Share

Bab 6

Penulis: El Furinji
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-04 18:19:54

Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya.

Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku?

Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor.

Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina.

“Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya.

Dia menggeliat.

“Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata.

“Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku.

“Iya,”

Kemudian aku kembali ke ruang tengah. Pamit pada dua bocah seumuran itu.

“Devan, Raka ... nanti kalau mau sesuatu bangunkan Mama Devan ya,” pesanku pada bocah yang usianya belum genap lima tahun.

“Iya, Ma,” sahut Raka, anakku, sementara Devan terlalu fokus pada layar si depannya.

Lalu, aku segera berangkat ke pasar hendak membeli beberapa bumbu dapur. Semua stok habis karena memang aku hanya membeli sedikit.

**.

Mengendarai sepeda motor Mas Adam, Aku menyusuri jalanan yang ramai akan hilir mudiknya roda empat. Beberapa di antaranya saling menyalip berebut di depan, bahkan terkadang mengabaikan keselamatan. Bagi pemotor sepertiku, ini hal yang menyebalkan. Di mana mereka sering memaksaku turun ke bahu jalan saking takutnya celaka.

Belum sampai di tempat tujuan, motor yang kukendarai mendadak mati mesin. Aku yang enggak seberapa tahu soal motor, hanya mencoba men-starter berkali-kali, tapi tak membuahkan hasil.

Aku menghela nafas panjang bingung harus meminta bantuan siapa. Bengkel memang sudah dekat, tapi dengan uang yang pas-pasan, rencana belanjaku bisa ambyar.

Tepat di saat aku berada di fase panik, sebuah mobil mendadak berhenti persis di depanku. Aku memandang dengan keheranan sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang lelaki yang kukenali muncul.

Adalah Mas Daffa, mantan sumi Mbak Nina. Lelaki itu melempar senyum sambil berjalan mendekat.

“Kenapa, Sil?” tanyanya.

“Enggak tahu, Mas! Tiba-tiba mogok,” sahutku jujur tanpa sedikit pun berharap dia membantu.

“Bawa ke bengkel saja. Di depan kan ada,”

“Iya. Ini juga mau ke sana.”

Aku sedikit mendorong motor berharap lelaki yang telah menghancurkan hidup kakakku segera pergi. Namun, nyatanya dia malah semakin mendekat.

“Sini biar aku yang dorong. Kamu ikut mobil saja.” Tanpa aba-aba Mas Daffa langsung meraih setang motor, memaksaku menjauh. Sebab, jika tidak tubuh kami akan menempel.

“Enggak usah, Mas! Biar aku saja!”

“Sudah! Nurut saja. Kamu masuk mobil gih!” Lelaki itu terus mendorong motor, bahkan kali ini sudah melewati mobilnya.

Dengan segala keterpaksaan aku masuk ke mobil di mana seorang sopir telah menunggu. Detik berikutnya mobil meluncur dan berhenti di depan bengkel terdekat. Aku lekas turun menunggu Mas Daffa yang mendorong motor.

Tak sampai lima menit, lelaki itu telah sampai. Dia menyeka keringat yang membanjiri dahi, lalu mendekati montir dan bicara sesuatu.

Beberapa saat bicara, sang montir mendekati motorku kemudian membawa untuk diperbaiki, sementara Mas Daffa mendekat ke arahku.

“Sil, kita nunggu di sana saja yuk!” ajaknya sembari menunjuk ke sebuah bangunan yang menyerupai tempat ngopi.

“Enggak usah deh, Mas! Aku nunggu di sini saja!”

“Ini bakal lama, Sil! Kita ke sana saja. Sekalian ada yang mau aku bicarakan,”

Aku mengernyit. “Bicara apa?”

“Tentang kakakmu. Udah yuk ikut saja!”

Rasa penasaran memaksaku mengekori langkah Mas Daffa. Kemudian kami masuk ke dalam yang suasananya masih sangat sepi. Tak ada seorang pun terlihat kecuali mereka yang mengenakan pakaian serupa.

Mas Daffa memilih meja di sudut ruangan untuk kami duduk. Seorang pelayan membawa buku menu menawarkan menu andalan.

“Kamu pesan apa, Sil?”

“Air putih dingin saja!” jawabku.

Mas Daffa mengulum senyum kemudian dia memesan dua gelas jus Alpukat. Pelayan itu pergi dan lekas kembali dengan pesanan Mas Daffa tanpa membawa pesananku. Ah ... apa ada yang salah dengan pesananku?

Lelaki yang pernah menjadi kakak iparku itu menyeruput sedikit minumannya, lalu meletakkan kembali.

“Bagaimana kabar kakakmu?” tanyanya kemudian.

“Seperti kebanyakan perempuan yang dikhianati,” sahutku ketus.

