"Gak usah, Na. Nanti ada yang bersih-bersih di sini, namanya Mbok Yah. Nanti Mbok Yah yang bagian beres-beres di rumah ini."
"Belum datang, Ma?"
"Sebentar lagi juga datang, jam enam biasanya datang sama suaminya. Kalau Pakde Nur tugasnya membersihkan kebun dan halaman. Jadi Mama tugasnya masak aja, karena mama gak mau yang melayani Papa orang lain," ucap mama.
Aku kagum dengan Mama. Meskipun beliau banyak uang, beliau tetap menyempatkan memasak dan melayani suaminya sendiri. Namun, untuk membersihkan rumah sebesar ini, aku mungkin juga tak sanggup kalau setiap hari.
Aku jadi malu, dulu ku bayangkan mempunyai pembantu agar aku bisa bersantai ria. Tapi, Mama mengajarkanku yang lebih baik.
"Adit, Papa, ayo kita sarapan!" seru Mama setengah berteriak.
"Wah, pecel spesial nih," Papa mengambil kursi.
"Harus spesial dong, Pa. Hari ini kan spesial, karena akhirnya Mama mempunyai anak perempuan," ucap Mama seraya merangkulku.
"Lihat Pa, sejak ada Reina, Mama sudah menganggp Adit sebagai anak tiri," Mas Adit pura-pura merajuk.
"Biar saja, Dit, Mamamu itu dari dulu pengen punya anak perempuan," celetuk papa.
"Jadi aku anak yang tak diharapkan, Pa?"
"Ha...ha...," kami tertawa berbarengan.
"Kamu kira ini sinetron?" Mama menjewer telinga mas Adit. "kamu tetap jagoan Mama, Dit. Mama dari dulu pengen kasih kamu adik perempuan, tapi Allah belum berkendak sampai sekarang," ucap Mama sedih.
"Tenang aja, Ma. Adit akan buatkan sesuai keinginan Mama," Mas Adit melirikku sambil tersenyum nakal.
"Uhuk, uhuk," aku tersedak.
"Minum dulu, Nak!" Mama menyodorkan gelas kepadaku.
Ish, mas Adit ini apaan sih. Malu tahu. Pasti wajahku sudah seperti kepiting rebus.
"Tidaaak..., aku ingin menghilang dari bumi," aku berteriak dalam hati.
"Adit, kamu ini suka sekali menggoda Reina," Mama memijat pelan punggungku. Nampak Mama begitu khawatir.
"Maaf, Sayang," Mas Adit ikut memijat punggungku. Mungkin dia merasa bersalah.
"Ma, habis ini Adit mau ajak Reina lari pagi. Nanti siang, mau ajak jalan-jalan," Mas Adit dan yang lain melanjutkan makan.
"Mau jalan-jalan kemana?" tanya papa.
"Lihat-lihat kebun Papa, biar Reina tahu."
"Mama gak diajak?" Mama menyela.
"Mama gak ada acara?. Biasanya kan sibuk terus," ucap mas Adit.
"Bilang aja gak mau diganggu mama."
"Mama kayak gak pernah pengantin baru aja," celetuk papa.
"Tapi Adit nanti malam gak pulang."
"Kenapa?" Mama terlihat khawatir.
"Aku mau honey moon dulu," mas Adit menggenggam tanganku.
"Uhuk..."
Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana. "Bagus itu," mata Mama berbinar. "Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas." "Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat. "Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk." "Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius. "Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya. Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi. ****** "Adit, Mama sudah
Bab 7"Pakai apa ya, Mbok, enaknya nanti?" aku bingung mau pakai apa nanti, karena ku lihat di kamar Mas Adit tidak terlihat koper."Bawa bajunya, Mbak?""Iya, Mbok. Reina panggil Mas Adit apa Mama ya, enaknya?" aku berpikir."Panggil Mas Adit, saja, Mbak?" Mbok Yah memberi usul. "biar saya panggilkan, Mbak.""Terima kasih ya, Mbok.""Mbak Reina ini, sedikit-sedikit bilang terima kasih, Mbak Reina memang baik hati.""Mbok ini, bisa saja."Ku keluarkan baju Mas Adit dari lemari. Ku pilih baju yang sekiranya dipakai nanti selama liburan. Ternyata Mas Adit rapi juga.Bajunya tidak ada yang berantakan di lemari."Sayang, ada apa?" Mas Adit sudah masuk kamar di susul Mbok Yah di belakangnya."Kita bawa baju pakai koper atau tas, Mas?""Kalau barang
"Ayolah, Mas. Masa tega biarin aku pulang sendiri?" aku mulai jengkel."Lihat nanti saja, ya?""Terserah!""Cie, merajuk beneran nih?" Mas Adit malah menggodaku." Gak lucu.""Kamu yang lucu," tersenyum menggoda."Tau ah," ku palingkan wajahku keluar jendela. Kini kami melati alun-alun Batu yang masih sepi.Mas Adit mengarahkan mobilnya menuju Jalan Gajah Mada. Lalu Mas Adit mengambil jalur menuju wisata Selecta."Makin lucu kalau merajuk begitu," candanya membuatku semakin jengkel.Aku terdiam, malas sekali menanggapinya."Bercanda, Sayang. Mas mana tega biarin kamu pulang sendirian, naik bus pula.""Bercandanya gak lucu.""He...he..., maaf deh. Ok?" Mas Adit menggenggam tangan kananku sebagai permohonan maaf.
