Sinar berwarna merah ke kuning-kuningan akhirnya muncul secara perlahan di ufuk timur, sinar yang disertai dengan burung-burung hutan yang berkicau dengan indahnya membuat suasana menjadi syahdu.
Apalagi sinarnya yang hangat, membuat orang yang awalnya terlelap tidur secara pelan-pelan terbangun dengan sendirinya, di iringi dengan hawa sejuk yang berhembus ketika pintu dan jendela rumah mereka yang dibuka lebar. Membuat mereka bersemangat untuk menyongsong hari baru karena hari sudah berganti dan mereka harus kembali bekerja ke kebun masing-masing yang ada dibelakang rumah.
Beginilah desa transmigrasi yang kita tinggali, sebagai desa perintis yang letaknya sangat jauh dari keramaian, dengan jarak yang berpuluh-puluh kilometer melewati hutan lebat dan rawa-rawa membuat kami harus bekerja keras setiap paginya, menggarap lahan pertanian yang sudah pemerintah beri untuk kami kelola.
Dengan harapan, desa ini akan maju seperti desa-desa yang sudah lebih dulu ada di tanah ini. Kami tinggal dengan sebuah tanah garapan yang harus kita olah, Tanah sebanyak dua hektar yang kami kelola bisa menjadi modal untuk para warga desa untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak dan cucu mereka.
Meskipun desa ini desa yang sangat-sangat terpencil, namun fasilitas yang ada di Desa Muara Ujung sangat lengkap.
Ada tempat peribadatan dari berbagai agama di ujung desa, ada lapangan bola, juga gedung pertemuan bagi para warga untuk penyuluhan atau sekedar nongkrong dan mengobrol dengan para warga lain selepas berkebun.
Ada juga warung-warung kecil dari inisiatif beberapa warga untuk memenuhi kebutuhan hidup selama disana untuk penghasilan tambahan, meskipun secara kebutuhan kita di support oleh pemerintah di satu tahun pertama, namun tetap saja para warga harus membeli kebutuhan lainnya seperti minyak tanah untuk memasak, sabun untuk mencuci atau rokok sebagai kebutuhan hidupnya.
Selain tempat-tempat tersebut, ada salah satu tempat lagi yang kadang dikunjungi para warga, sebuah tempat yang dihuni oleh seseorang yang dihormati selain Pak Dani yang menjadi Kepala Desa.
Tempat itu dihuni oleh seseorang yang dipercaya oleh pemerintah untuk berdiam di sana, selain mendapatkan tanah dia juga digaji oleh pemerintah untuk mengurus kesehatan seluruh warga.
“Pak Ridwan, lagi diluar Pak?”
Tampak seorang warga yang berangkat pagi-pagi untuk mengambil air melewati tempat itu, dia menyapa seseorang yang sedang berdiri di depan rumah yang dia sulap menjadi sebuah Puskesmas sederhana untuk mengobati para warga yang ada disana.
Dengan tersenyum warga tersebut menyapa seseorang yang menjadi tuan rumah dan pemilik dari Puskesmas tersebut. Tak lama, seseorang yang dia panggil Pak Ridwan pun balik menyapanya dengan sedikit senyuman yang terlihat di wajahnya.
“Iya, ini lagi mau beresin plang Puskesmas, lagi nunggu si Ucok datang buat bantu.”
“Eh gimana istrimu Li? Udah mendingan sakitnya?” kata Pak Ridwan dengan senyum khas nya.
“Iya udah Pak, kemarin dia sudah mulai ke dapur lagi, benar kata Pak Ridwan istriku kangen suasana kota jadi kepirikan terus ampe sakit."
“Tapi sekarang sudah agak mendingan Pak, dia aku suruh buat istirahat dulu di rumah sampe benar-benar tenang pikirannya,” katanya sambil sedikit berteriak.
“Oh ya syukurlah, nanti kalau ada apa-apa datang lagi kesini aja ya!” kata Pak Ridwan dengan nada yang ramah.
“Iya Pak, makasih ya Pak sudah bantu rawat istri ku.”
“Oh iya, maaf gak bisa lama-lama, aku harus segera pergi, mau ngelanjutin pekerjaan Pak Satria buat masang-masangin pipa dari rawa Pak, biar kebun-kebun kita banyak suplai airnya,” katanya dengan sedikit berteriak dan mengangkat salah satu tangannya.
