Telapak tangannya yang bergetar berada tepat dibatas paha, dimana senjatanya berada saat dilihatnya Lucca tidak peduli dengan ancaman yang dilontarkan Jansen. Mengeryit merasakan nyeri, memejamkan mata, menghitung di dalam kepala demi memantapkan niat sembari berharap dia akan selamat."Apa motif kalian sebenarnya?" tanya Lucca.Hitungannya terhenti, Abigail membuka mata, tidak jadi menarik keluar senjatanya saat Jansen mengendurkan pisaunya, dihelanya napas lega. "Kau penasaran rupanya. Kita memang pertama kalinya saling berhadapan seperti ini. Sebelumnya aku hanya mendengar desas desus eksistensi The Black Rose di dunia hitam yang terkenal dan aku ingin melihatnya sendiri."Masuklah empat lelaki berbadan besar penuh tato mengelilingi Lucca yang nampak tenang. Auranya yang gelap memancar, membuktikan kalau dia seorang bos mafia yang tidak takut melawan mereka semua meski dikeroyok sekalipun."Jadi, hanya karena itu?""Tentu saja tidak." Jansen tersenyum miring, "Apa kau pikir tidak
Jasper membalik keadaan dengan mendorong Serafine hingga terdesak di sofa, mencekik lehernya dengan kedua tangan hingga kepalanya terdorong ke belakang. Saat Jansen akan membantu saudaranya, Lucca kembali menembak dan dia menghindar. Serafine menghantamkan botol minuman keras yang bisa diraihnya ke kepala Jasper, menendang punggung lelaki itu yang terhempas ke lantai, lalu dengan cepat berdiri tegak dan mengacungkan pistol milik Jasper yang tergeletak begitu saja dilantai ke kepala membuatnya langsung terdiam dengan wajah penuh amarah. "Brengsek!!" desisnya, tetap nekat maju hingga Serafine meloloskan satu tembakan yang tepat mengenai lengan kanannya. "Arghh, sial!!" umpatnya. "Kalau kau bergerak, kepalamu yang akan jadi sasaran selanjutnya." Direnggangkan otot lehernya dengan santai dan menarik kerah baju Jasper menjadikannya sandera. "Berikan kalung itu!!" ucapnya ke Jansen yang siaga tapi tidak bisa bergerak karena mementingkan keselamatan saudaranya. "Cepat, berikan ke Tuan Luc
Abigail melajukan mobilnya mundur sementara mobil di depannya terus bergerak maju dengan tembakan peluru yang mengenai bodi mobil berkali-kali bahkan kaca depannya. Lucca melihat amunisi senjata di tangannya habis, membuangnya begitu saja, bergegas pindah ke kursi belakang mengambil senjata laras panjang yang siap digunakan. Tangannya terjulur ke depan menekan sesuatu di samping Abi yang berkonsentrasi keras di sela rasa paniknya hingga atap mobil sedikit terbuka. "Terus jalankan mobilnya," ucapnya sebelum mengeluarkan separuh tubuhnya beserta senjatanya melalui atap dan menembakkan serangan balasan ke mobil depan yang sigap menghindar. "Sial, ini seperti di adegan film action!!" Abigail menggigit bibir bawahnya, melihat ke spion dan mendelik lalu berteriak, "Lucca, ada persimpangan!!" Mobil bisa menabrak bangunan jika tetap berjalan mundur. "Good." Lucca kembali masuk, mengganti senjatanya yang lebih besar, kembali duduk depan dan menarik kuncian senjatanya lalu memegang pintu mo
Mobil Jansen menabrak belakang mobil Lucca dan menyeret mereka maju, Lucca banting setir menghindar dan menabrakkan sisi mobilnya ke mobil Jansen yang terhempas minggir namun masih bisa kembali ke jalanan dan melaju kencang mengikuti. Tanpa terduga, Lucca menginjak pedal rem hingga mobil berdecit dan memundurkannya dengan kecepatan tinggi mendekati mobil Jansen yang melaju memungkinkan tabrakan yang tidak terhindarkan. Abigail menahan napas, mencengkram erat seatbeltnya saat mobil keduanya tidak juga menghindar dan akhirnya menutup mata ketika kedua mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, aku kan mati! Tolong, selamatkan aku." "Kau pikir Tuhan selalu ada untuk mendengar suaramu," cibir Lucca. CIIIIIITTTTT!!! Abigail memegangi kepalanya, tubuhnya tersentak ke depan saat mobil berhenti dengan kerasnya, memaksanya membuka mata dan melihat mobil Jansen berhasil menghindar melewati dan banting setir hingga berhenti dalam posisi berhadapan. Saling menyorotkan lampu. Lucca memindahkan persene
