SANTET CE LA NA DALAM 6
PINDAHKAH JEMURAN KE DALAM RUMAH SEBELUM MALAM, TERUTAMA PAKAIAN DALAM! ***Nana Shamsy***"Mak, aku bawa Kuyang!" teriak Raga.Mak Lidya pun tergopoh ke belakang. Di dapur Nining duduk dengan anteng. Wajahnya sudah bersih, tetapi bajunya penuh dengan darah."Nining," pekiknya."Iya, Mak. Ternyata yang Mak lihat tadi itu Nining. Mak, janji ya, jangan bilang sama siapa-siapa kalau Nining sudah makan ayam-ayam Emak.""Apa?""Iya, Mak. Ayam-ayam Emak dimakan habis oleh Nining. Kalau orang-orang sampai tahu, aku takut Nining akan semakin menjadi bahan gunjingan," kata Raga."Benar sekali, Emak setuju dengan kamu. Ya, sudah, Nining biar Emak yang urus, kamu urus bangkai ayam di belakang. Setelah itu kita kembalikan Nining ke rumahnya."Lidya memandikan Nining, menyisir rambutnya, memakaian baju bekasnya sewaktu ia masih kurus. Ya, Mak Lidya juga pernah kurus sebelum akhirnya ia mengembang sempurna.Raga sibuk mengumpulkan potongan-potongan ayam miliknya yang tercecer dan menguburnya."Mak, Mak sudah se le sai? Raga melongo melihat penampilan Nining."Gimana? Cantikkan? Dulu Emak kayak begini waktu muda. Ayo kita antar Nining pulang." ***Kbm***"Nining," seru Yasmin. Ia sangat terkejut melihat penampilan Nining. Nining memakai kerudung warna peach dengan gamis senada. Pipinya merona, hidungnya di shading sehingga tampak lebih ramping dan mancung, ia juga memakai bulu mata sehingga matanya nampak lentik."Masyaallah Nining." Sumi langsung memeluk keponakannya tersebut."Sebaiknya Bude ajak Nining masuk, biar Nining istirahat," usul Raga. "Tadi saya sudah bilang kalau Nining sudah kembali. Sebentar lagi pasti Mas Aji dan yang lainnya pasti pulang," terang Raga.Benar saja, tak lama kemudian kediaman Aji dipenuhi para tetangga yang ingin memastikan apakah Nining sudah kembali. Bu Lidya menjelaskan kalau Nining lewat depan rumahnya, ia lalu mengajak Nining masuk dan mendandaninya karena Nining tampak begitu berantakan.Bu Lidya tak langsung pulang, ia ingin bicara kepada Yasmin dan juga Aji. Setelah rumah kembali sepi, Bu Lidya dan Raga mulai memasang wajah seriusnya."Ada apa?" tanya Yasmin, ia menangkap ada yang tidak beres dengan mimik wajah Bu Lidya dan Raga.Lidya menarik napas sebentar. "Saya harap Mbak Yasmin dan Mas Aji tidak terkejut mendengar apa yang akan saya sampaikan."Yasmin dan Aji saling pandang tak mengerti dengan ucapan Bu Lidya."Jadi begini, sejujurnya tadi kami menemukan Nining berada di belakang rumah kami. Nining ... Memakan ayam-ayam kami mentah-mentah.""Hah!" Yasmin kembali terkejut."Apa?!""Ya, Mas Aji, Mbak Yasmin. Tadi, Nining saya temukan sedang memakan ayam-ayam saya mentah-mentah. Bahkan si Jalu jugaa menjadi korbannya. Hanya saja, kami tak ingin semua orang tahu akan hal itu. Kami membersihkan Nining, dan Emak mendandaninya seperti itu. Ini baju Nining." Raga menyerahkan kantung kresek berisi baju Nining yang berbau anyir dan apek khas kandang ayam."Kami takut, kalau orang-orang tahu akan hal ini. Maka, Nining akan semakin menjadi gunjingan. Kami tahu, hal ini di luar dari keinginan Nining," terang Raga."Ya, Allah Raga, Bu Lidya, Pak Umar terima kasih, semoga amal perbuatan kalian dibalas oleh Allah SWT belipat ganda. Kami nggak tahu kalau sampai orang lain yang menemukan Nining dalam keadaan seperti itu. Kami pasti ...." Yasmin tak mampu meneruskan kata-katanya."Sudah kewajiban kami Mbak. Menutup aib seseorang. Kami akan menutup mulut kami rapat-rapat. Kami sebenarnya tak ingin cerita, hanya saja kami berpikir ulang lagi. Kalau kami sampaikan begini, semoga Mbak Yasmin dan Mas Aji bisa lebih menjaga Nining, jangan sampai kecolongan lagi. Semoga Nining segera membaik, dia anak saleha, kasian dia dibuat seperti itu.""Ya, Allah terima kasih sekali lagi Bu Lidya," ucap Yasmin."Baiklah, kami pamit pulang dulu." Bu Lidya pun berpamitan. ***Kbm***Aji duduk di tepi ranjang Nining, ia memperhatikan adik semata wayangnya. Nining tertidur begitu lelap. Seakan tak memiliki beban."Cepat kembali, Ning. Mas Aji kangen sama kamu. Jangan begini terus."Aji kemudian meninggalkan kamar Nining, tanpa Aji sadari sedari tadi ada sepasang mata merah menyala mengawasinya dari pojok kamar Nining. ***KBM***Keesokan harinya Ita pulang, ia memutuskan untuk berhenti kerja sementara ini sampai Nining bisa kembali beraktifitas seperti biasannya. Ita akan menggantikan posisi Nining mengajar anak-anak mengaji."Pokoknya keadaan Nining parah, Ta. Sekarang di mana dia?" tanya Erna melalui sambungan telepon."Dia baru bangun sih, ini diem aja dari tadi kek, orang ketempelan begitu.""Mungkin dia kekenyangan, Ta. Bayangin aja, enam ekor ayam Raga dimakan mentah-mentah. Ya, meski nggak semuanya dihabisin sih. Oh, iya, kabari terus perkembangan Nining, ya.""Iya, ini Nining mau diajak berobat ke paranormal. Nanti aku kabari sepulang dari sana," kata Ita sebelum menutup sambungan teleponnya.Wah, gila juga Nining sampai melakukan hal seperti itu."Ta!""Iya, Bu.""Ayo, buruan itu mobilnya udah dateng," ajak Sumi. Mereka mau pergi ke rumah Mbah Harjo karena Nining akan diruwat di sana.Sebelum berangkat Aji telah menyiapkan kembang tujuh rupa sesuai dengan yang diperintahkan oleh Mbah Harjo. Ia juga membawa satu bakul jajanan pasar untuk keperluan ritual. Pukul lima sore, dengan mengendarai mobil yang sudah ia sewa Aji membawa Nining ke rumah Mbah Harjo. Bude Sumi, Pakde Danang, dan Ita ikut serta. Hanya Yasmin yang tinggal di rumah.Mbah Harjo pun menyambut mereka.Sesaat ia memandang Ita dengan tatapan yang sedikit aneh. Kemudian ia menaikkan satu ujung bibirnya. Ita sama sekali tak gentar menatap wajah Mbah Harjo."Mari masuk," ajak Mbah Harjo. Aji dan keluarganya masuk ke dalam rumah berdinding kayu tersebut. Banyak keris dan benda pusaka terpajang di rumahnya."Sudah bawa bunga tujuh rupa?" tanyanya sambil mengelus janggut panjangnya."Sudah Mbah," jawab Aji sembari menyerahkan kantung plastik berisik bunga tujuh rupa.Rumah Mbah Harjo tampak begitu sepi."Anak dan istriku sedang pergi, mereka ada urusan," kata Mbah Harjo seakan tahu isi hati Aji."Mbah, apa setelah ini keponakan saya akan bisa sembuh?" tanya Sumi."Nining diikat oleh tali gaib yang begitu banyak, bukan hanya satu, tapi banyak--sebanyak helaian rambutnya. Tentu saja tidak bisa dengan mudah saya lepaskan. Tapi, saya akan berusaha agar jiwa Nining bisa bebas dari tali gaib ini. Dukun si pelaku juga sangat kuat, saya tidak bisa gegabah, atau saya dan keluarga saya yang menjadi korbannya," jawab Mbah Harjo dengan wajah serius."Oh." Sumi melirik Aji. Mereka sama-sama tegang. Mau tidak mau mereka pun mempercayakan Nining kepada Mbah Harjo."Ibu bantu