Entah kenapa ada semacam kebencian setiap mengingat lelaki itu telah mengkhianati Mbak Nina. Gara-gara dia juga aku dan Mas Adam jadi sering ribut.

Dia tersenyum. “Bukan aku yang berkhianat. Tapi kakakmu!”

“Hei! Jangan asal bicara kamu. Jelas-jelas kamu yang membawa perempuan lain ke rumah. Kenapa malah menyalahkan Mbak Nina!” protesku tak terima.

Kembali dia tersenyum. Tak langsung bicara seakan memberiku waktu untuk mengatur nafas.

“Kelihatannya begitu. Tapi kenyataannya justru dialah yang mengkhianatiku.”

Aku menatap nyalang pada lelaki di hadapanku. Dada naik turun seiring nafas yang memburu tak beraturan. Biarpun bukan aku yang dikhianati, tapi ikut sakit saat kakakku merasakan sakit.

“Jangan memutar-balikkan fakta! Mana buktinya?” Aku menggebrak meja hingga air dalam gelas mengombak. Bahkan beberapa orang pelayan mencuri pandang ke arah kami.

“Kamu tak perlu tahu buktinya. Cukup aku saja!” sahutnya.

Aku semakin jengkel. Seenak jidat dia menuduh dan saat diminta bukti malah bilang kayak begitu. Dasar lelaki!

Sebutkan saja jika memang kamu tidak sedang membual!” Aku mencibir.

“Kamu yakin mau tahu buktinya?” Mas Daffa memasang wajah serius.

“Tentu saja!”

Lelaki itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menghela nafas panjang dengan tatapan menerawang lurus ke depan.

“Selama ini Nina tak pernah mencintaiku, melainkan hanya menjadikan aku pelampiasan.

Bukan sekali dua kali kudengar dia mengigau menyebut nama lelaki lain, bahkan pernah saat bercinta dia juga pernah keceplosan menyebut nama orang,” jelasnya.

Aku yang sejak tadi memasang telinga, sedikit pun tak percaya. Aku yakin dia hanya membual, mencari alibi. “Jangan mengada-ada!”

“Aku tak mengada-ngada. Begitulah kenyataannya. Yang paling menyedihkan nama lelaki yang disebut Nina adalah Adam, suamimu!”

Kontan saja aku terperangah! Mas Daffa sudah berlebihan dalam mengarang cerita dan aku tak terima.

“Hei!” Aku membentak.

“Kenapa? Kaget? Enggak percaya? Bukan hanya kamu saja yang kaget. Dulu aku juga begitu. Awalnya tak percaya, tapi setelah melakukan penyelidikan, ternyata sejak dulu Nina mencintai Adam, bahkan jauh sebelum kamu menikah, mereka dekat.”

Aku menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang mendadak tercekat. Terlepas dari benar atau tidak yang dia katakan, mendadak aku khawatir pun bingung.

Benar. Aku kenal Mas Adam juga dari Mbak Nina. Saat itu teman-teman kakakku datang ke rumah dan salah satunya ada Mas Adam. Dari situ kami mulai berkenalan dan semakin dekat.

“Kamu boleh enggak percaya dengan ucapanku. Kalau ingin lebih jelas tanyakan saja pada suamimu,” ujar Mas Daffa.

Kutatap lekat sepasang mata Mas Daffa, tapi tak kutemukan kebohongan di sana. Mendadak aku menjadi bimbang, antara percaya atau tidak. Pasalnya selama ini baik Mbak Nina ataupun Mas Adam tak pernah bercerita kalau mereka pernah dekat.

Apa ini yang jadi alasan kenapa Mbak Nina tak mau pergi dari rumahku? Jangan-jangan dia mau merebut Mas Adam dariku? Ah ... tidak!

Apa ini pula yang jadi alasan kenapa Mas Adam tak nyaman dengan kehadiran Mbak Nina, bahkan awalnya dia tak mengizinkan kakakku menginap barang sehari?

Ah ..., tapi kenapa dulu Mbak Nina sering mengejek miskin suamiku? Kalau cinta kenapa begitu?

Mendadak kepalaku berdenyut nyeri memikirkan hal itu. Antara takut, bingung dan marah campur aduk menjadi satu, membuat otak menjadi tumpul.

