“Hahhh ….”
Nafasku terengah-engah. Lagi-lagi, mimpi buruk itu. Sudah dua hari Satria dikuburkan, tetapi di mimpiku seolah dia kembali ke rumah ini–seperti ada sesuatu yang belum selesai dilakukannya. Namun, semua itu kutampik. Kurasa aku masih belum bisa menerima kepergiannya.
Aku melihat sekelilingku.
Gelap.
Bahkan, lampu minyak di sudut kamarku, tidak membantu penerangan sama sekali.
Desa yang awalnya sepi, semakin sepi karena malam. Bahkan, terasa hening sekali. Jika ada jarum yang jatuh ke lantai rumah ini, mungkin tetanggaku yang rumahnya cukup jauh dari sini, dapat mendengarnya.
Mungkin, ini perasaanku saja. Sejak kematian mendadak Satria di rawa-rawa, jarang sekali orang yang sengaja keluar rumah pada malam hari. Desa ini semakin tampak kosong. Kalau saja tidak ada lampu-lampu lima watt yang menyala dari depan rumah, kuyakin orang luar akan mengira bahwa desa ini tidak berpenghuni.
Aku pun menuju ke ruang tengah dan meraih buku dengan tulisan Aminah Siti Nur di sampulnya. Buku ini adalah temanku–tempatku mengadu tentang kehidupanku di desa terpencil ini. Keluhan-keluhan yang tak dapat kusampaikan pada Satria mengenai sulitnya beradaptasi di desa impiannya ini, kutuangkan di buku ini.
Kunyalakan radio dengan volume paling kecil dan segera membuka halaman kosong.
[ 9 May 1996
Lagi-lagi, aku bermimpi Satria datang kepadaku. Sosok yang kucintai itu terlihat menyeramkan. Kurasa kematiannya meninggalkan trauma pada diriku.
Aku bingung memikirkan hari esok. Bagaimana caranya aku bertahan di desa terpencil ini? Belum lagi, bersama Ayu–anak Satria dari pernikahan pertamanya.
Anak itu sedang berada di dalam kamarnya. Mungkin, sama sepertiku, dia masih bersedih mengingat ayahnya yang meninggal hari itu. Sengaja, kubiarkan dia sendiri. Mungkin, dia akan bisa menjalani hari esok seperti biasa–meskipun tanpa adanya sosok ayah di sampingnya lagi.
Apakah aku bisa menjadi ibu sambung yang baik untuknya? Bagaimana jika aku justru menyakiti anak itu tanpa kusadari, seperti di mimpi-mimpi burukku? Sungguh hormat sebesar-besarnya kuberikan bagi para perempuan yang bisa membesarkan anak orang lain, seperti milik mereka sendiri. Aku— ]
Wuuush!
Aku berhenti menulis. Tiba-tiba kurasakan suhu menjadi dingin. Ada hawa yang menusuk, sehingga membuat tubuhku seketika merinding.
“Desa sialan,” lirihku pelan memaki desa terpencil ini. Namun, dingin yang semakin menusuk membuatku bergegas mengambil jaket yang ada di dalam kamar.
Namun … rasa dingin itu tetap saja terasa oleh tubuhnya walaupun jaket telah kupakai. Bahkan, kini aku juga seakan diawasi oleh seseorang. Beberapa kali aku melihat ke setiap sudut ruangan rumah. Sayangnya, tidak ada siapapun di sana.
Rumah ini hanya berisi aku dan Ayu yang menangis di kamarnya.
Sepertinya, pikiranku kacau sampai-sampai berhalusinasi.
Aku pun melanjutkan diri untuk menulis buku harianku itu.
“Mi … nah ….” Tanganku seketika berhenti menulis saat mendengar seseorang seperti memanggil namaku. Tepat di telingaku! Bulu kudukku merinding. Terlebih, suara itu seperti dikeluarkan oleh orang yang sedang kesakitan.
Kini suara itu kembali terdengar tepat dari arah jendela yang tertutup di luar rumah. Seakan-akan, seseorang yang memanggilku tadi berdiri disana dengan napas yang terdengar sangat berat.
Aku teringat jasad Satria yang mengenaskan ketika pertama kali ditemukan mengambang di rawa-rawa.
Aku mulai merasa ngeri. Namun, akal sehatku menolak ide bahwa ada makhluk halus di rumah ini. Jadi, aku kini sengaja membesarkan volume radio agar otakku dapat terjauh dari hal-hal aneh yang bisa membuat ketakutan.
