Share

TEGAS

Penulis: El Furinji
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-29 07:48:48

POV ADAM

Aku merasa lega setelah menceritakan yang kualami pada Bu Hana. Satu hal yang menjadi alasan kenapa aku mau berbagi cerita kehidupan adalah karena perempuan itu lebih dulu menceritakan kehidupan keluarganya.

“Sudah kebangeten kan istriku,” ucapku selesai bercerita.

Perempuan itu justru tersenyum. Tidak ikut merasa kesal seperti apa yang kuharapkan.

“Jangan berprasangka dulu. Barangkali istrimu punya alasan tersendiri kenapa sampai berbuat seperti itu,” sahutnya bijak.

“Ah ... enggak mungkin, Bu! Aku sudah mengatakan enggak nyaman dengan kehadiran kakaknya, bahkan pernah kubertanya sampai kapan kakaknya di sini. Tapi dia tetap saja enggak mau meminta kakaknya pergi,”

Perempuan paruh baya yang duduk tak jauh dariku itu menatap lekat ke arahku.

“Apa kamu sudah pernah meminta secara langsung pada kakak iparmu untuk pergi dari rumahmu?” tanyanya kemudian.

Aku menggeleng.

“Masa iya aku terang-terangan meminta dia pergi. Segan lah!”

Bu Hana menarik nafas panjang. Lalu perlahan-lahan membuangnya. Seakan ada suatu beban tersendiri di benaknya.

“Nak Adam, maaf ya, Ibu bukan bermaksud menyalahkanmu. Sekarang coba kamu pikir. Jika kamu yang hanya ipar merasa segan, apalagi istrimu? Dia pasti lebih segan dari kamu!”

Aku terdiam sesaat. Kalimatnya begitu bijak dan tidak menyinggung. Selama ini aku hanya mengandalkan Sila untuk meminta Mbak Nina pergi, sedangkan aku lebih berusaha menunjukkan rasa tidak suka.

“Tapi masa iya aku harus mengusir perempuan, Bu? Aku maunya Mbak Nina yang sadar diri.”

“itulah kesalahanmu. Bahkan kamu sendiri belum pernah mencobanya,”

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Merasa menjadi bodoh di depan perempuan yang sangat bijak ini.

“Jadi, sekarang aku harus bagaimana?” tanyaku bingung.

Otak serasa tumpul memikirkan masalah ini. Ditambah lagi raga yang lelah karena siang bekerja dan malam begadang menunggui Ervina.

Satu hal yang membuatku memilih ikut berjaga di rumah sakit adalah karena Bu Hana sama sekali tak mau menerima uangku. Dia akan menanggung semua biaya pengobatan anaknya dengan catatan aku bersedia menemani di rumah sakit sampai Ervina boleh dibawa pulang.

“Mumpung besok libur, kamu gunakan waktu untuk bicara dengan istrimu. Tanyakan kenapa dia sampai mengizinkan kakaknya tetap tinggal bersama, padahal biasanya perempuan lebih enggak nyaman jika saudaranya tinggal bersama dalam satu atap. Kebanyakan perempuan akan khawatir kalau suaminya digoda kakaknya sendiri.”

Aku diam. Tak membantah ataupun mengiyakan. Hati masih merasa kalau Sila terlalu polos hingga mudah dikompori kakaknya.

***

Sampai Adzan subuh berkumandang, mata ini masih belum memejam. Pikiran terlalu sibuk mencerna ulang setiap perkataan Bu Hana. Agaknya dia benar. Aku harus bicara dengan Sila.

Selesai sholat Subuh, aku pamit pada Bu Hana. Kemudian aku masuk ke ruang perawatan, hendak berpamitan juga pada Ervina. Beberapa hari ini kami sering mengobrol, jadi tak enak jika pergi enggak bilang.

“Vin, aku balik dulu ya. Nanti malam baru ke sini lagi,”

“Iya, Mas! Makasih ya kamu sudah mau mendengarkan curhatku,” ucapnya.

Aku tersenyum. Kemarin malam kami sempat terlibat obrolan ringan. Dia banyak bercerita tentang kisah asmaranya yang kandas hingga membuatnya terpikir untuk bunuh diri. Tentu saja aku terus menasihati agar tak sampai melakukan hal bodoh itu.

“Iya. Kamu juga harus semangat buat sembuh. Ingat ada Ibu yang membutuhkan kamu,” pesanku.