Mas Adit langsung menghentikan aktifitas makannya. Tatapan tak suka ia tujukan pada seniorku. Sementara aku, masih mencoba mengorek memori, berharap menemukan serpihan nama di masa lalu. Aku benar-benar lupa.Kepalaku mendadak pusing. Namun, wajahnya tak asing. Aku ingat semuanya, sekelebat bayangan masa lalu mendesak hadir kembali. Namun, aku tak berhasil menemukan namanya."Kita sudah selesai, ayo pulang!" Mas Adit menggandeng tanganku paksa."Mas?" aku meminta jawaban. Dengan terseok, aku berdiri.Kenapa tiba-tiba sikap Mas Adit berubah. Apa aku melakukan kesalahan?."Pak, ini uangnya," Mas Adit mengeluarkan selembar rupiah bewarna merah dari dompetnya. Dengan langkah lebar, aku berusaha mengimbangi langkahnya.Aku merasa tak enak dengan kakak seniorku. Dia hanya bengong melihat kami pergi begitu saja."Maaf Mas
"Kamu sudah membuatku marah tadi. Kamu harus menebus kesalahanmu, Yang," ucap Mas Adit serius."Please deh, Pak Dosen.... Aku ini bukan mahasiswimu, aku istrimu. Mentang-mentang dosen hukum, seenaknya sendiri menghukum orang lain. Awas kena karma!" ucapku kesal."Justru karena kamu istriku, Yang. Makanya aku menghukummu.""Sadis kamu, Mas." Mas Adit tersenyum."Sadis mana, aku dengan si Ronald tadi?""Sadis kamu.""Masih saja membela Ronald, awas ya," mas Adit mencubit pipiku gemas."Siapa juga yang membelanya.""Itu tadi buktinya. Ronald yang sudah menghianatimu saja masih di bela.""Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.""Ternyata Ronald masih mencintaimu, Yang. Buktinya dia sampe nyamperin tadi.""Sudah deh, jangan mulai
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m
"Ya udah ayo, kita temui Papa dulu!"Kami berjalanan beriringan. Namun, aku masih menyimpan penasaran. Berbagai prasangka singgah di benakku."Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan."Pagi," Mas Adit menjawab ramah."Ada pengantin baru, nih," sapa seseorang lagi. Sepertinya dia kenal dekat dengan Mas Adit. Buktinya, dia tidak memanggil Mas Adit dengan panggilan Bapak, seperti halnya pegawai yang lain."Pagi, Bu, saya Raka, pegawai teladan dan tertampan, di sini," ucapnya berseloroh. Ku jabat tangannya."Udah, jangan lama-lama," Mas Adit menarik kasar tanganku. Melarangku bersentuhan dengan Raka."Sensitif amat pengantin baru.""Biar saja.""Jangan panggil Bu, aku masih muda," aku tidak suka dipanggil dengan sebutan, Bu."Sorry, aku gak bisa datang ke resepsi kal
bab 13"Tedy...," aku tak percaya. Ternyata ada Teddy, teman satu kelompokku magang dulu."Aku kerja di sini, Rei," ucapnya."Wah, ternyata dunia itu kecil, ya. Seneng deh bisa ketemu lagi. Ada teman satu kelompok lain, yang kerja di sini juga, gak?""Gak ada, cuma aku kayanya.""Hem," Mas Adit berdehem. Aduh, aku lupa saking asiknya ngobrol sama Tedy."Kenalkan Ted, ini suamiku," aku merangkul lengan Mas Adit. Semoga saja dia tidak marah karena aku tidak sengaja bertemu Tedy."Tedy, teman kampus Reina," ucapnya ramah sambil menjabat tangan Mas Adit."Saya Adit, suaminya Reina," Mas Adit memeluk bahuku."Kamu nikah kok gak undang-undang, Rei?" ku jawab dengan senyuman terpaksa karena raut muka Mas Adit sudah masam."Tedy, kami permisi dulu, ya. Buru-buru soalnya," ku akhiri sa