saya melepas baju Nining, menggantinya dengan kain jarik. Tepat di waktu surup di mana gerbang pintu gaib terbuka, Nining akan saya ruwat," kata Mbah Harjo.Sumi mengangguk. Ia bersama Ita mengandeng Nining untuk masuk ke dalam kamar. Pakaian Nining dibuka dan diganti dengan kain jarik. Sesuai petunjuk Mbah Harjo, kalau bisa kain jarik itu berada di atas lututnya, semakin terbuka maka semakin sempurna ritualnya.Setelah berganti memakai kain jarik, Mbah Harjo membawa Nining ke sebuah kamar khusus. Di sana ada kendi dengan ukuran cukup besar, aroma kemenyan menusuk indra penciuman. Sumi menahan napas karena tidak tahan akan bau kemenyan. Sedangkan Ita terlihat begitu tenang, meski matanya menelisik seluruh ruangan yang ditutupi oleh kain berwarna hitam. Hanya ada penerangan dari lampu templok kecil di atas kendi."Waktu surup segera tiba, kalian tunggu di luar," titah Mbah Harjo."Apa saya tidak boleh menemani, Mbah?""Ibu mau keponakan Ibu sembuh atau tidak?"" Baiklah."Tanpa ragu Sumi pun meninggalkan Nining sendirian bersama lelaki tua bangka itu di kamar gelap tersebut. Ita sempat menoleh beberapa detik sebelum akhirnya mengekor di belakang ibunya bergabung dengan Aji dan Danang di ruang tamu. Tinggalah Mbah Harjo dan Nining berdua di ruangan tersebut.Mbah Harjo menelan salivannya dengan berat tatkala melihat tubuh mulus Nining yang hanya berbalut kain jarik. Beberapa kali siraman air bunga tujuh rupa membuat kain jarik yang dikenakan Nining basah sehingga menempel sempurnya memperlihatkan lekuk tubuhnya. Beberapa kelopak bunga mawar menempel dan terselip di bagian dada Nining membuat hasrat sang dukun membuncah meronta-ronta.SANTET CELANA DALAM 7Sekitar sepuluh menit kemudian, Bu Sundari--istri dari Mbah Harjo datang. Penampilannya sedikit berbeda dengan Mbah Harjo, wanita itu tampak angun meski dengan pakaian sederhananya. Ia melempar senyum kepada tamu suaminya."Maaf, sudah lama?" sapanya sambil menyalami Aji dan keluarganya."Baru saja," jawab Sumi."Bapak?" tanya Sundari menanyakan keberadaan suaminya. "Di belakang, sedang meruwat keponakan saya," jawab Sumi lagi. "Oh, saya buatkan minum dulu," ujarnya. "Ndak usah repot-repot, Bu," kata Sumini. "Ndak repot, kok. Sudah selayaknya saya menjamu tamu," jawabnya dengan senyum ramah. "Maaf, Bu. Boleh numpang ke belakang?" tanya Ita. "Boleh, silakan." Sundari pun mengajaknya ke belakang, "Itu lurus saja, lalu belok kiri paling ujung," tukasnya memberi petunjuk. "Terima kasih, Bu," kata Ita sambil pura-pura memegangi perutnya. Rumah Mbah Harjo memang cukup besar, meski tergolong bangunan lama dengan ukuran jendela dan pintu yang cukup besar dan
SANTET CELANA DALAM 8 "Ta, kamu nggak papa?" tanya Erna kawatir, sedangkan Galih masih tertegun melihat lelaki Gila itu pergi."Gal." Raga menyentuh pundak Galih yang terdiam bak orang ketempelan. "Aku nggak papa, aku hanya heran, bagaimana lelaki itu bisa tahu kalau air yang kubawa tadi adalah air yang sudah aku ruqyah sebelumnya," terang Galih. "Jadi, beneran air itu mengandung doa?" tanya Raga. Galih mengangguk. "Kalian ini kok, malah gobrol berdua, tolongin Ita donk!" gerutu Erna yang sedari tadi membantu Ita mengeringkan wajahnya dengan tisu. Tak lama kemudian karyawan cafe memberikan handuk kecil kepada Ita, mereka juga merapikan meja dan kursi yang berantakan. Suasana pun kembali tenang. "Ta, sebaiknya kamu pulang duluan, kamu bisa masuk angin kerena bajumu basah. Aku akan mengantarmu," saran Galih. "Iya bener, besok kita ketemuan di sini lagi," kata Erna. "Baiklah," jawab Ita singkat. Ita dan Galih pun pulang bersama. ***Pagi harinya Galih menemui Ita di rumahnya,