“Ok kalau begitu, hati-hati ya Li,” katanya sambil membalasnya dengan mengangkat tangannya.
Pak Ridwan tersenyum ketika melihat Ali akhirnya pergi kembali menyusuri jalanan besar yang menjadi jalan utama yang masih berupa tanah yang becek dan bergelombang.
Setelah berdiri cukup lama di depan rumah untuk melihat matahari yang secara perlahan muncul dengan sinarnya yang terang. Akhirnya Pak Ridwan berbalik melihat rumahnya, mencoba menghangatkan punggungnya dari sinar matahari pagi sambil mengambil satu batang rokok yang ada di salah satu sakunya.
Rasa hangat secara perlahan-lahan muncul dan meresap ke seluruh tubuh, sebagai Dokter Puskesmas dia tahu fungsinya berjemur pada pagi hari. Sehingga hampir setiap hari dia melakukan hal ini.
Sambil memandang rumah yang dia ubah menjadi Puskesmas sederhana. Dia akhirnya mendapatkan impiannya, sebuah impian untuk mendapatkan tempat prakteknya sendiri. Meskipun harus tinggal di tempat yang jauh seperti ini.
Fuhhhh
Asap rokok terlihat mengepul keluar dari mulut Pak Ridwan secara perlahan.
“Kalau saja kamu masih hidup Satria, di waktu pagi seperti ini pasti ada teman mengobrol, ngobrol tentang kehidupan kita dulu ketika di kota, mengobrol tentang kehidupanmu yang melanglang buana mengelilingi pulau-pulau.”
“Juga kehidupanmu yang penuh akan tantangan seperti kuliah dulu.”
Fuhhhh
“Aku tidak terlalu akrab dengan mereka Satria, bahkan dengan istrimu sendiri. Kamu tahu kan aku orangnya seperti apa, susah bergaul dengan orang, hanya denganmu saja aku bisa membuka kedokku, seperti halnya kamu membuka kedokmu selama ini.”
“Aku juga sengaja mengajakmu ke tempat ini, mensupport segala hal agar kamu bisa lolos dan tinggal disini bersama istri dan anakmu, agar aku ada teman.”
“Tapi…..”
Hahhhhhh
Sebuah nafas panjang terlihat dari tubuh Pak Ridwan pada saat itu, mulut yang awalnya penuh asap rokok dia hentikan sementara. Seperti ada penyesalan ketika dia mengingat Satria harus pergi meninggalkan dirinya disana sendirian, karena mungkin saja Pak Ridwan sudah menganggap Satria adalah teman semasa hidup yang bisa menjadi teman mengobrol dan bertukar pikiran ketika sedang berada di tempat ini.
Dia tiba-tiba tersenyum kecil, bahkan kepalanya di gelengkan beberapa kali sambil kembali menghisap rokoknya secara perlahan.
“Apakah aku bisa bertahan selama lima tahun disini dan bersosialisasi dengan para warga dari berbagai daerah dengan watak yang berbeda satu sama lain.”
Fuhhhh
Pak Ridwan terus-menerus bergumam. Seperti ada sesuatu persahabatan yang mengikat dirinya dan Satria sehingga mereka berdua memutuskan untuk tinggal di tempat ini
Pikirannya melayang kemana-mana ketika dirinya bersama-sama kuliah di tempat yang sama, berjuang bersama ketika lulus, hingga akhirnya berakhir di tempat ini.
Namun,
Tak lama lamunannya terhenti ketika dia mendengar sebuah suara meminta tolong dari arah kanan. Tampak ada seseorang yang sedang berlari dengan tergesa-gesa ke arahnya sambil menggendong seorang anak yang dia bawa oleh kedua tangannya.
“Pak Ridwaaaaan!”
“Tollonggggg, tolonggg Pak!”
“Toloong Ayuuuuu!”
Pak Ridwan yang sedang melamun di depan rumahnya langsung menoleh ke asal suara itu, tampak Minah berteriak sambil membawa Ayu yang penuh luka berlari ke arah Pak Ridwan.
Dengan wajahnya yang tampak kusut, rambutnya yang berantakan, bahkan di sekitar matanya terlihat menghitam karena kekurangan tidur. Minah benar-benar terlihat memprihatinkan, apalagi Ayu yang sedang dia bawa yang kini penuh dengan luka memar dan sayatan atas kejadian teror yang dia alami kemarin membuat tubuhnya lebih memprihatinkan.
