Abigail menggerang dalam tidurnya, berusaha menggapai selimut yang dia ingat menutupi seluruh tubuhnya sebelum tidur. Namun dia malah merasakan hembusan hangat di pipinya dan kehangatan lain yang melingkupinya. Rasanya terlalu nyaman namun dia jelas harus memastikan dengan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah tatapan lembut yang menyorot dari iris mata hijau milik suaminya, Lucca. "Lucca—" ucapnya kaget. "Kau sudah pulang?" Seingatnya Lucca mengatakan akan berada di Roma paling cepat selama empat hari jadi Abigail tidak menduga kalau suaminya malam ini akan menemaninya tidur. "Seperti yang kau lihat, aku ada di sini." Abigail menyadari jika Lucca sedang memeluknya dengan erat hingga Abigail bergelung dengan nyaman di sampingnya. "Bagaimana urusanmu?" "Aku sudah menyelesaikanya. Kau membuatku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Napoli," ucapnya sembari tersenyum. "Kalau begitu, selamat datang kembali di rumah," Abigail tanpa sadar tersenyum lebar membuat Lucca un
Abigail terdiam, dia sama sekali lupa jika Lucca memiliki masa lalu yang menyakitkan. Mungkin itu pula yang mempengaruhi keputusan Lucca tidak mau memiliki anak karena tidak mau membuat anaknya menderita seperti dirinya. Sejujurnya Abi juga takut akan hal itu namun dia yakin Lucca berbeda dan akan mencintai anaknya kelak hingga bisa menciptakan kehidupan berbeda seperti yang dia alami dulu. Namun tetap saja rasanya ada yang aneh, terlebih lagi saat mengingat tatapan binar yang pernah Lucca tunjukkan saat melihat dia menggendong Baby El. Ada ketertarikan juga kebahagiaan yang sekilas tertangkap matanya. Atau itu semua hanya halusinasinya saja. Abigail bergerak mendekat, menatap lekat Lucca dan mengelus sisi wajah suaminya dengan lembut hingga kegusaran di mata suaminya memudar perlahan. "Kita akan membesarkannya dengan penuh cinta," bisik Abi dengan yakinnya. "Tidak, Abi," lirih Lucca. "Aku tidak butuh apapun, cukup kau saja." Abigail menggelengkan kepala, "Aku menginginkannya. Tid
Mata Abigail membulat, tidak sadar terkesiap sembari menutup mulutnya."Dia meninggal bersama bayi yang ada di didalam perutnya akibat suatu insiden. Aku sudah memastikan hal itu di rumah sakit yang menanganinya."Tanpa sadar, mata Abigail berkaca-kaca dan saat tersadar, Lucca sedang memeluknya dengan erat."Maaf,Abi," lirihnya. "Aku tidak mau membuatmu kecewa dengan mengatakan hal ini. Aku tidak bisa kehilanganmu lagi jadi kalau kau marah padaku saat ini, aku terima asal kau tidak pergi meninggalkanku. Itu semua memang kesalahanku tapi aku bisa memastikan kalau kau tidak perlu khawatir akan bayi itu karena dia tidak ditakdirkan untuk hidup."Abi menyesali segala hal yang menimpa Rosetta. Kalau bayi itu masih hidup, Abigail bersedia merawatnya karena bagaimanapun, dalam darahnya mengalir darah Lucca."Apa kau yakin bayinya juga tidak selamat?" Lirih Abi, berharap sebaliknya.Lucca memeluknya lebih erat, "Ya, aku yakin. Aku bersumpah tidak akan membuatmu menderita karena kenyataan itu.