Dengan langkah tergesa, kulangkahkan kaki menuju rumah Mak Ida. Rumah yang hanya berjarak beberapa langkah saja. "Mak, kembalikan makananku!" Gertakku, langsung masuk ke dapurnya lewat pintu samping.Mak Ida yang sedang menata piring, kaget bukan kepalang, melihat kedatanganku. Bahkan, piring yang dipegangnya hampir merosot jatuh."Mana makanan yang Mak ambil tadi? Demi Allah, aku gak ikhlas.""Kamu ini, main nyelonong aja. Gak punya sopan santun. Makanan apa yang kamu tuduhkan?" sengitnya."Jangan pura-pura deh, Mak. Semua makanan di mejaku, tiba-tiba menghilang. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan anda?" tuduhku dengan geram.Rencananya, sayur dan lauk akan kubuat sampai makan siang. Dengan sesuka hatinya, Mak Ida membawa semuanya."Bisa jadi kucing yang makan," belanya tak mau kalah. "Kucing berkepala manusia?" ejekku. Mak Ida mencebik tak suka. "Menghina kamu!" Tunjuknya tepat di mukaku."Jadi betul kan? Gak mungkin juga, kucing bisa menghabiskan ayam dan sayur bersamaan. Lagian,
DrtttGawaiku bergetar, tak hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Mataku masih sangat lengket, sekedar untuk dibuka, namun karena getarannya sudah sangat mengganggu, terpaksa aku bangun.Ternyata aku tadi malam memasang alarm. Jam di gawaiku, sudah menunjukan pukul empat pagi. Bahkan, adzan juga belum berkumandang. Segera aku bangun, menyiapkan sarapan, karena Mas Adit dan rombongannya, akan pulang pagi ini juga.Tepat setelah aku selesai mandi, adzan shubuh berkumandang. Kutunaikan terlebih dahulu, kewajibanku.Setelah memasak nasi, aku bergegas ke warung Ratna. Di sana lengkap, menjual sembako, sekaligus aneka sayuran. Rencananya, aku mau masak bening bayam dan ayam goreng."Eh, kapan datang, Mbak Reina?" tanya Mak Romlah. "Tadi malam, Mak. Tumben belanja pagi-pagi?" tanyaku heran, karena biasanya dia belanjanya siang, bareng geng rempongnya Mak Ida."Oh, ini mau ngirim orang kerja di sawah, jadi harus masak pagi.""Oh ...," jawabku sambil menyomot seikat bayam."Mbak Reina, oleh
Aku yang merasa risih, buru-buru membuka pesanan Mak Ida. Tak tanggung-tanggung, apel, jeruk, dan aneka kripik apel, diambilnya. Mau melarang, kesannya aku pelit, tapi gak dilarang, makan hati."Mak ambil yang ini, ya!" Kusodorkan satu kantong besar padanya."Dikit amat, itu masih banyak!" Gerutunya. "Teman-temanku juga mau, Mak, bukan Mak Ida saja," sungutku kesal. Bagimana gak kesal, orang baru sampai, masih capek, sudah direcokin. "Dasar pelit!" Ejeknya sambil berlalu pulang. Kakinya dihentak-hentakan, saat berjalan. "Sabar!" Mas Adit mendekat, meredam emosiku yang siap menyembur.Aku melangkah ke kamar, membersihkan badan, berganti baju, lalu rebahan. Ah, rasanya nikmat sekali, setelah lama duduk di mobil. Tak lama, Mas Adit menyusul ke kamar, dengan wajah tak kalah lelah."Raka sama Pakdhe, tidur di mana? tanyanya. "Di kamar satunya saja. Sebentar, aku bersihkan."Setelah berkata demikian, aku beranjak membersihkan kamar, yang akan digunakan Raka. Meski tubuh amat letih, baga
"Kalian mau lanjut honey moon di Mobil?" Aku mengerjap. Ternyata sudah sampai rumah. Kulirik arloji, ternyata sudah pukul tujuh. Perasaan baru terpejam sebentar."Kok cepet sampainya?" Mas Adit mengerjap."Buruan, mana kunci rumahnya, pegel nih kakiku!" seru Raka.Kurogoh tas selempangku, mencari keberadaan benda yang dicari-cari Raka. Hap, akhirnya ketemu. "Nih!" seruku sambil melempar kunci rumah padanya.Pakdhe Nur menurunkan barang bawaan dari bagasi, sementara Raka, langsung nyelonong masuk. Tak ada angin tak ada hujan, Mak Ida datang ikut nimbrung. Membantu menurunkan barang-barang dari bagasi. "Sehat, Mak?" tanyaku basa-basi."Kamu gak lupa oleh-oleh, buat Mak kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Aku memutar bola malas. Baru saja satu detik bertemu, sudah membuat moodku ambyar. "Mak Ida gak mau tanya kabarku?" "Lha wong kamu sehat gitu, ngapain ditanya," ujarnya tanpa dosa. "Kurang piknik tuh, nenek-nenek," sahut Raka, yang langsung ditoyor kepalanya oleh Mas Adit."Dia Budhe
