Mata Abigail membulat, tidak sadar terkesiap sembari menutup mulutnya."Dia meninggal bersama bayi yang ada di didalam perutnya akibat suatu insiden. Aku sudah memastikan hal itu di rumah sakit yang menanganinya."Tanpa sadar, mata Abigail berkaca-kaca dan saat tersadar, Lucca sedang memeluknya dengan erat."Maaf,Abi," lirihnya. "Aku tidak mau membuatmu kecewa dengan mengatakan hal ini. Aku tidak bisa kehilanganmu lagi jadi kalau kau marah padaku saat ini, aku terima asal kau tidak pergi meninggalkanku. Itu semua memang kesalahanku tapi aku bisa memastikan kalau kau tidak perlu khawatir akan bayi itu karena dia tidak ditakdirkan untuk hidup."Abi menyesali segala hal yang menimpa Rosetta. Kalau bayi itu masih hidup, Abigail bersedia merawatnya karena bagaimanapun, dalam darahnya mengalir darah Lucca."Apa kau yakin bayinya juga tidak selamat?" Lirih Abi, berharap sebaliknya.Lucca memeluknya lebih erat, "Ya, aku yakin. Aku bersumpah tidak akan membuatmu menderita karena kenyataan itu.
Rasanya ada yang tidak beres dengan tubuhnya saat ini. Sesuatu yang sejak lama mengganggu pikirannya namun tidak juga bertindak untuk mencari tahu selain dari meyakini perkataan Lucca yang bisa dia pastikan sekarang hanyalah kebohongan semata. Laki-laki itu pasti menyembunyikan sesuatu. Seharusnya dia memaksa, bagaimanapun caranya agar Lucca, entah karena alasan apa sampai harus merahasiakannya. Sekelabat dalam pikirannya saat perlahan matanya membuka adalah sebuah pemahaman, apakah yang sedang mengganggunya saat ini berhubungan dengan masalah anak? "Kalau memang harus dikeluarkan, maka lakukan secepatnya!!" Abigail bisa mengenali suara geraman suaminya yang berintonasi marah dari suatu tempat agak jauh dari tempatnya berbaring saat samar-samar dia mengenali sedang berada di sebuah kamar bernuansa putih ketika matanya sempurna membuka mengabaikan rasa sakit yang masih melanda tubuhnya. Bau khas rumah sakit menyeruak indra penciumannya yang perlahan memberinya pemahaman. Tentu saja
Tanpa sadar Abigail meneteskan air mata sembari mencengkram pecahan kaca yang ujung runcingnya mengarah ke lehernya, siap menggesek jika Lucca sedikit saja nekat maju. Abi harus mendapatkan jawaban dan jika cara seperti ini bisa membuat Lucca mengatakan semuanya maka dia akan melakukannya. "Please Abi, jatuhkan kaca itu. Aku tidak mau kau terluka," lirih Lucca pelan, dengan tangan terentang hati-hati, mencoba membujuk. "Aku sudah terluka, Lucca. Kau—" suaranya yang parau tenggelam, air matanya merebak dengan deras, cengkramannya menguat. "Katakan sejujurnya, apa yang sebenarnya kau sembuyikan." "Buang dulu pecahan kaca itu—" Abigail menggeleng membuat Lucca menelan kembali ucapannya, "Aku tidak mau mempercayaimu lagi karena selama ini kau telah menyembunyikan banyak sekali hal di belakangku. Aku pikir, ucapanmu yang mengatakan kalau aku berharga bagimu memang benar adanya.” "Demi Tuhan, Abigail—" Sela Lucca, membawa nama Tuhan yang membuat Abi seketika menatap tidak percaya. "Kau
"Tidak ada lelaki yang tidak bahagia memiliki anak dari wanita yang sangat dicintainya seburuk apapun masa lalunya karena sejak memiliki wanita itu, dia sudah bersumpah akan membuat perbedaan dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah mengikuti jejak kedua orang tuanya. Dia akan memastikan anaknya bahagia meski mengorbankan nyawanya sendiri. Tapi—" Lucca beegerak pelan mendekat, Abi mundur hingga tubuh ya terdesak nakas dengan tangan makin mencengkram pecahan kacanya membuat Lucca seketika berhenti. "Tapi jika hal itu mengharuskanku kehilanganmu, lebih baik jika aku tidak memiliki anak seumur hidupku." "Tapi aku menginginkannya..." "Aku tidak akan membiarkannya," sela Lucca cepat. "Aku akan berusaha sekuat tenaga agar kau tidak kehilangan kami berdua." "Aku tidak akan pernah mau mengambil resiko itu!!" Ucapnya tegas. "TAPI INI ANAK KITA BERDUA!!" Teriak Abigail putus asa. Mendengar ungkapan Lucca tadi menambah keyakinan dalam dirinya untuk mempertahankan anak dalam kandungannya. Abi b
