Sinar jingga sudah setinggi kepala orang dewasa. Di pelataran luas yang menyerupai area pacuan kuda, orang-orang sedang berkumpul.Marquez berjalan memasuki arena tersebut sambil memegang pecut di tangannya. Dia melihat ke sekeliling. Orang-orang bersorak sambil bertepuk tangan.Bibir tebal itu membentuk suatu lengkungan di sudutnya. Rupanya mereka sudah tidak sabaran ingin melihat atraksi hari ini."Hei, semuanya! Dengarkan aku baik-baik! Ada seekor banteng raksasa yang aku kurung di sana!" Marquez menunjuk ke arah pintu warna merah yang berada di sekitar area.Semua orang menoleh ke arah tempat yang Marquez tunjuk. Kemudian mereka kembali menatap ke arah laki-laki dengan stelan jas putih yang kini berdiri di tengah arena.Marquez menyeringai tipis lalu melanjutkan, "Hewan buas itu akan keluar jika pintunya dibuka! Dia yang sedang mengamuk akan menerjang apa saja di depannya!"Semua orang merinding mendengar ucapan Marquez. Mata mereka kembali menoleh ke arah pintu warna merah di sek
Angin kencang menerbangkan ranting kering Maple. Di tengah arena Aaron dan Nacos saling berhadapan. Mereka sama-sama melempar tatapan dingin.Sedang dari kejauhan Marquez memperhatikan dua orang lelaki itu. Bibirnya menyeringai tipis di balik fedora putih yang menutupi kepalanya. Aaron akan tamat hari ini. Nacos si pembantai ulung akan meremukkan tulang-tulang lelaki itu dan mengeluarkan isi perutnya."Apa yang sedang kau pandangi? Kau membuatku jengkel karena harus menunggu!"Bug!Pow!Gbut!Aaron berguling di pasir. Tungkai panjang Nacos bergerak tak terbaca dan terus mengincar wajah pria itu."Matilah kau, Aaron!"Nacos mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu dengan cepat ia mengincar wajah Aaron. Dengan cepat Aaron menangkap kaki panjang Nacos, lantas melemparnya jauh-jauh. Pria itu jatuh tersungkur dan Aaron bergegas bangkit."Ayo lawan aku, Pengecut!"Nacos segera bangkit. Dia membawa tinjunya menyambut tantangan Aaron. Namun kepalan kuat itu segera ditangkap oleh Aaron da
Udara di sekitar bukit semakin dingin. Radiasi dari ranjau yang mulai menguap membuat Jeremy mengantuk. Aaron tampak masih berdiri sambil berpikir. Mereka harus segera meninggalkan tempat ini.Ekor mata Aaron melirik ke arah Jeremy. Ia menyipit heran melihat laki-laki itu tampak diam saja. Apakah Jeremy pingsan akibat kehilangan banyak darah?Bergegas, Aaron menghampirinya. "Jeremy! Jeremy kau kenapa? Bangunlah! Jeremy!"Jeremy diam saja dengan wajahnya yang tampak pucat. Melihat kondisinya, Aaron jadi panik. Dia berusaha membangunkan Jeremy agar tetap terjaga."Jeremy ayo buka matamu!" teriaknya dengan kedua tangan yang mengguncang bahu laki-laki itu.Jeremy tidak merespons. Tubuhnya merosot dan jatuh dengan posisi miring ke tanah. Aaron tercengang."Jeremy!"Di saat ia sedang frustasi, Miranda dan lima unit khusus segera mencapai bukit dengan helikopter. Apa yang terjadi? Ia keheranan melihat kondisi Aaron dan Jeremy."Cepat siapkan pendaratan!" perintah Miranda.Kopilot segera meng
Alexandria Baru. Mobil-mobil hitam melaju beriringan dengan kecepatan standar melintasi jalan kota. Pusat Farmasi Kejiwaan yang sedang mereka tuju.Dua jam yang lalu Marques mendapat telepon jika ibunya mengamuk dan melukai dua orang perawat saat mereka akan melakukan pemeriksaan rutin.Kabar itu membuatnya amat terkejut. Marques segera menunda semua rencana. Dan dengan sesegera mungkin ia memerintah kepada para bawahannya untuk berangkat ke pusat kota.Berita itu sampai pada Aaron. "Jadi, Marques sedang perjalanan menuju Pusat Farmasi Kejiwaan?""Benar, Tuan Muda."Dua orang pria segera mengangguk mendengar pertanyaan Aaron. Mereka merupakan mata-mata yang ditugaskan untuk mematai-matai sepak teerjang Marques dan orang-orangnya.Aaron menoleh ke arah Miranda. Wanta itu mengangguk menanggapi. Kemudian matanya tertuju pada seorang pria yang terbaring di tengah ranjang. Jeremy, dia belum sadarkan diri sejak kemarin."Jadi, kau akan pergi ke markas mereka untuk mencari Luca?"Miranda be
