Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana.
"Bagus itu," mata Mama berbinar.
"Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku kikuk."malu tahu, Mas."
"Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat.
"Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk."
"Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius.
"Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya.
Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi.
******
"Adit, Mama sudah pesankan villa untuk tiga malam. Jadi, kalian bisa menghabiskan bulan madu di sana," ucap mama sambil mengotak-atik gawainya.
Aku yang tengah mengunyah keripik apel langsung berhenti begitu mendengar ucapan Mama. Kaget bercampur malu mendengarnya.
"Kenapa lama sekali, Ma. Sepertinya tiga hari terlalu lama. Hari Senin aku harus sudah mengajar lagi," ucapku.
"Aku juga, Ma" Mas Adit menyahut.
"Gampang, bisa diatur itu. Yang penting kalian bulan madu dulu, baru mikir kerjaan," ucap Mama seolah tanpa beban.
"Tapi, Reina hari Minggu sudah harus pulang, Ma."
Mama langsung menghentikan aktifitasnya. Waktuku tersisa tiga hari lagi. Mungkin Mama lupa jika aku sudah harus pulang hari Minggu sore. Aku yang suka mabuk perjalanan tak mau ambil resiko dengan pulang hari Senin pagi.
"Ya udah gak masalah, nanti hari Minggu kalian check out habis dhuhur saja," akhirnya Mama mengalah.
"Di villa mana, Ma, jadinya?" tanya mas Adit.
"D'Batu Villa, itu punya teman Mama. Bagus tempatnya berada di daerah puncak," Mama menunjukkan ponselnya.
Tampak pemandangan yang begitu menakjubkan. Suasaana begitu romantis jika dilihat dari fotonya.
"Kenapa gak di villa kita saja, Ma? Biar Reina juga tahu," ucap Mas Adit.
"Kalau di villa kita sudah biasa, gak ada yang spesial nanti. Lain kali saja kita liburan keluarga, menginap di villa," Mama tak mau mengalah.
"Tapi, Ma, Adit gak tahu lokasi villa teman Mama itu," Mas Adit masih mulai berdebat. Sepertinya Mas Adit ini tak pernah bisa searah dengan Mama.
"Kita tidak hidup di zaman purba, Dit. Kamu itu dosen, masa gak bisa mikir," ucap Mama ceplas-ceplos.
"Mama ih, bikin sebel," Mas Adit merajuk.
"Kamu ini sudah punya istri, pakai acara merajuk segala. Gak malu kamu?" aku yang mendengar pertikaian ibu dan anak ini hanya menahan tawa.
"Mas Adit kan, gak punya malu, Ma," aku menyahut. Mas Adit mendelik kepadaku tanda tak suka. Aku dan Mama kompak tertawa melihat tingkah Mas Adit.
"Adit dan Reina tersayang, keputusan Mama sudah bulat, kalian harus bulan madu di D'Batu Villa. Kalian berangkat jam empat biar gak terhalang kabut di perjalanan. Adit, pakai GPS, jangan banyak alasan lagi!" titah Mama tak dapat diganggu gugat.
"Siap Komandan," Mas Adit akhirnya mengalah. Sementara aku, ikut saja. Toh, aku hanya menantu di keluarga ini.
"Mbok Yah, tolong kemari!" panggil Mama.
Mbok Yah yang sedang mengepel lantai tergopoh mendatangi Mama.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucap Mbok Yah sopan.
"Tolong bantu Reina mempersiapkan keperluannya ya, mereka mau liburan tiga hari!"
"Baik, Bu."
"Jangan lupa madu yang saya beli kemarin masukan dikoper mereka juga!" Mama mengingatkan.
"Adit mau liburan, Ma. Kenapa bawa-bawa madu segala?"Mas Adit ini tak pernah tak protes dengan ide Mamanya. Ada saja hal yang diperdebatkan.
"Itu bukan madu sembarangan," sahut Mama mengacuhkan mas Adit.
"Mbok, tolong bawakan madu yang kemarin, dua-duanya ya!"
"Iya, Bu," sahut Mbok Yah dari dapur.
"Ini, Bu," dengan cekatan Mbok Yah memberikan dua botol madu ke Mama.