Anehnya, suasana semakin lama semakin hening.
Semakin sepi, bahkan aku merasa menggigil seperti kedinginan. Aku gelisah. Tubuhku bahkan bergetar tanpa kusadari.
Hingga akhirnya ….
Brak!
Jendela yang sudah tertutup rapat itu terbuka sendiri. Tak sadar, pulpen kulempar saking kagetnya. Bagaimana mungkin jendela itu terbuka? Ada kayu berat di depannya yang tidak mungkin terbuka hanya karena angin. Ini seperti … ada orang di sana yang sengaja membukanya!
Detak jantungku menggila.
Apalagi, angin malam yang sangat dingin tiba-tiba berhembus dari arah luar. Rasa takut mulai tak dapat kuhindari.
Sekali lagi, aku menoleh ke arah jendela. Hanya ada kegelapan malam di luar sana yang membuat siapapun akan takut ketika melihatnya.
Tubuhku membeku, seakan tidak bisa bergerak sama sekali.
“Siapa di sana? Jangan macam-macam, ya!” ucapku sambil bergetar.
Kucoba berpikir jernih. Apa mungkin ada anak tetangga yang mengerjaiku? Anak-anak memang tidak bisa dicegah kelakuannya, kan?
Suara aneh itu masih terdengar di sana. Dengan ragu, kudekati jendela itu walau kusadari bahwa tubuhku bergetar hebat–ketakutan.
Sekarang, suara langkah kakiku yang melangkah di lantai kayu terdengar. Entah mengapa, justru membuat suasana semakin mencekam. Seandainya ada Satria di sini. Suamiku yang pemberani itu pasti akan segera menemukan bocah nakal mana yang mengerjaiku!
Kedua tanganku saling memegang satu sama lain–mendekat ke arah dada, berharap menemukan pelaku kejahilan ini segera.
Karena–
Krosak … krosak … krosak ….
Tubuhku membeku ketika mendengar kembali suara aneh itu. Apalagi, kali ini ditambah dengan suara lain, seperti ada yang melewati semak-semak yang ada di kebun yang terdengar.
“Apakah itu adalah suara babi hutan?” Aku mulai berpikir bukan bocah-bocah nakal yang membuat suara aneh itu. Tunggu! Tapi, tidak mungkin babi hutan bisa membuka jendela rumah. Apalagi, memanggil namaku?!
Aku benar-benar bingung sekarang. Rasa takutku mulai tidak terbendung. Suasana di sekitarku benar-benar tidak mengenakkan.
Dari jendela, dapat kulihat tidak ada apapun di luar sana. Yang ada hanyalah kegelapan karena rumah kami memang dikelilingi oleh kebun luas yang baru mulai digarap selama tiga bulan ini.
Selain lampu lima watt yang menyala di depan rumah para warga–yang terlihat seperti titik-titik kecil–karena rumah antar tetangga jaraknya berjauhan, tidak ada apa pun yang terlihat!
Jujur, aku sangat takut untuk menutup jendela saat itu. Tanganku bergetar ketika aku menarik sebuah tali kecil yang digantung di jendela untuk ditarik agar jendela tertutup. Namun, mau tidak mau, aku harus melakukan hal itu agar jendelanya tertutup rapat dan tidak terbuka kembali nantinya.
Seeet
Akhirnya, jendela tertutup secara perlahan. Sayangnya, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih parah!
“Minaaaaaaaaaahhhhh!”
Suara itu tiba-tiba muncul tepat di sebelah kiri telingaku, sehingga langsung kulepaskan tali yang sedang kupegang.
Aku segera mundur beberapa langkah sehingga merapat ke arah dinding.
Deg! Deg! Deg!
Detak jantungku menggila. Kedua tanganku memegang dinding yang ada di belakangku karena suara ini benar-benar terdengar sangat jelas.
Kutolehkan kepalaku ke sebelah kiri–ke arah asal suara tersebut. Namun, tidak ada apapun yang terlihat. Hanya ada sebuah kursi kosong tempat biasanya Satria duduk dan mengobrol denganku pada malam hari.
Kali ini, aku benar-benar ketakutan. Kucoba tenangkan diri, tetapi tidak berhasil. Kurapalkan doa, tetap gagal.
Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
“BUNDAAAAAAAAA!” Teriakan Ayu tiba-tiba terdengar..