Bab terkait

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   Bab 7

    POV ADAMAku mengerjapkan mata saat merasa ada yang menindih tubuh. Semula aku pikir ini kelakuan Sila karena hampir sepuluh hari aku tak menyentuh. Namun, betapa terkejutnya saat kulihat wajah lain yang tengah menghujaniku dengan ciuman. Secepat kilat aku mendorong hingga dia terpental. “Aw ....” Dia memekik kesakitan sambil berusaha bangkit. “Gila kami, Nin!” Aku mengumpat kasar. Ini sudah kali ke empat Kakak iparku mencoba memaksakan keinginannya, tapi selalu tegas kutolak. Bukan munafik, aku hanya berusaha menjadi suami setia sebisaku. Kalaupun selingkuh, tentu bukan dengan Kakak iparku sendiri karena akan lebih menyakiti hati Sila. “Kamu yang membuatku Gila, Dam! Ayolah, mumpung Sila enggak di rumah.” Tanpa malu perempuan itu mendekat dan hendak bergelayut, tapi aku lekas berdiri menjauh. “Sadar, Nin! Sadar. Aku adik iparmu,” Dia ikut bangkit. “Tidak, Dam! Aku tak pernah menganggap kamu adik ipar. Bagiku kamu tetaplah Adam, kekasihku. Ayolah, jangan pura-pura. Bukankah sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 8

    Ucapan Mas Daffa tadi siang masih berdengung di telinga. Kata-katanya memaksaku untuk curiga dengan Mbak Nina, kakakku sendiri. Terlebih jika mengingat bahwa mereka pernah dekat. Ah ... masa sih begitu? Jangan-jangan ini hanya bualan Mas Daffa saja karena tak terima ditinggal Mbak Nina. Sempat ingin menanyakan langsung pada Mas Adam, tapi suamiku sekarang telah berubah. Dia tak mau mendengar sedikit pun aku bicara. Malah pergi entah ke mana. Atau dia sedang ke rumah sakit lagi? Jujur. Aku lelah dengan semua ini. Aku merindukan kedamaian seperti dulu. Saat hari-hari kami masih diwarnai canda dan tawa, bahkan nyaris tak ada pertengkaran. Namun, agaknya kebahagiaan itu akan susah kuulang mengingat Mas Adam akan tetap marah jika Mbak Nina masih di sini. Sejenak aku diam. Mencoba merenungi setiap apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya kusadari bahwa semua berubah sejak Mbak Nina di sini. Kutarik nafas panjang lalu menghempaskan perlahan. Hati berkata bahwa aku harus bicara dengan Mba

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-07
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 9

    Senja hampir berlalu saat aku sampai rumah. Gontai langkah terayun naik ke teras. Sesosok perempuan berwajah polos menyambut dengan seulas senyum. Namun, entah mengapa senyum itu tak lagi mampu menggetarkan hati. “Mau aku buatkan minum atau mandi dulu, Mas?” tawar Sila istriku. Kelembutan sebagai seorang istri memang tak kuragukan. Pun kepiawaian menyiapkan semua kebutuhan. Hanya saja sikap yang membiarkan kakaknya tetap di sini, itu yang membuatku muak. “Enggak usah!” Aku terus berjalan melewatinya. Meski tak menoleh, derap kaki yang terdengar membuatku tahu jika Sila mengikuti. Aku terus melangkah masuk ke kamar dan langsung duduk di depan meja rias. Dari balik pantulan cermin terlihat dia mendekat. “Kamu kenapa, Mas? Kok kusut banget?” tanyanya. Aku menoleh. Kemudian bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Duduk, Sil!” Aku menepuk bagian kasur di sebelahku. Sila mendekat kemudian duduk. “Ada apa, Mas?” Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop coklat yang kudapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-08
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 10

    “Kakakmu masih tinggal di situ, Sil?” Seorang tetangga menanyai saat aku sedang berbelanja sayur. “Masih, Bu! Memangnya kenapa?” sahutku sekaligus bertanya. “Apa kamu enggak kasihan sama Adam? Kasih makan kamu saja sudah pontang-panting. Malah ditambah kakakmu juga,” Bukan kali ini saja aku mendapat pertanyaan seperti itu. Awalnya aku mengira mereka hanya julid, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata mereka mengingatkan meski terkadang cara bicaranya menyinggung. Aku diam. Meneruskan memilih sayur ketimbang menggubris mereka. “Maaf. Bukan menakut-nakuti. Ada loh di kota asalku seorang suami selingkuh dengan kakak iparnya gara-gara tinggal serumah. Kamu harus waspada!” ucap tetangga yang lain. Mendadak tenggorokan tercekat. Entah itu benar terjadi atau membual, yang jelas aku khawatir hal seperti itu menimpaku. Terlebih kata Mas Daffa mereka pernah dekat, meski aku tak tahu sedekat apa dulu. “Enggak bakalan, Bu! Lagian kakakku juga bentar lagi pindah. Tapi nunggu dapat kerja dulu,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-09
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 11