"Nah, ini yang satu buat Reina, satu lagi buat kamu, Adit," Mama memberikan madu padaku dan mas Adit.
"Ini madu apaan sih, Ma?" tanya Mas Adit.
"Di baca itu kardusnya, Pak Dosen. Apa masih perlu diajari membaca?" Mama mengejek, membuat Mas Adit makin manyun.
"Itu madu buat kesuburan, Mas," sahut Mbok Yah.
"Ini madunya beda, Ma, punyaku sama mas Adit?"
Baru kali ini aku tahu ada madu khusus pria sendiri, untuk wanita sendiri. Madu punyaku berwarna merah muda sedangkan punya mas Asit berwarna biru. Kubaca labelnya, " Madu Promil".
"Kenapa harus pakai minum madu segala sih, Ma?" sungut mas Adit.
"Namanya juga ikhtiar, Dit. Mama pengen cepat punya cucu. Semoga dengan ikhtiar minum madu ini, kalian bisa cepat memberi Mama cucu," ucap Mama penuh harap.
"Udah, turutin aja deh, Mas. Lagian cuma minum madu apa susahnya sih. Rasanya kan manis," aku mencoba menengahi.
"Adit dari dulu itu susah sekali yang namanya minum segala jenis obat dan jamu, Na. Meskipun sakit, dia tidak akan minum obat kalau tidak dipaksa. Nah, berhubung ada kamu, Mama minta tolong paksa dia minum madunya itu."
Aku tertawa geli. Sementara mas Adit mencebik kesal. Kartunya dibongkar oleh Mamanya sendiri.
"Mas, kita jalan-jalannya sekalian nanti sore aja, ya. Nanggung nih, aku juga belum persiapan," usulku pada mas Adit.
Sekarang sudah hampir tengah hari. Sementara aku belum mempersiapkan keperluan bulan madu selama tiga malam nanti. Meskipun kata Mama, Mbok Yah yang akan mempersiapkan, namun aku lebih suka melakukannya sendiri.
"Biar Mbok Yah saja yang siap-siap, Sayang. Kalau mau jalan-jalan dulu, gak masalah," mama berkata begitu lembut kepadaku, seolah aku anak perempuannya sendiri.
"Iya Non, biar Mbok saja yang siap-siap," ucap Mbok Yah sopan.
"Jangan panggil, Non lah Mbok, panggil saja Reina."
"Gak sopan nanti, Non," ucap Mbok Yah kalem.
"Panggil saja saya, Mbak Reina, ya Mbok. Mas Adit saja dipanggil, Mas, masa aku dipanggil, Non. Saya gak mau kalau dipanggil Non," Mama hanya geleng-geleng sambil tersenyum.
"Pantas saja Adit begitu kekeh milih kamu, karena kamu orangnya rendah hati," ucap Mama bangga.
"Iya deh Mbak Reina, pasti Ibu suka sekali punya menantu seperti mbak Reina ini, sudah kalem, ayu, sopan santunnya dapat pula. Moga cepat dapat momongan ya, Mbak," ucap Mbok Yah.
"Terima kasih, Mbok."
"Sama-sama, Mbak. Mbok permisi dulu, ya, mau siapin baju buat Mas Adit sama Mbak Reina dulu."
"Aku bantu, boleh Mbok?"
Mbok Yah nampak bingung. Dia minta persetujuan Mama.
"Biar saja, Mbok. Reina ini orangnya teliti sekali," Mas Adit meng-iyakan. Sementara aku hanya tersenyum.
Aku dan Mbok Yah menuju kamar, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Bab 7"Pakai apa ya, Mbok, enaknya nanti?" aku bingung mau pakai apa nanti, karena ku lihat di kamar Mas Adit tidak terlihat koper."Bawa bajunya, Mbak?""Iya, Mbok. Reina panggil Mas Adit apa Mama ya, enaknya?" aku berpikir."Panggil Mas Adit, saja, Mbak?" Mbok Yah memberi usul. "biar saya panggilkan, Mbak.""Terima kasih ya, Mbok.""Mbak Reina ini, sedikit-sedikit bilang terima kasih, Mbak Reina memang baik hati.""Mbok ini, bisa saja."Ku keluarkan baju Mas Adit dari lemari. Ku pilih baju yang sekiranya dipakai nanti selama liburan. Ternyata Mas Adit rapi juga.Bajunya tidak ada yang berantakan di lemari."Sayang, ada apa?" Mas Adit sudah masuk kamar di susul Mbok Yah di belakangnya."Kita bawa baju pakai koper atau tas, Mas?""Kalau barang
"Ayolah, Mas. Masa tega biarin aku pulang sendiri?" aku mulai jengkel."Lihat nanti saja, ya?""Terserah!""Cie, merajuk beneran nih?" Mas Adit malah menggodaku." Gak lucu.""Kamu yang lucu," tersenyum menggoda."Tau ah," ku palingkan wajahku keluar jendela. Kini kami melati alun-alun Batu yang masih sepi.Mas Adit mengarahkan mobilnya menuju Jalan Gajah Mada. Lalu Mas Adit mengambil jalur menuju wisata Selecta."Makin lucu kalau merajuk begitu," candanya membuatku semakin jengkel.Aku terdiam, malas sekali menanggapinya."Bercanda, Sayang. Mas mana tega biarin kamu pulang sendirian, naik bus pula.""Bercandanya gak lucu.""He...he..., maaf deh. Ok?" Mas Adit menggenggam tangan kananku sebagai permohonan maaf.
Mas Adit langsung menghentikan aktifitas makannya. Tatapan tak suka ia tujukan pada seniorku. Sementara aku, masih mencoba mengorek memori, berharap menemukan serpihan nama di masa lalu. Aku benar-benar lupa.Kepalaku mendadak pusing. Namun, wajahnya tak asing. Aku ingat semuanya, sekelebat bayangan masa lalu mendesak hadir kembali. Namun, aku tak berhasil menemukan namanya."Kita sudah selesai, ayo pulang!" Mas Adit menggandeng tanganku paksa."Mas?" aku meminta jawaban. Dengan terseok, aku berdiri.Kenapa tiba-tiba sikap Mas Adit berubah. Apa aku melakukan kesalahan?."Pak, ini uangnya," Mas Adit mengeluarkan selembar rupiah bewarna merah dari dompetnya. Dengan langkah lebar, aku berusaha mengimbangi langkahnya.Aku merasa tak enak dengan kakak seniorku. Dia hanya bengong melihat kami pergi begitu saja."Maaf Mas
"Kamu sudah membuatku marah tadi. Kamu harus menebus kesalahanmu, Yang," ucap Mas Adit serius."Please deh, Pak Dosen.... Aku ini bukan mahasiswimu, aku istrimu. Mentang-mentang dosen hukum, seenaknya sendiri menghukum orang lain. Awas kena karma!" ucapku kesal."Justru karena kamu istriku, Yang. Makanya aku menghukummu.""Sadis kamu, Mas." Mas Adit tersenyum."Sadis mana, aku dengan si Ronald tadi?""Sadis kamu.""Masih saja membela Ronald, awas ya," mas Adit mencubit pipiku gemas."Siapa juga yang membelanya.""Itu tadi buktinya. Ronald yang sudah menghianatimu saja masih di bela.""Aku tidak membelanya, Mas. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.""Ternyata Ronald masih mencintaimu, Yang. Buktinya dia sampe nyamperin tadi.""Sudah deh, jangan mulai
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m
"Ya udah ayo, kita temui Papa dulu!"Kami berjalanan beriringan. Namun, aku masih menyimpan penasaran. Berbagai prasangka singgah di benakku."Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan."Pagi," Mas Adit menjawab ramah."Ada pengantin baru, nih," sapa seseorang lagi. Sepertinya dia kenal dekat dengan Mas Adit. Buktinya, dia tidak memanggil Mas Adit dengan panggilan Bapak, seperti halnya pegawai yang lain."Pagi, Bu, saya Raka, pegawai teladan dan tertampan, di sini," ucapnya berseloroh. Ku jabat tangannya."Udah, jangan lama-lama," Mas Adit menarik kasar tanganku. Melarangku bersentuhan dengan Raka."Sensitif amat pengantin baru.""Biar saja.""Jangan panggil Bu, aku masih muda," aku tidak suka dipanggil dengan sebutan, Bu."Sorry, aku gak bisa datang ke resepsi kal
bab 13"Tedy...," aku tak percaya. Ternyata ada Teddy, teman satu kelompokku magang dulu."Aku kerja di sini, Rei," ucapnya."Wah, ternyata dunia itu kecil, ya. Seneng deh bisa ketemu lagi. Ada teman satu kelompok lain, yang kerja di sini juga, gak?""Gak ada, cuma aku kayanya.""Hem," Mas Adit berdehem. Aduh, aku lupa saking asiknya ngobrol sama Tedy."Kenalkan Ted, ini suamiku," aku merangkul lengan Mas Adit. Semoga saja dia tidak marah karena aku tidak sengaja bertemu Tedy."Tedy, teman kampus Reina," ucapnya ramah sambil menjabat tangan Mas Adit."Saya Adit, suaminya Reina," Mas Adit memeluk bahuku."Kamu nikah kok gak undang-undang, Rei?" ku jawab dengan senyuman terpaksa karena raut muka Mas Adit sudah masam."Tedy, kami permisi dulu, ya. Buru-buru soalnya," ku akhiri sa
Pagi ini, kami tidak jalan-jalan. Pegal semua rasanya badan kami, karena kelelahan. Kami ingin menghabiskan waktu berdua saja hari ini. Sekedar mengobrol ringan sambil di temani camilan khas kota Batu, keripik apel.Sebenarnya, selain keripik apel, banyak lagi buah-buahan yang di jadikan keripik, yaitu keripik salak dan nangka."Nanti jangan lupa beli oleh-oleh, Yang!" Mas Adit mewanti-wanti."Mama sama Papa dibelikan apa, Mas?""Gak usah dibelikan apa-apa. Mama sama Papa cuma pengen cucu aja," matanya mengerling nakal."Semoga saja cepat diberi kepercayaan, Mas," ucapku sambil menulis daftar oleh-oleh dan penerimanya. Tak banyak, tetangga sekitar dan teman-teman mengajar. Mereka sudah berpesan, untuk membawakan oleh-oleh khas Batu jika aku sedang berkunjung."Lihat daftarnya, Sayang!" kuserahkan kertas kepada Mas Adit."Banya
Dengan langkah tergesa, kulangkahkan kaki menuju rumah Mak Ida. Rumah yang hanya berjarak beberapa langkah saja. "Mak, kembalikan makananku!" Gertakku, langsung masuk ke dapurnya lewat pintu samping.Mak Ida yang sedang menata piring, kaget bukan kepalang, melihat kedatanganku. Bahkan, piring yang dipegangnya hampir merosot jatuh."Mana makanan yang Mak ambil tadi? Demi Allah, aku gak ikhlas.""Kamu ini, main nyelonong aja. Gak punya sopan santun. Makanan apa yang kamu tuduhkan?" sengitnya."Jangan pura-pura deh, Mak. Semua makanan di mejaku, tiba-tiba menghilang. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan anda?" tuduhku dengan geram.Rencananya, sayur dan lauk akan kubuat sampai makan siang. Dengan sesuka hatinya, Mak Ida membawa semuanya."Bisa jadi kucing yang makan," belanya tak mau kalah. "Kucing berkepala manusia?" ejekku. Mak Ida mencebik tak suka. "Menghina kamu!" Tunjuknya tepat di mukaku."Jadi betul kan? Gak mungkin juga, kucing bisa menghabiskan ayam dan sayur bersamaan. Lagian,
DrtttGawaiku bergetar, tak hanya sekali, namun sudah berkali-kali. Mataku masih sangat lengket, sekedar untuk dibuka, namun karena getarannya sudah sangat mengganggu, terpaksa aku bangun.Ternyata aku tadi malam memasang alarm. Jam di gawaiku, sudah menunjukan pukul empat pagi. Bahkan, adzan juga belum berkumandang. Segera aku bangun, menyiapkan sarapan, karena Mas Adit dan rombongannya, akan pulang pagi ini juga.Tepat setelah aku selesai mandi, adzan shubuh berkumandang. Kutunaikan terlebih dahulu, kewajibanku.Setelah memasak nasi, aku bergegas ke warung Ratna. Di sana lengkap, menjual sembako, sekaligus aneka sayuran. Rencananya, aku mau masak bening bayam dan ayam goreng."Eh, kapan datang, Mbak Reina?" tanya Mak Romlah. "Tadi malam, Mak. Tumben belanja pagi-pagi?" tanyaku heran, karena biasanya dia belanjanya siang, bareng geng rempongnya Mak Ida."Oh, ini mau ngirim orang kerja di sawah, jadi harus masak pagi.""Oh ...," jawabku sambil menyomot seikat bayam."Mbak Reina, oleh
Aku yang merasa risih, buru-buru membuka pesanan Mak Ida. Tak tanggung-tanggung, apel, jeruk, dan aneka kripik apel, diambilnya. Mau melarang, kesannya aku pelit, tapi gak dilarang, makan hati."Mak ambil yang ini, ya!" Kusodorkan satu kantong besar padanya."Dikit amat, itu masih banyak!" Gerutunya. "Teman-temanku juga mau, Mak, bukan Mak Ida saja," sungutku kesal. Bagimana gak kesal, orang baru sampai, masih capek, sudah direcokin. "Dasar pelit!" Ejeknya sambil berlalu pulang. Kakinya dihentak-hentakan, saat berjalan. "Sabar!" Mas Adit mendekat, meredam emosiku yang siap menyembur.Aku melangkah ke kamar, membersihkan badan, berganti baju, lalu rebahan. Ah, rasanya nikmat sekali, setelah lama duduk di mobil. Tak lama, Mas Adit menyusul ke kamar, dengan wajah tak kalah lelah."Raka sama Pakdhe, tidur di mana? tanyanya. "Di kamar satunya saja. Sebentar, aku bersihkan."Setelah berkata demikian, aku beranjak membersihkan kamar, yang akan digunakan Raka. Meski tubuh amat letih, baga
"Kalian mau lanjut honey moon di Mobil?" Aku mengerjap. Ternyata sudah sampai rumah. Kulirik arloji, ternyata sudah pukul tujuh. Perasaan baru terpejam sebentar."Kok cepet sampainya?" Mas Adit mengerjap."Buruan, mana kunci rumahnya, pegel nih kakiku!" seru Raka.Kurogoh tas selempangku, mencari keberadaan benda yang dicari-cari Raka. Hap, akhirnya ketemu. "Nih!" seruku sambil melempar kunci rumah padanya.Pakdhe Nur menurunkan barang bawaan dari bagasi, sementara Raka, langsung nyelonong masuk. Tak ada angin tak ada hujan, Mak Ida datang ikut nimbrung. Membantu menurunkan barang-barang dari bagasi. "Sehat, Mak?" tanyaku basa-basi."Kamu gak lupa oleh-oleh, buat Mak kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Aku memutar bola malas. Baru saja satu detik bertemu, sudah membuat moodku ambyar. "Mak Ida gak mau tanya kabarku?" "Lha wong kamu sehat gitu, ngapain ditanya," ujarnya tanpa dosa. "Kurang piknik tuh, nenek-nenek," sahut Raka, yang langsung ditoyor kepalanya oleh Mas Adit."Dia Budhe
Tok tok tokPintu diketuk. Gegas kubuka pintu, dan nampak Mbok Yah."Ada apa, Mbok?""Ada Mas Raka sama Ibu, di bawah. Mbak sama Mas Adit disuruh ke bawah!""Mas Adit tidur, Mbok. Ya udah aku aja yang turun. Terima kasih, Mbok."Aku menuruni anak tangga. Tampak Mama dan Raka tengah mengobrol santai."Siang, Ma," kujatuhkan bobotku di sofa tepat di samping Mama."Adit, mana?""Masih tidur, Ma. Biar gak ngantuk nanti nyetirnya.""Kecapekan dia, Tante. Lembur terus sih," canda Raka."Biar nanti sama Raka ke Kedirinya, buat teman ngobrol," ucap Mama mengejutkan Raka."Kok sama aku, Tante. Gak ah.""Kasihan Adit kalau harus nyetir sendiri. Dia sedang capek, kalau ada kamu, kan bisa gantian," ucap Mama enteng.
