Bu Cucu yang aku temui di dalam hutan tiba-tiba berubah, sama seperti Ayu yang pada waktu itu dirasuki oleh Satria dan membawanya keluar rumah. Matanya menyorot tajam ke arahku dengan rambutnya yang kini terurai secara perlahan dan menutupi setengah dari wajahnya. Tangannya terkepal dengan jelas, bahkan surat yang dia pegang di salah satu tangannya terlihat robek karena saking kuatnya dia mengepalkan tangannya. Ada sebuah aura yang berbeda ketika Bu Cucu yang tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa aku harus menyerahkan Ayu kepadanya pada saat ini, Ayu yang dia katakan adalah awal mula dari kejadian-kejadian ini membuatku merasa takut. Dia memang bukanlah anak kandungku, dia hanyalah anak dari suamiku Satria yang meninggal di Desa Muara Ujung beberapa hari yang lalu. Namun, setelah melihat kejadian itu, aku benar-benar tidak tega lagi melihat Ayu kesakitan, menangis dengan rintihan yang sangat menyayat hati, bahkan ketika aku berdiskusi dengan Pak Ridwan, dengan Pak Dani dan Ucok tentan
“Bunda!”“Kenapa di ujung sana banyak orang yang berkumpul?”Ayu dengan mata polosnya bertanya kepadaku di depan rumah, dia berdiri bersamaku, melihat para warga yang berlarian ke depan desa untuk menjemput seseorang yang diantarkan oleh Pak Dani dan Bu Cucu bersama dengan para warga lainnya yang menjemputnya setelah aku pulang bersama Ucok di siang itu.“Kak Jeje sakit, jadi harus dibawa pulang oleh warga nak,” kataku sambil tersenyum ramah kepada Ayu pada saat itu.Aku bingung harus menjelaskan seperti apa kepada Ayu tentang Jeje yang kehilangan nyawanya dengan kondisi tubuh yang mengenaskan, aku benar-benar tidak tega mendengar lagi kata mayat, atau kata pembunuhan yang semuanya saling berkaitan dengan Satria.“Owh, kirain kak Jeje sudah meninggal Bunda, ternyata masih hidup ya,” kata Ayu sambil tersenyum kecil kepadaku.“Haaaahhh?”Aku tiba-tiba kaget, mendengar hal itu dari mulut Ayu yang polos itu, tatapannya seperti tidak mempunyai beban apapun ketika mengatakan itu kepadaku.‘
[ 13 May 1996Satria, apa yang sebenarnya terjadi padamu?Apa yang sudah kamu lakukan semasa kamu hidup?Aku merindukanmu Satria, merindukan dirimu semasa hidup, bukan dirimu yang sekarang, yang meneror anakmu, bahkan meneror warga desa yang tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada dirimu.Kamu yang sudah membantuku menemukan kegirangan di dalam hidupku, dan kemudian kamu harus menanggung semua kenyamanan yang aku inginkan.Kamu menemaniku untuk tumbuh lebih ceria dengan semua yang aku lakukan di dalam hidupku pada saat itu.Kamu juga telah membiarkan aku mencintai dirinya, anakmu Ayu. Yang kini sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, anak yang harus aku jaga di tempat yang asing ini.Bahkan, Ayu yang ingin kamu ambil atas sesuatu yang aku sendiri pun tidak tahu, aku harus menjaganya agar hal itu terjadi.Meskipun, kini ada dua orang yang sudah menjadi korban atas apa yang sudah kamu lakukan, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masa lalumu.Sekarang, ketika kamu hil
Brrrrrr!“Dingin banget sih malam ini!”Supri yang menjauh dari rumah Jeje dan Bu Maesaroh kini berjalan di semak-semak, pemandangan yang gelap sejauh mata memandang terlihat oleh kedua matanya pada saat itu.Hanya lampu-lampu lima watt yang menyala redup di depan rumah-rumah yang berjejer, tidak serta merta membuat lingkungan di sekitarnya terang benderang, cahaya lampu yang tidak begitu terang hanya bisa membuat terang sebagian kecil saja di sekitar rumah-rumah mereka.Supri sengaja membuang air kecil di semak-semak dekat kebun Bu Maesaroh yang kini dipenuhi oleh tanaman palawija. Meskipun di dalam rumahnya terdapat kamar mandi, tapi dia seakan-akan takut apabila harus melewati mayat Jeje yang terbujur kaku di dalam rumah pada malam itu.Dari kejauhan, Supri beberapa kali menoleh ke arah Tono dan Adi, yang dengan santainya merokok dan makan cemilan yang sudah disiapkan oleh Pak Dani di depan rumah sambil mengobrol banyak hal disana.Namun, karena semak-semak yang dia tuju adalah sem