    Setelah pertengkaran dengan Mbak Nina, pikiran terus dihantui prasangka. Hati tak sabar menunggu Mas Adam pulang dan ingin segera menanyakan kebenaran tentang pengakuan kakakku. Pukul lima sore dua bocah sudah kumandikan. Aku duduk di teras menanti Mas Adam yang sedang pergi entah ke mana. Dia tak pamit. Sebuah mobil perlahan memasuki pekarangan rumah yang tak seberapa luas. Aku menatap lekat pada kendaraan itu, menduga-duga siapa yang datang. Pasalnya, aku ataupun Mas Adam tak memiliki banyak kenalan orang bermobil. Aku tersentak kaget saat pintu mobil terbuka. Seorang lelaki yang sedang kutunggu kepulangannya turun lalu berjalan ke arah rumah. Buru-buru aku bangkit dan menyambutnya. “Itu mobil siapa, Mas? Kenapa kamu memakainya?” tanyaku keheranan. Selama ini Mas Adam tak pernah membawa mobil ke rumah. Tentu saja hal ini menimbulkan tanya di benak.“Itu mobil Ervina. Mulai kemarin aku menjadi sopirnya,” sahutnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Ervina perempuan yang kamu tabrak

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-10
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 12

    Mas Adam sudah sangat mengkhawatirkan. Sepertinya dia tak main-main dengan ucapan bernada ancaman itu. Terbukti sampai pagi menjelang, dia tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang ingin mempertahankan rumah tangga, tentu aku tak akan tinggal diam. Lekas kuhubungi Mas Daffa melalui telepon, dan untungnya dia mau mengangkat meski masih terbilang pagi. “Ada apa, Sil?” tanya suara dari seberang sana. “Ada yang ingin aku bicarakan, Mas! Bisa kita ketemu?” tanyaku balik. Dia tidak langsung menjawab, dan aku rasa tengah berpikir. “Bisa. Kapan dan di mana?” Kali ini gantian aku yang berpikir, sebab tak biasa bertemu di tempat tertentu. Untung saja teringat sebuah tempat ngopi saat motor mogok. “Di tempat kemarin. Waktunya terserah kamu saja, Mas!” “Ya udah sekarang saja. Aku langsung ke sana,” sanggupnya. Aku melongok jam digital di layar ponsel yang baru menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. Apa ini enggak terlalu pagi? Ah ..., tapi enggak apa-apa. Semakin cepat bertemu, sema

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-12
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 13

    POV. ADAMSemula aku pikir rumah tanggaku akan baik-baik saja. Selalu diwarnai kebersamaan dalam suka ataupun duka. Namun, nyatanya prahara datang menguji. Kedatangan Mbak Nina ke rumah membuat semua berubah total. Sebagai lelaki, aku lelah dengan kebodohan yang selalu istriku lakukan. Tingkahnya berhasil menggerus rindu yang dulu selalu menggebu. Bahkan, kurasakan hubungan ini semakin hambar. Pertengkaran demi pertengkaran harus kami lewati setiap hari. Secuil masa lalu pun tak luput dipermasalahkan. Jika sudah begini, sampai kapan aku sanggup bertahan? Adalah Ervina. Gadis yang kakinya masih dalam proses penyembuhan itu menjadi satu-satunya tempat berbagi beban. Sesekali dia juga mengeluhkan permasalahan hidup yang pernah dialami. Kami semakin dekat hingga seakan tak ada jarak antara bos dan majikan. Pagi ini, dia meminta diantar ke taman. Ingin menikmati suasana baru katanya. Wajar sih, lebih dari seminggu dia hanya berbaring di rumah sakit. Selebihnya tinggal di rumah saja. “

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-12
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 14

    Nyatanya, rumah tangga yang sudah lebih dari lima tahun kubina tengah berada di ujung tanduk. Meski keinginannya sudah kuturuti, Mas Adam masih saja dingin. Dia seperti menganggapku orang lain. Jika karena sibuk bekerja, aku masih maklum. Namun, apa daruratnya hingga dua malam berturut dia tak pulang? Tidur di mana dia? Apa di rumah Ervina?Aku sudah menanyakan perihal itu pada suami, tapi tak dijawab. Malah pergi lagi dan entah kapan akan pulang. Kuakui memang kusalah karena tak cepat tanggap saat Mbak Nina pertama datang ke rumah ini. Tapi apa dengan mendiamkan semua akan selesai? Tidak kan? Seharusnya dia mengerti karena aku sudah memberi alasan dan berulang kali minta maaf. Nyatanya, dia tak menggubris. Mendadak terdengar suara pintu yang diketuk. Dengan malas aku beranjak ke arah sumber suara tersebut dan membuka pintu. Seorang lelaki yang sama sekali tak kukenal berdiri mematung di depan pintu. “Apa benar Anda istri dari Adam?” tanya lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dia

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-13

Bab terbaru

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status