Ki Sakti dan Bu Cucu, adalah dua orang yang mempunyai kemampuan yang lebih, kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya, yaitu kemampuan untuk merasakan, melihat bahkan untuk mengontrol makhluk yang ada di sekitar mereka.Mereka memiliki keilmuan itu bukan tanpa sebab, Bu Cucu mendapatkan kemampuan itu dari lahir, keturunan dari leluhurnya yang belajar tentang keilmuan tersebut, tidak ada yang tahu pasti, keilmuan apa yang Bu Cucu pelajari, namun hal itu bisa membantu manusia apabila mereka diganggu atau di teror oleh para makhluk yang ada di sekitar mereka.Berbeda dengan Ki Sakti, yang hampir setengah hidupnya diam di hutan yang luas ini, tubuhnya yang dipaksa untuk bertahan hidup di tengah hutan hujan yang lebat membuat dirinya belajar secara perlahan dari alam, melihat sisi yang berbeda tentang sesuatu yang hidup di alam sepanjang hidupnya.Bahkan, dia pun belajar hal-hal seperti ini dari makhluk yang tinggal di hutan, yang mempelajarinya keilmuan yang bisa dia gunakan
Srak, srak, srak,Semak-semak belukar dari sebuah hutan hujan yang lebat membuatku kesulitan untuk bergerak, suara-suara dari dedaunan yang aku singkirkan, juga suara dari daun-daun kering yang aku injak di tanah membuat sebuah suara yang menggema di tengah-tengah hutan.Aku tidak tahu kenapa tubuhku bergerak seperti ini, bergerak mengikuti Satria dan Pak Ridwan yang mungkin saja itu hanya halusinasi semata karena rasa lelah dan pikiran yang menumpuk akibat kejadian-kejadian yang menimpaku pada saat ini.Namun, pikiranku seakan-akan ingin segera mengikuti mereka berdua yang berjalan terus menembus semak-semak hutan dan pepohonan yang menutupi hutan itu dengan lebatnya.“Minahhhhh, Minaaahhhh, pergi kemana kamu?”Terdengar sayup-sayup dari arah belakang, suara teriakan dari Pak Dani dan Ucok yang mencoba mengejarku yang berjalan masuk ke dalam hutan secara tiba-tiba.Mereka seperti sedang berusaha mengejarku dengan sekuat tenaga, menyingkirkan semak-semak belukar yang menghalangi jalan
Bu Cucu yang aku temui di dalam hutan tiba-tiba berubah, sama seperti Ayu yang pada waktu itu dirasuki oleh Satria dan membawanya keluar rumah. Matanya menyorot tajam ke arahku dengan rambutnya yang kini terurai secara perlahan dan menutupi setengah dari wajahnya. Tangannya terkepal dengan jelas, bahkan surat yang dia pegang di salah satu tangannya terlihat robek karena saking kuatnya dia mengepalkan tangannya. Ada sebuah aura yang berbeda ketika Bu Cucu yang tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa aku harus menyerahkan Ayu kepadanya pada saat ini, Ayu yang dia katakan adalah awal mula dari kejadian-kejadian ini membuatku merasa takut. Dia memang bukanlah anak kandungku, dia hanyalah anak dari suamiku Satria yang meninggal di Desa Muara Ujung beberapa hari yang lalu. Namun, setelah melihat kejadian itu, aku benar-benar tidak tega lagi melihat Ayu kesakitan, menangis dengan rintihan yang sangat menyayat hati, bahkan ketika aku berdiskusi dengan Pak Ridwan, dengan Pak Dani dan Ucok tentan
“Bunda!”“Kenapa di ujung sana banyak orang yang berkumpul?”Ayu dengan mata polosnya bertanya kepadaku di depan rumah, dia berdiri bersamaku, melihat para warga yang berlarian ke depan desa untuk menjemput seseorang yang diantarkan oleh Pak Dani dan Bu Cucu bersama dengan para warga lainnya yang menjemputnya setelah aku pulang bersama Ucok di siang itu.“Kak Jeje sakit, jadi harus dibawa pulang oleh warga nak,” kataku sambil tersenyum ramah kepada Ayu pada saat itu.Aku bingung harus menjelaskan seperti apa kepada Ayu tentang Jeje yang kehilangan nyawanya dengan kondisi tubuh yang mengenaskan, aku benar-benar tidak tega mendengar lagi kata mayat, atau kata pembunuhan yang semuanya saling berkaitan dengan Satria.“Owh, kirain kak Jeje sudah meninggal Bunda, ternyata masih hidup ya,” kata Ayu sambil tersenyum kecil kepadaku.“Haaaahhh?”Aku tiba-tiba kaget, mendengar hal itu dari mulut Ayu yang polos itu, tatapannya seperti tidak mempunyai beban apapun ketika mengatakan itu kepadaku.‘