SANTET CE LA NA DALAM 9"Masih jauh, Ga?" tanya Galih kerena sudah tak sabar ingin bertemu dengan keluarga Ambar. Gadis yang katanya menjadi korban Mbah Harjo. Lima tahun silam. "Nggak, tuh, udah kelihatan atap rumahnya yang gentengnya berwarna merah itu," tunjuk Raga. "Oh." Mereka masih harus melewati area persawanan. Meskipun begitu deretan rumah penduduk sudah kelihatan. Akhirnya Raga dan Galih sampai juga di depan rumah Ambar. Namun, keadaan rumahnya begitu sepi. "Semoga mereka ada di rumah," gumam Galih. Setelah memarkirkan motornya di samping rumah tersebut. Galih merapikan bajunya, kemudian mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu ber-cat cokelat tersebut.Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum." Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam. Galih pun menunggu sampai pintu rumah itu terbuka."Ya, mau cari siapa, ya?" tanya wanita berkerudung navy tersebut."Maaf, apa benar ini rumah Ambarwati?" tanya Galih.Wajah Lidra
SANTET CELANA DALAM 10 "Aku nggak menyangka kalau nasib Ambar setragis itu. Tapi, kenapa dia bunuh diri?" Galih mencoba menelaah cerita Lidra."Hanya Ambar yang bisa menjawab, kenapa dia sampai nekad bunuh diri. Hari ini kita menginap di rumah Mas Rendra saja. Aku capek banget, besok baru kita pergi ke rumah Ustad Ilham, bagaimana?" Raga meminta pendapat pada Galih. "Boleh, aku juga capek. Kita cari makan dulu warung depan itu sepertinya ramai," tunjuk Galih. Mereka pun memutuskan untuk mampir ke warung tersebut. Perut mereka sudah keroncongan sejak tadi. Baru saja makanan Galih datang, ia melihat lelaki tua yang kemarin mengguyur Ita di cafe. Galih pun tak jadi makan, ia membawa piringnya lalu menghampiri lelaki gila itu yang sedang duduk sendirian di seberang jalan."Gal, mau kemana?" panggil Raga."Sebentar," jawabnya. Galih menengok ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang jalan. "Pak," panggil Galih, lelaki gila itu sama sekali tak menyahuti. Lelaki gila itu sedang men
SANTET PAKAIAN DALAM 11 Tepat tengah malam, Ita duduk di kursi menghadap jendela kamar Nining. Ia menaruh meja kecil di depan jendela kamarnya, menempelkannya ke tembok. Di atasnya Ita menaruh cawan yang telah ia isi dengan air, di atas permukaan cawan itu ia taburi bunga. Lalu dengan silet Ita melukai ujung jari telunjuk dan jari tengahnya. Darah menetes ke dalam cawan. Kemudian Ita mengaduk-aduk isi cawan tersebut, sehingga air yang tadinya bening seketika berubah warna menjadi merah. Secuil kemenyan ia bakar, baunya menguar menusuk indra penciuman. Asap itu meliuk-liuk disapu angin. Setelah Itu Ita menutup matanya, menangkupkan kedua tangannya di atas kepala. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra yang sudah diajarkan oleh Ki Darma. Ita memanggil prewangannya. Fuh! Ita meniup kepulan asap kemenyan ke arah jendela kamar Nining. Kemudian menciprat-cipratkan air bunga tadi ke sana. Karena jendela kamar mereka yang berjarak tak lebih dari dua meter membuat Ita mudah melakukannya.
