PoV 3Joko sore itu juga langsung menuju rumah ibu mertuanya. Dia mengira bahwa Lastri pergi ke rumah orang tuanya. Dengan kecepatan tinggi, dia mengendarakan sepeda motornya. Jarak yang harusnya di tempuh selama satu jam, kini hanya setengah jam saja, dia sudah sampai di rumah sang mertua. "Assalamu'alaikum ...," ucap Joko memberi salam. Sekali, dua kali, tak ada jawaban apapun dari dalam rumah. Hingga ke tiga kalinya, suara seseorang menyahut ucapan salam Joko. "Loh, Joko. Ayo masuk," sambut Hanah sang mertua. Perempuan bertubuh tambun dengan banyak perhiasan yang menempel di tubuhnya itu mempersilakan Joko untuk masuk. Dia merasa heran kenapa sang menantu tiba-tiba berkunjung tanpa memberitahu sebelumnya. "Iya, Bu." Joko pun masuk lalu duduk di ruang tamu yang luas dan mewah itu. "Mana Lastri, kok, gak ikut?" tanya Hanah. Deg! 'Jadi, Lastri gak datang ke sini? Lalu dia ke mana?' batin Joko. "Eh, emm ... enggak. Katanya lagi gak enak badan." Joko terpaksa berdusta pada Hana
Bab 19Joko terbangun dengan kepala berdenyut nyeri. Bukan hanya kepala, seluruh badannya pun terasa sakit dan pegal. Ia terduduk lalu memijat keningnya perlahan. Tapi, saat kesadarannya sudah kembali sepenuhnya, dia kemudian dikagetkan dengan pergerakan di sampingnya. Saat menoleh, dia sangat syok mendapati Surti yang tertidur di sampingnya tanpa mengenakan sehelai benangpun. Dia juga refleks melihat ke arah tubuhnya sendiri yang ternyata kondisinya tak jauh berbeda dari Surti. "Su-Surti! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Joko. Surti yang mendengar suara Joko, langsung terbangun dan berpura-pura bersedih. "Mas, apa kamu gak ingat? Kamu udah menyetuhku dengan paksa. Kamu udah melecehkan aku. Huhuhu ...." Surti mengeluarkan air mata buayanya. "Apa maksudmu? Melecehkan?" tanya Joko tak percaya. "Mas Joko gak ingat? Tadi kita sudah ...." Surti menunduk sambil mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Tangisnya semakin di buat-buat. "Gak! Gak mungkin!" Joko menggeleng, menolak
Para warga berdesakan mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Suara teriakan Pak RW sudah jelas membuat warga yang berkumpul di luar menjadi penasaran akan apa yang terjadi di dalam sana. "Permisi, ada apa ini?" tanya Hanah pada salah satu warga. Ia baru saja datang untuk mengunjungi Lastri. Mertua Joko itu ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar membeli kulkas seperti yang Joko katakan kemarin. Tapi, saat sampai di halaman rumah kontrakan anak semata wayangnya itu, ternyata banyak warga yang sedang berkumpul. Hanah jadi penasaran, apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kenapa banyak sekali orang-orang berkerumun di halaman. "Ini, Bu. Katanya ada yang ketahuan lagi zina," jawab salah seorang warga. Hanah langsung syok. Siapa yang sudah berzina? Apakah anaknya, atau menantunya, pikir Hanah. Bergegas Hanah menerobos kerumunan tersebut dan memaksa masuk. Wajahnya yang gempal agak kesulitan untuk mengurai kerumunan yang berdesakan mengintip ke dalam rumah. "Permisi, permisi, say