Pak Ridwan tampak kaget, dengan segera dia berlari menghampiri Minah dan menggendong Ayu dengan kedua tangannya.
“Minah, apa yang terjadi, kenapa Ayu bisa seperti ini?” katanya dengan nada yang panik.
BrakSuara pintu rumah tiba-tiba dibuka dengan sangat keras. Sebuah rumah yang mirip dengan yang Minah tinggali dari bentuk dan rupa terlihat dengan jelas, tetapi rumah ini difungsikan untuk menjadi sebuah Puskesmas kecil dengan kamar tambahan sebagai kamar pasien di sebelah kiri.Ruangan pertama ada ruangan tunggu, yang hanya beralaskan beberapa tikar sebagai alas dan tempat duduk pasien untuk menunggu. Tidak ada kursi yang berjejer, tidak ada meja resepsionis seperti Puskesmas-puskesmas lain yang ada di kota, semuanya begitu sederhana.Yang ada hanyalah sebuah gambar-gambar di dinding tentang pemeliharan kesehatan tubuh yang dikirim oleh pemerintah setempat, juga sebuah meja kecil tempat Pak Ridwan menerima semua pasiennya sebelum nantinya dia cek di ruangan yang ada dibelakangnya.Pak Ridwan tampak panik. Ayu yang awalnya dibawa Minah langsung dia gendong dan dia bawa masuk ke dalam rumah, dia masuk ke ruang tunggu dan berbelok ke arah kiri dimana kamar pasien itu berada.Dengan ce
Aku langsung membisu mendengar apa yang dibicarakan oleh Pak Ridwan pada saat itu. Dia menatapku dengan sangat tajam seperti sedang mengintrogasiku di tengah-tengah Ayu yang masih terbaring lemas dan tidak sadarkan diri disana. “Jawab Minah! Apakah ini ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib?” katanya dengan tatapan yang serius. “Aku tahu akan perubahan mimik mukamu ketika aku berbicara seperti itu Minah.” “Wajahmu seakan ketakutan ketika aku berkata hal gaib, yang berarti semalam ada sesuatu yang menerormu, apalagi di dalam rumah sekarang hanya kalian berdua dan tidak ditemani oleh Satria yang sudah tiada.” Pertanyaan demi pertanyaan Pak Ridwan lontarkan kepadaku pada saat itu, matanya terus-menerus menatapku tajam tanpa sedikit berpaling sedikitpun. Semakin lama, wajahku semakin tertunduk. Aku tidak tahu kenapa Pak Ridwan tahu akan hal itu, apakah dia memang tahu apa yang terjadi antara Satria dan Ayu sehingga dia berusaha mengintrogasiku sekarang. Aku hanya bisa terdiam, k
Ruangan yang menjadi ruang tunggu pasien menjadi saksi bisu atas apa yang Pak Ridwan katakan. Dia sangat serius menceritakan tentang latar belakang Satria yang tidak aku ketahui. Satria yang aku kenal dari tempat kerjaku rupanya penuh misteri, bahkan sahabatnya sendiri pun mengiyakan hal itu. Pak Ridwan terus saja bercerita tentang Satria, tentang masa lalunya yang dia ketahui. Ternyata Satria dahulu mempunyai watak yang keras, idealis, berpikir cepat akan masalah-masalah yang dihadapinya. Bahkan, dia ikut ke tempat transmigrasi ini mempunyai alasan tersendiri, bukan semata-mata dia ikut dengan Pak Ridwan untuk tinggal di desa ini. Aku benar-benar tertegun, setiap kata yang keluar dari Pak Ridwan aku serap semua. Aku tidak berani memotong apa yang dia katakan, mataku terus-menerus menatap lurus ke arah Pak Ridwan dan merekam semua perkataan yang dia keluarkan. ‘Jadi, sebenarnya siapakah orang yang kini menjadi suamiku ini?’ Apalagi, Pak Ridwan dengan gamblang meyakini bahwa aku d
Langit yang awalnya terang dan menyinari Desa Muara Ujung yang terpencil itu kini secara perlahan-lahan memudar, digantikan oleh awan hitam dan diiringi oleh rintik-rintik hujan yang membasahi desa hingga malam tiba. Tidak ada lagi cahaya bulan yang biasanya menerangi malam dengan bintang-bintang yang bertaburan di atas sana, semuanya tergantikan oleh tetesan-tetesan air hujan yang secara perlahan-lahan turun sepanjang malam tanpa henti. Desa Muara Ujung akan semakin terisolasi ketika hujan tiba, karena rawa-rawa yang ada di sekitar desa tersebut airnya akan meluap, bahkan tak jarang selama tiga bulan mereka tinggal di desa tersebut. Sudah ada dua kali air yang naik hingga ke kebun-kebun yang sedang mereka kelola. Memang, inilah tantangan bagi para penduduk desa, iklim yang sangat berbeda dengan tempat tinggal mereka membuat mereka harus berpikir beberapa kali akan tanah yang mereka garap. Karena hujan seperti ini bisa membahayakan tanaman-tanaman yang mereka tanam di belakang rumah
