Para warga berdesakan mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Suara teriakan Pak RW sudah jelas membuat warga yang berkumpul di luar menjadi penasaran akan apa yang terjadi di dalam sana. "Permisi, ada apa ini?" tanya Hanah pada salah satu warga. Ia baru saja datang untuk mengunjungi Lastri. Mertua Joko itu ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar membeli kulkas seperti yang Joko katakan kemarin. Tapi, saat sampai di halaman rumah kontrakan anak semata wayangnya itu, ternyata banyak warga yang sedang berkumpul. Hanah jadi penasaran, apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kenapa banyak sekali orang-orang berkerumun di halaman. "Ini, Bu. Katanya ada yang ketahuan lagi zina," jawab salah seorang warga. Hanah langsung syok. Siapa yang sudah berzina? Apakah anaknya, atau menantunya, pikir Hanah. Bergegas Hanah menerobos kerumunan tersebut dan memaksa masuk. Wajahnya yang gempal agak kesulitan untuk mengurai kerumunan yang berdesakan mengintip ke dalam rumah. "Permisi, permisi, say
"Yu Darmi, itu menantunya kok, ndak pulang sama Joko? Piye?" ucap Tati~tetangga sebelah Darmi yang kepo karena melihat Lastri beberapa hari menginap di sana tapi dia tak melihat Joko sama sekali. Saat ini Darmi dan Lastri sedang bersih-bersih halaman. Mencabuti rumput kemudian menyapunya. "Oh, iyo, Yu Tati, Joko nya lagi sibuk kerja di kota. Jadi, kemarin pulang sendirian," dusta Darmi. "Oalaaahhh ... punya suami itu jangan di tinggal-tinggal lama. Nanti di gondol pelakor, loh!" peringat Tati pada Lastri. 'Orang udah di gondol juga kayaknya,' batin Lastri memelas. "Nih, saya kasih tau, ya. Punya suami itu harus selalu di jagain, di perhatiin. Kalo Dek Lastri di sini terus, nanti siapa yang perhatiin suaminya di sana? Siapa yang jagain suaminya?" Tati terus saja memanas-manasi Lastri. Padahal dia tak saja tahu kalau Lastri memang sedang ada masalah dengan Joko. "Anakku udah gede, toh, Yu Tati. Jadi gak perlu di jagain segala. Emangnya bocah!" ketus Darmi. Dia lumayan gerah juga de
"Buk'e tanya sekali lagi, ngapain kamu bawa dia kemari?" Darmi sangat hapal sekali siapa yang Joko bawa saat ini. Dan tentu saja dia jadi sangat murka melihat wanita itu. Bisa-bisanya anaknya itu malah membawa wanita yang menyebabkan sang menantu kabur ke rumahnya. "Buk'e, jangan gitu," bisik Joko tak enak. "Kenalin, ini namanya Surti, Buk'e." Joko memperkenalkan Surti pada Darmi, tapi Darmi tetap tak mau menyambut uluran tangan Surti sama sekali. Dia malah membuang muka sambil mendengus kesal. Darmi kembali menatap wajah anaknya, "Jawab Buk'e, Joko. Kenapa kamu datang sama dia? Kamu itu udah punya istri. Ngapain bawa perempuan lain. Inget kamu Joko, kamu udah punya Lastri, istrimu. Sekarang kenapa kamu malah bawa dia kemari!!" Darmi mulai kesal. "Perkenalkan, Buk'e, saya Surti. Saya juga istrinya Mas Joko." Surti mengulurkan kembali tangannya. Tapi langsung di tepis oleh Darmi. "Apa?! Jangan ngawur kamu, ha! Berani-beraninya ngaku-ngaku istri anakku. Joko ini udah punya istri! Na
"D-Dek Lastri ...." Joko langsung gelagapan melihat Lastri yang kini melipat tangannya di depan dada. Belum lagi sang ibu yang berkacak pinggang sambil menatapnya dengan tajam. Bukan hanya Joko yang gelagapan. Tapi, Tiwi juga kini wajahnya seperti seorang maling yang ketahuan oleh warga. Pias. "Mau kamu apakan aku, Mas? Ayo. Aku udah ada di hadapan kamu sekarang. Kamu mau apakan aku, hah?!" tantang Lastri. Tapi Joko tak berani berbuat apapun karena saat ini di belakang Lastri ada sang ibu yang terlihat murka. "Jadi kamu, Nduk, yang udah ngajarin adikmu ini buat pelit sama istri?" hardik Darmi pada Tiwi. "Aku salah apa sama kamu, Mbak? Kenapa kamu jahat sama aku?" tanya Lastri memelas. "Bu-Buk'e ... Aku bisa jelasin semuanya," cicit Tiwi. "Jelasin opo? Koe ini sama-sama perempuan, Nduk. Sama-sama seorang istri kayak Lastri. Tapi bisa-bisanya koe malah ngajarin Joko untuk berbuat tak adil pada istrinya sendiri. Koe lihat sekarang akibatnya, hah? Heran Buk'e sama koe! Ndak habis pi