POV LUCCABerhutang nyawa pada wanita rapuh seperti Abigail tidak pernah ada dalam bayangan Lucca Alonzo.Hidupnya memang tidak bisa dipisahkan dari bahaya yang melibatkan nyawa. Lucca bahkan pernah mengalami hal yang lebih mengerikan lagi. Merasakan penderitaan saat timah panas hampir menembus jantung yang membuatnya kritis selama beberapa saat. Seperti berada di antara hidup dan mati yang menunggu dieksekusi.Lucca tidak memiliki pilihan selain menjalani kehidupannya yang keras karena dia memang dilahirkan untuk memegang takdir seperti itu. Sejauh apapun dia menghindar, seingin apapun dia memiliki kehidupan normal, sekuat apapun dia mengingkari, semuanya tetaplah sama pada kenyataannya. Dia tetaplah keturunan Alonzo yang dia anggap satu-satunya penerus karena tidak mau mengakui saudara perempuannya yang entah berada di mana dan bagaimana wujudnya sampai seorang wanita melahirkan pewaris untuknya.Pewaris?Lucca bahkan tidak mau memikirkan hal itu.Kedua tangannya mengepal begitu er
Setelahnya hanya ada keheningan, Lucca diam memandangi wajah Abigail lekat. Wanita yang tertidur itu sangat cantik meski sekarang wajahnya tercemar dengan memar, di luar dugaan juga berani di samping sisi lembut dan sensitivenya yang mudah menangis. Kuat dengan aura feminim yang dimilikinya. Lucca pernah memiliki seseorang dengan sifat serupa di masa lalu yang perlahan memudar dalam ingatannya. "Dia menolong Anda—""Setelah sadar, pulangkan dia ke Indonesia," sela Lucca, Serafine terdiam. "Aku sangat yakin, itulah kompensasi yang dia inginkan.""Anda yakin?"Lucca menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, "Memangnya apalagi! Lagipula, aku sudah tidak membutuhkannya, kalungku sudah kembali.""Baik Tuan.""Riley." Lucca menoleh ke Serafine. "Siapa laki-laki itu dan apa motifnya mengambil keuntungan dari Abigail?""Saya sudah coba untuk mencari tahu. Riley, teman baik Thomas yang juga kenal dekat dengan kedua sahabat Abigail. Keturunan Indonesia - Jerman yang menetap di London sejak k
Lucca diam, mendengar suara pintu tertutup dan mengangkat ponsel Abigail di tangan. Duduk di tepi ranjang dengan kepala meneleng memperhatikan setiap inci wajah Abi kemudian mendengus setelahnya. Di bukanya ponsel Abigail, langsung menampilkan foto dua wanita cantik yang mirip sedang tersenyum lebar dan saling merangkul bahu. Dibukanya semua galeri yang ada di sana juga sosial medianya,memperhatikan satu persatu foto dan tertegun saat menemukan satu foto Abigail memakai sayap malaikat dalam suatu photoshoot yang diunggah seseorang bernama Arsen Marvello. Akun milik seorang Lelaki yang kebanyakan fotonya bersama kembaran Abigail, Shine Aurora.Arsen MarvelloAku percaya adanya malaikat saat aku melihat sosokmu. Iblis sekalipun, akan terganggu dengan kebaikan hatimu, Abigail Rosaline.Lucca menjatuhkan ponsel Abigail begitu saja hingga membentur lantai marmer dan berdiri dengan gerakan kaku. Memandang nanar Abigail seraya berusaha keras menahan sengatan emosi di dadanya. Tangannya meng
Lucca tidak sanggup berkata-kata saat mendengar namanya di ucapkan seseorang yang nampaknya tidak takut menghadapinya. Setelah mengatasi kekagetannya, Lucca tersenyum miring dan melipat lengannya di dada memandangi lekat Abigail."Baguslah kalau kau sudah sadar.""Apa yang terjadi pada Riley hingga dia seperti itu?" tembaknya langsung, masih nampak shock dengan kenyataan kalau dialah yang membunuh temannya sendiri."Demi uang, seseorang bisa melakukan apa saja termasuk menikam temannya sendiri.""Bohong!" lirihnya, air matanya mengalir. "Kenapa, kau membunuhnya?" tanya Lucca balik."Dia—” Abigail mengatupkan bibirnya, "Kenapa kau menyelamatkan lelaki yang menawanmu dalam sangkar emas. Kalau kau membiarkan dia membunuhku, aku yakin saat ini kau sudah berada di dalam pesawat menuju rumah bukannya berdiri dengan tampilan menyedihkan menangisi teman yang kau bunuh seperti itu."Lucca memperhatikan mata merah itu yang tidak berhenti mengeluarkan air mata hingga isakannya terdengar, Ditut