Share

SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP
SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP
Penulis: El Furinji

AWAL

Penulis: El Furinji
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-29 07:40:29

SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP

“Sampai kapan Mbakmu tinggal di sini, Sil?” tanya suamiku.

Aku yang sedang melipat baju sontak menghentikan aktivitas, menoleh pada lelaki yang duduk di depan meja rias sambil memegangi kepala.

“Entahlah, Mas! Aku juga enggak tahu.” Lebih dari sepuluh kali Mas Adam menanyakan hal itu, dan aku selalu menjawab dengan kalimat yang sama.

“Ya kamu tanya sama dia. Mau berapa lama mengganggu hidup kita?”

“Tapi, Mas ... aku khawatir nanti malah dikira kita mengusir. Lagian rumah Mbak Nina sudah dijual, jadi dia mau pulang ke mana?”

“Pulang kampung kan bisa! Daripada di sini hanya jadi bebanku. Aku enggak sanggup jika terus-terusan menafkahi mereka!”

Wajar jika Mas Adam mengeluh. Tiga bulan belakangan Mbak Nina dan anaknya tinggal bersama kami. Semua kebutuhan hidup kami yang menanggung karena dia enggak bekerja. Namun, aku tak sampai hati jika memintanya pergi. Biar bagaimanapun kami dibesarkan dengan kasih sayang yang sama.

Mas Adam menyugar rambut kasar, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Sesekali tampak memijit pelipis, mungkin saking pusingnya memikirkan semua ini.

Sejak pertama kali Mbak Nina menginjakkan kaki di rumah ini, Mas Adam sudah menunjukkan rasa tidak suka, bahkan secara terang-tangan menolak saat dimintai tumpangan. Namun, karena aku terus membujuk, akhirnya dia luluh dan mengizinkan kakak perempuanku tinggal di sini sementara waktu.

Bukan hal aneh jika Mas Adam bersikap seperti itu mengingat bagaimana Mbak Nina memperlakukan kami dulu. Saat berada di puncak kesuksesan, kakak perempuanku selalu rajin menghina kami yang hidup serba pas-pasan.

Tak jarang Mbak Nina sengaja mempermalukan kami di depan keluarga besar saat sama-sama pulang kampung. Sematan kata miskin begitu lekat menempel pada kami. Pun olok-olok sengsara sepanjang masa yang kerap dia lontarkan saat di keramaian.

Pernah suatu ketika di depan semua keluarga Mbak Nina sengaja mempermalukan Mas Adam dengan membanding-bandingkan dengan suaminya yang seorang pengusaha. Tentu suamiku menjadi kerdil dengan pekerjaan yang tak menentu.

Lelaki itu bangkit, berdiri kemudian berpindah duduk di sebelahku. “Dulu rumah ini menjadi tempat ternyaman untukku. Tapi kenyamanan itu hilang saat ada orang lain tinggal di sini.”

“Mbak Nina bukan orang lain, Mas! Dia kakakku satu-satunya!” Aku memprotes.

“Apa kamu lupa bagaimana dia memperlakukan kita dulu? Apa masih pantas dianggap kakak?” Sepasang mata Mas Adam lekat menatap, membuatku sedikit gugup.

“Mas ... semua telah berlalu. Mbak Nina juga sudah meminta maaf. Aku harap kita tak terus menyimpan dendam. Enggak baik,” ucapku menasihati.

Hal terbaik adalah memberi maaf pada orang yang sudah berkali-kali menyakiti. Bahkan akan lebih mulia jika membalas semua kejahatan dengan kebaikan.

“Memaafkan bukan berarti harus menafkahi terus-terusan kan? Kalau sehari dua hari aku masih bisa mengerti, tapi ini sudah hampir tiga bulan!” Nada suara Mas Adam terdengar meninggi.

Aku tak berani menyahut. Hanya menunduk, menatap ujung jari kaki. Apa pun yang mas Adam katakan, itu tak akan membuatku mengusir Mbak Nina. Masih ingat betul pesan orang gua dulu bahwa suami bisa menjadi mantan, sedangkan tak ada istilah mantan saudara.