Kemudian aku beranjak meninggalkan gadis berambut hitam panjang itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan kudengar dia memanggil. Aku berbalik.

“Nanti kamu kembali ke sini kan?” tanyanya.

Aku menjawab dengan sebuah senyum dan anggukan.

“Titip salam buat istrimu ya. Sekalian nanti kalau ke sini belikan aku martabak!”

“Iya.”

Kemudian aku melanjutkan langkah ke luar ruangan. Rasanya sudah tak sabar ingin bicara dengan Sila. Hati sudah lelah dengan semua polemik yang tengah kuhadapi.

***

Sampai di rumah aku langsung di sambut oleh Sila. Sebuah senyum yang aku sendiri sulit mengartikannya. Sebentar senyum itu terlihat bahagia, sebentar terlihat sedih. Entah.

“Sil! Aku mau bicara!”

Apa pun yang dia tunjukkan tak akan mengubah tekadku untuk meminta kepastian. Jiwa dan raga seakan tak sanggup bertahan dalam peliknya masalah ini.

“Iya, Mas! Kita bicara di dalam. Sekalian aku buatkan teh ya,”

“Enggak usah. Aku mau bicara sekarang,”

“Enggak! Pokoknya aku mau bikinkan teh dulu, baru kita bicara.”

Dia memang keras kepala. Mau tak mau aku mengekori langkahnya yang telah lebih dulu masuk ke dalam. Kuikuti sampai dapur lalu aku duduk di depan meja makan kecil yang masih kosong.

Sementara Sila membuatkan minuman, aku sibuk menyusun kalimat yang tepat untuk memojokkannya.

Sebentar kemudian teh telah diletakkan di meja persis di depanku. Lalu, Sila menarik kurai plastik untuk kemudian mengambil duduk berdekatan.

Aku meraih cangkir di depanku, menyesap sedikit isinya kemudian meletakkan kembali di tempat semula.

“Sil, aku mau bicara.” Aku mengulang kalimat yang sama.

“Bicaralah, Mas! Aku akan mendengar,” sahutnya.

“Sudah berkali-kali aku meminta agar kamu mengusir kakakmu dari sini. Namun, nyatanya sampai sekarang masih juga belum pergi,”

Sila tak langsung menyahut seakan tahu kalau kalimatku belum selesai.

“Sekarang aku butuh kepastian darimu. Mbak Nina keluar dari rumah ini, atau aku yang akan pergi.”

Sila tercengang. Sorot matanya lekat menatap seakan tak percaya dengan apa yang kuucapkan.

“Pilih aku atau kakakmu!” Aku terus mengintimidasi.

Sila tak langsung menyahut, melainkan membuang pandangan ke samping. Bisa kulihat kristal bening mulai menggenang di kelopak matanya.

“Maaf, Mas! Aku tak bisa memilih salah satu dari kalian,” ucapnya tanpa menoleh.

“Loh kenapa? Tinggal pilih saja. Atau jangan-jangan kamu sudah di racuni oleh kakakmu sampai tak mau mengusirnya dari sini?”

Sila menggeleng. Dari sudut mata bulir bening mulai jatuh, tapi sama sekali dia tak terisak. Hanya menggigit bibir bawah seperti sedang menahan gejolak di dada.

“Lalu kenapa? Bicaralah!” bujukku.

Sampai hampir semenit berlalu, Sila belum juga membuat keputusan atau sekedar memberi alasan kenapa membiarkan kakaknya tetap di sini. Aku semakin tak sabar.

“Katakan, Sil!” bentakku.

Sila terkejut takut. Menunduk sebentar kemudian baru berani menatapku.

“Kamu masih ingat bekas jahitan di paha kiriku?” tanyanya.

“Ya. Itu bekas operasi tumor kan? Memangnya apa hubungannya dengan semua ini?”

“Kamu tahu siapa yang membiayai pengobatanku dulu?”

Aku semakin bingung. Menggeleng tapi masih mencoba menebak.

“Orang tuamu kan?”

“Bukan, Mas! Bukan mereka tapi Mbak Nina. Dengan perekonomian yang seperti itu, mana mungkin orang tuaku mampu membiayai. Itulah kenapa aku tak keberatan dia tinggal di sini.

Dulu, saat aku melakukan operasi, semua tabungan Mbak Nina ludes untuk biaya, padahal sejatinya uang yang dikumpulkan hendak dibelikan motor, tapi dia menepikan ego.

