"Buk'e tanya sekali lagi, ngapain kamu bawa dia kemari?" Darmi sangat hapal sekali siapa yang Joko bawa saat ini. Dan tentu saja dia jadi sangat murka melihat wanita itu. Bisa-bisanya anaknya itu malah membawa wanita yang menyebabkan sang menantu kabur ke rumahnya. "Buk'e, jangan gitu," bisik Joko tak enak. "Kenalin, ini namanya Surti, Buk'e." Joko memperkenalkan Surti pada Darmi, tapi Darmi tetap tak mau menyambut uluran tangan Surti sama sekali. Dia malah membuang muka sambil mendengus kesal. Darmi kembali menatap wajah anaknya, "Jawab Buk'e, Joko. Kenapa kamu datang sama dia? Kamu itu udah punya istri. Ngapain bawa perempuan lain. Inget kamu Joko, kamu udah punya Lastri, istrimu. Sekarang kenapa kamu malah bawa dia kemari!!" Darmi mulai kesal. "Perkenalkan, Buk'e, saya Surti. Saya juga istrinya Mas Joko." Surti mengulurkan kembali tangannya. Tapi langsung di tepis oleh Darmi. "Apa?! Jangan ngawur kamu, ha! Berani-beraninya ngaku-ngaku istri anakku. Joko ini udah punya istri! Na
"D-Dek Lastri ...." Joko langsung gelagapan melihat Lastri yang kini melipat tangannya di depan dada. Belum lagi sang ibu yang berkacak pinggang sambil menatapnya dengan tajam. Bukan hanya Joko yang gelagapan. Tapi, Tiwi juga kini wajahnya seperti seorang maling yang ketahuan oleh warga. Pias. "Mau kamu apakan aku, Mas? Ayo. Aku udah ada di hadapan kamu sekarang. Kamu mau apakan aku, hah?!" tantang Lastri. Tapi Joko tak berani berbuat apapun karena saat ini di belakang Lastri ada sang ibu yang terlihat murka. "Jadi kamu, Nduk, yang udah ngajarin adikmu ini buat pelit sama istri?" hardik Darmi pada Tiwi. "Aku salah apa sama kamu, Mbak? Kenapa kamu jahat sama aku?" tanya Lastri memelas. "Bu-Buk'e ... Aku bisa jelasin semuanya," cicit Tiwi. "Jelasin opo? Koe ini sama-sama perempuan, Nduk. Sama-sama seorang istri kayak Lastri. Tapi bisa-bisanya koe malah ngajarin Joko untuk berbuat tak adil pada istrinya sendiri. Koe lihat sekarang akibatnya, hah? Heran Buk'e sama koe! Ndak habis pi
Surti dan Lastri dibawa masuk oleh Joko dan Tiwi ke dalam dengan paksa. Mereka langsung di minta duduk di sofa ruang tamu meski keduanya masih dipegangi dengan erat. Suasana saat ini sangat terasa tak nyaman.Darmi terlihat menghela nafas pelan. Dadanya terasa sesak melihat pertengkaran antara menantu dan anaknya sendiri.Dia jadi ingat bahwa dulu, Joko lah yang merengek meminta untuk melamarkan Lastri untuknya. Meski berulang kali Darmi mengingatkan pada anaknya itu bahwa pernikahan itu tak seindah yang di pikirkan. Apalagi usia Joko dan Lastri saat itu masih terbilang sangat muda. Tapi, semua nasihat Darmi ternyata sama sekali tak berpengaruh pada sang anak. Dia tetap ingin menikahi gadis pujaannya itu bagaimana pun caranya. Darmi yang seorang single parent, dengan terpaksa menjual satu petak sawahnya untuk membiayai pernikahan Joko. Harta milik Darmi memang mampu menghidupi kebutuhannya sehari-hari, jadi dia tak pernah khawatir soal itu. Ada sawah dan kebun yang hasilnya sangat me
"Ya gak bisa gitu donk, Buk'e. Yang namanya harta gono gini itu, ya, di bagi dua hartanya. Bukan di kasih semua kayak gini sama Lastri! Harusnya Joko juga dapat dong, minimal setengahnya lah dari uang tabungan itu." Tiwi melayangkan protesnya. Padahal itu adalah uang Joko bukan uangnya. "Diem koe, Wi! Ini bukan urusan koe! Pokonya uang ini semuanya buat Lastri. Anggap aja jatah gono-gini yang harusnya jadi bagian Joko itu sebagai nafkah yang semestinya Lastri dapatkan selama menikah dengan kamu, Joko! Salah siapa kamu pelit! Jadi, keputusan Buk'e udah bulat. Uang ini utuh milik Lastri. Biar dia juga yang urus perceraian kalian. Kamu mana mau urus begituan." Darmi sudah tak ingin lagi di bantah. "Buk'e ... Buk'e gak bisa dong, berbuat tak adil seperti ini padaku. Gimana caranya aku sewa rumah kalau seperti ini? Lastri! Berikan setengah dari uang itu padaku. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun, aku takkan mengganggu hidupmu lagi," ucap Joko sambil mengulurkan tangannya meminta uan