Sorot lampu lima watt yang memperlihatkan dengan jelas salah satu tangan Supri yang berlumuran darah kental dengan bau busuk yang menyengat, membuat dirinya merasa ketakutan.Kondisi yang gelap gulita ketika dia membuang air kecil di semak-semak membuatnya tidak menyadari bahwa rasa basah dari dedaunan yang dia anggap air adalah darah yang kini menempel di tangan, wajah bahkan celananya.Supri benar-benar panik, tubuhnya sempat terhenti sesaat ketika Tono dan Adi berteriak dengan kencang ke arahnya pada saat itu.Apalagi,Posisi dia berdiri saat ini, hanyalah beberapa meter dari pintu rumah Jeje yang terbuka dengan sangat jelas. Sehingga, semua teriakan dari Tono dan Adi tak dia hiraukan sesaat.Karena, tepat di salah satu sudut matanya, dia melihat dengan jelas sesuatu yang berdiri dan menatapnya dengan tatapan yang sangat menakutkan.Sosok yang dibalut dengan kain kafan, dengan wajahnya yang pucat dengan leher yang sedikit menekuk ke arah kiri akibat benturan keras dari atas pohon p
KreaaakkkSuara decit lantai yang terbuat dari kayu kini terdengar dengan keras, tepat ketika Adi kembali ke rumah Jeje sendirian pada malam itu.Ruangan yang ada di dalam rumahnya kini tampak kosong, dan hal itu terlihat dengan jelas oleh kedua matanya sendiri ketika dirinya kembali masuk ke rumah itu untuk memastikan apa yang dikatakan Tono pada saat itu.“Banggg!”“Bangg Ucokkk!”Adi mencoba memanggil-manggil Ucok dari luar rumah, dia seperti enggan untuk masuk dan memeriksa dengan seksama dimana mayat Jeje tiba-tiba hilang dari pandangannya.Bahkan, dia merasa ragu untuk melangkah pada saat ini, apalagi dirinya kini sendirian dan tidak ada satu orang pun yang menemani dirinya di rumah tersebut.Sempat dia menoleh ke tempat duduk yang tadi dia tempati bersama dengan Tono dan Supri beberapa waktu yang lalu.Tempat duduk yang berantakan akibat rokok, kopi dan cemilan bekas mereka makan yang belum sempat mereka bersihkan. Namun, kini ada pemandangan lain yang berbeda, dia melihat satu
BlugSuara pintu yang tertutup terdengar dengan keras, Supri yang benar-benar ketakutan pada saat itu kini hanya bisa menyender menghalangi pintu rumahnya agar tidak ada lagi yang masuk selain dirinya.Hah hah hah,Suara nafasnya benar-benar memperlihatkan bahwa Supri sangat tegang dan tidak karuan, setelah kejadian yang membuatnya ketakutan hingga berlari sekuat tenaga.Dia melihat, sebuah ruangan yang sedikit agak gelap tepat di depan matanya, sebuah ruangan yang menjadi ruangan tengah dari rumahnya sendiri pada saat itu.Tidak ada meja ataupun kursi disana, yang ada hanyalah sebuah tikar dan satu lemari dan jam dinding yang menempel di atas lemari itu.Supri memang bukan orang yang berada, dia datang ke Desa Muara Ujung ini karena memang sebuah keterpaksaan. Dirinya yang kerja serabutan di Ibu Kota tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, apalagi gara-gara itu, dua anak yang dia cintai harus meregang nyawa karena kekurangan gizi karena kurangnya susu dan makanan yang hanya dised
ARGGGGGHHHHHHHH!!!Teriakan dari Supri tiba-tiba menggema dengan sangat keras ke seluruh desa, sebuah teriakan dari semua ketakutan yang tertanam dalam dirinya sendiri dan keluar secara menyeluruh dari dalam mulutnya pada malam itu.Tono yang masih berada diluar dan mengejar Supri dari kejauhan pun mendengar teriakan tersebut, sebagai salah satu teman yang hidup dilingkungan yang sama dengannya, juga sebagai saudara jauh dari istrinya. Tono langsung mempercepat langkahnya menuju rumah Supri yang letaknya paling ujung di antara rumah-rumah yang berjejer di desa transmigrasi itu.Cahaya bulan yang kini terang, bersamaan dengan bintang-bintang yang menyinari Tono yang sedang berlari menuju rumahnya Supri di tengah malam, membuat dirinya tidak terlalu kesulitan untuk melangkahkan kakinya di jalanan yang masih berupa tanah merah dengan banyaknya lubang dengan genangan air yang masih menggenang bekas hujan beberapa hari kemarin.Namun, tampaknya Desa Muara Ujung yang dia lewati seperti berb