Aku yang masih ketakutan pun kini kembali dikejutkan oleh suara Ayu. Segera, aku langsung membalikan tubuh dan berlari ke arah kamar Ayu.
“Ayu! Kenapa kamu, Ayu?”
Kondisi ruangan tengah yang sebelumnya menyeramkan, sudah tidak kupedulikan. Bahkan, aku lupa apakah jendela tadi sudah tertutup sepenuhnya atau belum.Brak!Tak sengaja ku tabrak meja, sehingga radio dan kertas-kertas yang ada di meja tersebut berjatuhan ke lantai.“AYUUU!” Aku berteriak saat membuka tirai berwarna merah muda–pembatas antara ruangan tengah dan kamar Ayu. Di sana, Ayu terlihat menggigil ketakutan.Boneka besar yang menjadi teman tidurnya dijadikan penutup wajah, seolah bisa menghalangi dirinya dari hal yang membuatnya ketakutan. Anak itu terlihat menunjuk ke arah jendela yang kini terbuka–sama seperti di ruang tengah tadi.Aku pun mengamati jendela yang terbuka dan betapa terkejutnya diriku karena ada sesosok pria yang sedang berdiri di sana.Sosok itu terlihat sangat pucat.Di bagian di tubuhnya terlihat beberapa bekas lilitan dari tumbuhan-tumbuhan rawa, bahkan ada satu yang melilit ke arah wajahnya dengan sangat kencang sehingga berdarah.Wajah pucat itu dipenuhi t
Aku kembali teringat dengan jendela yang belum sempat aku tutup ketika aku berlari menghampiri Ayu pada waktu itu.Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Situasi di dalam kamar benar-benar gelap, tidak ada satupun titik cahaya yang bisa membantu melihat situasi yang ada di ruangan tengah.“Bunda, Ayu takut!”Ayu berkata dengan mulutnya yang gemetar. Semakin lama, pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa mengusap kepalanya beberapa kali–sebisa mungkin menenangkannya.“Ayu … Ayu gak boleh takut. Ada Bunda di sini ya, nak!”Suara langkah kaki yang aku dengar diluar kini mulai menghilang. Suasana kembali menjadi hening dengan kegelapan yang masih menyelimuti kamar Ayu dan rumahku ini.Aku ingin sekali memastikan semuanya aman. Sayangnya, tidak bisa! Penerangan–yang seharusnya membantuku melangkah ke ruangan tengah–tidak ada sama sekali di sini.“Ayu!” kataku, “bukannya Ayu ada mainan yang bisa menyala? Itu disimpan di mana? Mainan yang seperti tongkat penyihir yang dulu diberikan
Arggghh!Aku merenyit kesakitan ketika pecahan-pecahan kaca itu aku injak, wajahku tak kuasa menahan rasa sakit ketika aku berlari ke arah kamar Ayu pada saat itu.Aku panik, benar-benar panik, aku tidak memperdulikan kakiku yang kini berlumuran darah segar yang menetes ke lantai.Suasana benar-benar terasa mencekam ketika aku berlari ke arah kamar, jarak yang seharusnya dekat pun terasa jauh, apalagi ditambah dengan rasa sesak yang aku rasakan, seperti sedang menembus beberapa orang yang saling berdesakan di ruangan yang kecil ini.Aku berusaha sekuat tenaga untuk cepat sampai ke arah kamar, meskipun aku harus berjibaku dengan rasa sakit dan sesak yang aku rasakan sekarang.Namun,Ketika aku beberapa langkah lagi sampai ke depan kamar. Di balik sebuah tirai kamar yang terbuka, aku melihat seseorang yang sedang berdiri tegak dan memandang ke arahku.Lampu kamar yang terang membuatnya seperti bayangan yang berdiri di pintu kamar dengan tirai yang tersibak.Aku sontak berhenti, aku tak
Cahaya sinar bulan purnama terlihat lebih redup dari sebelumnya, bintang-bintang dilangit yang seharusnya berkilauan kini mendadak menghilang, digantikan oleh awan hitam tipis yang menutupi langit malam sehingga sinarnya yang awalnya membuat tenang kini menjadi kelam.Hawa diluar cukup dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya, suasana yang mencekam membuat semua orang yang keluar pada malam itu pasti akan bergidik ketakutan.Apalagi aku, yang pada saat ini sedang berjalan menyusuri kebun di belakang rumah dengan kewaspadaan penuh untuk mencari Ayu yang hilang entah kemana.Semua warga yang tinggal di Desa Muara Ujung memang memiliki kebun yang luas di belakang rumahnya, kebun-kebun sebanyak dua hektar yang dikelola oleh masing-masing keluarga menjadikannya sebagai sumber pendapatan dan penghidupan bagi mereka yang pindah dan menetap di desa ini.Sehingga, apabila kita memasuki kebun tersebut kita bisa saja tersesat saking luasnya, apalagi pada malam hari, dimana tidak ada peneranga