Surti menarik Joko masuk ke dalam mobil dengan kesusahan. Mereka pun meninggalkan rumah Darmi dengan terpaksa, meski tak tahu akan pergi ke mana. Niat hati, Joko ingin tinggal di rumah sang ibu dengan nyaman, kini Joko malah menerima kenyataan pahit bahwa sang ibu malah mengusirnya."Gimana ini sekarang, Mas?" Surti merajuk. "Ya, gimana lagi? Yang penting sekarang kita punya tempat tinggal dulu aja. Masalah kedepannya, gimana nanti aja." Tegas Joko. "Uangnya dari mana?" Surti semakin ketus. Firasatnya kini sudah tak enak. "Dari kamu dulu lah, Dek. Mas cuma punya 400ribu, sisa ongkos." Joko berucap dengan begitu entengnya. "Hah?!" Surti saat ini jadi kesal juga. Dia sebenarnya sudah bisa menebak kalau kini dialah yang akan keluar uang untuk biaya hidup mereka sekarang. Sungguh, Surti tak berpikir jauh ke sana saat dirinya ingin menikah dengan Joko. Pesona Joko yang selalu cuek ketika dia mendekatinya membuat Surti penasaran ingin menaklukkan hati lelaki jangkung itu. Namun kini, d
Nasi yang Joko kunyah pagi ini rasanya sangat sulit dia telan. Dia merasa seperti sedang memakan beling.Joko yang dulu biasanya makan sederhana di rumah bersama Lastri tapi kemudian makan enak di warung nasi padang, kini harus makan hanya dengan garam. Bukan garamnya yang membuat hati Joko kini merasa miris, tapi pikirannya yang tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada Lastri. Kini dia mengingat bagaimana dia membiarkan Lastri makan hanya dengan sepotong telur dan sedikit nasi setiap hari, sedang dia enak-enakan makan di luar secara diam-diam. Penyesalan itu memang selalu datang di akhir. Apa yang dulu kita sia-siakan bisa saja di masa depan akan menjadi hal yang paling kita rindukan. Apalagi, perasaan berdosa itu akan selalu ada di setiap kita mengingat bahwa kita sudah melukai seseorang dengan ucapan atau tindakan kita. Netra Joko kini melirik ke arah Surti yang masih sibuk dengan kuku-kukunya. Perempuan yang baru sekitar seminggu menjadi istrinya itu sangat berbeda dengan La
"Bagus, ya? Masa idah belum selesai tapi udah punya gebetan baru." Tiwi tiba-tiba datang dari arah dapur menghampiri Darmi yang sedang menggoda Lastri. Tiwi memang belum pulang ke rumahnya lagi. Dia bilang, anak-anaknya masih betah berada di sana. Padahal yang sebenarnya adalah Tiwi ingin memantau semua yang Lastri lakukan. Sedangkan suaminya sendiri sudah berangkat sehari setelah keributan yang terjadi di keluarganya. Tiwi pun tak serta merta memberi tahu Joko kalau Lastri masih ada di rumah ibunya. Tiwi pikir, jika adiknya itu tahu, bisa-bisa Joko akan kembali mendekati Lastri. Entah kenapa Tiwi sangat tak menyukai Lastri dari semenjak adiknya menikah dengan Lastri. "Apaan kamu, Wi? Gak usah fitnah kamu!" sentak Darmi tak terima. "Siapa yang fitnah to, Buk'e. Wong udah jelas keliatan depan mata kalo dia itu udah bawa gandengan baru. Cerai aja belum, tapi udah kegatelan! Cih! Bisa aja nuduh Joko selingkuh sama janda gatel, gak taunya dia sendiri sekarang jadi janda gatel!" cibir