Paris, Perancis, 5 bulan kemudian,Kondisinya lebih buruk dari yang dia perkirkan.Abigail lebih sering muntah darah, tubuhnya harus dipasangi infus agar dia tidak semakin melemah, badannya mengurus meski wajahnya nampak menyiratkan kebahagiaan. Mungkin inilah yang disebut cinta sejati tanpa batas. Mencintai sesuatu yang bahkan belum dia temui namun rela memberikan nyawanya sekalipun agar mereka bisa hidup. Abigail tidak pernah bermimpi akan menjadi seorang ibu dalam kondisi seperti ini.Mungkin jika dia tidak pernah berurusan dengan Lucca, tidak akan seperti ini keadaannya. Dia bisa menjadi seorang ibu seutuhnya dan memiliki keluarga yang normal. Namun dalam hati terkecilnya, dia tidak bisa membayangkan jika lelaki yang menjadi ayah dari anak-anaknya bukan Lucca Alonzo."Kau melamun terus, sweetheart?"Abigail tersenyum tipis sembari mendongak dan bertatapan mata dengan Nyonya Carla yang sedang mendorong kursi rodanya menuju taman aneka bunga miliknya yang luas. Salah satu tempat fa
Flashback On "Hamil?" Lucca sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar dokter Alice mengatakan alasan Abigail pingsan dan batuk darah. "Ya, hamil. Kembar." "Bagaimana bisa?" Kedua tangannya mengepal erat sembari memandangi wajah istrinya yang nampak tidur dalam kelelahan, begitu pucat dan tidak berdaya. "Seharusnya saya yang bertanya seperti itu. Bagaimana bisa anda lupa jika Nyonya Abigail belum mendapat suntikan lagi akibat kejadian akhir-akhir ini dan anda tidak bisa menahan diri hingga hal yang berusaha dihindari bisa terjadi?" Pukulan telak yang tidak bisa dibantah oleh Lucca. Satu kesimpulan yang secara tidak langsung dikemukakan dokter Alice adalah ini semua salahnya. Setelah berusaha keras menjaga agar hal tersebut tidak boleh terjadi, nyatanya saat ini Abigail sedang hamil beberapa minggu. "Saya sudah beritahu jika Nyonya Abigail hormonnya subur meskipun sekarang kandungannya lemah hingga suntikan itu tidak boleh dilewatkan." "SHITT!!" BUUK
"LALU APA YANG HARUS AKU LAKUKAN?!" Teriak Lucca,menatap marah Sofia. "Membiarkannya kesakitan lalu akhirnya merelakannya pergi?" Lucca mengelengkan kepala. "Lebih baik dia membenciku seumur hidup!" Sofia menatap sedih Abigail dan kasihan pada Lucca yang nampak sangat frustasi. Siapa yang menyangka jika dia bisa melihat seorang penguasa yang di luar sana begitu ditakuti dan disegani bisa menampakkan wajah takut kehilangan seperti itu. Sofia menelan selivanya, "Apapun keputusan Abigail, aku akan mendukungnya. Jika dia memutuskan untuk mempertahankan anak kalian, aku akan melakukan segala hal yamg bisa aku lakukan untuk menolongnya. Meskipun pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan kimia tapi tetap memberikan perbedaan. Aku juga sangat berharap kalau Abigail baik-baik saja." Lucca membuang muka, "Sekalipun kau ahli meramu obat herbal, aku tidak mau mengambil resiko itu!" "Bukan kau yang berhak memutuskan hal itu." Sofia tersenyum prihatin. "Kesalahanmulah yang sudah membuat semua
Tanpa disangka, keempat pasangan itu menyeringai dan mengeluarkan senjata mereka ke arah Lucca dan Serafine. Ternyata mereka adalah pembunuh bayaran yang di sewa Ravel dan perkelahian tidak terhindarkan. Lucca tidak tahu apakah informan yang mereka beli berkhianat hingga mereka bisa terjebak seperti ini. Lucca melumpuhkan tiga di antaranya, menebar peluru kesegala penjuru dan berkelahi dengan tangan kosong. "Kepalamu dihargai sangat tinggi,The Black Rose," ucap seorang wanita cantik berambut blonde berwajah asia yang Lucca tahu merupakan salah satu pembunuh bayaran paling keji di eropa, Prisilia Wang. Lucca menyeringai, "Ambil saja jika bukan kepalamu duluan yang aku injak." Prisilia mengibaskan rambut indahnya ke belakang, "Laki-laki tampan menggoda yang sombong sekali!" Setelah mengatakannya, Prisilia maju berkelahi menggunakan dua pisau di tangannya dengan tangkas dan cekatan. Lucca berusaha menghindar dan melawan balik. Satu tendangan dia lepaskan namun Prisilia menangkapnya
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj