SANTET CE LA NA DALAM 9
"Masih jauh, Ga?" tanya Galih kerena sudah tak sabar ingin bertemu dengan keluarga Ambar. Gadis yang katanya menjadi korban Mbah Harjo. Lima tahun silam."Nggak, tuh, udah kelihatan atap rumahnya yang gentengnya berwarna merah itu," tunjuk Raga."Oh." Mereka masih harus melewati area persawanan. Meskipun begitu deretan rumah penduduk sudah kelihatan.Akhirnya Raga dan Galih sampai juga di depan rumah Ambar. Namun, keadaan rumahnya begitu sepi."Semoga mereka ada di rumah," gumam Galih. Setelah memarkirkan motornya di samping rumah tersebut. Galih merapikan bajunya, kemudian mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetuk pintu ber-cat cokelat tersebut.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum."Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam. Galih pun menunggu sampai pintu rumah itu terbuka."Ya, mau cari siapa, ya?" tanya wanita berkerudung navy tersebut."Maaf, apa benar ini rumah Ambarwati?" tanya Galih.Wajah Lidra seketika berubah, ia menengok ke dalam rumah seakan memastikan semuanya aman. "Iya, saya kakaknya. Dari mana kalian bisa tahu tentang adik saya, Ambar?" tanya Lidra dengan suara kecil."Em, boleh nggak kita ngobrolnya di dalam," usul Raga.Setelah berpikir sejenak, Lidra pun mempersilakan ke dua tamunya itu untuk masuk. "Mari silakan," ajaknya. Ia buka daun pintu sedikit lebar lalu mempersilakan ke dua tamunya untuk duduk.Mata Galih langsung menelisik ke seluruh ruangan yang tidak terlalu luas itu. Memperhatikan foto keluarga yang dipajang di atas dinding satu persatu. Tampak foto seorang gadis ayu yang wajahnya begitu mirip dengan wanita yang duduk di sebelah kanannya hanya saja berbeda umur."Apa itu foto Ambar?" tanya Galih.Lidra pun melongok, melirik foto adiknya."Benar, itu foto Ambar. Sebenarnya kalian ini siapa? Dan bagaimana kalian bisa tahu tentang Ambar?" selidik Lidra."Maaf sebelumnya Mbak. Perkenalkan nama saya Raga, adik dari Mas Rendra--suami Mbak Widya dari kampung sebelah dan ini teman saya Galih.""Oh, kamu adik iparnya Widya? Widya anak Pak Sandi bukan?" tebaknya."Benar Mbak. Maaf nama Mbak, siapa?""Lidra," jawabnya cepat."Alhamdulillah Mbak Lidra mengenal kakak ipar saya. Jadi begini, maksud kedatangan kami ke sini untuk bertanya tentang Ambar dan Mbah Harjo. Saya pernah dengar bahwa Ambar-""Suruh mereka pergi!" Tetiba Galih dan Raga dikejutkan dengan suara perempuan paruh baya yang muncul secara tiba-tiba dari dalam dan langsung mengusir mereka berdua untuk pergi. Wanita itu mengacungkan tangan kepada Galih dan Raga."Untuk apa kalian mencari tahu tentang orang yang sudah mati? Apa keperluan kalian? Kami tidak mau ketenangan anak kami yang sudah tiada diusik kembali. Aku tidak suka! Sebaiknya kalian berdua segera angkat kaki dari sini!" teriak wanita itu dengan mata melotot tajam dan tangan gemetar. Ia menyaut vas bunga di tengah meja dan mengambil ancang-ancang akan melemparkan vas bunga tersebut ke arah Galih dan Raga."Bu, Bu, sabar, Bu." Lidra bangkit memeluk erat ibunya. Ia merebut vas bunga itu dari tangannya, lalu membuangnya begitu saja."Suruh mereka pergi Lidra, Ibu tidak suka.""Iya, mereka akan Lidra suruh pergi. Ayo, Ibu masuk dulu. Kalian berdua pergi aja dari sini, tolong!" pinta Lidra. Ia mengelus dada ibunya. Agar ibunya kembali tenang."Sebaiknya kalian pergi," ucap Lidra sekali lagi."Tapi, kami butuh bantuan, Mbak. Ini demi seseorang." Galih mengiba."Kami tak bisa membantu apapun," jawab Lidra."Lidra! Suruh mereka pergi!""Kami perlu mencari tahu tentang