Belaian lembut dari tanganku sepertinya membuat Ayu sedikit agak tenang, suara tangisan yang awalnya keras kini terasa perlahan-lahan berhenti setelah aku mengusap-usap kepalanya.Kondisi tubuh Ayu benar-benar parah, baju dan celananya tampak sobek seperti terkena sesuatu yang menyentuh tubuhnya dengan keras. Sehingga dia tampak menggigil kedinginan di dalam isak tangis yang dia rasakan sekarang.Namun, tubuhnya yang kecil dan mungil itu tampak masih sehat dan bugar tanpa ada bekas luka di seluruh tubuhnya.Aku merasakan hal aneh dengan tubuh Ayu, karena aku yang melihat sendiri ketika kepala Ayu berputar seratus delapan puluh derajat ke arahku ketika di dalam rumah, kini terlihat kembali normal.Aku bahkan memeriksa lehernya, karena aku dengan jelas melihat kulitnya yang mengkerut ketika kepalanya berputar dengan suara tulang-tulang yang saling beradu satu sama lain.Tapi, tetap saja, leher Ayu tampak normal, tidak ada bekas luka dari leher yang diputar secara paksa pada saat itu. Be
Jujur, pikiranku kini kembali di kacaukan ketika aku melakukan kesalahan yang membuat Ayu menghilang kembali pada saat itu.Tangan yang awalnya aku pegang erat sengaja aku lepas, karena aku mendengar sebuah suara dari semak-semak hutan yang bergerak di dalam kegelapan.Namun, rupanya suara-suara itu sengaja ada agar aku lengah dan membuatku melepaskan tangan Ayu sehingga dirinya di tarik oleh sesuatu hingga menghilang kembali di dalam hutan yang sangat gelap ini.Aku yang memaksakan diri memasuki semak-semak hutan tidak bisa melihat jejaknya sama sekali sekarang, semak-semak hutan yang rimbun dengan banyaknya tumbuhan yang berduri disana. Membuatku tidak bisa memaksakan diri lebih jauh ke dalam sana, tubuh Ayu yang kecil mungkin saja bisa masuk, namun aku tidak.Sehingga, aku berhenti beberapa meter setelah aku masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri itu, yang secara perlahan membuat tangan dan kakiku sedikit terluka sekarang.Rasa sakit yang aku rasakan sebelum kejadian ini masih
Suara teriakanku benar-benar menggema di tengah hutan, bahkan saking kerasnya aku melihat daun-daun yang berada di sekitarku bergerak secara perlahan.Aku benar-benar tidak tega melihat Ayu dibawa seperti itu oleh Satria, seorang ayah yang kini menjadi teror setelah dirinya meninggal.Tubuh Ayu benar-benar tidak berdaya, dan teriakanku sepertinya tidak membuat hantu Satria berhenti. Dia terus saja melayang sambil menyeret Ayu dengan kasar di tengah hutan.Aku yang tidak tahan dengan hal itu kini hanya bisa berlari. Aku sudah tidak peduli dengan sosok Satria yang menyeramkan sekarang, perasaanku untuk menyelamatkan Ayu kini lebih besar daripada aku harus takut kepada sosok hantu yang ingin membawa anaknya sendiri mati bersamanya pada malam ini.Aku sudah tidak berpikir jernih sekarang, semua khayalan dan realita kini sudah tercampur sepenuhnya. Aku yang sedang berpikir logis atas apa yang terjadi sekarang sudah tidak berlaku lagi.Karena semua kejadian yang menimpaku pada saat ini suda
Suara dari Ayu yang tiba-tiba berubah menjadi suara Satria dengan nada yang sangat berat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.Bahkan, kini Ayu yang sedang dirasuki lagi oleh Satria melompat ke arahku dengan sangat cepat, salah satu tangannya berubah seperti cakar hewan dan ingin melukaiku di tempat itu.Lompatannya sungguh tidak masuk di akal, dia seperti hewan buas yang akan menerkamku dan ingin mengoyak-ngoyak tubuhku dengan tangannya yang kecil itu.Aku benar-benar tidak siap, karena aku masih shock dengan keadaan Ayu yang benar-benar parah daripada sebelumnya. Tubuhnya yang penuh luka dan darah yang mengucur membuat batinnya kini pasti sedang merasakan sakit yang amat sangat. Namun dia tidak bisa meminta tolong kepada siapapun karena tubuhnya sedang diambil alih oleh ayahnya sendiri yang menginginkannya mati menyusul dirinya.Otakku berputar dengan cepat, dan kali ini otakku membuat tubuhku ikut bergerak, di saat rasa lelah yang aku rasakan.SetttTubuhku secara ref
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku
Situasinya benar-benar kacau, sebagian warga terlihat masih khawatir meskipun sudah melewati Ayu dan berdiam diri di pohon yang ditunjuk oleh Ucok pada saat itu, sedangkan sebagian lagi masih dilanda ketakutan karena situasinya sangat genting dan bisa menyebabkan nyawa mereka melayang seketika.Tangisan anak-anak yang mereka bawa terdengar menggema disana, belum lagi jeritan-jeritan dari para wanita yang melihat Ayu bergerak dan melayangkan bayangan hitam itu ke arah mereka yang tidak bisa menghindar di saat-saat seperti itu.Apalagi, mereka lebih ketakutan ketika tepat beberapa meter di dekat mereka, mereka melihat sesosok orang yang sudah meninggal kembali muncul, mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana pemakaman itu berlangsung, dan bagaimana tubuhnya yang busuk dengan tumbuhan-tumbuhan rawa yang menjerat tubuhnya sewaktu mereka menemukannya dalam keadaan yang tidak bernyawa.Beberapa yang kaget akan hal itu bahkan terjatuh ke tanah dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Rumor
Semua warga Desa Muara Ujung yang ingin melarikan diri disana begitu tercengang ketika mereka semua melihat Bu Cucu yang berusaha menghentikanku pada saat itu, tubuhnya basah bercampur darah dan luka yang terlihat cukup parah dari apa yang mereka lihat.Suara Bu Cucu yang berada di depan, di antara aku, dan Ucok serta Ayu yang berada tak jauh dariku pada saat itu tampaknya tidak terdengar oleh sebagian warga.Namun, Ucok yang tahu atas apa yang diperintahkan oleh Bu Cucu langsung berbalik, dengan sedikit berteriak dia langsung memerintahkan semua warga untuk berlari agar bisa melewati Ayu yang kini kondisinya sudah sangat parah karena dikendalikan oleh tuselak yang ada di dalam tubuhnya.“SEMUANYA, DENGARKAN ABA-ABA DARIKU, APABILA BU CUCU SUDAH BISA MENAHAN MAKHLUK ITU, KALIAN LANGSUNG BERLARI KE ARAH POHON YANG ADA DI UJUNG SANA, KARENA MAKHLUK ITU TIDAK AKAN BISA MENGEJAR KALIAN APABILA KALIAN SUDAH SAMPAI DISANA!”Ucok dengan cepat berbalik kepada Ali, Tono, Supri dan Adi.“Kal
Suara-suara cemoohan, keraguan, makian bahkan sumpah serapah terlontar dari mulut mereka yang ada di sekitarku. Juga dari sebuah tanda tanya atas apa yang aku lakukan ini tidak aku dengarkan. Para warga yang berada di sana langsung berkata tentangku, tentang Ayu dan tentang Satria.Sebuah kemarahan yang tidak bisa mereka lampiaskan dengan sebuah tindakan, sehingga mereka hanya bisa melampiaskan hal itu hanya dengan sebuah kata-kata yang itu pun keluar secara perlahan dengan orang terdekat di antara mereka.Rasa takut yang menyelimuti karena di depan mereka ada sesosok Ayu yang menjadi sebuah iblis yang bisa merenggut nyawa mereka semua membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.Kemarahan mereka sengaja ditahan karena mereka takut Ayu akan menyerang mereka dan berakhir dengan kematian yang mengerikan seperti Pak Dani dan Ki Sakti yang sekilas mereka lihat ketika mereka berjalan keluar desa.Aku berusaha mengeluarkan keberanianku, Ayu dengan lehernya yang patah dan tersenyum sinis kepad