Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.
Brak!
Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.
“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.
Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.
Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.
Sosok itu terlihat sangat pucat.
Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.
Wajah pucat itu dipenuhi tatapan yang sangat menakutkan dan mengarah ke Ayu, seolah begitu dendam.
“Huek.” Tanpa sadar, aku mual. Terlebih, ada bau busuk yang menyusul.
Hawa yang tidak mengenakan hati semakin menguat. Kakiku berhenti bergerak.
Ada apa ini sebenarnya? Bagaimana mungkin sosok suamiku yang baru saja meninggal dan dikuburkan, berdiri di sana? Seluruh tubuhku merinding.
“Sa-Satria?” panggilku.
Tidak, tidak mungkin itu Satria!
Mungkin saja, itu adalah sosok yang menyerupai Satria dan menakut-nakuti ayu. Kepalaku menggeleng tidak setuju. Tidak mungkin, Satria, yang sangat menyayangi putri semata wayangnya, menatap benci anaknya sendiri.
Namun, sosok itu terlalu persis dengan tubuh Satria yang pertama kali ditemukan tak bernyawa di rawa-rawa. Semua luka dan tubuhnya yang pucat karena kehilangan napas– sama dengan yang dia lihat sekarang.
“Ayuuu … kkeeessiiiniii kamuuu, Ayuuu!” Sosok itu terlihat memanggil Ayu dari luar jendela. Namun, Ayu semakin bersembunyi di balik bonekanya.
Dia mengangkat tangannya dengan jari-jarinya yang patah akibat berusaha melepaskan ikatan dari tumbuhan rawa dengan sekuat tenaga di akhir-akhir hidupnya.
Entah apa yang terjadi. Kenapa sosok itu memanggil Ayu?
Jujur, gelisah dan takut berkumpul menjadi satu. Tubuhku terasa beku.
Apakah dia makhluk yang menyerupai Satria? Atau, memang dia adalah Satria dengan urusannya yang belum selesai, sehingga dia muncul kembali dan meneror kita berdua yang ada di rumah ini?
Trak, trak, trak!
Sosok itu tiba-tiba menggerakan kepalanya yang tampak kaku. Terdengar dengan jelas suara tulang-tulang yang dipaksakan untuk bergerak ketika kepalanya dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan tatapannya yang sangat tajam.
Tap!
Salah satu tangan kirinya tiba-tiba memegang jendela yang terbuka lebar itu. Wajahnya yang bergerak itu masuk ke dalam kamar Ayu dengan perlahan. Dia mencondongkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kamar dengan tangan kirinya yang terlihat sedang menggapai Ayu–seperti ingin mengambil Ayu yang masih ketakutan.
Tatapannya yang melotot terlihat sangat mengerikan. Bekas-bekas dari lilitan tumbuhan rawa kini terlihat sangat jelas ketika dia memasukan kepalanya. Apalagi, sebuah garis panjang dengan darah yang menetes dari arah mulut ke arah kening membuatnya tampak semakin menakutkan.
Kesadaranku seketika kembali ketika melihat sesuatu yang mengerikan itu dari dekat. Aku menahan rasa mualku dan segera menghampiri Ayu.
Kupaksakan tubuhku yang gemetar untuk menghampirinya segera. Bagiku, waktu terasa lambat walaupun aku berlari sekencang-kencangnya. Hingga akhirnya, aku berhasil memeluk Ayu.
Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul begitu saja, aku berteriak sekeras yang kubisa pada sosok itu, “SATRIA SUDAH MENINGGAL DAN TENANG DI SANA!”
“PERGI KAMU, JANGAN MENYERUPAI SOSOK SUAMIKU DAN MENAKUT-NAKUTI KITA BERDUA!”
Aku rasa ini adalah teriakan terkencang yang pernah kulakukan seumur hidupku.Saking kerasnya, lampu lima watt yang menerangi kamar Ayu terlihat bergetar. Bahkan, nyalanya tiba-tiba redup beberapa kali.
Ketika lampu tersebut redup, entah mengapa sosok itu tiba-tiba menghilang dari kamar Ayu–menyisakan jendela yang terbuka dengan kegelapan di luar sana.
“Ayu takut, Mah. Ayu takut, Ayu takut dengan hantu Ayah, Mah. Ayah benar-benar marah ke Ayu.”
Aku dapat merasakan tubuh Ayu gemetar hebat ketika kupeluk. Tanpa sadar, kuusap beberapa kali kepala Ayu, berharap anak itu sedikit tenang.
“Sudah, sudah Ayu tenang, ya. Bunda yakin kalau Ayah gak akan marah seperti itu ke Ayu, kok. Ayah sayang sama Ayu. Apa yang Ayu lihat adalah makhluk yang menyerupai Ayah, yang seringkali muncul dan menakut-nakuti kita ketika ada yang meninggal. Ayah yang sebenarnya sudah tinggal di surga sekarang.”