Dua unit helikopter terbang di atas bukit berbatu. Dari sana, Nacos mengincar ke bawah dengan senapan laser. Di mana para bajingan itu? Kenapa Aaron belum juga kelihatan? Sementara itu di perbukitan, Aaron sedang mengintai dari balik batu-batu besar. Sambil memegang senapan, ia mulai bersiaga dari serangan musuh. ["Marques mengirim Jack dan lima unit khusus untuk mencari Anda. Nacos juga ikut bersama mereka. Berhati-hatilah!"] Suara dari earphone di telinga mulai terdengar. Aaron hanya menyimak sambil memegang senapan di tangan. Ekor matanya melirik ke arah semak-semak di seberangnya. Dua orang Sniper mengacungkan ibu jari menanggapi. Mereka hanya tiga orang, tetapi Jack datang bersama dua unit khusus dan juga si pembantai Nacos! Ini tidak begitu buruk mengingat pertempuran terakhir yang melibatkan Jeremy. Bahkan sampai saat ini sang asisten masih belum siuman. Mengingat nasib Jeremy, Aaron melirik ke arah dua orang Sniper. Sepertinya mereka bisa diandalkan. Namun, m
Mansion Tuan Fortman pukul delapan malam. Terdengar gelak tawa seorang pria yang amat cetar dari arah ruang pertemuan. Sementara dua orang bodyguard tampak sedang derdiri di depan pintu ruangan tersebut."Jadi, kau berhasil menghabisi Aaron?""Benar, Tuan!""Hahaha! Jadi, di mana mayat bajingan itu? Kenapa kau tidak menyeretnya padaku?"Tawa Jack dan dua orang anak buahnya dihentikan seketika saat tangan Marques menyambar rahangnya dengan sekali tangkap. Pria itu sedang menatap dengan amat tajam."Di mana Aaron dan Nacos?"Marques kembali bertanya. Matanya yang bulat mengincar wajah ketakutan Jack. Ia mencengkeram rahang pria itu semakin kuat.Aaron sudah tewas. Begitu kabar yang disampaikan oleh Jack padanya. Jelas saja Marques tidak mudah percaya. Bahkan mereka tidak membawa buktinya. Juga Nacos yang ikutan hilang."Kau mau coba-coba menipuku, hah?! Dasar kutu busuk!"Brak!Meja kaca di ruangan itu pecah berserakan setelah diterjang oleh Jack. Sial! Marques sangat marah sampai melem
Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Sinar jingganya menerobos dahan-dahan maple di sekitar hutan. Mobil-mobil hitam melaju denga kecepatan tinggi menyusuri jalan di kaki gunung.Di dalam super car warna biru metalik yang berada di barisan paling depan, Marques tampak duduk dengan santai.Hutan pinus masih diselimuti oleh kabut tebal. Laut terlihat tenang di pagi hari. Juga kapal-kapal nelayan yang sudah bersiap untuk berlayar.Semua pemandangan itu dilihatnya dari kaca mobil. Bibirnya menyeringai tipis tanpa sebab. Bukankah Aaron masih belum ada kabar? Bisa saja Nacos sudah menjalankan tugasnya dengan baik kali ini. Maka sudah sepatutnya dia memberi kejutan pada Aaron. Kejutan yang akan membuatnya Dejavu ke masa lalu.Mobil-mobil itu terus melaju melintasi jalan di sekitar laut dan gunung. Tebing-tebing putih tampak berkilau diterpa sinar jingga yang tak sabaran menuju langit.Sementara itu di gua. Aaron tampak sedang bersiap-siap. Pagi ini juga ia harus ke kota untuk mengejutkan
Dua unit helikopter terbang di atas langit. Sementara di jalan sepanjang perbukitan tampak mobil off-road putih yang sedang melaju dengan kecpatan tinggi."Target terlihat di kaki gunung. Cepat amankan!"Seorang pria berpakaian seperti tentara sedang menghubungi seseorang lewat monitor di tangan. Kacamata hitam dan topi dengan warna senada menyamarkan wajahnya.Mereka ada empat orang. Semuanya berasal dari Tim Satuan Khusus yang ditugaskan oleh Marquez untuk mencari Aaron dan Nacos. Senapan laser di tangan siap membidik target dengan kecepatan kurang lebih 300-500 m/s. Mata mereka mengincar mobil putih yang sedang melaju di sepanjang jalan perbukitan."No! Bukankah itu Tuan Nacos?"Mereka saling pandang saat Ketua Tim mengatakan hal yang juga ingin mereka tanyakan. Kenapa Nacos bersama Aaron? Bahkan pria itu tidak seperti sedang bermusuhan dengan target."Kita tak bisa tembak sekarang. Bisa fatal jika Tuan Marquez mengetahui hal ini. Baiknya melapor ke Markas lebih dulu."Pria itu me
Brak!"Apa ini?!"Tuan Hernandez yang sedang berada di ruang kerja dibuat terkejut saat seseorang melempar selembar surat kabar ke depannya. Dihentikan aktifitas tangannya pada tumpukan berkas di meja. Matanya terangkat ke wajah orang yang sedang berdiri di depan meja.Tuan Dakosta sedang menatap dengan penuh tanya dan heran. Apa yang membuat rekannya itu tampak marah?Tuan Hernandez kembali menurunkan pandangan. Kali ini selembar surat kabar di depannya yang ia lihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat gambar yang terpampang pada halaman depan surat kabar."Kau berbohong padaku dan Laura? Ternyata laki-laki itu bukan putramu, melainkan seorang pewaris keluarga Fortman? Aaron de Fortman! Namanya ditulis dengan font hitam yang tebal di situ."Tuan Hernandez menelan ludah kasar melihat kemarahan di wajah Tuan Dakosta. Maka segera ia meraih surat kabar di depannya.'Aaron de Fortman, dia menghilang selama satu bulan. Pihak kepolisian akhinya menghentikan pencarian.'Begitu tulisan ya
Angin bertiup cukup kencang petang itu. Dahan-dahan maple bergesekan halus karena embusan angin. Satu per satu daun-daunnya berjatuhan ke tanah berbatu.Kelab malam di pusat kota tampak ramai sore itu. Eve terlihat berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamour.Madan Julie, wanita berusia 50 tahun itu pemilik tunggal kelab di mana Eve bekerja setiap harinya. Bukan hanya sebuah kelab biasa yang menyajikan minuman, wanita dan musik. Akan tetapi, Kelab Madam Julie juga menyediakan pria bayaran yang disiapkan untuk para wanita kesepian.Sudah dua tahun Eve bekerja di tempat kotor itu. Tadinya dia hanya bekerja sebagai bartender. Namun suatu hari ia mendatangi Madam Julie untuk meminjam uang.Saat itu kondisi Eli sedang kritis di rumah sakit. Adik perempuannya akan menjalani proses operasi, tapi dia tidak punya cukup uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.'Kau datang ke orang yang tepat. Aku bisa berikan sejumlah uang yang kau butuhkan, tapi ...'Wanita itu berk
Rumah kecil di bawah kolong jembatan menjelang sore. Suara pecahan kaca memecah keheningan. Miranda yang sedang termenung dibuat tersentak. Segera ia melirik ke arah belakang.Apa yang terjadi di dalam rumah?Apa Eli sudah bangun?Tak ada jawaban untuk pertanyaan di benaknya itu. Hanya tirai dengan motif bunga daisy yang melambai karena embusan angin, itu yang dia lihat."Di mana kakakmu?!"Plaak!Brug!Prang!Astaga, apa yang terjadi?Kenapa ribut-ribut begitu?Miranda segera beranjak dari bangku kayu yang ia duduki. Dengan langkah yang cepat ia menerobos tirai motif daisy. Hatinya mencemaskan Eli. Dan saat langkahnya tiba di dalam rumah, Miranda terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tiga orang laki-laki dengan tampang preman sedang mengintimidasi Eli."Di mana kakakmu atau aku akan menculikmu lalu aku jual ke seorang muncikari?!"Laki-laki bertubuh kekar dengan gambar tato ular naga di lengan kiri sedang menjambak rambut Eli. Dia menodong wajah gadis cilik itu dengan ujung revolv