“Kalau seperti ini, apa bedanya dengan aku menafkahi dua istri? Toh ... apa yang kita makan selali bersama Mbak Nina. Jajan anak-anak juga. Semua sama!”

Sontak aku mengangkat wajah, mendelik menatap Mas Adam.

“Kamu mau menikah lagi? Kamu mau dua istri?” seruku.

“Aku tak mengatakan begitu. Hanya saja saat di rumah sudah tak ada kenyamanan, kebanyakan lelaki akan mencari tempat lain.”

“Kamu sudah enggak nyaman, Mas? Bukankah sejak dulu aku tak pernah berubah? Aku selalu melayanimu sebaik yang aku mampu? Kenapa kamu mengatakan begitu?” Dengan sepasang mata yang mulai mengembun, aku mencecar Mas Adam. Rasanya tak terima jika dianggap tak lagi memberinya kenyamanan.

“Bukan kamu. Tapi kebodohanmu yang membiarkan Mbak Nina tetap di sini. Itu yang membuatku tak nyaman. Jika benar-benar tak punya tempat tinggal, aku bisa maklum. Mbak Nina bisa pulang kampung dan tinggal bersama Bapak Ibu. Daripada di sini hanya jadi beban orang!”

“Tapi di kampung sulit mendapat pekerjaan, Mas!”

“Memangnya di sini dia kerja? Enggak to! Lalu apa bedanya?” Mas Adam tersenyum sinis. Detik berikutnya dia bangkit lalu beranjak keluar.

“Mau ke mana, Mas?” Aku berteriak mengejar.

“Keluar. Cari ketenangan!” teriaknya sambil terus menjauh, bahkan tanpa menoleh.

Akhir-akhir ini Mas Adam memang sering keluar malam. Terkadang malah baru pulang selepas subuh dan kemudian berangkat kerja. Aku nyaris kehilangan waktunya.

***

Berkali-kali aku mondar-mandir di teras menanti Mas Adam pulang. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sepuluh, tapi sejak keributan tadi suamiku belum juga kembali.

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di halaman rumah. Seorang perempuan yang sangat kukenali membuka pintu, kemudian melambaikan tangan pada mobil yang sudah kembali melaju.

“Lagi ngapain kamu di teras malam-malam, Sil? Tanya Mbak Nina-perempuan yang baru datang itu.

“Nunggu Mas Adam, Mbak. Sejak Isya dia pergi,” sahutku.

“Waduh ... ke mana dia?”

“Enggak tahu,” aku menggeleng pelan.

“Kamu harus hati-hati, Sil! Jangan-jangan suamimu sedang bersama perempuan lain,”

Aku terenyak. Selama ini aku tak pernah berprasangka sampai sejauh itu. Namun, ucapan Mbak Nina seperti memaksaku untuk curiga. Di tambah lagi saat keributan tadi Mas Adam membawa-bawa soal dua istri.

“Tapi masa iya Mas Adam begitu, Mbak? Enggak mungkin!” protesku.

“Jaman sekarang apa sih yang enggak mungkin? Tapi terserah kamu saja. Sebagai kakak aku sudah memperingatkan. Kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!” ujar Mbak Nina sembari menyelong masuk.

Aku masih berdiri mematung, memikirkan perkataan Mbak Nina. Jika ditelisik lebih dalam, ada benarnya juga. Aku memang harus berhati-hati, apalagi sekarang Mas Adam sering keluyuran malam-malam. Jangan-jangan dia bermain api di belakangku. Jika iya, awas saja!