Wushhh!
Tiba-tiba, ada angin yang berhembus kencang dari arah luar, seolah mengatakan apa yang kuucapkan pada Ayu adalah sesuatu yang salah.
Angin yang berhembus dari arah luar semakin lama semakin kencang, membawa hawa dingin yang semakin lama semakin menusuk kulit. Bahkan, hawa yang ada di kamar Ayu lebih dingin dan lebih mencekam dari apa yang aku rasakan ketika berada di ruangan tengah tadi.
Ini tidak bisa dibiarkan! Entah siapapun yang sudah mengganggu kami, aku tidak bisa memaafkannya. Kulepaskan pelukan dari Ayu secara perlahan. Namun, anak itu terlihat tidak ingin melepaskan pelukanku.
“Bunda mau ke mana?” kata Ayu dengan nada yang pelan.
“Bunda mau nutupin jendela kamar Ayu dulu, ya. Biar Ayu gak ketakutan ketika lihat jendela yang terbuka itu.” Aku berusaha tersenyum di depan Ayu, meskipun sebenarnya kurasakan ketakutan yang sama dengan yang sedang dialami oleh Ayu.
Dengan waspada–takut sosok itu muncul kembali di tempat yang tidak diperkirakan–aku melangkahkan kaki dengan berhati-hati, hingga akhirnya aku sampai di dekat jendela kamar Ayu.
Sengaja, aku keluarkan kepalaku meskipun aku sendiri ketakutan. Bahkan, dapat kurasakan bulir-bulir keringat dingin muncul secara perlahan di wajahku. Namun, aku harus memastikan bahwa semuanya aman. Aku tidak ingin sosok yang menyerupai Satria memunculkan dirinya lagi.
Kuperhatikan sekeliling. Semuanya tampak gelap. Seperti yang kulihat dari jendela di ruang tengah, hanya titik-titik cahaya kecil dari rumah tetangga yang terlihat. Aku mengibaskan tanganku ke arah telinga kiri dan kanannya–takut ada suara yang muncul tiba-tiba memanggil diriku seperti di ruang tengah tadi.
Kali ini, untungnya hal itu tidak terjadi.
Aku bahkan memberanikan diri untuk mengeluarkan setengah badanku ke luar jendela– untuk memastikan sosok itu tidak ada lagi.
Benar saja, sosok itu tidak ada. Hanya ada kegelapan total dan hening yang mengiringinya. Bahkan, entah kenapa, suara-suara hewan malam yang biasanya terdengar di malam-malam sebelumnya, tiba-tiba menghilang.
Tidak ada suara jangkrik, kodok, bahkan suara burung malam pun tidak terdengar sama sekali.
Derit jendela terdengar ketika kututup perlahan. Namun, hawa dingin yang dirasakan masih membuatnya tetap sama. Aku masih takut akan hal-hal yang di luar nalar seperti tadi kembali lagi. Namun, kupaksakan diri untuk berani supaya Ayu juga tidak ketakutan lagi.
“Sudah ya, nak. Ayu jangan ketakutan lagi, ya!” kataku sambil tersenyum di dekat jendela kamarnya.
Ayu yang melihat senyumanku, mulai mengangguk. Baiklah, sudah kuputuskan untuk menemaninya malam ini.
Namun, tepat ketika aku melangkahkan kaki untuk mendekati Ayu, tiba-tiba lampu rumahku mendadak mati!
Gelap gulita menyelimuti ruangan ini.
“AHH…!”
Ayu yang awalnya tenang, kini terdengar panik kembali. Rasa takut kembali muncul–apalagi dia tidak berani beranjak dari tempat tidurnya.
Sambil meraba-raba dinding kamar, aku berusaha menggapai Ayu agar dia tidak ketakutan lagi. Rasa mencekam semakin meningkat, hingga membuatku semakin bergegas mendekati anak itu.
“Tenang nak, tenang!” ucapku yang sebenarnya mulai panik. Setelah kutemukan Ayu, aku segera memeluknya dalam kegelapan.
Akal sehatku mulai hilang. Situasi ini semakin lama semakin terasa sangat aneh. Aku semakin bertanya-tanya kenapa tiba-tiba suasana rumah menjadi seperti ini. Semuanya menjadi menakutkan dan mencekam.
Prang!
Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat keras dari arah ruangan tengah. Ada benda yang jatuh. Bahkan, disertai dengan suara napas yang berat yang Minah dengar dari luar jendela di ruangan tengah–terdengar persis di ruangan tengah yang letaknya di sebelah ruangan Ayu yang gelap ini.
Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.“Bunda, Ayu takut!”Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan
Arggghh!Aku merenyit kesakitan ketika pecahan-pecahan kaca itu aku injak, wajahku tak kuasa menahan rasa sakit ketika aku berlari ke arah kamar Ayu pada saat itu.Aku panik, benar-benar panik, aku tidak memperdulikan kakiku yang kini berlumuran darah segar yang menetes ke lantai.Suasana benar-benar terasa mencekam ketika aku berlari ke arah kamar, jarak yang seharusnya dekat pun terasa jauh, apalagi ditambah dengan rasa sesak yang aku rasakan, seperti sedang menembus beberapa orang yang saling berdesakan di ruangan yang kecil ini.Aku berusaha sekuat tenaga untuk cepat sampai ke arah kamar, meskipun aku harus berjibaku dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan sekarang.Namun,Ketika aku beberapa langkah lagi sampai ke depan kamar. Di balik sebuah tirai kamar yang terbuka, aku melihat seseorang yang sedang berdiri tegak dan memandang ke arahku.Lampu kamar yang terang membuatnya seperti bayangan yang berdiri di pintu kamar dengan tirai yang tersibak.Aku sontak berhenti, aku tak
Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada peneranga
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal d
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku
Situasinya benar-benar kacau, sebagian warga terlihat masih khawatir meskipun sudah melewati Ayu dan berdiam diri di pohon yang ditunjuk oleh Ucok pada saat itu, sedangkan sebagian lagi masih dilanda ketakutan karena situasinya sangat genting dan bisa menyebabkan nyawa mereka melayang seketika.Tangisan anak-anak yang mereka bawa terdengar menggema disana, belum lagi jeritan-jeritan dari para wanita yang melihat Ayu bergerak dan melayangkan bayangan hitam itu ke arah mereka yang tidak bisa menghindar di saat-saat seperti itu.Apalagi, mereka lebih ketakutan ketika tepat beberapa meter di dekat mereka, mereka melihat sesosok orang yang sudah meninggal kembali muncul, mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana pemakaman itu berlangsung, dan bagaimana tubuhnya yang busuk dengan tumbuhan-tumbuhan rawa yang menjerat tubuhnya sewaktu mereka menemukannya dalam keadaan yang tidak bernyawa.Beberapa yang kaget akan hal itu bahkan terjatuh ke tanah dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Rumor
Semua warga Desa Muara Ujung yang ingin melarikan diri disana begitu tercengang ketika mereka semua melihat Bu Cucu yang berusaha menghentikanku pada saat itu, tubuhnya basah bercampur darah dan luka yang terlihat cukup parah dari apa yang mereka lihat.Suara Bu Cucu yang berada di depan, di antara aku, dan Ucok serta Ayu yang berada tak jauh dariku pada saat itu tampaknya tidak terdengar oleh sebagian warga.Namun, Ucok yang tahu atas apa yang diperintahkan oleh Bu Cucu langsung berbalik, dengan sedikit berteriak dia langsung memerintahkan semua warga untuk berlari agar bisa melewati Ayu yang kini kondisinya sudah sangat parah karena dikendalikan oleh tuselak yang ada di dalam tubuhnya.“SEMUANYA, DENGARKAN ABA-ABA DARIKU, APABILA BU CUCU SUDAH BISA MENAHAN MAKHLUK ITU, KALIAN LANGSUNG BERLARI KE ARAH POHON YANG ADA DI UJUNG SANA, KARENA MAKHLUK ITU TIDAK AKAN BISA MENGEJAR KALIAN APABILA KALIAN SUDAH SAMPAI DISANA!”Ucok dengan cepat berbalik kepada Ali, Tono, Supri dan Adi.“Kal
Suara-suara cemoohan, keraguan, makian bahkan sumpah serapah terlontar dari mulut mereka yang ada di sekitarku. Juga dari sebuah tanda tanya atas apa yang aku lakukan ini tidak aku dengarkan. Para warga yang berada di sana langsung berkata tentangku, tentang Ayu dan tentang Satria.Sebuah kemarahan yang tidak bisa mereka lampiaskan dengan sebuah tindakan, sehingga mereka hanya bisa melampiaskan hal itu hanya dengan sebuah kata-kata yang itu pun keluar secara perlahan dengan orang terdekat di antara mereka.Rasa takut yang menyelimuti karena di depan mereka ada sesosok Ayu yang menjadi sebuah iblis yang bisa merenggut nyawa mereka semua membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.Kemarahan mereka sengaja ditahan karena mereka takut Ayu akan menyerang mereka dan berakhir dengan kematian yang mengerikan seperti Pak Dani dan Ki Sakti yang sekilas mereka lihat ketika mereka berjalan keluar desa.Aku berusaha mengeluarkan keberanianku, Ayu dengan lehernya yang patah dan tersenyum sinis kepad