apa yang dialami Ambar. Jangan sampai ada korban lagi," kata Galih mengugah hati Lidra."Kalian tunggu aku di dekat kuburan sana. Nanti aku akan menyusul," ucap Lidra. Galih dan Raga pun mengerti, mereka segera angkat kaki dari rumah itu.Seperti yang dikatakan oleh Lidra, mereka pun menunggu Lidra di depan area pemakanan, di sana ada pohon besar, di bawahnya ada dipan dari bambu yang cukup lebar. Galih dan Raga menunggu Lidra di sana sambil tiduran melepas penat. Mereka bahkan belum sempat disuguhi minuman. Tenggorokan mereka kering, untung saja suasana di bawah pohon itu begitu sejuk dengan pemandangan hamparan persawahan yang hijau."Aku haus, cuk!" ucap Raga sambil menelan ludah."Sama, aku juga haus. Mana nggak ada orang jualan minuman lagi.""Ya, kita tunggu Mbak Lidra, kemudian baru cari minuman.""Rebahan dulu lah, enak juga di sini." Galih melipat tangannya di belakang kepala. semilir angin hampir saja membawanya ke alam mimpi.Tak lama kemudian Lidra datang dengan mengendarai sepeda ontel. Galih langsung bangkit lalu, duduk bersila. Pun Juga Raga."Mbak.""Maaf, atas sikap Ibuku, tadi.""Nggak papa, Mbak." Galih mengeser duduknya. Kemudian mempersilakan Lidra bergabung bersama mereka. Lidra mengambil posisi duduk senyaman mungkin sebelum mulai bercerita."Keluarga kami sudah mencoba mengubur dalam-dalam cerita tentang Ambar. Aku sendiri tidak mau menoreh luka di hati Ibu," kata Lidra mengawali ceritanya. Ia menahan napas sebentar, menenangkan diri sebelum mulai bercerita kembali. Galih dan Raga diam, tidak mau memotong cerita Lidra, mereka dengan sabar menunggu wanita itu menceritakan semuanya."Adikku ditinggal menikah oleh tunangannya. Sejak saat itu Ambar mulai sering melamun, menangis, kemudian tertawa sendiri. Atas saran tetangga kami membawa Ambar ke rumah Mbah Harjo. Bodohnya, kami tidak membawa Ambar berobat ke rumah sakit. Ambar beberakali dibersihkan jiwanya dengan cara mandi kembang di sana. Singkatnya adikku mulai mual-mual. Kemudian perutnya mulai membesar. Kami sama sekali tidak berpikir kalau Ambar tengah hamil. Kami pun membawa Ambar berobat, setelah itu kami baru tahu kalau ia tengah hamil. Bapak langsung mencurigai Mbah Harjo sebagai pelakunya, karena hanya dialah satu-satunya lelaki yang ditemui Ambar.""Saat proses mandi kembang kami tidak di perbolehkan menemani Ambar, tetapi ada Bu Sundari-istri dari Mbah Harjo yang menemaninya. Karena itulah kami percaya, Bu Sundari tak mungkin membiarkan suaminya berbuat macam-macam kepada Ambar. Singkat cerita Bapak mengamuk tak terima, Bapak membawa golok dan mau membuat perhitungan dengan dukun itu. Malam setelahnya, Bapak berteriak kesakitan, perutnya kembang kempis, membesar dan mengecil. Bapak berguling-guling menahan sakit. Kami semua panik."Cerita Lidra terjeda, ia tak kuat mengingat peristiwa menyakitkan itu. Sialnya Galih dan Raga tak membawa tisu, wanita itu mengusap air matanya menggunakan ujung jilbabnya."Kami mencari bantuan untuk membawa bapak ke rumah sakit, tetapi di perjalanan tubuh bapak menegang, matanya mendelik sambil mengerang keras seakan menahan sakit yang teramat sangat. Aku masih ingat bagaimana Bapakku tersiksa sebelum akhirnya bapak menghembuskan napas terakhirnya . Bapakku pergi. Ibu menangis histeris memeluk tubuh bapak yang lemas tak bergerak. Perut Ambar semakin hari semakin membesar, kami pun mencoba menerimanya. Menerima kalau Ambar harus hamil di luar nikah. Namun, pagi itu kami dikejutkan dengan tubuh Ambar yang melayang. Kakinya tidak menyentuh lantai, karena