Bab terkait

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 2

    Seperti hari-hari sebelumnya, aku menjalani rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Membereskan rumah setelah Mas Adam berangkat kerja. Mbak Nina-kakak perempuanku belum keluar kamar. Biasanya dia baru bangun setelah mendekati pukul sepuluh siang. Aku tak mempermasalahkan hal itu karena kuanggap dia tamu, jadi tak berkewajiban membantu pekerjaanku. Terdengar dering nada panggilan saat aku sedang mencuci. Gegas kutinggalkan pekerjaan ini demi melihat siapa yang menghubungi. Rupanya, suamiku yang menelepon.“Assalamu alaikum, Mas!” ucapku setelah menggeser tombol hijau. “Waalaikum salam. Tolong transfer uang tabungan ke rekeningku, Sil. Tadi aku menabrak orang,” jawab Mas Adam dengan nada suara terdengar gugup.“Nabrak di mana, Mas? Kamu enggak apa-apa kan? Sekarang di mana?” Panik? Tentu saja! Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Mas Adam. Takut kalau-kalau dia terluka parah. “Aku enggak apa-apa, tapi yang kutabrak masuk rumah sakit. Makanya aku minta kamu transfer uang,” jelas suamiku.

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-29
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 3

    POV ADAMSudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Setelah harus menafkahi kakak ipar yang selama ini sering menghina, sekarang aku harus bertanggung jawab atas perempuan yang tak sengaja kutabrak saat hendak berangkat kerja. Parahnya lagi, uang tabungan yang sejatinya bisa digunakan untuk keadaan darurat, ternyata sudah dipinjamkan oleh Sila tanpa sepengetahuanku. Semula aku sempat menganggap istriku perempuan bijak karena mau memaafkan Mbak Nina setelah segala hinaan yang kami terima. Namun, ternyata dugaanku salah. Sila tak lebih dari perempuan bodoh yang tak bisa membedakan mana hak dan kewajiban. Menyebalkan! Aku melajukan motor yang sebagian body-nya penyok, bahkan bagian slebor depan hilang saat kecelakaan tadi. Insiden itu memang bukan sepenuhnya salahku, tapi sebagai pengendara aku merasa bertanggung jawab atas pejalan kaki yang kini berada di rumah sakit.Sambil berkendara aku terus memikirkan cara mendapat uang

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-29
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 4

    Di sudut ruangan aku terdiam menatapi bocah lelaki yang terlelap. Iba melihat wajah polos itu harus kekurangan kasih sayang. Akhir-akhir ini Mas Adam telah banyak berubah. Jarang dia memiliki waktu untuk kami bersama. Yang lebih parah, dua malam belakangan suamiku justru tak tidur di rumah. Kalaupun dia marah karena Mbak Nina masih tinggal di sini, setidaknya tak sampai mengabaikan anak-anak. Jangan jadikan bocah yang tak berdosa sebagai korban keegoisan. “Ini juga salahmu, Sil! Kenapa masih membiarkan kakakmu tinggal di sini, sedangkan kamu tahu suamimu tak menginginkannya!” “Tidak! Ini bukan salahmu! Seharusnya Adam bisa mengerti posisimu. Bukankah menerimamu harus menerima keluargamu juga?” Suara batin berebut mengganggu pikiran. Dilema kian nyata membuat denyut nyeri di kepala semakin terasa. Satu sisi aku ingin menuruti keinginan Mas Adam, di sisi lain aku juga tak tega jika harus membiarkan saudara sedarah menjadi gelandangan. Sebentar kemudian aku bangkit lalu melongok kam

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-29
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   TEGAS

    POV ADAMAku merasa lega setelah menceritakan yang kualami pada Bu Hana. Satu hal yang menjadi alasan kenapa aku mau berbagi cerita kehidupan adalah karena perempuan itu lebih dulu menceritakan kehidupan keluarganya. “Sudah kebangeten kan istriku,” ucapku selesai bercerita. Perempuan itu justru tersenyum. Tidak ikut merasa kesal seperti apa yang kuharapkan. “Jangan berprasangka dulu. Barangkali istrimu punya alasan tersendiri kenapa sampai berbuat seperti itu,” sahutnya bijak. “Ah ... enggak mungkin, Bu! Aku sudah mengatakan enggak nyaman dengan kehadiran kakaknya, bahkan pernah kubertanya sampai kapan kakaknya di sini. Tapi dia tetap saja enggak mau meminta kakaknya pergi,” Perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dariku itu menatap lekat ke arahku. “Apa kamu sudah pernah meminta secara langsung pada kakak iparmu untuk pergi dari rumahmu?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. “Masa iya aku terang-terangan meminta dia pergi. Segan lah!” Bu Hana menarik nafas panjang. Lalu perla