"Yu Darmi, itu menantunya kok, ndak pulang sama Joko? Piye?" ucap Tati~tetangga sebelah Darmi yang kepo karena melihat Lastri beberapa hari menginap di sana tapi dia tak melihat Joko sama sekali. Saat ini Darmi dan Lastri sedang bersih-bersih halaman. Mencabuti rumput kemudian menyapunya. "Oh, iyo, Yu Tati, Joko nya lagi sibuk kerja di kota. Jadi, kemarin pulang sendirian," dusta Darmi. "Oalaaahhh ... punya suami itu jangan di tinggal-tinggal lama. Nanti di gondol pelakor, loh!" peringat Tati pada Lastri. 'Orang udah di gondol juga kayaknya,' batin Lastri memelas. "Nih, saya kasih tau, ya. Punya suami itu harus selalu di jagain, di perhatiin. Kalo Dek Lastri di sini terus, nanti siapa yang perhatiin suaminya di sana? Siapa yang jagain suaminya?" Tati terus saja memanas-manasi Lastri. Padahal dia tak saja tahu kalau Lastri memang sedang ada masalah dengan Joko. "Anakku udah gede, toh, Yu Tati. Jadi gak perlu di jagain segala. Emangnya bocah!" ketus Darmi. Dia lumayan gerah juga de
"Buk'e tanya sekali lagi, ngapain kamu bawa dia kemari?" Darmi sangat hapal sekali siapa yang Joko bawa saat ini. Dan tentu saja dia jadi sangat murka melihat wanita itu. Bisa-bisanya anaknya itu malah membawa wanita yang menyebabkan sang menantu kabur ke rumahnya. "Buk'e, jangan gitu," bisik Joko tak enak. "Kenalin, ini namanya Surti, Buk'e." Joko memperkenalkan Surti pada Darmi, tapi Darmi tetap tak mau menyambut uluran tangan Surti sama sekali. Dia malah membuang muka sambil mendengus kesal. Darmi kembali menatap wajah anaknya, "Jawab Buk'e, Joko. Kenapa kamu datang sama dia? Kamu itu udah punya istri. Ngapain bawa perempuan lain. Inget kamu Joko, kamu udah punya Lastri, istrimu. Sekarang kenapa kamu malah bawa dia kemari!!" Darmi mulai kesal. "Perkenalkan, Buk'e, saya Surti. Saya juga istrinya Mas Joko." Surti mengulurkan kembali tangannya. Tapi langsung di tepis oleh Darmi. "Apa?! Jangan ngawur kamu, ha! Berani-beraninya ngaku-ngaku istri anakku. Joko ini udah punya istri! Na
"D-Dek Lastri ...." Joko langsung gelagapan melihat Lastri yang kini melipat tangannya di depan dada. Belum lagi sang ibu yang berkacak pinggang sambil menatapnya dengan tajam. Bukan hanya Joko yang gelagapan. Tapi, Tiwi juga kini wajahnya seperti seorang maling yang ketahuan oleh warga. Pias. "Mau kamu apakan aku, Mas? Ayo. Aku udah ada di hadapan kamu sekarang. Kamu mau apakan aku, hah?!" tantang Lastri. Tapi Joko tak berani berbuat apapun karena saat ini di belakang Lastri ada sang ibu yang terlihat murka. "Jadi kamu, Nduk, yang udah ngajarin adikmu ini buat pelit sama istri?" hardik Darmi pada Tiwi. "Aku salah apa sama kamu, Mbak? Kenapa kamu jahat sama aku?" tanya Lastri memelas. "Bu-Buk'e ... Aku bisa jelasin semuanya," cicit Tiwi. "Jelasin opo? Koe ini sama-sama perempuan, Nduk. Sama-sama seorang istri kayak Lastri. Tapi bisa-bisanya koe malah ngajarin Joko untuk berbuat tak adil pada istrinya sendiri. Koe lihat sekarang akibatnya, hah? Heran Buk'e sama koe! Ndak habis pi
Surti dan Lastri dibawa masuk oleh Joko dan Tiwi ke dalam dengan paksa. Mereka langsung di minta duduk di sofa ruang tamu meski keduanya masih dipegangi dengan erat. Suasana saat ini sangat terasa tak nyaman.Darmi terlihat menghela nafas pelan. Dadanya terasa sesak melihat pertengkaran antara menantu dan anaknya sendiri.Dia jadi ingat bahwa dulu, Joko lah yang merengek meminta untuk melamarkan Lastri untuknya. Meski berulang kali Darmi mengingatkan pada anaknya itu bahwa pernikahan itu tak seindah yang di pikirkan. Apalagi usia Joko dan Lastri saat itu masih terbilang sangat muda. Tapi, semua nasihat Darmi ternyata sama sekali tak berpengaruh pada sang anak. Dia tetap ingin menikahi gadis pujaannya itu bagaimana pun caranya. Darmi yang seorang single parent, dengan terpaksa menjual satu petak sawahnya untuk membiayai pernikahan Joko. Harta milik Darmi memang mampu menghidupi kebutuhannya sehari-hari, jadi dia tak pernah khawatir soal itu. Ada sawah dan kebun yang hasilnya sangat me