tali yang menjerat di lehernya. Lidahnya terjulur dengan bola mata yang hampir keluar. Sedangkan darah segar mengalir dari rahimnya, membasahi bagian bawah rok yang dipakai Ambar. Ia meninggal dalam keadaan yang mengenaskan bersama bayinya." Cerita Lidra membuat dada Galih dan Raga terasa sesak. Tenggorokan mereka tersekat.Lidra kembali menangis, tetapi ia berusaha melanjutkan ceritanya meski dengan suara terbata-bata. Galih dan Raga sampai tak mampu bicara."Ibu sempat terguncang jiwanya, tetapi kini ia sudah bisa ikhlas menerima. Sejak saat itu, kami memutuskan untuk menutup mulut kami rapat-rapat. Kami tak mau lagi mendengar cerita tentang Mbah Harjo. Itulah yang membuat Ibu marah besar saat kalian mengulik hal ini," terang Lidra."Ya, Allah. Jadi seperti itu.""Itu artinya Nining dalam masalah besar. Kita nggak bisa membiarkan Mas Aji terus membawa Nining ke rumah dukun itu. Kita harus memberitahu kepada Mas Aji sebelum Nining mengalami hal yang sama dengan Ambar," kata Galih."Siapa Nining?""Nining ... Dia itu saudara kami." "Selamatkan dia sebelum terlambat, karena dukun itu pun tak segan menyakiti keluarga kalian juga. Aku tahu seseorang yang mungkin bisa menyelamatkan Nining. Namanya Ustad Ilham, kalau kalian mau, kalian bisa ke sana," saran Lidra."Boleh," jawab Galih cepat. Lidra pun memberikan alamat Ustad Ilham kepada mereka. Setelah itu Lidra mengajak Galih dan Raga ke makam Ambar dan bapaknya untuk mengirim doa. Setelah itu Galih dan Raga pamit untuk pulang.SANTET CELANA DALAM 10 "Aku nggak menyangka kalau nasib Ambar setragis itu. Tapi, kenapa dia bunuh diri?" Galih mencoba menelaah cerita Lidra."Hanya Ambar yang bisa menjawab, kenapa dia sampai nekad bunuh diri. Hari ini kita menginap di rumah Mas Rendra saja. Aku capek banget, besok baru kita pergi ke rumah Ustad Ilham, bagaimana?" Raga meminta pendapat pada Galih. "Boleh, aku juga capek. Kita cari makan dulu warung depan itu sepertinya ramai," tunjuk Galih. Mereka pun memutuskan untuk mampir ke warung tersebut. Perut mereka sudah keroncongan sejak tadi. Baru saja makanan Galih datang, ia melihat lelaki tua yang kemarin mengguyur Ita di cafe. Galih pun tak jadi makan, ia membawa piringnya lalu menghampiri lelaki gila itu yang sedang duduk sendirian di seberang jalan."Gal, mau kemana?" panggil Raga."Sebentar," jawabnya. Galih menengok ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang jalan. "Pak," panggil Galih, lelaki gila itu sama sekali tak menyahuti. Lelaki gila itu sedang men
SANTET PAKAIAN DALAM 11 Tepat tengah malam, Ita duduk di kursi menghadap jendela kamar Nining. Ia menaruh meja kecil di depan jendela kamarnya, menempelkannya ke tembok. Di atasnya Ita menaruh cawan yang telah ia isi dengan air, di atas permukaan cawan itu ia taburi bunga. Lalu dengan silet Ita melukai ujung jari telunjuk dan jari tengahnya. Darah menetes ke dalam cawan. Kemudian Ita mengaduk-aduk isi cawan tersebut, sehingga air yang tadinya bening seketika berubah warna menjadi merah. Secuil kemenyan ia bakar, baunya menguar menusuk indra penciuman. Asap itu meliuk-liuk disapu angin. Setelah Itu Ita menutup matanya, menangkupkan kedua tangannya di atas kepala. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra yang sudah diajarkan oleh Ki Darma. Ita memanggil prewangannya. Fuh! Ita meniup kepulan asap kemenyan ke arah jendela kamar Nining. Kemudian menciprat-cipratkan air bunga tadi ke sana. Karena jendela kamar mereka yang berjarak tak lebih dari dua meter membuat Ita mudah melakukannya.