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-29
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   Bab 6

    Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya. Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku? Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor. Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina. “Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya. Dia menggeliat. “Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata. “Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku. “Iya,” Ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-04
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   Bab 7

    POV ADAMAku mengerjapkan mata saat merasa ada yang menindih tubuh. Semula aku pikir ini kelakuan Sila karena hampir sepuluh hari aku tak menyentuh. Namun, betapa terkejutnya saat kulihat wajah lain yang tengah menghujaniku dengan ciuman. Secepat kilat aku mendorong hingga dia terpental. “Aw ....” Dia memekik kesakitan sambil berusaha bangkit. “Gila kami, Nin!” Aku mengumpat kasar. Ini sudah kali ke empat Kakak iparku mencoba memaksakan keinginannya, tapi selalu tegas kutolak. Bukan munafik, aku hanya berusaha menjadi suami setia sebisaku. Kalaupun selingkuh, tentu bukan dengan Kakak iparku sendiri karena akan lebih menyakiti hati Sila. “Kamu yang membuatku Gila, Dam! Ayolah, mumpung Sila enggak di rumah.” Tanpa malu perempuan itu mendekat dan hendak bergelayut, tapi aku lekas berdiri menjauh. “Sadar, Nin! Sadar. Aku adik iparmu,” Dia ikut bangkit. “Tidak, Dam! Aku tak pernah menganggap kamu adik ipar. Bagiku kamu tetaplah Adam, kekasihku. Ayolah, jangan pura-pura. Bukankah sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 8

    Ucapan Mas Daffa tadi siang masih berdengung di telinga. Kata-katanya memaksaku untuk curiga dengan Mbak Nina, kakakku sendiri. Terlebih jika mengingat bahwa mereka pernah dekat. Ah ... masa sih begitu? Jangan-jangan ini hanya bualan Mas Daffa saja karena tak terima ditinggal Mbak Nina. Sempat ingin menanyakan langsung pada Mas Adam, tapi suamiku sekarang telah berubah. Dia tak mau mendengar sedikit pun aku bicara. Malah pergi entah ke mana. Atau dia sedang ke rumah sakit lagi? Jujur. Aku lelah dengan semua ini. Aku merindukan kedamaian seperti dulu. Saat hari-hari kami masih diwarnai canda dan tawa, bahkan nyaris tak ada pertengkaran. Namun, agaknya kebahagiaan itu akan susah kuulang mengingat Mas Adam akan tetap marah jika Mbak Nina masih di sini. Sejenak aku diam. Mencoba merenungi setiap apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya kusadari bahwa semua berubah sejak Mbak Nina di sini. Kutarik nafas panjang lalu menghempaskan perlahan. Hati berkata bahwa aku harus bicara dengan Mba

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-07
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 9

    Senja hampir berlalu saat aku sampai rumah. Gontai langkah terayun naik ke teras. Sesosok perempuan berwajah polos menyambut dengan seulas senyum. Namun, entah mengapa senyum itu tak lagi mampu menggetarkan hati. “Mau aku buatkan minum atau mandi dulu, Mas?” tawar Sila istriku. Kelembutan sebagai seorang istri memang tak kuragukan. Pun kepiawaian menyiapkan semua kebutuhan. Hanya saja sikap yang membiarkan kakaknya tetap di sini, itu yang membuatku muak. “Enggak usah!” Aku terus berjalan melewatinya. Meski tak menoleh, derap kaki yang terdengar membuatku tahu jika Sila mengikuti. Aku terus melangkah masuk ke kamar dan langsung duduk di depan meja rias. Dari balik pantulan cermin terlihat dia mendekat. “Kamu kenapa, Mas? Kok kusut banget?” tanyanya. Aku menoleh. Kemudian bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Duduk, Sil!” Aku menepuk bagian kasur di sebelahku. Sila mendekat kemudian duduk. “Ada apa, Mas?” Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop coklat yang kudapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-08

Bab terbaru

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

DMCA.com Protection Status