Bukankah aku sudah pernah cerita bagaimana masa kecil kami yang sarat akan caci maki dan label miskin? Tapi Mbak Nina memilih tak beli motor yang penting aku sehat.”

Aku menelan ludah demi membasahi tenggorokan yang mendadak kering. Tak menyangka sama sekali jika istriku memiliki hutang budi begitu besar.

“Tapi kenapa kamu enggak pernah cerita? ” protesku.

“Kamu mau tahu kenapa aku enggak cerita?”

“Ya” sahutku.

“Setelah operasi berhasil, Mbak Nina sedikit pun tak memintaku untuk mengganti uangnya. Dia hanya memintaku mencari calon suami yang kaya agar aku tak lagi dihina miskin.

Tapi, pada akhirnya aku memilih menjadi istrimu dan hidup serba pas-pasan. Aku tak mempermasalahkan itu karena memang aku mencintaimu. Jika aku bercerita soal itu, aku takut kamu minder. Makanya aku diam.

Coba bayangkan jika aku bercerita bahwa keluargaku menginginkan menanti kaya. Aku yakin kamu pasti akan meninggalkanku dan aku tak mau itu terjadi. Lagi-lagi karena aku mencintaimu.

Dan soal kenapa Mbak Nina dulu sering menghina, aku yakin karena dia kecewa denganku. Dia sempat menjodohkan aku dengan temannya yang kaya tapi kutolak. Aku lebih memilihmu. Sekali lagi aku merahasiakan darimu agar kamu tak membenci kakakku.

Sebenarnya Mbak Nina dulu penyayang. Kuakui sekarang telah berubah karena saking terobsesinya dianggap kaya. Bahkan sampai tak berani pulang kampung setelah suami meninggalkannya. Dia malu.”

Aku terdiam sesaat. Meresapi setiap kalimat yang terucap. Entah benar atau tidak yang dikatakan istriku, atau hanya bualan semata. Yang jelas aku tetap saja tak nyaman jika masih serumah dengan kakak ipar.

“Kalau begitu, anggap saja uang yang dipakai Mbak Nina sudah lunas buat ganti yang pernah kamu pakai. Tapi aku tetap tidak setuju jika dia masih di sini,” tekanku.

Sila terdiam. Dia kembali menunduk bingung.

“Tolong beri aku waktu satu bulan, Mas! Aku akan membujuk perlahan Mbak Nina agar mau pulang kampung,” ucapnya memelas.

Satu bulan? Apa enggak kelamaan? Sepertinya aku tak sanggup jika seperti itu.

“Itu kelamaan, Sil. Apa kamu enggak khawatir kalau kakakmu menggodaku? Lihat sendiri bagaimana caranya berpakaian dan aku juga lelaki normal,” ujarku menakuti.

Sila menggeleng lemah. “Aku tidak khawatir. Aku yakin Mbak Nina tak akan melakukan itu. Dia sangat menyayangiku. Jadi tolong. Beri waktu satu bulan lagi.”

Aku menimbang sejenak. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menyanggupi.

“Baiklah! Jika dalam waktu sebulan dia belum juga pergi, jangan salahkan jika aku yang pergi!”

Bab terkait

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   Bab 6

    Selesai memberi ultimatum, Mas Adam langsung berlalu ke kamar. Aku masih duduk di dapur sembari memikirkan cara memanfaatkan waktu satu bulan yang kupunya. Aku tahu dalam hal ini memang aku salah karena sudah membuat suami merasa tak nyaman di rumah sendiri. Tapi aku juga tak berdaya karena hutang budi. Apa pantas jika aku mengusir Mbak Nina di saat dia sedang kocar-kacir, sedangkan dulu dia mengorbankan segalanya demi hidupku? Mencoba menepikan semua beban di kepala, aku bangkit menyusul Mas Adam. Membuka pintu kamar, kulihat dia telah lelap dalam tidur. Kemudian aku mengedarkan pandangan mencari-cari kunci motor. Lekas aku mengambil benda itu setelah terlihat berada di atas meja rias. Kemudian aku keluar dan membangunkan Mbak Nina. “Mbak! Aku mau ke pasar sebentar. Tolong jaga anak-anak,” ucapku sembari menggoyangkan tubuhnya. Dia menggeliat. “Di mana mereka ?” tanyanya sambil mengucek mata. “Lagi di depan TV. Kamu jaga mereka ya, Mbak! Aku mau belanja,” ulangku. “Iya,” Ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-04
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   Bab 7