Rasanya ada yang tidak beres dengan tubuhnya saat ini. Sesuatu yang sejak lama mengganggu pikirannya namun tidak juga bertindak untuk mencari tahu selain dari meyakini perkataan Lucca yang bisa dia pastikan sekarang hanyalah kebohongan semata. Laki-laki itu pasti menyembunyikan sesuatu. Seharusnya dia memaksa, bagaimanapun caranya agar Lucca, entah karena alasan apa sampai harus merahasiakannya. Sekelabat dalam pikirannya saat perlahan matanya membuka adalah sebuah pemahaman, apakah yang sedang mengganggunya saat ini berhubungan dengan masalah anak? "Kalau memang harus dikeluarkan, maka lakukan secepatnya!!" Abigail bisa mengenali suara geraman suaminya yang berintonasi marah dari suatu tempat agak jauh dari tempatnya berbaring saat samar-samar dia mengenali sedang berada di sebuah kamar bernuansa putih ketika matanya sempurna membuka mengabaikan rasa sakit yang masih melanda tubuhnya. Bau khas rumah sakit menyeruak indra penciumannya yang perlahan memberinya pemahaman. Tentu saja
Tanpa sadar Abigail meneteskan air mata sembari mencengkram pecahan kaca yang ujung runcingnya mengarah ke lehernya, siap menggesek jika Lucca sedikit saja nekat maju. Abi harus mendapatkan jawaban dan jika cara seperti ini bisa membuat Lucca mengatakan semuanya maka dia akan melakukannya. "Please Abi, jatuhkan kaca itu. Aku tidak mau kau terluka," lirih Lucca pelan, dengan tangan terentang hati-hati, mencoba membujuk. "Aku sudah terluka, Lucca. Kau—" suaranya yang parau tenggelam, air matanya merebak dengan deras, cengkramannya menguat. "Katakan sejujurnya, apa yang sebenarnya kau sembuyikan." "Buang dulu pecahan kaca itu—" Abigail menggeleng membuat Lucca menelan kembali ucapannya, "Aku tidak mau mempercayaimu lagi karena selama ini kau telah menyembunyikan banyak sekali hal di belakangku. Aku pikir, ucapanmu yang mengatakan kalau aku berharga bagimu memang benar adanya.” "Demi Tuhan, Abigail—" Sela Lucca, membawa nama Tuhan yang membuat Abi seketika menatap tidak percaya. "Kau
"Tidak ada lelaki yang tidak bahagia memiliki anak dari wanita yang sangat dicintainya seburuk apapun masa lalunya karena sejak memiliki wanita itu, dia sudah bersumpah akan membuat perbedaan dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah mengikuti jejak kedua orang tuanya. Dia akan memastikan anaknya bahagia meski mengorbankan nyawanya sendiri. Tapi—" Lucca beegerak pelan mendekat, Abi mundur hingga tubuh ya terdesak nakas dengan tangan makin mencengkram pecahan kacanya membuat Lucca seketika berhenti. "Tapi jika hal itu mengharuskanku kehilanganmu, lebih baik jika aku tidak memiliki anak seumur hidupku." "Tapi aku menginginkannya..." "Aku tidak akan membiarkannya," sela Lucca cepat. "Aku akan berusaha sekuat tenaga agar kau tidak kehilangan kami berdua." "Aku tidak akan pernah mau mengambil resiko itu!!" Ucapnya tegas. "TAPI INI ANAK KITA BERDUA!!" Teriak Abigail putus asa. Mendengar ungkapan Lucca tadi menambah keyakinan dalam dirinya untuk mempertahankan anak dalam kandungannya. Abi b
Paris, Perancis, 5 bulan kemudian,Kondisinya lebih buruk dari yang dia perkirkan.Abigail lebih sering muntah darah, tubuhnya harus dipasangi infus agar dia tidak semakin melemah, badannya mengurus meski wajahnya nampak menyiratkan kebahagiaan. Mungkin inilah yang disebut cinta sejati tanpa batas. Mencintai sesuatu yang bahkan belum dia temui namun rela memberikan nyawanya sekalipun agar mereka bisa hidup. Abigail tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang ibu dalam kondisi seperti ini.Mungkin jika dia tidak pernah berurusan dengan Lucca, tidak akan seperti ini keadaannya. Dia bisa menjadi seorang ibu seutuhnya dan memiliki keluarga yang normal. Namun dalam hati terkecilnya, dia tidak bisa membayangkan jika lelaki yang menjadi ayah dari anak-anaknya bukan Lucca Alonzo."Kau melamun terus, sweetheart?"Abigail tersenyum tipis sembari mendongak dan bertatapan mata dengan Nyonya Carla yang sedang mendorong kursi rodanya menuju taman aneka bunga miliknya yang luas. Salah satu tempat fa
Flashback On "Hamil?" Lucca sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar dokter Alice mengatakan alasan Abigail pingsan dan batuk darah. "Ya, hamil. Kembar." "Bagaimana bisa?" Kedua tangannya mengepal erat sembari memandangi wajah istrinya yang nampak tidur dalam kelelahan, begitu pucat dan tidak berdaya. "Seharusnya saya yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa anda lupa jika Nyonya Abigail belum mendapat suntikan lagi akibat kejadian akhir-akhir ini dan anda tidak bisa menahan diri hingga hal yang berusaha dihindari bisa terjadi?" Pukulan telak yang tidak bisa dibantah oleh Lucca. Satu kesimpulan yang secara tidak langsung dikemukakan dokter Alice adalah ini semua salahnya. Setelah berusaha keras menjaga agar hal tersebut tidak boleh terjadi, nyatanya saat ini Abigail sedang hamil beberapa minggu. "Saya sudah beritahu jika Nyonya Abigail hormonnya subur meskipun sekarang kandungannya lemah hingga suntikan itu tidak boleh dilewatkan." "SHITT!!" BUUK