Pagi ini, kami tidak jalan-jalan. Pegal semua rasanya badan kami, karena kelelahan. Kami ingin menghabiskan waktu berdua saja hari ini. Sekedar mengobrol ringan sambil di temani camilan khas kota Batu, keripik apel.Sebenarnya, selain keripik apel, banyak lagi buah-buahan yang di jadikan keripik, yaitu keripik salak dan nangka."Nanti jangan lupa beli oleh-oleh, Yang!" Mas Adit mewanti-wanti."Mama sama Papa dibelikan apa, Mas?""Gak usah dibelikan apa-apa. Mama sama Papa cuma pengen cucu aja," matanya mengerling nakal."Semoga saja cepat diberi kepercayaan, Mas," ucapku sambil menulis daftar oleh-oleh dan penerimanya. Tak banyak, tetangga sekitar dan teman-teman mengajar. Mereka sudah berpesan, untuk membawakan oleh-oleh khas Batu jika aku sedang berkunjung."Lihat daftarnya, Sayang!" kuserahkan kertas kepada Mas Adit."Banya
bab 13"Tedy...," aku tak percaya. Ternyata ada Teddy, teman satu kelompokku magang dulu."Aku kerja di sini, Rei," ucapnya."Wah, ternyata dunia itu kecil, ya. Seneng deh bisa ketemu lagi. Ada teman satu kelompok lain, yang kerja di sini juga, gak?""Gak ada, cuma aku kayanya.""Hem," Mas Adit berdehem. Aduh, aku lupa saking asiknya ngobrol sama Tedy."Kenalkan Ted, ini suamiku," aku merangkul lengan Mas Adit. Semoga saja dia tidak marah karena aku tidak sengaja bertemu Tedy."Tedy, teman kampus Reina," ucapnya ramah sambil menjabat tangan Mas Adit."Saya Adit, suaminya Reina," Mas Adit memeluk bahuku."Kamu nikah kok gak undang-undang, Rei?" ku jawab dengan senyuman terpaksa karena raut muka Mas Adit sudah masam."Tedy, kami permisi dulu, ya. Buru-buru soalnya," ku akhiri sa
"Ya udah ayo, kita temui Papa dulu!"Kami berjalanan beriringan. Namun, aku masih menyimpan penasaran. Berbagai prasangka singgah di benakku."Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan."Pagi," Mas Adit menjawab ramah."Ada pengantin baru, nih," sapa seseorang lagi. Sepertinya dia kenal dekat dengan Mas Adit. Buktinya, dia tidak memanggil Mas Adit dengan panggilan Bapak, seperti halnya pegawai yang lain."Pagi, Bu, saya Raka, pegawai teladan dan tertampan, di sini," ucapnya berseloroh. Ku jabat tangannya."Udah, jangan lama-lama," Mas Adit menarik kasar tanganku. Melarangku bersentuhan dengan Raka."Sensitif amat pengantin baru.""Biar saja.""Jangan panggil Bu, aku masih muda," aku tidak suka dipanggil dengan sebutan, Bu."Sorry, aku gak bisa datang ke resepsi kal
Bab 11KruuukCacing di perutku berdemo, menuntut haknya. Mas Adit masih terkapar, di sampingku. Kupungut pakainku lalu berjinjit menuju kamar mandi. Tak ingin mengganggu tidur Mas Adit. Sepertinya dia sangat kelelahan. Aku pun tak tega mau membangunkannya.Selesai mandi, kulihat Mas Adit masih tertidur. Mungkin dia memang benar-benar lelah. Kutinggalkan Mas Adit yang masih pulas, menuju balkon, menikmati hangatnya mentari."Mas, bangun!" kugoyangkan tubuhnya.Belum ada reaksi, padahal perutku sudah tidak bisa diajak kompromi ini."Mas, ayo cepat bangun!" Mas Adit hanya menggeliat sebentar, namun matanya tetap terpejam."Mas, aku kelaparan. Kalau gak mau bangun, aku cari makan sendiri aja," bisikku di telinganya.Sontak Mas Adit langsung membuka matanya."Mas sudah bangun," ucapnya seraya mengucek m