    POV ADAMAku mengerjapkan mata saat merasa ada yang menindih tubuh. Semula aku pikir ini kelakuan Sila karena hampir sepuluh hari aku tak menyentuh. Namun, betapa terkejutnya saat kulihat wajah lain yang tengah menghujaniku dengan ciuman. Secepat kilat aku mendorong hingga dia terpental. “Aw ....” Dia memekik kesakitan sambil berusaha bangkit. “Gila kami, Nin!” Aku mengumpat kasar. Ini sudah kali ke empat Kakak iparku mencoba memaksakan keinginannya, tapi selalu tegas kutolak. Bukan munafik, aku hanya berusaha menjadi suami setia sebisaku. Kalaupun selingkuh, tentu bukan dengan Kakak iparku sendiri karena akan lebih menyakiti hati Sila. “Kamu yang membuatku Gila, Dam! Ayolah, mumpung Sila enggak di rumah.” Tanpa malu perempuan itu mendekat dan hendak bergelayut, tapi aku lekas berdiri menjauh. “Sadar, Nin! Sadar. Aku adik iparmu,” Dia ikut bangkit. “Tidak, Dam! Aku tak pernah menganggap kamu adik ipar. Bagiku kamu tetaplah Adam, kekasihku. Ayolah, jangan pura-pura. Bukankah sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-05
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 8

    Ucapan Mas Daffa tadi siang masih berdengung di telinga. Kata-katanya memaksaku untuk curiga dengan Mbak Nina, kakakku sendiri. Terlebih jika mengingat bahwa mereka pernah dekat. Ah ... masa sih begitu? Jangan-jangan ini hanya bualan Mas Daffa saja karena tak terima ditinggal Mbak Nina. Sempat ingin menanyakan langsung pada Mas Adam, tapi suamiku sekarang telah berubah. Dia tak mau mendengar sedikit pun aku bicara. Malah pergi entah ke mana. Atau dia sedang ke rumah sakit lagi? Jujur. Aku lelah dengan semua ini. Aku merindukan kedamaian seperti dulu. Saat hari-hari kami masih diwarnai canda dan tawa, bahkan nyaris tak ada pertengkaran. Namun, agaknya kebahagiaan itu akan susah kuulang mengingat Mas Adam akan tetap marah jika Mbak Nina masih di sini. Sejenak aku diam. Mencoba merenungi setiap apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya kusadari bahwa semua berubah sejak Mbak Nina di sini. Kutarik nafas panjang lalu menghempaskan perlahan. Hati berkata bahwa aku harus bicara dengan Mba

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-07
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 9

    Senja hampir berlalu saat aku sampai rumah. Gontai langkah terayun naik ke teras. Sesosok perempuan berwajah polos menyambut dengan seulas senyum. Namun, entah mengapa senyum itu tak lagi mampu menggetarkan hati. “Mau aku buatkan minum atau mandi dulu, Mas?” tawar Sila istriku. Kelembutan sebagai seorang istri memang tak kuragukan. Pun kepiawaian menyiapkan semua kebutuhan. Hanya saja sikap yang membiarkan kakaknya tetap di sini, itu yang membuatku muak. “Enggak usah!” Aku terus berjalan melewatinya. Meski tak menoleh, derap kaki yang terdengar membuatku tahu jika Sila mengikuti. Aku terus melangkah masuk ke kamar dan langsung duduk di depan meja rias. Dari balik pantulan cermin terlihat dia mendekat. “Kamu kenapa, Mas? Kok kusut banget?” tanyanya. Aku menoleh. Kemudian bangkit dan berpindah duduk di tepian ranjang. “Duduk, Sil!” Aku menepuk bagian kasur di sebelahku. Sila mendekat kemudian duduk. “Ada apa, Mas?” Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop coklat yang kudapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-08
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 10