Zraaass Suara hujan yang tidak henti-hentinya mengguyur Desa Muara Ujung pada malam itu, membuat suasana yang awalnya tenang menjadi sedikit kelam. Apalagi hujan yang sangat deras adalah sebuah hambatan bagi para warga untuk beraktifitas di keesokan harinya. Karena mungkin saja, hujan itu akan menggenangi sebagian tempat dan kebun-kebun mereka yang mengakibatkan mereka harus bekerja keras agar tanaman mereka tidak rusak oleh guyuran hujan yang sekarang terjadi. Selain itu, kita semua tahu, hujan pada malam hari sangat erat hubunganya dengan sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang sering muncul entah darimana dan mengganggu tidur kita semalaman penuh. Hawa yang sangat dingin, juga perasaan yang terasa sunyi dan sepi ketika hujan tiba, membuat tubuh pun serasa menggigil ketakutan, indera perasa kita akan semakin sensitif atas semua suara-suara yang muncul di tengah-tengah suara hujan yang terdengar keras diluar rumah. Aku yang kini duduk dan menemani Ayu yang sedang tertidur pun m
[10 May 1996 hujan yang begitu deras kini semakin menambah kesepian yang aku alami bersama Ayu, aku sungguh tidak percaya atas apa yang terjadi kemarin malam. Di saat sosok yang aku cintai kini mendadak berubah menjadi sosok yang ingin aku hindari sekarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dengan Ayu, aku tidak tahu kenapa kamu melakukan itu. Aku harap, itu bukanlah dirimu yang sebenarnya, namun itu adalah makhluk lain yang menyerupai dirimu yang sedang mengincar anakmu yang kini tertidur di dekat ku pada saat ini. Aku tidak pernah berpikir, anak sekecil ini akan mengalami kejadian yang mengerikan, mengalami sesuatu yang mungkin saja akan terpatri dalam dirinya bahwa ayahnya sendiri menjadi hantu dan menerornya semalaman. Koper kuning yang Pak Ridwan bicarakan belum sempat aku buka, koper yang kini berdebu karena disimpan di atas lemari membuatku berpikir, sebenarnya ada apa di balik hidupmu yang misterius itu. Apa hubunganya orang-orang yang membencimu dengan Ayu yan
Zraaass... Tengah malam sudah berlalu, namun air hujan yang turun tampaknya masih belum menunjukan tanda-tanda berhenti. Suasana malam yang seharusnya diambil alih oleh suara-suara hewan malam yang aktif mencari makan saat langit bertabur bintang dan sinar bulan yang menjadi raja di malam hari, kini justru berubah menjadi awan hitam yang terus memuncahkan percikan-percikan air dari atas sana. Hawa dingin yang menusuk kulit membuat siapa saja ingin berada di tempat yang hangat, di selimuti oleh selimut tebal atau berdiam diri di dekat perapian. Namun kali ini tampaknya ada sesuatu yang berbeda. Pak Ridwan yang entah bagaimana bisa berpindah dari rumahnya sendiri, kini justru duduk dan tidak berdaya di suatu tempat yang tampak tidak asing. Suatu tempat yang berada di ujung hutan, yang berbatasan dengan kebun warga yang ada di belakang. Suatu tempat, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi sahabatnya yang ikut bersama dirinya untuk tinggal di desa ini. Batu nisan yang han