SANTET PAKAIAN DALAM 12 Pagi-pagi setelah mandi dan sarapan Galih dan Raga langsung bersiap ke rumah Ustad Ilham. "Mas, kami permisi dulu," pamit Raga."Iya, hati-hati. Salam sama Emak dan Bapak," balas Rendra."Assalamualaikum.""Waalaikum salam." Setelah berpamitan mereka pun melanjutkan perjalanan. Di jalan Galih lebih banyak melamun. Di kepalanya hanya ada Ita, ia terus saja memikirkan Ita, Ita, dan Ita."Gal, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, kesambet?" canda Raga karena sedari tadi ia melihat Galih senyam-senyum sendiri dari spion motornya."Apaan, sih." "Serius, kamu dari tadi tak lihatin kek, orang gila. Senyum-senyum sendiri, ngapain?" tukas Raga."Nggak tahu, Ga. Aku sendiri juga bingung. Percaya nggak sejak tadi malam aku terus kepikiran Ita. Aku melihat Ita di mana-mana. Kira-kira kenapa, ya? Apa iya, aku jatuh cinta padanya?" Uhuk! Uhuk! Raga seketika tersedak. "Yang bener aja kamu?!" "Beneran Ga, suer aku nggak bohong. Aku aja binggung dengan perasaanku sendiri. A
SANTET PAKAIAN DALAM 13 "Iman manusia itu naik turun. Kadang kenceng, kadang kendur, sedih, gelisah, malas, marah." Pak Ustad menarik napas, kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi. "Sedangkan setan adalah makhluk Allah yang paling rajin. Rajin menghasut, rajin memprovokasi manusi dan paling sabar juga, setan akan menunggu dengan sabar sampai mendapatkan titik lemahnya manusia. Di situlah Setan itu kalau sudah mendapatkan celah, lewat mana saja dia akan masuk. Tidak tanggung-tanggung dan tidak mau gagal. Dia akan menembus semua lapisan keimanan manusia agar mereka terjerumus. Siapa saja bisa terkena santet. Karena Iblis itu nggak akan berhenti sampai berhasil merusak manusia." Kali ini Ustad Ilham tampak sangat serius. "Ke dua adalah ujian. Semua orang akan mendapatkan ujian dari Allah SWT. Jamila dan Nining adalah salah satunya, mereka wanita pilihan. Dunia adalah tempatnya ujian Allah. Seorang mukmin akan biasa diuji Allah baik dengan ujian berupa kesempitan hidup, atau kela
SANTET PAKAIAN DALAM 14 Galih menarik gas motornya, segera menyusul Aji sebelum Aji sampai di rumah Mbah Harjo. Tak peduli jalan berlubang, ia terjang. "Gal, itu sepertinya mobil Pak Herman, mobil yang biasa di sewa oleh Mas Aji," tunjuk Raga. Ia sudah hafal betul mobil berwarna putih milik Pak Herman tersebut, karena memang mobil itu sudah biasa disewakan. "Kamu benar, Ga!" Galih semakin ngebut mengejar lampu merah. Sial, mobil itu melaju melewati lampu merah terlebih dahulu, sedangkan Galih tak bisa mengejarnya karena harus berhenti sejenak di lampu merah selama empat puluh detik. Lima.Empat.Tiga.Dua.Satu."Gas, Gal!" Raga menepuk bahu Galih. Galih pun menarik Gas, berusaha menyusul mobil Aji. Mereka sudah tertinggal cukup jauh. Mobil itu sudah meninggalkan jalan utama berbelok ke arah kiri menuju ke rumah Mbah Harjo. "Buruan, Gal. Belok kiri." Jalan yang tidak rata membuat mobil yang ditumpangi Aji. berjalan pelan. Sedangkan Galih dan Raga masih bisa mengendalikan moto
