Share

BAB 16

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-11-15 23:49:47

Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku.

“Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam.

Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat.

“Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja.

Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin.

“Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran.

“Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu.

Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

    Last Updated : 2023-11-16
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

    Last Updated : 2023-11-20
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

    Last Updated : 2023-11-21
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

    Last Updated : 2023-11-22
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

    Last Updated : 2023-11-23
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

    Last Updated : 2023-11-24
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

    Last Updated : 2023-11-26
  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   AWAL

    SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP“Sampai kapan Mbakmu tinggal di sini, Sil?” tanya suamiku. Aku yang sedang melipat baju sontak menghentikan aktivitas, menoleh pada lelaki yang duduk di depan meja rias sambil memegangi kepala. “Entahlah, Mas! Aku juga enggak tahu.” Lebih dari sepuluh kali Mas Adam menanyakan hal itu, dan aku selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Ya kamu tanya sama dia. Mau berapa lama mengganggu hidup kita?” “Tapi, Mas ... aku khawatir nanti malah dikira kita mengusir. Lagian rumah Mbak Nina sudah dijual, jadi dia mau pulang ke mana?” “Pulang kampung kan bisa! Daripada di sini hanya jadi bebanku. Aku enggak sanggup jika terus-terusan menafkahi mereka!”Wajar jika Mas Adam mengeluh. Tiga bulan belakangan Mbak Nina dan anaknya tinggal bersama kami. Semua kebutuhan hidup kami yang menanggung karena dia enggak bekerja. Namun, aku tak sampai hati jika memintanya pergi. Biar bagaimanapun kami dibesarkan dengan kasih sayang yang sama. Mas Adam menyugar rambut kasa

    Last Updated : 2023-09-29

Latest chapter

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 23

    “Cukup, Mas!” Ervina berteriak sambil berlari. Lalu mendekap suamiku dari belakang, memaksanya berhenti memukuli Mas Daffa. Aku rasa dekapan Ervina tak begitu kencang, tapi nyatanya Mas Adam menyerah dan tak lagi menghajar Mas Daffa. “Jangan gegabah. Mas! Aku enggak mau kamu masuk penjara,” lanjut Ervina dengan suara sendu. Kemudian, perempuan itu membantu suamiku bangkit dan berdiri. Melihat hal itu, hati menjadi panas. Lekas kudekati mereka dan menjauhkan Ervina dari Mas Adam. “Jangan mengambil kesempatan untuk bisa memeluk suamiku!” sergahku. Ervina bergeser hingga beberapa langkah. Pandangan sedikit menunduk, seperti tak nyaman dengan kalimatku. Kemudian, aku mengambil kesempatan untuk memeluk Mas Adam. Namun, lelaki itu justru mendorong, seperti yang dia lakukan sebelumnya. “Jangan dekatkan tubuh kotormu padaku!” bentak Mas Adam. Aku tercengang. Sadar akan kesalahan yang telah kulakukan, aku merangkak kemudian bersimpuh memegangi kakinya. “Maafkan aku, Mas! Aku mengaku s

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 22

    Setibanya di rumah Bu Hana, perempuan paruh baya itu langsung menyambut dengan senyuman. Aku langsung menyalami takdim. Pun anak-anak yang telah kudidik sedemikian rupa hingga mereka meniru kelakuanku. Benar. Cara mendidik anak paling bauk adalah dengan mencontohkan langsung. Mereka cenderung akan meniru perilaku orang tuanya. “Memangnya kalian mau ke mana?” tanya Bu Hana saat Ervina menitipkan anak-anakku. Aku menoleh sebentar pada gadis yang berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia belum bercerita pada ibunya. “Kami mau ke rumah sakit sebentar, Bu! Periksa tangan Mas Adam,” sahut Ervina sambil menaik-turunkan alis memberi kode padaku. Paham akan permintaan Ervina, aku langsung menimpali kebohongan gadis itu. Kemudian kami beranjak pergi setelah mendapat izin. *** “Kamu enggak jujur kita mau cari pelaku penyerangan?” tanyaku saat di perjalanan. “Ya enggak lah! Ibu mana setuju,” sahut Ervina. “Kalau sudah tahu begitu kenapa nekat?” “Ya kan Rendy pengin buktikan kalau dia buka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 21

    Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   bab 20

    Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BABA 19

      Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 18

    Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 17

    Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 16

    Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit

  • SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP   BAB 15

    Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.

DMCA.com Protection Status