Home / Pernikahan / SELALU DICAP MANDUL / PAK MARJAN TETANGGA JULID

Share

PAK MARJAN TETANGGA JULID

Sejak kejadian itu, Izza tidak pernah kerumah mertuanya sampai hampir 2 bulan. Dia paham, bahwa dirinya harus menetralisir emosinya. Dan hal itu bisa ia lakukan dengan menjauhi orang2 itu. Dia butuh menyembuhkan hatinya. Hal ini yang selalu Izza lakukan setelah perasaannya dilukai. Setelah ia disudutkan perihal kekurangannya yang belum bisa menjadi ibu.

Namun, Izza tetap meminta Yanto mengunjungi ibu mertuanya itu. Dan setiap minggu pun, Yanto kerumah ibunya untuk memberi uang jajan untuk sang ibu.

"Izza mana, Yan? Kok lama gak ikut kesini?" tanya Bu Ami kala melihat Yanto mampir sendirian sepulang kerja.

"dia lembur, Bu. Di kantornya banyak kerjaan," jawab Yanto, ia berbohong.

"Ohh, suruh nginep di sini saja kalau lembur. Kasihan rumah kalian jauh. Tidur di sini saja, ya. Besoknya berangkat kerja dari sini, kan deket thoo? Cuma 15 menit saja ke kantor Izza," lanjut Bu Ami.

"Ndak ah, Bu. Izza itu gak bisa tidur kalau gak meluk gulingnya yang sudah kusut itu. Katanya itu guling kenangan," jawab Yanto, mencoba mencairkan suasana. Diiringi tawa Bu Ami.

Bu Ami adalah mertua yang baik, sabar, penyayang, dan lemah lembut. Beliau tak pernah mempertanyakan soal cucu kepada Izza ataupun Yanto. Beliau juga cuek soal kehamilan dan momongan. Beliau bahkan tak pernah bertanya tentang hal-hal privasi mengenai anak dan menantunya.

"Ibu minta maaf ya, Le. Perihal tempo hari." Bu Ami melanjutkan obrolan.

Le adalah bahasa jawa yaitu panggilan untuk anak laki-laki. (Tole/Le).

"Apa sih buk? Udah, gak usah dibahas. Ibu gak usah minta maaf juga. Toh bukan salah ibu, kan?" jawab Yanto sambil menyeruput kopi di hadapannya.

"Ibu itu lho sebenarnya juga ikutan sedih, Le. Seminggu setelah resepsi pernikahan adikmu, Ragil. Dia tiba-tiba bilang kalau istrinya tengah hamil dan sudah memasuki 5 bulan.

Ibu waktu itu ya cuma manggut-manggut sambil membatin. -Lhoo kok hamil duluan? Kan kasian nanti mbak nya? Izza belum hamil, ini kok Asih sudah hamil duluan?- Bukannya ibu gak bersyukur mau nambah cucu. Tapi, gimana ibu mau cerita ke istrimu soal kabar ini? Pasti dia sedih, pasti dia kecewa. Terus ibu cerita ke mbakmu Si Nana, Ibu bilang gimana ini, Nduk? Asih, adikmu itu hamil, dan sudah memasuki bulan ke-5. Padahal, resepsi baru usai digelar. Bagaimana kita memberi tahu adikmu yang satunya? si Izza? Mbak Nana-mu bilang kalau Izza sudah tau dari si Asih sendiri. Lewat HP. Iya tah, Le??." Bu Ami berbicara menjabarkan isi hatinya.

"Iya Bu. Izza tau dari status Asih di WA. Tapi dia kuat kok. Ibu gak usah khawatir," ucap Yanto meyakinkan ibunya.

"Yo wes Le, kalau Izza kerjaannya sudah gak lembur-lembur, ajak dia kesini ya. Ibu kangen," lanjut Bu Ami.

"iya, Bu." Jawab Yanto singkat.

Sore itu Yanto dan Bu Ami ngobrol ngalor ngidul umumnya anak dan ibu. Sesekali mereka tertawa sambil bercerita tentang hal-hal konyol. Bu Ami bercerita tentang rutinitasnya mengolah sawah dan tak terasa senja mulai merayap. Yanto-pun pamit pulang. Karena Yanto ingat ada kegiatan ngaji bersama di kampung ba'da isya' nanti.

*************

Sehabis sholat isya', Yanto bersiap-siap berangkat ke masjid. Ada acara mengaji rutin di sana setiap malam jumat. Sudah menjadi rutinitas bagi warga laki-laki di kampung.

Yanto berangkat bersama kakak iparnya, Saipul.

Saipul ini adalah suami dari mbak kandung Izza. Jadi, Yanto dan Saipul sama-sama menantu di keluarga Izza.

"Mas, ayo berangkat, nanti kita terlambat." Yanto memanggil Saipul dari pagar rumahnya. Rumah mereka bersebelahan.

Singkat cerita mereka pun berangkat. Sesampai di masjid, beberapa jamaah sudah datang. Tapi, Pak Ustadz belum datang. Ada sedikit halangan yang membuat Pak Ustadz datang terlambat.