"Ya gak bisa gitu donk, Buk'e. Yang namanya harta gono gini itu, ya, di bagi dua hartanya. Bukan di kasih semua kayak gini sama Lastri! Harusnya Joko juga dapat dong, minimal setengahnya lah dari uang tabungan itu." Tiwi melayangkan protesnya. Padahal itu adalah uang Joko bukan uangnya. "Diem koe, Wi! Ini bukan urusan koe! Pokonya uang ini semuanya buat Lastri. Anggap aja jatah gono-gini yang harusnya jadi bagian Joko itu sebagai nafkah yang semestinya Lastri dapatkan selama menikah dengan kamu, Joko! Salah siapa kamu pelit! Jadi, keputusan Buk'e udah bulat. Uang ini utuh milik Lastri. Biar dia juga yang urus perceraian kalian. Kamu mana mau urus begituan." Darmi sudah tak ingin lagi di bantah. "Buk'e ... Buk'e gak bisa dong, berbuat tak adil seperti ini padaku. Gimana caranya aku sewa rumah kalau seperti ini? Lastri! Berikan setengah dari uang itu padaku. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun, aku takkan mengganggu hidupmu lagi," ucap Joko sambil mengulurkan tangannya meminta uan
Sampai di depan rumah Yuni dan melihat wanita yang kucintai itu turun dari motor lelaki yang memboncengnya. Kuparkirkan mobilku agak jauh dari rumah Yuni agar dia tak melihatku yang membuntutinya sejak tadi.Setelah melihat dia masuk kedalam rumahnya bersama lelaki itu, bergegas aku menuju ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sebenarnya telah aku lewatkan selama tiga tahun ini. Apakah Yuni memang sudah menikah lagi dengan lelaki lain atau aku hanya salah paham saja.Beruntungnya, rumah Yuni ini pagarnya hanya terbuat dari bambu sehingga tak sulit untuk masuk ke dalam rumahnya.Aku mengendap-endap seperti maling menuju samping rumah Yuni dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan di dalam sana. Hati ini melengos saat mendengar suara Yuni yang tertawa bahagia bersama lelaki itu. Belum lagi, aku juga mendengar suara bapak Yuni yang sepertinya ikut mengobrol bersama di ruang tamu mereka. "Jadi kapan kamu akan menikah?" Kudengar suara bapak Yuni yang entah bertanya pada siapa. Tap
Kuhampiri lelaki paruh baya itu dengan sedikit ketakutan di hati. Mencoba tersenyum tapi senyumku pudar saat menatap wajahnya yang garang. Dengan ragu, ku ulurkan tangan untuk kusalami dan kucium dengan takzim, tapi na'as, setelah tangannya itu kusentuh, lelaki yang berstatus Bapak dari perempuan yang ingin kupinang tersebut malah menarik tangannya dan mengusapkannya pada kain sarung yang melilit dipinggangnya. Apa aku semenjijikan itu, pikirku. "Pak, jangan gitu." Entah kapan datangnya, tiba-tiba Yuni sudah ada di belakang bapaknya. Saat aku menatapnya, dia hanya tersenyum sungkan. Aku tahu dia pasti merasa tak enak dengan sikap sang bapak barusan terhadapku. "Masuk, Mas." Tawar Yuni sambil melebarkan daun pintu. "Eh, eh, eh ... siapa emangnya yang ngijinin dia masuk? Gak usah! Ngobrol di luar aja. Paling cuma bentar," ketus bapak Yuni membuat nyaliku menciut. "Pak, kasian loh, Mas Joko nya." Yuni melayangkan protes. "Gak apa, Yun. Lagian gerah juga. Gak apa ngobrol di luar aja.