    “Kakakmu masih tinggal di situ, Sil?” Seorang tetangga menanyai saat aku sedang berbelanja sayur. “Masih, Bu! Memangnya kenapa?” sahutku sekaligus bertanya. “Apa kamu enggak kasihan sama Adam? Kasih makan kamu saja sudah pontang-panting. Malah ditambah kakakmu juga,” Bukan kali ini saja aku mendapat pertanyaan seperti itu. Awalnya aku mengira mereka hanya julid, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata mereka mengingatkan meski terkadang cara bicaranya menyinggung. Aku diam. Meneruskan memilih sayur ketimbang menggubris mereka. “Maaf. Bukan menakut-nakuti. Ada loh di kota asalku seorang suami selingkuh dengan kakak iparnya gara-gara tinggal serumah. Kamu harus waspada!” ucap tetangga yang lain. Mendadak tenggorokan tercekat. Entah itu benar terjadi atau membual, yang jelas aku khawatir hal seperti itu menimpaku. Terlebih kata Mas Daffa mereka pernah dekat, meski aku tak tahu sedekat apa dulu. “Enggak bakalan, Bu! Lagian kakakku juga bentar lagi pindah. Tapi nunggu dapat kerja dulu,

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-09
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 11

    Setelah pertengkaran dengan Mbak Nina, pikiran terus dihantui prasangka. Hati tak sabar menunggu Mas Adam pulang dan ingin segera menanyakan kebenaran tentang pengakuan kakakku. Pukul lima sore dua bocah sudah kumandikan. Aku duduk di teras menanti Mas Adam yang sedang pergi entah ke mana. Dia tak pamit. Sebuah mobil perlahan memasuki pekarangan rumah yang tak seberapa luas. Aku menatap lekat pada kendaraan itu, menduga-duga siapa yang datang. Pasalnya, aku ataupun Mas Adam tak memiliki banyak kenalan orang bermobil. Aku tersentak kaget saat pintu mobil terbuka. Seorang lelaki yang sedang kutunggu kepulangannya turun lalu berjalan ke arah rumah. Buru-buru aku bangkit dan menyambutnya. “Itu mobil siapa, Mas? Kenapa kamu memakainya?” tanyaku keheranan. Selama ini Mas Adam tak pernah membawa mobil ke rumah. Tentu saja hal ini menimbulkan tanya di benak.“Itu mobil Ervina. Mulai kemarin aku menjadi sopirnya,” sahutnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Ervina perempuan yang kamu tabrak

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-10
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 12

    Mas Adam sudah sangat mengkhawatirkan. Sepertinya dia tak main-main dengan ucapan bernada ancaman itu. Terbukti sampai pagi menjelang, dia tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang ingin mempertahankan rumah tangga, tentu aku tak akan tinggal diam. Lekas kuhubungi Mas Daffa melalui telepon, dan untungnya dia mau mengangkat meski masih terbilang pagi. “Ada apa, Sil?” tanya suara dari seberang sana. “Ada yang ingin aku bicarakan, Mas! Bisa kita ketemu?” tanyaku balik. Dia tidak langsung menjawab, dan aku rasa tengah berpikir. “Bisa. Kapan dan di mana?” Kali ini gantian aku yang berpikir, sebab tak biasa bertemu di tempat tertentu. Untung saja teringat sebuah tempat ngopi saat motor mogok. “Di tempat kemarin. Waktunya terserah kamu saja, Mas!” “Ya udah sekarang saja. Aku langsung ke sana,” sanggupnya. Aku melongok jam digital di layar ponsel yang baru menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. Apa ini enggak terlalu pagi? Ah ..., tapi enggak apa-apa. Semakin cepat bertemu, sema

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-12
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 13

    POV. ADAMSemula aku pikir rumah tanggaku akan baik-baik saja. Selalu diwarnai kebersamaan dalam suka ataupun duka. Namun, nyatanya prahara datang menguji. Kedatangan Mbak Nina ke rumah membuat semua berubah total. Sebagai lelaki, aku lelah dengan kebodohan yang selalu istriku lakukan. Tingkahnya berhasil menggerus rindu yang dulu selalu menggebu. Bahkan, kurasakan hubungan ini semakin hambar. Pertengkaran demi pertengkaran harus kami lewati setiap hari. Secuil masa lalu pun tak luput dipermasalahkan. Jika sudah begini, sampai kapan aku sanggup bertahan? Adalah Ervina. Gadis yang kakinya masih dalam proses penyembuhan itu menjadi satu-satunya tempat berbagi beban. Sesekali dia juga mengeluhkan permasalahan hidup yang pernah dialami. Kami semakin dekat hingga seakan tak ada jarak antara bos dan majikan. Pagi ini, dia meminta diantar ke taman. Ingin menikmati suasana baru katanya. Wajar sih, lebih dari seminggu dia hanya berbaring di rumah sakit. Selebihnya tinggal di rumah saja. “

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-12

Bab terbaru

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status