SANTET PAKAIAN DALAM 12 Pagi-pagi setelah mandi dan sarapan Galih dan Raga langsung bersiap ke rumah Ustad Ilham. "Mas, kami permisi dulu," pamit Raga."Iya, hati-hati. Salam sama Emak dan Bapak," balas Rendra."Assalamualaikum.""Waalaikum salam." Setelah berpamitan mereka pun melanjutkan perjalanan. Di jalan Galih lebih banyak melamun. Di kepalanya hanya ada Ita, ia terus saja memikirkan Ita, Ita, dan Ita."Gal, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, kesambet?" canda Raga karena sedari tadi ia melihat Galih senyam-senyum sendiri dari spion motornya."Apaan, sih." "Serius, kamu dari tadi tak lihatin kek, orang gila. Senyum-senyum sendiri, ngapain?" tukas Raga."Nggak tahu, Ga. Aku sendiri juga bingung. Percaya nggak sejak tadi malam aku terus kepikiran Ita. Aku melihat Ita di mana-mana. Kira-kira kenapa, ya? Apa iya, aku jatuh cinta padanya?" Uhuk! Uhuk! Raga seketika tersedak. "Yang bener aja kamu?!" "Beneran Ga, suer aku nggak bohong. Aku aja binggung dengan perasaanku sendiri. A
SANTET PAKAIAN DALAM 13 "Iman manusia itu naik turun. Kadang kenceng, kadang kendur, sedih, gelisah, malas, marah." Pak Ustad menarik napas, kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi. "Sedangkan setan adalah makhluk Allah yang paling rajin. Rajin menghasut, rajin memprovokasi manusi dan paling sabar juga, setan akan menunggu dengan sabar sampai mendapatkan titik lemahnya manusia. Di situlah Setan itu kalau sudah mendapatkan celah, lewat mana saja dia akan masuk. Tidak tanggung-tanggung dan tidak mau gagal. Dia akan menembus semua lapisan keimanan manusia agar mereka terjerumus. Siapa saja bisa terkena santet. Karena Iblis itu nggak akan berhenti sampai berhasil merusak manusia." Kali ini Ustad Ilham tampak sangat serius. "Ke dua adalah ujian. Semua orang akan mendapatkan ujian dari Allah SWT. Jamila dan Nining adalah salah satunya, mereka wanita pilihan. Dunia adalah tempatnya ujian Allah. Seorang mukmin akan biasa diuji Allah baik dengan ujian berupa kesempitan hidup, atau kela
SANTET PAKAIAN DALAM 14 Galih menarik gas motornya, segera menyusul Aji sebelum Aji sampai di rumah Mbah Harjo. Tak peduli jalan berlubang, ia terjang. "Gal, itu sepertinya mobil Pak Herman, mobil yang biasa di sewa oleh Mas Aji," tunjuk Raga. Ia sudah hafal betul mobil berwarna putih milik Pak Herman tersebut, karena memang mobil itu sudah biasa disewakan. "Kamu benar, Ga!" Galih semakin ngebut mengejar lampu merah. Sial, mobil itu melaju melewati lampu merah terlebih dahulu, sedangkan Galih tak bisa mengejarnya karena harus berhenti sejenak di lampu merah selama empat puluh detik. Lima.Empat.Tiga.Dua.Satu."Gas, Gal!" Raga menepuk bahu Galih. Galih pun menarik Gas, berusaha menyusul mobil Aji. Mereka sudah tertinggal cukup jauh. Mobil itu sudah meninggalkan jalan utama berbelok ke arah kiri menuju ke rumah Mbah Harjo. "Buruan, Gal. Belok kiri." Jalan yang tidak rata membuat mobil yang ditumpangi Aji. berjalan pelan. Sedangkan Galih dan Raga masih bisa mengendalikan moto