SANTET CELANA DALAM 15 Aji di sambut oleh Mbok Kasih. Wanita sepuh yang tugasnya membersihkan padepokan. Tubuh ringkih wanita itu membuatnya berjalan sedikit membungkuk. "Nggih mari masuk, ajak pasien ke kamar saja langsung," kata Mbok Kasih yang sudah tahu betul apa yang harus dilakukannya. Nining dipapah oleh Aji dan Danang, dibawa ke sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter persegi. Aji menaruh tas milik Nining berisi beberapa potong pakaian. Kamar itu langsung menghadap ke taman belakang padepokan yang dikelilingi tembok dengan tinggi dua meter. Aji mengedarkan pandangannya ke seluruh bangunan. Ada beberapa kamar di sana yang semuanya menghadap ke arah taman. "Ada berapa orang pasien Mbah Harjo yang melakukan tiras, Mbok?" tanya Aji. "Sementara ini ada empat orang termasuk Eneng, ini," jawab Mbok Kasih. Ia merapikan tempat tidur Nining, dengan memasang sprei dan sarung bantal bermotif bunga-bunga. "Sudah rapi," kata Mbok Kasih. "Apakah semuanya perempuan, Mbok?" tanya Aj
SANTET CELANA DALAM 16 Setelah mengantar Erna ke kamarnya, Mbok Kasih membereskan meja, membersihkan bekas minuman yang mengotori meja menggunakan kain lap dengan posisi berjongkok."Imam mana, Mbok?" tanya Mbah Harjo. Imam adalah putra Mbok Kasih yang memiliki gangguan mental sejak ayahnya meninggal. Ia tak sanggub menerima kepergian ayahnya, sejak itu Imam berhenti bicara kepada siapapun, bahkan dengan Ibunya. Imam menjadi bisu sejak saat itu. Saat ia berusia sepuluh tahun. "Imam lagi di dapur Mbah, dia lagi merebus singkong yang tadi diambilnya dari kebun. Ibu yang nyuruh Imam ngambil singkong," jawab Mbok Kasih tanpa melihat wajah Mbah Harjo.Mbah Harjo mengangguk. "Mbok, setelah ini pindahkan pasien baru tadi ke kamar belakang," perintah Mbah Harjo."Ke kamar belakang?" Mbok Kasih mengulangi ucapan Mbah Harjo. "Iya," jawab Mbah Harjo tegas."Baik," jawab Mbok Kasih. Ia pun buru-buru meninggalkan ruang tamu menuju ke dapur. Di sana ada Imam yang sibuk mengeluarkan singkong ya
SANTET CELANA DALAM 17 Erna dan lelaki itu sama-sama panik saat mendengar suara langkah kaki menuju ke sana. Lelaki itu mengintip dari lubang kunci diikuti Erna. Ia kemudian memegang ke dua pundak Erna. Ia menunjuk dirinya dan bawah tempat tidur. Erna mengerti, lelaki itu ingin bilang bahwa dia akan bersembunyi di bawah tempat tidur. Erna pun mengangguk. Mereka kemudian mengambil posisi masing-masing. Erna naik ke tempat tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, sedangkan lelaki tadi bersembunyi di bawah tempat tidurnya."Ga, Mbah Harjo datang," kata Erna memberi laporan. Ia menyelipkan ponselnya kembali di bawah bantal.Langkah kaki itu semakin mendekat, sampai terdengar suara anak kunci yang diputar dua kali. Pintu pun berderit, kemudian daun pintu ditutup kembali.Di ujung telepon, Raga dan Galih terus mendengarkan apa yang terjadi di sana. "Apa kita ke sana sekarang?" tanya Galih. "Ya, untuk jaga-jaga," ucap Raga. *** Mbah Harjo berjalan pelan mendekati Erna yang