Estrapart "Sus ...." Aku memanggil Suster Yuni yang baru saja lewat di depan ruanganku. "Ya." Dia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. "Bisa bicara sebentar?" Keningnya terlihat mengkerut. Apa dia keberatan? "Itupun kalau Suster tak keberatan," lanjutku pada akhirnya. "Oh, ada apa, ya?""Ini ... soal pekerjaan yang kutanyakan kemarin. Apa sudah ada info?" tanyaku berbasa-basi. Bukan basa-basi sebenarnya, tapi memang aku butuh informasi tersebut. Apakah aku bisa tetap di sini atau harus pergi. Sungguh aku berharap bisa bekerja dan mengabdi di tempat ini. "Ah ... iya. Saya sudah menanyakannya kemarin pada Pak Kamal, tapi katanya nanti dia infokan lagi. Nanti saya tanyakan lagi, ya, Mas." Dia berucap di akhiri sebuah senyuman manis. Jujur, aku sudah terhipnotis dengan senyumnya itu sejak beberapa minggu ini. "Baiklah. Terima kasih." Yuni mengangguk dan berpamitan karena dia bilang dia harus berkeliling memeriksa pasien. Kutatap punggungnya yang berlalu begitu saja. Ada
PoV JokoAku membuka mata pagi ini, kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan. Mencoba melepas sesak yang akhir-akhir ini masih mengganggu. Sebelas bulan sudah aku berada di sini. Di tempat yang katanya khusus untuk orang tengah depresi. Kadang aku berpikir, aku depresi kenapa? Tapi, suster Yuni menceritakan semuanya padaku akhir-akhir ini. Janda satu anak itu menceritakan semuanya kenapa aku bisa berada di sini. Akhir-akhir ini hanya suster Yuni yang jadi temanku bercerita. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak saat membayangkan kalau aku pernah akan melecehkan Lastri, bahkan hampir membuatnya kehilangan nyawa. Entah bagaimana ceritanya aku bisa seperti itu. Yang kurasakan sekarang hanyalah kosong. Aku tak mengingat apapun selain sehari setelah aku berpisah dengan Surti dan dia membawa anakku pergi. Rasanya duniaku hancur karena aku terlanjur sayang pada anakku itu. Ah ... anak. Bagaimana keadaan anakku sekarang? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana juga keadaan
Mata lentik Lastri mengerjap merasakan satu tangan melingkar diperutnya. Saat ia sudah tersadar, tiba-tiba pipinya terasa panas dan bersemu merah ketika mengingat apa yang terjadi semalam bersama sang kekasih halalnya. Lelakinya itu berhasil mengobati traumanya dengan sekejap mata. Lastri pikir, semua trauma itu akan membuat hubungannya dengan sang suami menjadi renggang karena ia merasa ketakutan setiap bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi dia merasa bersyukur, ternyata Putra bisa menghilangkan trauma yang ada pada dirinya dan mengubahnya menjadi sebuah kebahagiaan. Setelah cukup puas memandangi sang suami yang masih terlelap, Lastri perlahan mengurai lengan Putra yang masih erat memeluknya. Dia berniat ingin membersihkan diri karena sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Hanya saja, gerakan Lastri ternyata membuat Putra terjaga dari tidurnya. "Udah bangun? Mau ke mana, hmm?" Putra malah kembali menarik Lastri dalam pelukan. "Aku mau mandi, Mas. Sebentar lagi sudah subuh," u