Surti dan Lastri dibawa masuk oleh Joko dan Tiwi ke dalam dengan paksa. Mereka langsung di minta duduk di sofa ruang tamu meski keduanya masih dipegangi dengan erat. Suasana saat ini sangat terasa tak nyaman.Darmi terlihat menghela nafas pelan. Dadanya terasa sesak melihat pertengkaran antara menantu dan anaknya sendiri.Dia jadi ingat bahwa dulu, Joko lah yang merengek meminta untuk melamarkan Lastri untuknya. Meski berulang kali Darmi mengingatkan pada anaknya itu bahwa pernikahan itu tak seindah yang di pikirkan. Apalagi usia Joko dan Lastri saat itu masih terbilang sangat muda. Tapi, semua nasihat Darmi ternyata sama sekali tak berpengaruh pada sang anak. Dia tetap ingin menikahi gadis pujaannya itu bagaimana pun caranya. Darmi yang seorang single parent, dengan terpaksa menjual satu petak sawahnya untuk membiayai pernikahan Joko. Harta milik Darmi memang mampu menghidupi kebutuhannya sehari-hari, jadi dia tak pernah khawatir soal itu. Ada sawah dan kebun yang hasilnya sangat me
"Ya gak bisa gitu donk, Buk'e. Yang namanya harta gono gini itu, ya, di bagi dua hartanya. Bukan di kasih semua kayak gini sama Lastri! Harusnya Joko juga dapat dong, minimal setengahnya lah dari uang tabungan itu." Tiwi melayangkan protesnya. Padahal itu adalah uang Joko bukan uangnya. "Diem koe, Wi! Ini bukan urusan koe! Pokonya uang ini semuanya buat Lastri. Anggap aja jatah gono-gini yang harusnya jadi bagian Joko itu sebagai nafkah yang semestinya Lastri dapatkan selama menikah dengan kamu, Joko! Salah siapa kamu pelit! Jadi, keputusan Buk'e udah bulat. Uang ini utuh milik Lastri. Biar dia juga yang urus perceraian kalian. Kamu mana mau urus begituan." Darmi sudah tak ingin lagi di bantah. "Buk'e ... Buk'e gak bisa dong, berbuat tak adil seperti ini padaku. Gimana caranya aku sewa rumah kalau seperti ini? Lastri! Berikan setengah dari uang itu padaku. Setelah itu kamu bebas melakukan apapun, aku takkan mengganggu hidupmu lagi," ucap Joko sambil mengulurkan tangannya meminta uan
Surti menarik Joko masuk ke dalam mobil dengan kesusahan. Mereka pun meninggalkan rumah Darmi dengan terpaksa, meski tak tahu akan pergi ke mana. Niat hati, Joko ingin tinggal di rumah sang ibu dengan nyaman, kini Joko malah menerima kenyataan pahit bahwa sang ibu malah mengusirnya."Gimana ini sekarang, Mas?" Surti merajuk. "Ya, gimana lagi? Yang penting sekarang kita punya tempat tinggal dulu aja. Masalah kedepannya, gimana nanti aja." Tegas Joko. "Uangnya dari mana?" Surti semakin ketus. Firasatnya kini sudah tak enak. "Dari kamu dulu lah, Dek. Mas cuma punya 400ribu, sisa ongkos." Joko berucap dengan begitu entengnya. "Hah?!" Surti saat ini jadi kesal juga. Dia sebenarnya sudah bisa menebak kalau kini dialah yang akan keluar uang untuk biaya hidup mereka sekarang. Sungguh, Surti tak berpikir jauh ke sana saat dirinya ingin menikah dengan Joko. Pesona Joko yang selalu cuek ketika dia mendekatinya membuat Surti penasaran ingin menaklukkan hati lelaki jangkung itu. Namun kini, d
Nasi yang Joko kunyah pagi ini rasanya sangat sulit dia telan. Dia merasa seperti sedang memakan beling.Joko yang dulu biasanya makan sederhana di rumah bersama Lastri tapi kemudian makan enak di warung nasi padang, kini harus makan hanya dengan garam. Bukan garamnya yang membuat hati Joko kini merasa miris, tapi pikirannya yang tak bisa menghilangkan rasa bersalahnya pada Lastri. Kini dia mengingat bagaimana dia membiarkan Lastri makan hanya dengan sepotong telur dan sedikit nasi setiap hari, sedang dia enak-enakan makan di luar secara diam-diam. Penyesalan itu memang selalu datang di akhir. Apa yang dulu kita sia-siakan bisa saja di masa depan akan menjadi hal yang paling kita rindukan. Apalagi, perasaan berdosa itu akan selalu ada di setiap kita mengingat bahwa kita sudah melukai seseorang dengan ucapan atau tindakan kita. Netra Joko kini melirik ke arah Surti yang masih sibuk dengan kuku-kukunya. Perempuan yang baru sekitar seminggu menjadi istrinya itu sangat berbeda dengan La