[ 13 May 1996Satria, apa yang sebenarnya terjadi padamu?Apa yang sudah kamu lakukan semasa kamu hidup?Aku merindukanmu Satria, merindukan dirimu semasa hidup, bukan dirimu yang sekarang, yang meneror anakmu, bahkan meneror warga desa yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada dirimu.Kamu yang sudah membantuku menemukan kegirangan di dalam hidupku, dan kemudian kamu harus menanggung semua kenyamanan yang aku inginkan.Kamu menemaniku untuk tumbuh lebih ceria dengan semua yang aku lakukan di dalam hidupku pada saat itu.Kamu juga telah membiarkan aku mencintai dirinya, anakmu Ayu. Yang kini sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, anak yang harus aku jaga di tempat yang asing ini.Bahkan, Ayu yang ingin kamu ambil atas sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu, aku harus menjaganya agar hal itu terjadi.Meskipun, kini ada dua orang yang sudah menjadi korban atas apa yang sudah kamu lakukan, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masa lalumu.Sekarang, ketika kamu hil
Brrrrrr!“Dingin banget sih malam ini!”Supri yang menjauh dari rumah Jeje dan Bu Maesaroh kini berjalan di semak-semak, pemandangan yang gelap sejauh mata memandang terlihat oleh kedua matanya pada saat itu.Hanya lampu-lampu lima watt yang menyala redup di depan rumah-rumah yang berjejer, tidak serta merta membuat lingkungan di sekitarnya terang benderang, cahaya lampu yang tidak begitu terang hanya bisa membuat terang sebagian kecil saja di sekitar rumah-rumah mereka.Supri sengaja membuang air kecil di semak-semak dekat kebun Bu Maesaroh yang kini dipenuhi oleh tanaman palawija. Meskipun di dalam rumahnya terdapat kamar mandi, tapi dia seakan-akan takut apabila harus melewati mayat Jeje yang terbujur kaku di dalam rumah pada malam itu.Dari kejauhan, Supri beberapa kali menoleh ke arah Tono dan Adi, yang dengan santainya merokok dan makan cemilan yang sudah disiapkan oleh Pak Dani di depan rumah sambil mengobrol banyak hal disana.Namun, karena semak-semak yang dia tuju adalah sem
Sorot lampu lima watt yang memperlihatkan dengan jelas salah satu tangan Supri yang berlumuran darah kental dengan bau busuk yang menyengat, membuat dirinya merasa ketakutan.Kondisi yang gelap gulita ketika dia membuang air kecil di semak-semak membuatnya tidak menyadari bahwa rasa basah dari dedaunan yang dia anggap air adalah darah yang kini menempel di tangan, wajah bahkan celananya.Supri benar-benar panik, tubuhnya sempat terhenti sesaat ketika Tono dan Adi berteriak dengan kencang ke arahnya pada saat itu.Apalagi,Posisi dia berdiri saat ini, hanyalah beberapa meter dari pintu rumah Jeje yang terbuka dengan sangat jelas. Sehingga, semua teriakan dari Tono dan Adi tak dia hiraukan sesaat.Karena, tepat di salah satu sudut matanya, dia melihat dengan jelas sesuatu yang berdiri dan menatapnya dengan tatapan yang sangat menakutkan.Sosok yang dibalut dengan kain kafan, dengan wajahnya yang pucat dengan leher yang sedikit menekuk ke arah kiri akibat benturan keras dari atas pohon p
KreaaakkkSuara decit lantai yang terbuat dari kayu kini terdengar dengan keras, tepat ketika Adi kembali ke rumah Jeje sendirian pada malam itu.Ruangan yang ada di dalam rumahnya kini tampak kosong, dan hal itu terlihat dengan jelas oleh kedua matanya sendiri ketika dirinya kembali masuk ke rumah itu untuk memastikan apa yang dikatakan Tono pada saat itu.“Banggg!”“Bangg Ucokkk!”Adi mencoba memanggil-manggil Ucok dari luar rumah, dia seperti enggan untuk masuk dan memeriksa dengan seksama dimana mayat Jeje tiba-tiba hilang dari pandangannya.Bahkan, dia merasa ragu untuk melangkah pada saat ini, apalagi dirinya kini sendirian dan tidak ada satu orang pun yang menemani dirinya di rumah tersebut.Sempat dia menoleh ke tempat duduk yang tadi dia tempati bersama dengan Tono dan Supri beberapa waktu yang lalu.Tempat duduk yang berantakan akibat rokok, kopi dan cemilan bekas mereka makan yang belum sempat mereka bersihkan. Namun, kini ada pemandangan lain yang berbeda, dia melihat satu