"Ya Allah, Joko ...!" Darmi datang dan langsung memukul lengan putranya dengan membabi buta. Joko yang sedang tertidur karena efek obat yang diminumnya kini kembali terbangun karena ulah sang ibu. Polisi yang berjaga langsung melerai aksi wanita paruh baya tersebut. Kemarin, setelah insiden kaki Joko yang ditembak petugas polisi, dia langsung di bawa ke RS Polri untuk mendapatkan penanganan. Darmi yang sejak pagi sudah sampai di kediaman Lastri, dikejutkan dengan kabar bahwa semalam mantan menantunya itu sudah di culik oleh sang anak. Darmi benar-benar merasa malu pada Lastri dan keluarnya karena ulah Joko. Niat Darmi datang ke kediaman Lastri H-2 pernikahan adalah agar bisa membantu-bantu sebelum acara. Lastri juga sudah berulang kali memberi pesan dengan nada memaksa agar sang mantan mertua dayang jauh-jauh hari. Hanya saja, Darmi memang merasa segan untuk datang. Mendengar kejadian semalam, Darmi langsung murka pada Joko dan memutuskan langsung menyusul ke RS tempat Joko di rawa
PoV Lastri"Aarrgghh!! Sial!!" Mas Joko terlihat mengumpat lalu turun dari atas tubuhku. Mungkin karena aku terus menghindarinya yang berniat menjamahku, belum lagi aku terus menerus menangis dan meminta tolong, dia jadi terlihat kesal sekaligus menyesal.Setelah dia turun, lekas aku menyilangkan tangan di depan dadaku sambil meringkuk dan terus terisak.Rasanya memang sangat sakit dan sesak. Bukan hanya sakit di badanku, tapi juga hatiku. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang dia lakukan saat ini. Padahal aku sudah mencoba berdamai dengan masa lalu kami dan memaafkan semuanya. Tapi, dengan perlakuannya yang seperti ini justru membuat aku semakin terluka dan membencinya. Na'asnya, ternyata tak satu orangpun yang datang menolongku. Entah ke mana orang-orang di hotel ini. Apakah suaraku kurang keras sehingga tak ada yang menolongku sama sekali? Ataukah memang kamar ini kedap suara. Aku sama sekali tak paham. Netraku kini tertuju pada telepon yang ada disamping tempat tidur. Bi
PoV Lastri. Perasaan gembira kini memenuhi hatiku karena tiga hari lagi, aku dan Mas Putra akan segera melangsungkan akad nikah dan mengikat hubungan kami dalam sebuah ikatan suci yang bernama pernikahan. Sedari pagi, rasanya senyum selalu mengembang di wajahku jika mengingat kalau sebentar lagi aku akan menyandang status sebagai istri dari lelaki yang sangat kucintai.Hari ini rencananya akan di adakan pengajian untuk kelancaran pernikahanku dengan Mas Putra. Dan aku sudah bersiap sedari sore, dan kini aku sibuk memoles make up tipis di wajahku depan meja rias. Saat sedang asyik memakai make up, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamarku tanpa permisi maupun mengetuk pintu. Dia memakai topi dan masker hitam. Memang kumaklumi jika banyak orang saat ini di luar, dan dia katanya masuk karena di minta untuk mendekorasi kamarku, padahal acara hari ini yang di dekor hanya bagian luarnya saja. Tidak dengan kamarku. Kupikir, setelah mengatakan hal tersebut, dia akan pergi, anehnya dia
PoV JOKOHari ini aku akan pergi menyusul Lastri ke kotanya. Aku dengar dari Buk'e jika besok, mantan istriku itu akan mengadakan acara pengajian karena tiga hari setelahnya, dia akan menikah dengan si Putra sialan itu! Sungguh duniaku terasa jungkir balik semenjak bercerai dengan Lastri. Aku sudah berusaha untuk mencoba menerima Surti dan memaklumi setiap tingkah lakunya yang selalu membuat kepalaku pusing setiap hari. Tapi, saat aku merasa perlakuan Surti padaku itu seperti karma untukku atas apa yang kulakukan pada Lastri dulu, aku mencoba untuk bersabar. Hanya saja, kesabaranku ternyata hanya setipis selembar tisu yang di bagi dua. Surti terus saja merongrongku dengan banyak permintaan, sedangkan apa yang kuharapkan darinya tak pernah dia dengar. Dia selalu seenaknya sendiri. "Tolong lah, Dek. Mas bisa nurutin semua keinginan kamu itu. Tapi, hargailah aku sebagai suamimu. Jangan selalu menghina dan merendahkanku setiap hari. Aku juga punya hati. Bisakah kamu lemah lembut sedikit