"Duh, Mas Teguh ke mana, sih? Kok di hubungin gak bisa. Aku kan, mau minta laporan laba rugi!" gerutu Tiwi yang kini sibuk berulang kali menghubungi suaminya tapi tak tersambung juga. "Ish! Nyebelin. Mentang-mentang gak aku awasin, kayaknya dia seenaknya sekarang hamburin duitnya."Selama ini, ternyata Tiwi bukan hanya mengatur Joko. Tapi, uang suaminya juga dialah yang mengatur. Teguh, suami Tiwi itu adalah seorang pemilik toko bahan bangunan yang cukup besar di Desanya. Dia merintis usahanya semenjak menikah dengan Tiwi. Dan tentu saja, modal awal yang di miliki Teguh untuk membuka toko tersebut adalah dari uang tabungan Tiwi. Maka dari itu, Tiwi mengatur semua keuangan yang masuk dan keluar dari toko tersebut. Kini, setelah seminggu dirinya tinggal di rumah Darmi, suaminya itu berubah menjadi sangat mencurigakan. Jarang menghubungi Tiwi dan bahkan tak memberikan laporan tentang uang yang masuk dan keluar setiap hari. Tiwi kemudian iseng membuka-buka stroy WAnya karena Teguh tak
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
PoV Lastri"Aarrgghh!! Sial!!" Mas Joko terlihat mengumpat lalu turun dari atas tubuhku. Mungkin karena aku terus menghindarinya yang berniat menjamahku, belum lagi aku terus menerus menangis dan meminta tolong, dia jadi terlihat kesal sekaligus menyesal.Setelah dia turun, lekas aku menyilangkan tangan di depan dadaku sambil meringkuk dan terus terisak.Rasanya memang sangat sakit dan sesak. Bukan hanya sakit di badanku, tapi juga hatiku. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang dia lakukan saat ini. Padahal aku sudah mencoba berdamai dengan masa lalu kami dan memaafkan semuanya. Tapi, dengan perlakuannya yang seperti ini justru membuat aku semakin terluka dan membencinya. Na'asnya, ternyata tak satu orangpun yang datang menolongku. Entah ke mana orang-orang di hotel ini. Apakah suaraku kurang keras sehingga tak ada yang menolongku sama sekali? Ataukah memang kamar ini kedap suara. Aku sama sekali tak paham. Netraku kini tertuju pada telepon yang ada disamping tempat tidur. Bi
PoV Lastri. Perasaan gembira kini memenuhi hatiku karena tiga hari lagi, aku dan Mas Putra akan segera melangsungkan akad nikah dan mengikat hubungan kami dalam sebuah ikatan suci yang bernama pernikahan. Sedari pagi, rasanya senyum selalu mengembang di wajahku jika mengingat kalau sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri dari lelaki yang sangat kucintai.Hari ini rencananya akan di adakan pengajian untuk kelancaran pernikahanku dengan Mas Putra. Dan aku sudah bersiap sedari sore, dan kini aku sibuk memoles make up tipis di wajahku depan meja rias. Saat sedang asyik memakai make up, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku tanpa permisi maupun mengetuk pintu. Dia memakai topi dan masker hitam. Memang kumaklumi jika banyak orang saat ini di luar, dan dia katanya masuk karena di minta untuk mendekorasi kamarku, padahal acara hari ini yang di dekor hanya bagian luarnya saja. Tidak dengan kamarku. Kupikir, setelah mengatakan hal tersebut, dia akan pergi, anehnya dia
PoV JOKOHari ini aku akan pergi menyusul Lastri ke kotanya. Aku dengar dari Buk'e jika besok, mantan istriku itu akan mengadakan acara pengajian karena tiga hari setelahnya, dia akan menikah dengan si Putra sialan itu! Sungguh duniaku terasa jungkir balik semenjak bercerai dengan Lastri. Aku sudah berusaha untuk mencoba menerima Surti dan memaklumi setiap tingkah lakunya yang selalu membuat kepalaku pusing setiap hari. Tapi, saat aku merasa perlakuan Surti padaku itu seperti karma untukku atas apa yang kulakukan pada Lastri dulu, aku mencoba untuk bersabar. Hanya saja, kesabaranku ternyata hanya setipis selembar tisu yang di bagi dua. Surti terus saja merongrongku dengan banyak permintaan, sedangkan apa yang kuharapkan darinya tak pernah dia dengar. Dia selalu seenaknya sendiri. "Tolong lah, Dek. Mas bisa nurutin semua keinginan kamu itu. Tapi, hargailah aku sebagai suamimu. Jangan selalu menghina dan merendahkanku setiap hari. Aku juga punya hati. Bisakah kamu lemah lembut sedikit