"AYU? KENAPA KAMU MEWUJUDKAN DIRIMU SEBAGAI AYU? ” Pak Ridwan tampak benar-benar tercengang atas apa yang dia lihat sekarang, sosok yang keluar dari bayangan hitam yang dia lihat merupakan Ayu dengan tubuhnya yang masih penuh luka yang sempat dia obati tadi siang. Rambutnya yang panjang dan terurai panjang, kini tampak basah oleh hujan yang masih mengguyur mereka di dekat makam Satria yang menjadi saksi bisu atas apa yang terjadi di malam ini. Perban-perban yang menempel tubuhnya kini terlihat basah. Bahkan beberapa dari perban itu terlihat mengelupas dan jatuh ke tanah yang penuh lumpur, menyisakan luka-luka yang belum mengering sehingga tubuhnya kembali berdarah. Ayu terlihat tersenyum di tengah guyuran hujan, sebagian rambut panjangnya menutupi wajahnya yang kini terlihat menyeramkan. Entah apa yang terjadi kepada dirinya, apakah dirinya kembali dirasuki oleh hantu Satria seperti kemarin malam, atau ada sosok yang lain yang sedang menyerupai dirinya. Pak Ridwan yang tidak be
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku
Situasinya benar-benar kacau, sebagian warga terlihat masih khawatir meskipun sudah melewati Ayu dan berdiam diri di pohon yang ditunjuk oleh Ucok pada saat itu, sedangkan sebagian lagi masih dilanda ketakutan karena situasinya sangat genting dan bisa menyebabkan nyawa mereka melayang seketika.Tangisan anak-anak yang mereka bawa terdengar menggema disana, belum lagi jeritan-jeritan dari para wanita yang melihat Ayu bergerak dan melayangkan bayangan hitam itu ke arah mereka yang tidak bisa menghindar di saat-saat seperti itu.Apalagi, mereka lebih ketakutan ketika tepat beberapa meter di dekat mereka, mereka melihat sesosok orang yang sudah meninggal kembali muncul, mereka masih mengingat dengan jelas bagaimana pemakaman itu berlangsung, dan bagaimana tubuhnya yang busuk dengan tumbuhan-tumbuhan rawa yang menjerat tubuhnya sewaktu mereka menemukannya dalam keadaan yang tidak bernyawa.Beberapa yang kaget akan hal itu bahkan terjatuh ke tanah dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Rumor
Semua warga Desa Muara Ujung yang ingin melarikan diri disana begitu tercengang ketika mereka semua melihat Bu Cucu yang berusaha menghentikanku pada saat itu, tubuhnya basah bercampur darah dan luka yang terlihat cukup parah dari apa yang mereka lihat.Suara Bu Cucu yang berada di depan, di antara aku, dan Ucok serta Ayu yang berada tak jauh dariku pada saat itu tampaknya tidak terdengar oleh sebagian warga.Namun, Ucok yang tahu atas apa yang diperintahkan oleh Bu Cucu langsung berbalik, dengan sedikit berteriak dia langsung memerintahkan semua warga untuk berlari agar bisa melewati Ayu yang kini kondisinya sudah sangat parah karena dikendalikan oleh tuselak yang ada di dalam tubuhnya.“SEMUANYA, DENGARKAN ABA-ABA DARIKU, APABILA BU CUCU SUDAH BISA MENAHAN MAKHLUK ITU, KALIAN LANGSUNG BERLARI KE ARAH POHON YANG ADA DI UJUNG SANA, KARENA MAKHLUK ITU TIDAK AKAN BISA MENGEJAR KALIAN APABILA KALIAN SUDAH SAMPAI DISANA!”Ucok dengan cepat berbalik kepada Ali, Tono, Supri dan Adi.“Kal
Suara-suara cemoohan, keraguan, makian bahkan sumpah serapah terlontar dari mulut mereka yang ada di sekitarku. Juga dari sebuah tanda tanya atas apa yang aku lakukan ini tidak aku dengarkan. Para warga yang berada di sana langsung berkata tentangku, tentang Ayu dan tentang Satria.Sebuah kemarahan yang tidak bisa mereka lampiaskan dengan sebuah tindakan, sehingga mereka hanya bisa melampiaskan hal itu hanya dengan sebuah kata-kata yang itu pun keluar secara perlahan dengan orang terdekat di antara mereka.Rasa takut yang menyelimuti karena di depan mereka ada sesosok Ayu yang menjadi sebuah iblis yang bisa merenggut nyawa mereka semua membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.Kemarahan mereka sengaja ditahan karena mereka takut Ayu akan menyerang mereka dan berakhir dengan kematian yang mengerikan seperti Pak Dani dan Ki Sakti yang sekilas mereka lihat ketika mereka berjalan keluar desa.Aku berusaha mengeluarkan keberanianku, Ayu dengan lehernya yang patah dan tersenyum sinis kepad