Mansion Keluarga Fortman menjelang siang. Para penjaga tampak berdiri di sepanjang teras menuju pelataran. Dua mobil dinas baru saja menepi. Dengan sigap mereka segera maju dan menyambut seorang pria yang baru saja keluar dar mobil.Marquez de Fortman, sambil menghembuskan asap cerutunya ia menatap bangunan megah di depannya saat ini. Tak ada yang berubah dari bangunan tiga lantai dengan cat dindingnya yang putih itu.Semuanya masih tampak sama seperti dua puluh tahun yang lalu, saat Marisa membawanya ke rumah ini. Persis seperti saat ini ia lakukan, dia berdiri di pelataran sambil memandangi ibunya berciuman dengan seorang pria.Itu kali pertama ia melihat Tuan Fortman.Anthony de Fortman, dia bukan hanya seorang pebisnis tapi juga pohon uang dan peti-peti harta karun yang selama ini dia cari. Begitu kata ibunya.'Mulai saat ini, kita akan tinggal di rumah ini.'Marisa berbisik seiring lirih angin yang bertiup sore itu. Bersamaan dengan gugurnya daun-daun maple, ia melihat seorang a
Sore hari yang cerah. Sinar jingga dari ufuk timur tampak begitu memukau. Cahayanya menerpa ladang bunga daisy yang terhampar luas di sekitar pegunungan Salvador."Kau tahu, Dave. Aku selalu ingin bertemu denganmu. Aku selalu menunggu saat seperti ini. Kau mungkin tidak bisa mengira seperti apa perasaan bahagia yang aku rasakan saat ini."Dave melirik ke arah gadis cantik di sampingnya. Dia dan Laura sedang berjalan-jalan di sekitar pegunungan. Mendengar semua perkataan Laura, dia merasa sedikit tak nyaman.Laura tersenyum manis menanggapi tatapan Dave. Apa yang dirinya katakan memang benar. Dia sangat senang bisa bertemu lagi dengan teman kecil sekaligus cinta pertamanya itu."Laura, aku tidak bisa mengingat apa pun saat ini. Andaikan aku bisa mengingat semuanya, mungkin rasanya akan sangat bahagia seperti mu."Dave bicara dengan suara yang lembut dan manik mata yang dipalingkan dari tatapan Laura. Ladang bunga daisy yang sedang berkembang. Mereka saling bersentuhan saat angin menerp
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Tuan Foster memiliki aset kekayaan sekitar 780 Triliun dolar. Diantaranya tiga pulau di Provinsi Salvador dan sepuluh rumah sakit di San Alexandria Baru. Selebihnya beberapa perusahaan yang bergerak di bidang properti dan Farmasi. Juga beberapa bungalow di Swedia Baru."Marisa dan Marquez saling pandang mendengar penuturan Louis tentang kekayaan Tuan Foster. Gila! Harta sebanyak itu, entah bagaimana cara mengelolanya.Melihat tampang dua orang di depannya itu, Louis tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Setelah Tuan Foster tiada, mungkin semua aset kekayaannya akan disumbangkan ke panti-panti sosial karena tak ada yang mengelola.""Apa?"Marisa dan Marquez terkejut bersamaan mendengar ucapan Louis. Warisan sebanyak itu mau disumbangkan? Enak saja!"Hei, bukankah Tuan Foster masih punya seorang pawaris?" Marisa segera mengajukan pertanyaan yang memang sudah bersarang di benaknya dan juga Marquez. Dia tak sabaran menunggu tanggapan Louis. Dia harus segera tahu siapa pewaris Tuan Foster.
Eve berusaha memecahkan kaca depan mobil dengan sebuah batu yang cukup besar. Usahanya tak sia-sia. Kaca mobil pecah setelah ia menghantam dengan batu tersebut."Cepat keluar!"Pria itu berteriak sambil mengulurkan tangan pada wanita yang masih terjebak di dalam mobil. Miranda menatapnya dengan sendu. Eve tak peduli. Setelah ia berhasil menggapai lengan wanita itu, dia langsung menarik Miranda keluar dari mobil.Duar!Ledakan besar membuat Eve dan Miranda terpental cukup jauh. Keduanya berguling-guling di rerumputan. "Kau baik-baik saja?" Eve bertanya pada wanita yang berada di bawahnya saat ini. Matanya mengincar wajah cantik yang juga sedang menatapnya. Ini pertemuan mereka kedua kalinya. Eve terpana akan kecantikan Miranda."Menyingkirlah!"Perkataan Miranda sungguh di luar perkiraan. Dengan kasar wanita itu menepis Eve darinya. Miranda bergegas bangkit dan segera melihat ke arah semak-semak di mana mobil Luca berada.Oh, tidak!Off-road putih itu sudah dilahap oleh api. Mirand