"Lhoo, Mas Saipul sama Mas Yanto, sini duduk di dekat saya." Laki-laki paruh baya itu memangil Saipul dan Yanto untuk bersila di sebelahnya. Dia adalah Pak Marjan. Laki-laki berusia 45 tahun yang suaranya sangat lantang kalau berbicara, dan selalu berbicara dengan nada 4 sampai 5 oktaf. Entah itu bawaan lahir atau apa.

Yanto dan Saipul sebenarnya ogah duduk di dekat Pak Marjan. Tapi, tempat lain sudah penuh. Akhirnya, mereka pun duduk di sebelah Pak Marjan. Sambil menunggu Pak Ustadz datang, mereka menenggak teh hangat sambil ngobrol satu sama lain.

Dan tiba-tiba Pak Marjan membuka obrolan, "Mas Yanto ini, gimana sampean ini mas? Kerja ke kota berangkat pagi pulang sore, tapi gak punya anak. Rugi lhoh. Lihat tuh kakak iparmu, si Saipul, langsung jadi thooh? Nikah, kawin, langsung bunting tub istrinya. Pintar bikin lho. Belajar dong sama kakakmu." Dia berkata sambil nyelonong saja itu mulut, seakan-akan tak peduli ada hati yang terluka di sebelahnya.

"Rugi ngasih nafkah ke istri kalau istrimu kagak bisa bunting, Mas. Sungguh. Apa mau saya ajari caranya?" Mulut Pak Marjan terus saja mengucapkan hal-hal yang bukan urusan dia.

Jamaah lain menoleh. Ada yang terlihat tidak nyaman. Ada yang menanggapi dengan tertawa. Mungkin dikira ini adalah lawakan receh. Ada yang tersenyum menguatkan Yanto.

Yanto tak menanggapi. Dia beringsut pindah tempat. Menjauh dari Pak Marjan. "aya pindah di dekat pintu saja, Mas. Sambil ngisis (mencari angin segar)," ucap Yanto kepada Saipul.

Tak lama kemudian, Pak Ustadz datang. Ngaji dimulai seperti biasanya dan berakhir jam 21.00.

Di perjalanan pulang, Yanto dan Saipul berjalan bersama beberapa warga lain. Tiba-tiba Pak Marjan muncul lagi. Dia menepuk bahu Yanto.

"Ayoo, Mas. Lekas dihamili itu istrinya. Waahh jangan-jangan kalian KB ya? ngapain KB sih? Waah pasti kalian gak mau punya anak yaa?" Mulut Pak Marjan terus saja memburu.

Tidak ada bedanya dengan emak-emak.

Di sisi lain jalan raya, juga beriringan beberapa orang jamaah ngaji tadi.

"Woy, Rek (bahasa jawa rek = kawan-kawan/ guys) ini lhoo, Mas Yanto ini, sudah lama menikah, tapi istrinya mandul. Lama sekali dia ini, gak punya anak."

Pak Marjan seperti memproklamasikan kemerdekaan di tengah-tengah jalan, menggebu-gebu.

Degh! Dada Yanto terasa sakit. Tapi ia malas berdebat. Apalagi menanggapi laki-laki macam Pak Marjan. Yanto juga tau diri, ia di kampung ini hanyalah pendatang. Dia menetap di sini karena ikut istrinya.

Segera Yanto mempercepat langkahnya mendahului kerumunan orang-orang itu. Memang hanya mulut Pak Marjan yang julid. Tapi, Yanto khawatir jika ada warga lain yang ikut-ikutan menimpali. Dan Yanto juga tidak mau jika tiba-tiba ia kehilangan kontrol emosi. Apalagi ia hanyalah pendatang. Ia harus menjaga nama baik keluarga Izza sebagai warga asli kampung ini.

*********

Sesampai di rumah, Yanto langsung ganti baju dan duduk di depan TV. Izza sedang nonton tv sambil melipat baju.

"Yang..., aku mulai kamis depan gak ikut pengajian ya." Yanto memulai obrolan.

"Lho.., kenapa sayang?" timpal Izza.

"Anu..., kayaknya aku tiap kamis bakalan agak malem pulangnya. Tadi pak boss baru ngasih info sih," kata Yanto.

"Ya.., gak malam-malam amat. Mungkin maghrib aku baru nyampe rumah. Jadi, gak bisa ikut ngaji. Gak papa yaa aku absen sementara. Nanti juga ikut lagi kok kapan-kapan."

Yanto sengaja berbohong agar istrinya tak ikut bersedih atas perlakuan Pak Marjan tadi.

Padahal, ia trauma dengan Pak Marjan yang sudah lama usil mempermalukan Yanto setiap kamis.

"Iyaa gak papa. Ngaji kan gak hanya di masjid. Dan gak cuma tiap kamis juga bisa. Banyak media buat kita nambah ilmu agama kok," jawab Izza sambil menepuk bahu suaminya dan berlalu menata lipatan baju di lemari.

Yanto tersenyum manis. Tapi di dalam hatinya ada luka. Yaah... dan lagi-lagi, itu adalah luka yang sama.

Apakah dengan menghindari Pak Marjan di pengajian, akan membuat Yanto bebas dari cibiran Pak Marjan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status