Tok tok tokPintu diketuk. Gegas kubuka pintu, dan nampak Mbok Yah."Ada apa, Mbok?""Ada Mas Raka sama Ibu, di bawah. Mbak sama Mas Adit disuruh ke bawah!""Mas Adit tidur, Mbok. Ya udah aku aja yang turun. Terima kasih, Mbok."Aku menuruni anak tangga. Tampak Mama dan Raka tengah mengobrol santai."Siang, Ma," kujatuhkan bobotku di sofa tepat di samping Mama."Adit, mana?""Masih tidur, Ma. Biar gak ngantuk nanti nyetirnya.""Kecapekan dia, Tante. Lembur terus sih," canda Raka."Biar nanti sama Raka ke Kedirinya, buat teman ngobrol," ucap Mama mengejutkan Raka."Kok sama aku, Tante. Gak ah.""Kasihan Adit kalau harus nyetir sendiri. Dia sedang capek, kalau ada kamu, kan bisa gantian," ucap Mama enteng.
Pagi ini, kami tidak jalan-jalan. Pegal semua rasanya badan kami, karena kelelahan. Kami ingin menghabiskan waktu berdua saja hari ini. Sekedar mengobrol ringan sambil di temani camilan khas kota Batu, keripik apel.Sebenarnya, selain keripik apel, banyak lagi buah-buahan yang di jadikan keripik, yaitu keripik salak dan nangka."Nanti jangan lupa beli oleh-oleh, Yang!" Mas Adit mewanti-wanti."Mama sama Papa dibelikan apa, Mas?""Gak usah dibelikan apa-apa. Mama sama Papa cuma pengen cucu aja," matanya mengerling nakal."Semoga saja cepat diberi kepercayaan, Mas," ucapku sambil menulis daftar oleh-oleh dan penerimanya. Tak banyak, tetangga sekitar dan teman-teman mengajar. Mereka sudah berpesan, untuk membawakan oleh-oleh khas Batu jika aku sedang berkunjung."Lihat daftarnya, Sayang!" kuserahkan kertas kepada Mas Adit."Banya
bab 13"Tedy...," aku tak percaya. Ternyata ada Teddy, teman satu kelompokku magang dulu."Aku kerja di sini, Rei," ucapnya."Wah, ternyata dunia itu kecil, ya. Seneng deh bisa ketemu lagi. Ada teman satu kelompok lain, yang kerja di sini juga, gak?""Gak ada, cuma aku kayanya.""Hem," Mas Adit berdehem. Aduh, aku lupa saking asiknya ngobrol sama Tedy."Kenalkan Ted, ini suamiku," aku merangkul lengan Mas Adit. Semoga saja dia tidak marah karena aku tidak sengaja bertemu Tedy."Tedy, teman kampus Reina," ucapnya ramah sambil menjabat tangan Mas Adit."Saya Adit, suaminya Reina," Mas Adit memeluk bahuku."Kamu nikah kok gak undang-undang, Rei?" ku jawab dengan senyuman terpaksa karena raut muka Mas Adit sudah masam."Tedy, kami permisi dulu, ya. Buru-buru soalnya," ku akhiri sa
"Ya udah ayo, kita temui Papa dulu!"Kami berjalanan beriringan. Namun, aku masih menyimpan penasaran. Berbagai prasangka singgah di benakku."Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan."Pagi," Mas Adit menjawab ramah."Ada pengantin baru, nih," sapa seseorang lagi. Sepertinya dia kenal dekat dengan Mas Adit. Buktinya, dia tidak memanggil Mas Adit dengan panggilan Bapak, seperti halnya pegawai yang lain."Pagi, Bu, saya Raka, pegawai teladan dan tertampan, di sini," ucapnya berseloroh. Ku jabat tangannya."Udah, jangan lama-lama," Mas Adit menarik kasar tanganku. Melarangku bersentuhan dengan Raka."Sensitif amat pengantin baru.""Biar saja.""Jangan panggil Bu, aku masih muda," aku tidak suka dipanggil dengan sebutan, Bu."Sorry, aku gak bisa datang ke resepsi kal
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m